Read More >>"> Cinta (Puisi dan Semi Novel (Cinta Rebecca 4) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta (Puisi dan Semi Novel
MENU
About Us  

“Yah, tentu saja boleh – kenapa tidak?” kata Yetsin pada tamunya itu seraya ia memanggil Auric. “Kemarilah, Auric, dan panggillah isterimu untuk kita bersama-sama makan minum di sini.”

 

Auric dan Yella pun datang memenuhi panggilan Yetsin dan mereka bergabung dengan para tamu Yetsin di ruang tamu besar itu. Auric dan Yella menyalami semua orang yang hadir di sana dengan sopan dan etikanya. Mereka bersulang bersama-sama.

 

“Pasti menyedihkan bagimu saat terkenang pada masa lalu, dan betapa malangnya nasibmu sekarang ini,” ujar tamu itu membuka pembicaraan.

 

Auric hanya tersenyum dan berkata, “Jika kau berkata tentang kebahagiaan dan ketidakbahagiaan, kalian mungkin tidak akan percaya. Lebih baik bertanyalah pada isteriku Yella. Ia adalah seorang perempuan yang kutahu jujur dan tulus – apa yang ada di hatinya itu pulalah yang keluar dari lidahnya.”

 

“Baiklah, berceritalah padaku tentang kebahagiaan masa lalumu dan kemalanganmu kini, Yella.”

 

“Selama pernikahanku dengan Auric, kami mencari kebahagiaan dan gagal menemukannya selama itu. Kini, selama setahun lebih di sini bersama Yetsin – ketika kami tak memiliki apa-apa serta hidup sebagai pekerja upahan, kami justru merasakan menemukan ketenteraman dan kebahagiaan sejati; dan sekarang, tidak memerlukan apa-apa lagi dan tidak juga berusaha mengejar apa yang telah kami tinggalkan itu sebelumnya.”

 

Para tamu itu semuanya keheranan, begitu pula dengan Yetsin yang baru mengetahui dengan jelas akan cerita yang dikemukakan oleh Yella itu; dan Yetsin bahkan kemudian bangkit dari duduknya dengan mendekatinya untuk memandang lebih jelas lagi pancaran kejujuran Yella itu. Namun, ketika itu, yang dilihat Yetsin adalah pandangan dan senyum Yella yang ditujukan kepada Auric dengan segala kecerahannya.

 

Yella, kemudian melanjutkannya, “Aku berkata benar dan sejujurnya dan tidak terpikir olehku untuk bersenda-gurau. Bukankah itu keliru bila bicara bohong di depan umum, apalagi di hadapan majikanku sendiri? Apakah untungnya bagiku? Terus terang, ketika kami kaya – kami tak menemukannya dan kini, hingga hari ini, kami merasakan dan menemukan itu semua.” Senyum Yella makin mengembang dan binar cahaya di matanya pun semakin gemerlap sinarnya.

 

“Namun, apa yang sesungguhnya membuat kalian bahagia sekarang ini?”

 

“Ketika kami kaya-raya, kami tak pernah merasakan ketenangan, ketenteraman, dan kedamaian. Tak ada waktu untuk bercengkerama, bercakap-cakap, berdiskusi, atau berpikir tentang jiwa kami, tentang batin yang diisi dan berdoa kepada Tuhan. Kami punya banyak kecemasan, kekuatiran, dan banyak masalah yang tak terselesaikan oleh alam pikiran kami yang selalu mencernanya dalam analisa dan menduga-duganya saja. Jikalau, kami kedatangan tamu, kami selalu cemas dan kuatir bahwa mungkin kami tidak dapat menjamunya dengan baik. Kami juga cemas dan was-was, manakala tak memperlakukan para pekerja kami dengan benar. Kami kuatir dan sedih dengan keadaan anak-anak kami yang ada di kota lain yang jauh dari Ta Si ini. Banyak hal lain yang kami pikirkan dan tak terselesaikan. Kami takut berdosa. Juga, jika hendak tidur – kami cemas jangan-jangan hewan ternak kami dimakan binatang buas dan terkena wabah penyakit. Setiap malam, tidur kami terasa tidak nyaman dan tenang serta tidak bisa nyenyak. Kecemasan, kekuatiran yang satu datang silih berganti. Kami masing-masing tidak dapat menguasai pikiran dan ego kami. Waktu itu, kami belum bisa menempatkan diri bahwa semua harta yang kami miliki itu adalah titipan Tuhan, dan hidup di dunia ini adalah sementara. Manakala, datang kematian dan ketika kami dipanggil pulang oleh Sang Pencipta. Ketika itu, kami sungguh belum meyakini arti dan tujuan hidup utama manusia tercipta di dunia ini dan apa yang kami lakukan juga tidak banyak menyentuh dengan Hukum-Hukum Alam yang sesuai kodratNya. Oleh karena itu, kami seringkali berselisih paham, seringkali kami tersinggung dan lima emosi kami berjalan secara duniawi.”

