Dalam kehidupan sehari-harinya Indri Mahiru tidak banyak meminta, ia hanya ingin pekerjaannya lancar agar ia dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Sudah hampir enam tahun ia meninggalkan kampung halamannya. Hanya untuk mencari ketenangan hati, agar ia tetap bisa bertahan hidup.
Sepeninggal neneknya, lima tahun lalu Indri benar-benar merasa kehilangan sosok sandaran dan juga pegangan. Lalu usai setahun lulus sekolah, Indri memberanikan diri untuk pergi dari rumah.
Kepergiannya tentu mempunyai alasan tidak semata-mata hanya ingin menjauh dari sang bibi, namun juga ingin mencoba peruntungan di ibukota. Sekitar seminggu sebelumnya, Indri melihat iklan lowongan kerja dari sebuah perusahaan besar di Jakarta, meski semula ia tidak yakin untuk melamar. Tapi setelah sekian banyak berpikir akhirnya ia memutuskan untuk mencoba, lalu seminggu kemudian dirinya dipanggil untuk diwawancarai.
Indri sungguh tidak percaya, akan semudah itu. Tidak seperti orang-orang yang katanya sulit mendapatkan pekerjaan di ibukota. Apalagi ia sadar dirinya hanya lulusan SMA, meski ada beberapa sertifikat maupun piagam atas prestasi yang ia miliki.
Dan kini disinilah ia. Duduk di pantry yang selalu menjadi kebiasaannya, seraya menikmati makan siang. Meski banyak tempat nyaman diperusahaan tempatnya bekerja, Pantry perusahaan tetap menjadi satu-satunya tujuan. Karena ditempat lain ia akan bertemu banyak orang sementara dipantry, terkadang dijam istirahat hampir tidak ada yang datang kesini. Mereka sibuk mencari makanan diluar atau pun masih sibuk kesana kemari bekerja, sementara keperluan dapur mereka semua telah diurus oleh OG khusus. Indri mengenalnya, Bu Dewi Mirnani.
Ibu itu baik, banyak nasehat-nasehat yang beliau berikan pada Indri untuk bertahan hidup ditengah-tengah hiruk pikuk perkotaan. Walau Indri sendiri merasa selama hampir enam tahunan ini, ia sama sekali tidak merasa kesulitan tinggal di Jakarta. Ia cukup berterima kasih pada tuhan tentang hal itu, sejauh ini selain masalah pekerjaan tidak ada kesulitan lain yang ia terima dan Indri selalu mengucapkan rasa syukurnya, setidaknya tuhan tidak melaknatnya dengan mempersulit segala jalan yang ia ambil.
"Neng, kenal dengan Direktur Personalia kita yang baru? Namanya pak siapa ya neng ya? Kemarin bantuin bibi, baik kayaknya." Selain baik Bu Dewi suka mengeluarkan pendapatnya tentang orang yang ada disekitarnya hingga tak jarang Indri sampai tertarik untuk berbagi cerita juga.
Namun bahasan kali ini benar-benar membuat Indri ingin menyelesaikan makannya dan kabur dari Pantry.
Indri tahu betul direktur personalia yang baru itu siapa. Tapi sayangnya Indri menolak untuk kenal karena ia pikir itu tidak penting dan benar-benar tidak penting.
Beberapa kali ia juga pernah berpapasan, namun Indri selalu menghindar. Indri memang selalu seperti itu, ia tidak berminat untuk menambah teman atau akrab dengan orang lain apalagi orang itu berasal dari kampung yang sama dengannya.
Sudah berjalan dua pekan, Delta menjabat sebagai direktur personalia, namun sekalipun Indri tidak ingin menyapa setidaknya sebagai kenalan lama. Indri memang jelas-jelas berbeda dari teman-teman divisinya. Mereka berbondong-bondong memberikan bingkisan pada direktur personalia baru dengan alasan sebagai sambutan, sedangkan Indri bodoh amat.
"Pak Delta, bu. Iya dia baik, karena nggak sakit," canda Indri pada kalimat terakhirnya walau terdengar datar, tapi bu Dewi sudah tahu kalau itu candaan karena terbiasa dengan sifat Indri yang sulit mengekpresikan emosi lewat wajahnya.
