Indri masih tidak habis pikir, mengenai minat Delta yang tidak dapat terbaca olehnya beberapa hari ini. Pagi tadi hingga hampir mau sore, Indri kebosanan menghadapi tingkah Delta yang ada-ada saja, seakan dalam satu waktu pria itu memiliki banyak ide agar mereka tidak cepat pulang. Lalu kini, malam. Lagi-lagi Delta mengajaknya keluar, katanya sesekali dinner di luar. Seperti biasa, awalnya Indri selalu ingin menolak, tapi sayangnya segala alasan yang ia buat sama sekali tidak dapat mengelabui pria yang sudah mengenal wataknya.
Indri mengenakan baju seadanya, ia tidak pernah berpikir untuk menarik perhatian pria itu. Bahkan, wajahnya sama sekali tidak ia polesi make up. Indri terbiasa natural, apalagi kulitnya memang putih, jadi ia tidak perlu effort lebih untuk terlihat segar dan menarik. Malam ini ia lebih memilih mengenakan hoodie orange dengan bawahan kulot hitam. Sedangkan rambut hitam panjangnya, ia jedai rapi.
Tidak lama setelahnya ada suara ketukan pintu. Indri berpikir mungkin itu Delta, karena sejak sore tadi pria itu sudah menjejakkan kaki ke rumahnya, bahkan menyempatkan diri untuk tidur selama satu jam, sebelum pulang.
Setelah pintu terbuka, nyatanya Indri benar. Orang itu memang Delta, tapi pria itu tidak sendiri melainkan bersama seorang perempuan yang Indri tebak usianya sekitar enam puluhan lebih jika tidak meleset.
"Hai." Pria itu langsung masuk setelah melepas sepatunya. "Ayo, Ma," ajaknya pada perempuan yang datang bersamanya.
"Si Delta belum disuruh masuk main nyelonong aja," oceh perempuan itu yang membuat Indri tersipu malu, karena merasa dirinya terlambat mengabarkan itu.
"Langsung masuk aja, Ma, kalau nungguin orang rumahnya nyuruh masuk mungkin bisa enggak masuk kita," canda Delta seraya menjawil lengan Indri.
Sementara Indri langsung menyalami tangan wanita itu, seraya menyuruhnya masuk.
"Ndri, enggak usah repot-repot nyediain air minum kita cuma mampir sebentar di sini, aku mau nunjukkin ke mama rumah yang aku ingin beli," jelas Delta yang Indri rasa tidak perlu sedetail itu karena ia tidak terlalu tertarik. "Oh iya, kenalin ini mamaku, mamanya Akmal juga. Dan ini Indri, Ma, gadis yang Akmal suka dulu, calon istriku di masa depan." Sontak kalimat terakhir yang keluar dari mulut Delta membuat kedua perempuan itu serentak menatap kearahnya.
"Enggak ... enggak, bercanda, Ndri," kata Delta usai melihat mata Indri melototinya.
"Ya kalau benaran juga enggak apa-apa kok, mama sih setuju-setuju aja," timpal perempuan itu hingga membuat Indri tergamam.
"Kamu udah siap-siap, Ndri?" Delta tidak ingin mamanya melanjutkan omongan yang lain, mungkin saja bisa menyinggung Indri hingga membuat gadis itu tidak nyaman.
"Udah."
"Kalau gitu, ayo, kita langsung pergi." Delta langsung beranjak terlebih dahulu.
Kemudian diikuti ibunya, yang juga mengajak Indri untuk bersama, beranjak.
Indri merupakan tipekal gadis yang sulit bersosialisasi dan mengambil sikap. Jadinya ia canggung sendiri dikala ibunya Delta mengajaknya tanpa sungkan. Bahkan perempuan itu ingin berjalan sambil bergandengan dengannya.
Mereka akhirnya tiba di mobil yang diparkir Delta di depan gang. Delta mempersilahkan ibunya terlebih dahulu masuk di bangku belakang, selanjutnya Indri ia persilahkan duduk di sampingnya mengemudi. Ia rasa posisi seperti ini sudah benar karena dulunya saat masih bersama Melly, ibunya juga duduk di belakang sedangkan Melly duduk di depan, di sampingnya saat mengemudi.
"Dek, tadi kata kamu mau beli rumah, rumah yang mana maksudnya?" Melinda bersuara setelah mengingat perkataan anaknya tadi, yang ia rasa kurang jelas kemana arahnya.
"Enggak, aku bercanda, Ma. Tapi, bisa enggak mama jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi, aku malu, Ma! Aku udah dewasa," protes Delta dikala mamanya selalu lupa perihal panggilan waktu kecilnya yang selalu melekat hingga kini.
"Hmm ... dasar! Di depan cewek aja kamu malunya, sedangkan kalau lagi bertiga sama mama dan papa, enggak juga tu kamu protes."
Ck. Delta berdecak kesal, ibunya itu selalu suka membuatnya kesal.
"Iya-iya, enggak lagi mama panggil begitu, tapi apasih yang kamu maluin dari panggilan itu. Lihat tuh Indri biasa aja dengarnya," goda Melinda ternyata masih berlanjut.
Sekilas Delta menoleh pada Indri, sebab refleks dari perkataan mamanya.
"Enggak kan, Indri enggak ambil pusing tuh," kata mamanya membenarkan apa yang dilihat Delta.
Delta hanya mendengkus, saat sadar ia terpedaya dengan kata-kata mamanya.
"Iya, enggak, Indri?" Kali ini Melinda melibatkan Indri yang sejak tadi diam.
"Iya tante."
"Indri dulunya satu kelas dengan Akmal?"
Lagi-lagi Delta yang sudah kesal membatin 'pertanyaan macam apa itu, basi, udah tau juga'
"Iya, tante."
"Ohh, dekat dulu sama Akmal?" Kali ini Melinda benar-benar tidak tahu mengenai kedekatan anak pertamanya dengan siapapun, karena Akmal tidak pernah cerita kecuali pada adiknya, Delta. Dan Delta pun belum menceritakan secara lengkap perihal kedekatan abangnya dengan cewek manapun.
"Enggak tante," jawab Indri seadanya.
"Ohhh. Akmal itu dulu gimana, kalau di kelas, aktif enggak?"
"Ih, mama kenapa sih ditanya-tanyain lagi masalah gitu,"potong Delta yang tahu, Indri mulai risih dengan pertanyaan-pertanyaan
yang gadis itu kebingungan menjawabnya, jadi hanya dijawab seadanya.
"Lah kenapa memangnya, kan mama nanya Indri, bukan nanya kamu."
"Meskipun se-kelas, Indri tuh enggak terlalu mengenal Akmal, Ma."
"Yaelah ni anak, orang mau nanya-nanya aja sih. Ya udah mama diam."
Tidak berapa menit setelahnya, Delta membelokkan mobil nya memasuki area restoran.
european food sudah terpampang jelas diatasnya. Menandakan orang-orang tidak perlu bertanya kesana kemari tentang nama restoran bernuansa eropa ini.
Delta berjalan lebih dulu. Pria itu memang sudah dua kali ke restoran ini, dulunya ia datangi bersama rekan kerjanya, dan kali ini kedua kalinya.
Restoran ini selalu ramai, tapi beruntungnya Delta telah mereservasi lebih dulu. Dan Delta juga sengaja reservasi tempat yang private ia pikir akan lebih nyaman bagi Indri. Gadis itu mungkin tidak akan suka jika berlama-lama ditempat ramai.
Bersambung ....