 

“Lalu, sekarang?” tanya mereka, sambil memandang kami dengan mata tanda tanya.

 

“Kini, kami bangun pagi bersama dan berbicara dari hati ke hati dengan segala cinta kasih, kasih sayang dan selalu berusaha agar masing-masing bisa berdamai dengan hati kami sendiri. Kami dapat berbicara panjang lebar dengan kelembutan; setiap kami bertemu pun, kami saling bertegur sapa dalam salam. Tak ada perselisihan lagi, tak ada pertengkaran, tak ada yang perlu dicemaskan dan dikuatirkan lagi, tak ada salah paham di antara kami selama di sini. Setiap malam dan setiap ada kesempatan, kami selalu menghayati Tuhan, bersyukur tanpa harus meminta apa-apa lagi pada Tuhan, dan berkata bahwa kami berterima kasih serta tidak berkata salah atau bertindak keliru. Bersyukur bahwa kami boleh hidup di dunia ini. Bahkan, ketika kami merasa bahwa hari-hari kami untuk makan minum tercukupi, maka kelebihan yang sedikit itu kami berikan kepada mereka yang membutuhkannya; barangkali ada manfaatnya bagi mereka yang membutuhkannya. Dengan begitu, semakin banyak juga kami memiliki saudara dari sebelumnya. Di sini, kami hanya perlu melayani majikan kami Yetsin dengan baik. Kami bekerja keras sebisanya dan benar-benar jujur, agar tidak mengecewakan Yetsin. Kami juga selalu berpikir tentang jiwa kami dan kami sungguh-sungguh menikmati semua itu. Ternyata, kebahagiaan itu terletak tidak jauh dari kami; ia ada di batin kami sendiri. Kalaupun itu jauh, yah!; jauh di dasar hati, di dasar kalbu hati nurani terdalam. Ternyata, cinta kasih, kasih sayang, dan damai itu ada di hati kami sendiri.”

 

Kami sekalian pun tertawa; kami sekalian pun tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran dan hati masing-masing, tetapi inilah kenyataan hidup yang kami alami. Yetsin, kemudian menyela, “Jangan tertawa, Sahabat-sahabatku. Ini bukan lelucon. Ini adalah kenyataan hidup yang dialami Auric dan Yella. Aku sangat memercayainya. Inilah kehidupan yang juga baru aku sadari dan kuketahui betapa indahnya – bahwa Inilah ‘Kehidupan yang Sesungguhnya’. Kami juga begitu bodoh dan menangis, ketika kami kehilangan kekayaan dan lainnya. Hari ini, kini - melalui Auric dan Yella, Tuhan telah membukakan kebenaran bagi kami sekalian.”

 

Tamu itu pun juga berkata, “Betapa bijaknya perkataan itu dan pengalaman hidup kalian. Semua yang dikatakannya itu adalah benar adanya dan tertulis dalam kitab-kitab suci dari agama yang benar.”

 

Mereka mulai merenung dan berpikir. Saat itu, oleh Auric dan Yella – aku diperkenalkan pada anak salah seorang tamu yang bernama Ray Tang. Kami terlibat dalam percakapan yang sangat akrab, seolah-olah sahabat karib lama saja. Ray sangat supel dan familiar dalam menguasai setiap pembicaraan. Ray, kemudian berjanji, bahwa jika ada kesempatan, ia mau berkunjung ke tempat tinggalku di Hau Tung. Hari ini, aku pamit pada Auric, Yella, dan juga Ray Tang; dan kami saling menghormat memberikan salam perpisahan.