"Bu aku duluan ya, masih ada pekerjaan," pamitnya kemudian setelah mengemasi bekalannya yang sudah kandas, sementara Bu Dewi hanya melongo tidak percaya padahal ia rasa Indri baru saja duduk disana. Biasanya gadis itu juga lama bertahan dipantry hanya untuk mendengar Bu Dewi bercerita.
Lalu saat diperjalanan Indri tidak sengaja, menabrak pria yang dihindarinya. Tepat didepan pantry.
***
"Sampai kapan mau ngehindar terus, Dri? Bersikap seolah-olah enggak kenal, kata orang dikampungku itu namanya sombong, Indri! Kenapa sih, apa susahnya sih sapa aja? Ini ketakutan kayak aku mau makan kamu aja."
Sementara dengan bodohnya Indri menjawab, "oh, kira sudah lupa. Lagian kita hanya sekelibat saling kenalnya."
"Masa sih sekelibat? Perasaan banyak deh yang diceritain, Akmal tentang kamu. Jangan-jangan tentang Akmal pun kamu lupa?"
Indri berharap disepanjang harinya, tepatnya hari ini tidak berpapasan lagi dengan Delta Irsanda Anugrah. Lalu apa yang akan dilakukannya jika harapannya itu pupus begitu saja, bahkan belum ada beberapa menit, pria itu sudah muncul tepat didepannya.
"Kemarin aku enggak makan siang loh, karena enggak tahu seluk beluk tempat ini," ucap Delta, tapi ditelinga Indri itu terdengar seperti kebodohan yang dicipta sendiri.
"Kayak diciptain enggak punya mulut aja nih orang, kan bisa nanya." Demi apapun Indri tidak bisa mengutarakan umpatannya itu, sabagai gantinya hanya ia ucapkan didalam hati. Namun, pria itu malah tertawa melihat eksperesi Indri yang merenunginya.
"Yang sopan loh, Dri! Aku ini atasan mu, masa kamu omeli dalam hati?" ucapnya seraya tersenyum.
"Terus mau mu apa?" sewot Indri.
"Ya makan bareng kamu, boleh?"
Indri selalu punya banyak cara untuk menolak seseorang yang ia rasa tidak cocok dan tidak ia suka dihatinya, seperti saat ini. Namun karena ini personalia baru, ia rasa sulit untuk menolak. Apalagi jabatan personalia itu adalah atasan yang tentu harus ia hormati.
Indri berjalan begitu saja melewati, Delta. Sementara Delta sempat terpaku beberapa saat melihat ia hanya dilewati begitu saja, lalu saat sadar ia segera menarik baju bagian belakang Indri, ketika gadis itu belum terlalu jauh melangkah.
"Mau kemana? Aku boleh ikut apa enggak?"
"Iya boleh," ketus Indri.
Sementara senyum mengembang, terpancar dari wajah Delta. Setidaknya ia tidak malu karena ditolak.
***
Delta sebetulnya tidak memiliki maksud apa-apa mendekati, Indri. Keinginan secara alami itu, ia rasakan ketika mendapati Indri sebagai seseorang yang ia kenal, berada diantara puluhan karyawan diperusahaan ini. Selain Indri, Delta juga introvert. Ia sulit akrab dengan orang lain dalam waktu singkat.
Lalu ada hal lain pula yang membuatnya ingin mengenal Indri. Tanpa disangka ia malah dipertemukan ditempat ini.
Delta tidak pernah mencari Indri sekalipun, hanya saja ia sering bertenya-tanya kemanakah gadis itu, apalagi ketika ia teringat dengan abangnya, Akmal.
Sosok abangnya itu tidak pernah lekang dari ingatan. Kepergian Akmal sudah memasuki tahun ketujuh. Banyak hal yang telah dilalui Delta tanpa seorang abang yang selama ini selalu dijadikannya pedoman.
Sedangkan Indri adalah sosok gadis yang sering diceritakan abangnya. Wajah pemuda itu terlihat sangat berseri-seri ketika, mulai bercerita banyak hal tentang gadis yang bahkan tidak pernah menganggapnya ada. Kesukaan Akmal pada Indri yang bagi Delta melebihi dari batas wajar, membuat Delta juga ingin tahu banyak hal tentang Indri. Meski mereka pun berada disatu sekolah yang sama, tapi tetap saja Delta berada di jalur yang berbeda dengan Indri lain halnya sang abang yang berada dikelas yang sama.
Bersambung ...