Hampir mendekati pukul satu dini hari, tapi mata Delta membandel. Padahal seharian ini, ia tidak memiliki waktu istirahat karena kelayapan bersama Indri. Badannya pun sudah terasa pegal-pegal dan lega ketika bertemu dengan bantal dan kasur. Namun, yang menjadi masalah kantuknya seketika hilang karena mengingat ucapan mamanya, tadi. Sewaktu dimobil, mau perjalanan pulang menuju apartemen.
"Kamu sudah move on, dari Melly? Secepat itu, Nak?"
Delta hanya menggelengkan kepalanya.
"Lalu maksud kamu bilang Indri itu calon istri masa depan kamu, itu apa? Cuma benar-benar candaan?"
"Iyalah, Ma, tadi aku kan bilang cuma bercanda." Delta sebetulnya malas ketika nama Melly disenggol. Rasanya emosi yang ia rasakan bisa berkali-kali lipat naiknya. Namun, mau bagaimana lagi, ia tidak tahu caranya menghindar ketika mamanya sudah terlihat sangat serius ingin membahas itu.
"Masalah begitu enggak boleh dibecandain, Dek. Kita enggak tahu hati orang, nanti malah kebawa perasaan, tapi kamunya cuma bercanda."
"Aku yakin kok, Ma kalau Indri enggak akan anggap itu beneran." Delta masih mencoba mengelak padahal ia sudah tahu dirinya itu salah.
"Kamu enggak bisa ngeyakini itu hanya dengan melihat reaksinya biasa-biasa aja. Perempuan itu beda, Dek. Perempuan bisa berlarut-larut dengan perasaannya dan bisa mengembangkan perasaan yang awalnya biasa-biasa saja menjadi sangat luar biasa."
"Sejujurnya, Ma, aku pikir Indri baik, meski belum beberapa bulan kenal aku udah merasa agak nyaman dengan Indri. Yah walau kadang aku harus banyak-banyak maklum dengan sifat dinginnya."
"Kalau kamu memang yakin sama Indri, mama enggak ngelarang, toh katamu ingin nikahkan, balik sama Melly lagi juga enggak mungkin, kan."
"Belom yakin sih aku, Ma. Melly tuh sulit banget ngelupainnya, sampai gini hari aku masih sayang banget sama dia."
"Kamu harus ngelupain dia, terakhir mama dengar, kalau Melly mau dijodohin sama orang tuanya."
"Aku juga tahu kali, Ma. Tapi, belom juga kan."
"Mana kamu tahu, memangnya selama ini kamu selalu mengikuti perkembangan tentang kehidupannya Melly? Enggak kan, siapa tahu entah esok atau lusa, tiba-tiba ada undangan dari Melly."
"Ih, mama jangan ngomong gitu kenapa sih?"
"Hmmm jeoleus! Kenapa sih, sesulit apa sih ngelupain mantan. Toh katamu juga enggak pernah ngapa-ngapain kan sama Melly, kok bisa sih masih sulit ngelupainnya."
"Entahlah, Ma, pokoknya Melly itu sulit aja dilupain."
"Iya, Mama ngerti, mama juga pernah muda. Namun, ingat satu hal, jangan jadikan perempuan lain pelarian."
"Tapi, Ma kalau aku enggak lupa-lupa karena enggak ada yang bantuin misalnya kayak pengalihan rasa gitu, gimana? Memangnya harus banget ya aku ngejauhin Indri hanya karena belum ngelupain Melly."
"Hah, kapan mama nyuruh kamu ngejauhin Indri? Maksud mama jangan terlalu berlebihan jika memang tidak serius. Teman biasa aja, gitu, Dek."
Dalam sesaat Delta ingin mengonfirmasi perihal kata mamanya pada Indri. Beberapa kali telponnya tidak dijawab oleh Indri, yang merupakan hal yang wajar menurut Delta karena ini sudah hampir dini hari, alias waktu istirahat.