 

Aku pun juga merenungkan ketika menuju tempat lain setelah melihat keadaan Auric dan Yella, betapa aku berhasrat menyaksikan keindahan dunia cinta kasih, kasih sayang yang lain lagi. Saat ini, ku-ayunkan langkah kaki tanpa arah dan aku menikmati keindahan matahari terbenam, serta arsitektur kebudayaan yang terpelihara baik di Kota Pelabuhan Cijin dan pemandangan romantis di Sungai Cinta. Pemandangan alam Sungai Cinta (Love River) ditambah dengan keindahan kota, memberikan nuansa suatu pemandangan yang luar biasa menariknya. Perahu Cinta untuk mengelilingi sungai sambil menikmati pemandangan kota Kaoshiung juga menarik hatiku. Kedai kopi di luar ruang yang menyajikan musik romantis merupakan tempat yang tepat untuk menikmati angin sepoi senja di sungai ini. Kuhabiskan waktuku hingga petang berganti senja malam. Dari kejauhan, kulihat sosok nelayan mengangkat hasil tangkapan mereka. Kabut tebal masih terlihat mengambang di pelataran dermaga.

 

Ketika aku masuk ke kamar penginapan, hari sudah menjelang jam 21.00 malam. Kubuka mantelku dan aku bersiap-siap membersihkan diri dan pergi tidur. Kulemparkan badanku di ranjang penginapan dan kupaksa pikiranku meraih dunia mimpi. Tentang mimpi-mimpi perjalanan hidupku masa lalu. Namun, ketika pikiranku terus bergelut, mataku semakin tak dapat kupicingkan.

 

Kemudian, aku membuka koferku – Oh! Yah, di sana ada buku-buku terjemahan edisi bahasa Indonesia dari Naskah Anton VW & Cinde yang diberikan oleh Auric dan Yella ketika aku pamit di Ta Si dulu - yang dikatakannya untuk mengisi waktu hari senggangku agar tidak merenung dalam kesendirianku.

 

Beberapa bulan di rumah setelah kunjunganku pada Auric dan Yella di Ta Si, aku menerima kehadiran dari Ray Tang yang sesuai janjinya akan datang bertandang ke Hua Tung ini. Ketika itu, aku sedang duduk di teras sambil merenungi pengalaman-pengalamanku yang lalu.

 

“Selamat siang, Rebecca – kau sehat-sehat sajakah selama ini?” kata Ray dengan ramah.

 

“Oh, siang hari yang cerah sekali. Selamat datang di pondokku. Aku benar-benar segar bugar seperti apa yang kau lihat sekarang ini; mari silahkan masuk, Ray,” sambutku dengan riang.

 

“Ya, ternyata kau menyimpan sesuatu. Kuakui, kau adalah seorang gadis yang baik hati dan sopan santun,” katanya dengan santun sekali. Aku sudah bisa menebak apa yang akan dikatakannya itu; perubahan ini terjadi karena sekarang aku lebih peka terhadap lingkungan dan pengalamanku selama ini. Kemudian, kami terlibat dalam pembicaraan yang sangat intim, dan kutawarkan pada Ray untuk tinggal sementara di rumahku, karena ada beberapa kamar kosong yang bisa ditempatinya. Aku tidak menghendaki Ray tinggal di penginapan karena jarak tempuh penginapan cukup jauh dari kotaku ini. Segalanya cukup menyenangkan; aku sungguh merasakan kebahagiaan dengan adanya kunjungan Ray, dan ia cukup elegan, supel sekali, serta di luar dugaanku bahwa sikap Ray itu sesungguhnya sangatlah menyenangkan buat bercengkerama dan bertukar pikiran. Aku tahu bahwa Ray lebih dewasa tiga tahun dari umurku dan telah terjun ke masyarakat di kotanya. Ray memberitahukanku bahwa kunjungannya ini adalah dalam rangka cuti panjang tahunan selama 2 minggu dan ia akan memanfaatkan sebaik-baiknya untuk menikmatinya.

