Malam tadi, saat mendengar kabar buruk. Tentang penjualan perusahaan yang menurun, Indri benar-benar tidak tenang. Padahal ia sudah bersiap untuk beristirahat. Namun, lagi-lagi setelah banyak memikirkannya dalam sesaat. Maka Indri pikir ia harus melakukan sesuatu.
Lalu tidak lama setelahnya Iraz Handika rekan sesama brand manager di divisi pemasaran, menghubunginya. Maka Indri rasa ia tidak sendiri. Iraz memang selalu cepat tanggap dalam segala hal yang menjadi tanggung jawabnya.
Sepanjang jalan menuju keperusahaan, Indri banyak berpikir dan menduga-duga tentang kesalahan tim mereka. "Apa iya salah strategi?" Itu salah satu yang ia pikirkan. Awalnya saat lauching merek baru Indri memang banyak menemui kejanggalan, selain itu Iraz juga mengonfirmasi kalau merek itu dilaunching terlalu cepat, saat tim mereka belum sepenuhnya siap.
"Ndri, satu klien mengundurkan diri." Saat tiba Indri terburu-buru memasuki loby. Perusahaan besar yang mempunyai akses 24 jam itu selalu membuat Indri merasa bermimpi saat berdiri didepannya dan lalu masuk bukan sebagai tamu, melainkan sebagai karyawannya.
Iraz sudah menunggunya di Loby. Pria itu tampak kacau sekali. Sementara informasi dari Iraz itu ia abaikan begitu saja karena tidak tahu harus berkata apa, dan ia tidak mau banyak bertanya pada Iraz yang jelas lebih tahu banyak informasi, karena baginya itu hanya akan menambah beban pria itu.
Mereka menaiki lantai tiga. Sebetulnya Indri sedikit gugup. Saat hanya berdua saja dengan seorang laki-laki, entah malam maupun siang, selalu membuat Indri sedikit takut. Sejak lama Indri selalu merasakan takut tidak berdasar itu. Indri selalu suka berprasangka buruk pada orang. Maka ia selalu mengantisipasinya. Saat bersama Iraz, Indri selalu menjaga jarak.
Hampir semalaman Iraz menelaah dan mengatur ulang strategi yang telah ada dengan dibantu Indri. Mereka tahu esoknya mereka akan tetap dimarahi, tapi meskipun begitu Iraz akan berusaha dahulu. Setidaknya ia sudah memiliki solusinya.
"Masalah ini bukan kita yang bikin, tapi yang harus menyelesaikannya selalu tim kita, Ndri. Heran gue, marketing direktur yang baru kayaknya enggak niat bekerja deh, sudah dua kali lauching produk gini terus," resah Iraz. Sementara Indri hanya menanggapinya dengan senyum seadanya. Sudah beberapa tahun mereka bekerja sama, tapi sikap Indri tidak pernah berkembang pada rekan kerjanya. Indri hanya akan bicara banyak ketika ia ditanyai pendapat ataupun saat ia mau menyumbangkannya.
"Lalu Bang, masalah klien yang mengundurkan diri itu, gimana?" Indri akhirnya bersuara, ia rasa sedikit ingin tahu tidak masalah.
"Yang jelas itu bukan urusan kita, Ndri. Biar itu Andre and the gengs yang urus, selaku community manager."
Indri hanya manggut-manggut paham.
"Ayo, Ndri pulang. Gue antarin lo, udah malam. Eh salah, Ndri sudah jam sahur ini, bukan malam lagi."
"Eh, Abang puasa?"
Merupakan hal yang wajar jika Indri bertanya karena ini bukan bulan puasa.
Laki-laki yang memiliki lesung pipi itu tersenyum gemas, ia tahu Indri selalu terlihat polos dan disitulah keunikan yang ada gadis itu.
"Enggak, cuma kalau lagi bulan puasa, ini jamnya sahur." Perjelas Iraz kemudian.
Lalu Indri tidak berniat untuk menanggapi pernyataan Iraz lagi. Dan begitupun Iraz yang sudah terlalu biasa dengan Indri. Gadis itu suka memberhentikan percakapan yang sebetulnya berpotensi akan menjadi seru, menurut Iraz. Hanya saja ia pun juga malas untuk memperpanjang karena Indri akan mempersingkatnya lagi. Sekalipun pembicaraan itu asik jika dibahas bersama Indri, maka percakapan itu bisa jadi biasa saja. Indri terlampau kaku bahkan setelah bertahun-tahun menjadi rekan kerja.