'Sekali lagi, kalau yang ini enggak diangkat, besok ku samperin'
Telpon kali ini, ditolak oleh Indri. Berganti sebuah pesan.
Indri : ?
Mata Delta melotot nyaris melompat dari tempatnya, ketika mendapati pesan yang dikirim Indri hanya seekor, seupil, secuil tanda tanya.
'Bener-bener nih anak, tanda tanya doang setelah ku telpon berkali-kali'
Delta mengomel seraya mengetikkan pesan.
Delta : angkat enggak telponku!! Kalau enggak, aku samperin kerumah sekalian mau tidur disana
Indri : udah malem, aku mau tidur lagi
Delta : sebentar doang, angkat ya!
Entahlah apa yang terjadi pada gadis itu di seberang sana, yang jelas Delta tidak peduli ia masih tetap ingin menelpon.
Telpon kali ini diterima membuat Delta bernafas lega, meski tidak terdengar suara Indri usai jaringan tersambung.
"Ndri, udah ngumpul belum nyawanya?"
"Hmmm." Hanya itu jawaban dari Indri.
"Minta diberi pengertian ya jawabanmu itu. Sebelumnya aku minta maaf lahir dan batin ya, sudah ganggu kamu malam-malam. Indri aku ingin ngajak kamu ngelakuin satu hal, aku rasa ini bener untuk aku dan kamu. Ndri, sebenarnya kamu tidak ada sangkut pautnya sama ini, tapi karena beberapa hari ini aku di Jakarta tepatnya di tempat kerja kenalnya cuma sama kamu dan dekatnya juga cuma sama kamu, jadi aku minta kamu mau jadi temanku. Mau enggak, Ndri? Kali ini dijawab ya, Ndri, jangan cuma hmmm doang."
"Iya."
"Hmmm sama iya itu sama aja, Ndri, jadi tolong cari jawaban yang lain, jawaban yang sekiranya enggak bikin aku darah tinggi ya, Indri."
"Iya. Selama ini kan kita udah temenan, sekaligus jadi tukang masak."
Jawaban Indri itu membuat Delta menyengir tidak enak hati. Namun, sejak beberapa hari ini ia sudah tahu betul sifat Indri dan jawaban tidak ramah itu sudah seharusnya dimaklumi.
"Berarti aku anggap kita memang benar temenan ya. Yang kedua, aku mau nanya kamu udah punya pacar? Atau lagi dekat dengan siapa, gitu?"
Kali ini Indri cukup lama menjawabnya, hingga Delta bersuara lagi. "Jangan geleng-geleng jawabnya, Ndri. Kita lagi telponan kalaulah kamu lupa."
"Iya. Enggak ada."
"Jadi kalau aku deket-deket sama kamu enggak akan ada yang marah, ya. Lalu ini intinya, sebetulnya Ndri aku nanya begini ke kamu karena aku mau minta tolong. Kali ini aku benar-benar minta sama kamu dan enggak nerima penolakan. Aku enggak tahu, kamu tahu apa enggak atau kenal apa enggak sama Melly, tapi aku langsung mau konfirmasi kalau Melly tuh mantanku kita pacaran udah lama banget, tapi putusnya baru beberapa bulan. Jadi yang mau kumintai tolong dari kamu tuh, tolong aku buat lupain Melly."
"Enggak, aku enggak mau. Aku udah ribet, jadi enggak mau tambah ribet dengan masalah mu."
"Dengerin dulu aku ngomong, Ndri, belum selesai. Aku beneran enggak cuma mau minta bantu itu, tapi kita coba jalani yang serius gitu, Ndri. Ndri, halo Ndri. Indri?"
Delta sama sekali tidak menyadari bahwa, telpon mereka telah dimatikan secara sepihak oleh Indri. Lantas, Delta hanya bisa menghembuskan nafas kecewa seraya menghempas dirinya di atas kasur.
Bersambung ...