 

Hubungan kami semakin intim selama liburan Ray di pondokku dan banyak tempat indah yang aku perkenalkan dan pergi ke sana. Sebenarnya, sejak pertemuan kami di tempat Auric dan Hella dulu itu, setelah itu kami seringkali berkomunikasi, baik lewat surat, juga dengan telepon.

 

Dua hari sebelum Ray kembali ke Kaohsiung, samar-samar ia menyebut namaku, “Rebecca.”

 

“Tidak mungkin,” pikirku.

 

“Sayangku, Rebecca,” dengan lebih perlahan dan lebih mesra kali ini. Aku mendengar dua kata itu lebih jelas. Hatiku berdegup lebih kencang, diliputi kebahagiaan yang meluap. Sesungguhnya, aku memang menyukai sikap Ray sebelumnya, karena Ray itu hampir berperangai sama dengan penampilan dan cara bicaranya secara menyeluruh mirip dengan Edmund. Namun, memang Ray jauh lebih muda dibandingkan dengan Edmund sendiri.

 

Ketika perkenalan dulu itu, kukira Ray adalah jelmaan dari Edmund. Akankah ada kisah baru lagi setelah Edmund, sedangkan ketika Edmund wafat, aku sudah berniat untuk tidak lagi jatuh cinta dengan yang lain? Entahlah, hidup ini kadang-kadang sulit untuk diketahui apa yang mungkin terjadi esok hari.

 

Namun, perasaan yang sama juga masih tetap ada dalam diriku; aku tidak mengerti apakah aku berkhianat pada Edmund ataukah aku tidak setia dengan prinsipku. Perasaan demi pikiran lain terus berputar dalam pikiran dan khayalku. Namun, perasaan cinta itu terus menyerbuku dengan cabikannya yang menggemuruh dan melekat. Aku memang wanita yang lemah dan mudah goyang, tapi bagaimana mungkin aku dapat bersikap acuh dengan segala kelembutannya dan ketulusannya yang telah kulihat sendiri itu? Tembok bentengku memang lemah, dan aku tidak tahu kepada siapa aku harus bertukar pendapat mengenai ini. Hatiku goyah dan aku berpikir dengan keras, biarlah waktu yang menentukan sikapku kelak, biarlah semua berjalan sesuai air yang mengalir dan akan kuhadapi kenyataan hidup di hari-hari berikut.

 

Akhirnya, aku hanya tersenyum membalasnya seraya memandangnya. Ray kemudian melihat ke sekeliling. Lalu, menunduk dengan wajah merah bagai seorang gadis – tapi Ray masih bisa tersenyum juga ke arahku. Aku membalas senyumnya – mukanya berseri-seri karena perasaan bahagia. Ray sadar bahwa ia mendapat tanggapan baik dariku. Kini kami jadi setara. Ray, kini adalah seorang pria yang mencintai dan menghormati diriku dan aku seorang yang mencintai dan menghormatinya – meski itu aku tahu terjadi dengan begitu cepat sekali.

 

“Ternyata, apa yang kupikirkan dan renungkan selama ini tidak sia-sia; aku sungguh mencintaimu, Rebecca,” katanya dengan suara perlahan.

 

“Semua pria memang sangat mudah untuk mengatakan itu,” kataku ketika itu.

 

“Namun, rasanya, bagi laki-laki juga tidak mudah dan tidak perlu mengatakannya,” sergahnya dan kemudian melanjutkannya, “Namun, bagaimana seorang wanita tahu bahwa seorang pria mencintainya jika pria itu tidak mengucapkannya?”

 

“Dan sekarang coba katakan dengan jujur, pernahkah kau mengatakan pada seorang wanita sebelum ini bahwa kau mencintainya?” desakku, menanggapinya.

 

“Tidak, tidak pernah dan juga aku tidak akan pernah berlutut di kaki seorang wanita,” kata Ray sambil tertawa lucu.

 

Seusai makan malam, aku menghampiri piano dan ia mengikutiku dari belakang. “Mainkanlah sesuatu,” kata Ray, “Betapa aku ingin mendengar alunan piano yang kau lantunkan seperti yang pernah kau beritahu aku dulu.”