***
"Tidur jam berapa sih, Ndri? Dari tadi perasaan nguap melulu," komentar Delta yang sejak tadi menikmati makan siang bersama Indri.
Saat ini mereka sudah berada di pantry menikmati makan siang seperti yang sudah beberapa hari ini mereka lakukan.
"Enggak tidur."
"Hah, seriusan?!"
"Iya." Dengan jawaban Indri itu seharusnya, Delta sudah cukup mengerti untuk mengartikannya, bahwa gadis itu tidak ingin banyak ditanyai. Saat ini Indri benar-benar merasakan tubuhnya lemah tidak berdaya dan juga malas bicara. Tapi Delta tidak pernah mengerti, laki-laki itu terus mengajaknya bicara.
"Karena apa? Pekerjaan mu ada masalah atau lagi banyak pikiran?"
"Lebih baik lagi kalau tuh mulut tidak banyak tanya." Lagi-lagi perkataan itu hanya berakhir didalam hati Indri. Ia tidak cukup berani mengatakannya pada Delta.
Delta terus menunggu jawaban dari Indri, pria itu bahkan menjeda suapannya sesaat, seraya memperhatikan Indri berharap gadis itu mengatakan sesuatu.
Setelah menarik napas panjang dan menghembuskannya, Indri mulai bicara.
"Tadi malam aku sama bang Iraz lembur dikantor karena ada suatu masalah dipenjualan, dan pulangnya dini hari, enggak tidur karena mau nyiapin masakan buat kamu, kalau enggak disiapin takut dikira makan gaji buta," ucap Indri gamblang. Tak kira Delta justru tertawa setelah mendengar bicaranya. Delta menertawakan kepolosan gadis itu.
Indri mungkin tidak akan menganggap terlalu serius permintaan Delta itu tentang minta dimasakkan untuk makan siangnya, jika saja Delta tidak mentransfer sejumlah uang ke Indri melalui rekening yang ia minta tempo hari.
"Gemes banget, Ndri, jadi istri aku aja yuk," canda Delta seraya menyorot Indri dengan sorot jenaka. Sementara Indri balas menyorot dengan sorot datar. "bercanda, Ndri. Yaampun gitu aja dianggap serius."
"Indri, ikut keruangan Pak Pandu, yuk." Secara tiba-tiba Iraz datang ke pantry dan mengatakan itu padanya.
Pak Pandu merupakan marketing director yang seumuran dengan Iraz, 31 tahun. Dan merupakan seseorang yang Iraz kenal.
Indri buru-buru mengemasi bekalnya, menyisakan bagian Iraz serta lauk-pauk. Beruntungnya gadis itu sudah banyak memakan bekalnya tadi.
"Kalau sudah, titip aja ke pantry. Nanti aku ambil," beritahunya pada Iraz.
Setelahnya Indri sesegera mungkin menyusul Iraz yang telah lebih dulu pergi.
Sepeninggal Indri, menyisakan Delta yang melongo sebentar hingga kehadiran bu Dewi menginterupsinya.
"Bu, rekan kerjanya Indri yang ganteng itu, siapa ya, Bu, namanya?" Spontan pertanyaan itu ditujukan Delta pada Bu Dewi hingga perempuan itu gamang dibuatnya.
"Oooooh, mas Iraz maksudnya?" Bu Dewi gamang sesaat karena ia tidak pernah bertemu seorang pria yang bertanya perihal pria lain dengan memujinya 'ganteng'. Dan itu baru ia dengar dari Delta seorang, padahal yang bertanya juga tidak kalah ganteng.
"Sudah menikah apa belum, Bu?" tanya Delta lebih lanjut.
"Setahu saya belum pak," jawab bu Dewi seadanya.
"Ooooh. Ok, terima kasih, Bu, informasinya." Delta kemudian mengemasi barang-barang dan ia bawa ke wastafel untuk dicuci. Padahal tadinya Indri tidak meminta semua tempat bekalnya dicuci.
Lalu bu Dewi yang melihat, bergembira ria didalam hatinya. Ia pikir hubungan Indri dan Delta spesial, hingga laki-laki itu mau mencucikan tempat bekal terlebih mereka makan bersama di pantry dengan bekal yang sama, meski berbeda tempat. Bu Dewi semakin yakin dengan spekulasi nya.
Bersambung ...