Orang tua tahunya keberadaan Nolan di rumah selama beberapa hari adalah untuk melepas rindu dengan Sea. Padahal yang sesungguhnya terjadi malah tak demikian. Nolan sibuk sendiri di kamarnya, Sea juga sulit sekali menemukan celah tentang hal apa yang membuat Nolan selama ini bersikap demikian dingin.
Obrolan dengan dokter Ivon beberapa hari lalu pun tak ada yang bisa membuat Sea menangkap setitik saja alasan Nolan bersikap buruk padanya. Dokter Ivon malah bilang, Sea beruntung bersuamikan Nolan, meski sibuk dengan pekerjaan tetapi selalu bisa membagi waktu dengan keluarga.
Lidah Sea saat itu kelu untuk mengeluarkan apa yang bersarang di hati sebab belum apa-apa dokter Ivon sudah memuji Nolan. Mungkin Tuhan masih ingin melihat kesabaran Sea. Namun, Sea yakin akan satu hal, tak ada bangkai yang lama-lama tak tercium. Kesalahan yang kini tengah Nolan perbuat pasti akan terbongkar nantinya.
Nolan kembali meninggalkan rumah, berkata tugasnya kembali memaksa ia harus pergi. Sea hanya melepas kepergian pria itu dengan sikap datar, bahkan menghindar ketika Nolan akan melancarkan drama dengan mencium kening Sea. Pandangan mereka sempat bersirobok, tak biasanya Nolan begitu dalam menatap Sea bahkan membuat wanita itu yang berpaling lebih dulu.
"Sea, ikhlasin dong suaminya kan mau pergi tugas. Kamu masih kangen ya sama Nolan?" Dita menggoda Sea, sedangkan An dalam gendongan Yeti sedang mengoceh tak jelas memandang dengan binar bahagia pada kedua orang tuanya.
"Nggak apa, Mam. Naluri istrinya mungkin lagi menguasai diri." Nolan baru memalingkan pandangan dari Sea setelah ibu mertuanya bicara.
Sea bahkan enggan mengantar Nolan ke dalam taksi, ia hanya berdiri di teras tanpa melambai dan hanya memasang wajah masam. Sudah cukup main-mainnya, Mas. Aku juga bisa balas semua kelakuanmu.
Sea mulai kembali menata diri dan hati setelah kekesalan pada Nolan beberapa hari lalu memuncak. Ia pun meminta maaf pada Zarin atas pesan yang disampaikannya pada wanita itu. Zarin jelas memaklumi, bahkan ia tak tinggal diam dengan memberi tahukan kabar itu pada Rasi.
Malam ini, Zarin sengaja mengajak Rasi bertemu untuk membahas soal novel Sea. Keduanya berjumpa di warung tenda yang menjual bubur kacang hijau.
"Sea punya masalah hidup apa, sih?" tanya Zarin sambil menikmati bubur kacang hijau yang uap tipisnya masih mengepul.
"Masalah apa? Gue rasa dia baik-baik aja," sahut Rasi lebih memilih menikmati kopi hitam. Sebatang rokok di tangannya sesekali ia sesap.
"Dia nggak baik-baik aja, Rasi!" tekan Zarin.
Rasi menyesap dalam rokoknya, lalu menyemburkan asap ke udara membuat Zarin mengibaskan tangan di depan wajahnya. Zarin kesal.
"Untung ganteng, lu, kalo nggak gue tendang. Berani-beraninya ngerokok depan gue!" umpat Zarin.
Rasi tertawa, menggilas rokoknya yang masih setengah ke atas asbak. Ia kemudian menyesap kopi, terasa pahit saat menyentuh lidah tetapi begitu manis saat melewati kerongkongan.
"Dia, kan baru punya anak, kena syndrom babby blues kali," terka Rasi.
"Elo sebenarnya tahu sesuatu, tapi, nggak mau kasih tahu ke gue." Zarin mendengus lalu lekas menyuap kembali bubur kacang hijau, khawatir makanan itu dingin sebelum ia menghabiskannya.
"Elo ajak gue ketemu sebenarnya mau ngomongin apa? Bahas novel Sea ya bahas aja, nggak usah selidikin masalah pribadi dia," cetus Rasi, tangannya kembali mengambil sebatang rokok tetapi baru akan ia sulut Zarin gegas menangkap pergelangan tangan Rasi.
"Please, gue nggak kuat asap rokok, Ras." Mata sendu Zarin bertubrukan dengan mata bermanik coklat milik Rasi.
Rasi segera menarik tangannya yang dipegang Zarin sambil memalingkan pandangan. Ia tak suka diatur-atur.
"To the point aja, mau bahas apa?" sentak Rasi pada akhirnya.
"Ya elo coba deketin Sea, gue sih nangkepnya dia itu susah dikasih kritikan. Mungkin dengan elo baca tulisan dia, terus kasih dia saran secara langsung bisa nyentuh hatinya," papar Zarin, kemudian ia juga bilang soal kritik dan sarannya untuk tulisan Sea nanti Zarin sendiri yang akan mengirim ke nomor Rasi via pesan.
Di lain hari, ada tumbuh kembang An yang pesat, membuat siapa saja gemas dengan anak itu. Keceriaan An satu-satunya peluruh resah dan lara bagi Sea. Tawa renyah An adalah obat mujarab yang tak bisa dibeli di toko manapun. An kekuatan terbesar Sea untuk tetap berusaha bahagia.
Namun, prasangka yang terlanjur memupuk dalam benak membuat Sea tak bisa menahan diri untuk mengetahui ada hubungan spesial apa antara Bellin dan sang suami. Hal itu membuat Sea memutuskan untuk pergi ke rumah sakit dan menemui sang dokter gigi secara pribadi.
Kebetulan Bellin sedang istirahat ketika Sea tiba di rumah sakit. Suasana canggung mengisi seluruh ruangan yang baunya didominasi oleh aroma obat dan disinfektan tersebut.
"Aku nggak mau berbelit-belit, Bell, langsung ke intinya aja." Sea menjeda kalimatnya, mengambil napas dalam, berharap ketenangan masuk bersama udara yang dihirup.
"Beberapa hari lalu aku lihat suamiku masuk ke sini," ucap Sea memberanikan diri menatap iris mata Bellin yang berwarna hijau. "Ada hubungan apa kamu sama Mas Nolan, Bell?" selidik Sea selanjutnya.
Bellin tampak tenang, ia memutar-mutar kursinya dengan santai. "Kenapa nggak kamu tanya langsung ke Mas Nolan, saja?"
Sea memalingkan wajah, tersenyum kecut mendengar wanita lain menyebut suaminya dengan sebutan Mas. "Kamu pasti tahu gimana keadaan rumah tanggaku sama Mas Nolan?" sinis Sea, kali ini enggan menatap wajah Bellin.
"Apa yang kamu pikirin tentang aku sama Mas Nolan?" Bellin malah balik bertanya yang membuat darah Sea mendidih ke ubun-ubun. "Firasat seorang istri katanya paling kuat, kan?" lanjut Bellin setengah berbisik.
Sea menggeleng, mencoba membuang pikiran buruk. Tidak mungkin Nolan seperti itu dan Bellin sepertinya terlalu barbar untuk membuat Nolan tertarik. Sea berusaha menepis prasangka dalam diri, membujuk hati agar tak meluaskan tuduhan tanpa bukti.
"Sudahlah, nggak ada gunanya ternyata aku nemuin kamu!" kesal Sea lalu pamit dan gegas pergi meninggalkan ruangan Bellin.
Bellin beranjak dari duduk, ia keluar dari ruangan dan diam-diam mengikuti langkah Sea hingga ke tempat parkir. Ternyata Sea membawa mobil sendiri, perempuan itu memang sangat menarik dan cantik. Entah apa yang membuat Nolan tega membohongi Sea selama ini, begitu benak Bellin memupuk tanya.
Baru saja berbalik, Bellin tiba-tiba disenggol seseorang tepat di bagian bahunya. Wanita itu meringis menahan sakit.
"Aduh! Jalan tuh pake mata!" umpat Bellin kesal, tanpa mau menatap lawan bicaranya dan memilih pergi tetapi samar-samar ia masih bisa mendengar suara si penabrak yang berkata, "di mana-mana jalan pakai kaki, Neng, bukan pakai mata. Cantik-cantik galak bener, kepincut pesona Abang baru tahu rasa."
Seandainya sendiri saat sampai rumah langsung memasak nasi tim untuk An. Ia berusaha menyibukkan diri agar Nolan tak mengganggu pikirannya.
Malam makin larut, sedangkan Sea masih betah di teras rumah membiarkan An di kamar hanya ditemani mama. Saat itulah Rasi tiba dengan cengengesan khasnya.
"Sea, boleh duduk buat bicara bentar, nggak?" izin Rasi takut-takut jika Sea mengamuk.
Sea mengangguk, sepertinya ia sedang enggan berdebat dengan Rasi. Embusan angin malam jelas dingin menerpa kulit, Sea mengeratkan switer yang dipakai mengharap hangat merambat pada diri.
"Diam-diam aku baca tulisan-tulisan kamu, Sea," aku Rasi membuat Sea memandang wajah pria itu. "Penasaran aja sama isinya, meski sebenarnya aku nggak hobi baca."
Sea tertawa. "Ada juga ya cowok yang mau baca tulisan receh begitu."
"Mau di kasih komen, nggak?" tanya Rasi serius.
Sea tak lekas menjawab, ia malah meremat dada kiri yang selalu terasa sakit manakala nama Nolan memenuhi rongga-rongga hatinya. Mas, bolehkah aku membagi seluruh sakit ini dengan Rasi? Adikmu sendiri.
Namanya Rasi bagus ya ...
Comment on chapter TAMAT