 

“Dengan senang hati, Ray,” kataku sambil membuka kap piano dan mulai memainkan “Sonata Quasi Una Fantasia” karya Beethoven. Ray begitu menikmatinya; dan ketika itu, kami pun saling bergantian bermain piano mengisi malam yang indah ini. Ray memainkan ‘Sonata Fantasia” karya Mozart dan mengajariku cara-cara menghayatinya. Sambil memainkan jari-jariku, sesekali aku menoleh antara sengaja dan tidak ke arahnya. Dalam ketemaraman lampu ruangan, aku melihat cahaya bulan di belakangnya, dan Ray memandangku juga dengan pesona matanya yang bersinar-sinar membalas senyumku.

 

Bulan telah semakin tinggi di langit ketika kami selesai memainkan sonata-sonata sentimental itu. Cahaya lampu kemudian tergantikan dengan cahaya rembulan yang keperak-perakan. Cahaya itu menembus jendela dan jatuh ke permukaan lantai.

 

“Lihatlah, betapa indahnya malam ini!” seru Ray dengan riang sambil menghadap dan memandang keluar jendela serta taman.

 

Kami ingin berjalan menuju taman. Malam ini memang begitu indah, rasanya aku belum pernah menyaksikan malam seindah ini. Bulan purnama yang mengembang di atas rumah membentuk bayangan atap, pilar, dan kanopi berandaku. Seluruh alam bermandikan sinar purnama dan embun malam yang berwarna keperak-perakanan. Sementara itu, bunga-bunga mawar merah dan putih yang kilau kemilau dan berembun tampak semakin jelas keindahannya.

 

“Mari kita berjalan-jalan,” ajakku. Ray setuju.

 

Kami berdua keluar dari ruang tamu dan seluruh dunia: langit, halaman, dan udara malam tampak begitu berbeda. Di depanku, setiap aku melangkah, seakan-akan ada tembok hitam yang tidak mungkin aku tembus. Namun, begitu kami melangkah maju ke arah tembok yang penuh keindahan itu, yang telah terbuka untuk kami, kami pun mengenali kembali halaman kami dengan pepohonan serta jalan-jalan setapaknya. Ray membuka jaketnya dan memakaikannya ke punggungku dengan perasaan sayangnya.

 

‘Kenapa ia menyia-nyiakan kesempatan emas ini? Begitu sulitnyakah baginya untuk meraih tanganku, menciumnya, dan mengatakan sekali lagi ‘Aku mencintaimu, Sayangku’?’ bisikku dalam hati. Aku ingin memeluknya, mendekapnya erat-erat. Namun, seketika itu, ada timbul sedikit keraguanku tentang cintanya kepadaku. Entah, ilusi apa lagi yang menggangguku ini, ataukah ini merupakan trauma dari masa laluku tentang Edmund? Namun demikian, kami pun tetap berbincang-bincang hingga ayam berkokok di pagi hari, dan tanpa terasa waktu telah menunjukkan jam dua dini hari.

 

Lusa, pagi-pagi sekali, Ray berkemas-kemas untuk kembali ke Kaohsiung. Kini, semua itu bukan hanya menjadi kenangan yang manis bagiku, melainkan sesuatu yang agung serta mempunyai arti khusus yang sangat penting bagiku. Aku merasa adanya dunia baru dalam diriku yang tidak dapat dipahaminya, suatu dunia yang lebih tinggi dari dunianya.

 

Pada waktu sarapan pagi, aku mengucapkan selamat jalan, dan Ray menjawabnya dengan ‘sampai bertemu lagi sesegera mungkin’. Ray juga mengatakan bahwa ia akan kembali nanti untuk menikahiku setelah ia berunding dengan ibunya; dan Ray pun melangkah dan melambaikan tangan setelah mencium tanganku dengan hangat. Aku berkesimpulan barangkali Ray sengaja cepat-cepat agar aku tidak kuatir dan hal ini akan menggelisahkanku nantinya.

 

Pada kedatangan Ray berikutnya, ia membawa serta ibunya. Ibu Ray adalah seorang yang sangat cermat dalam mengelola rumah tangga. Ray sangat mencintainya – bukan saja karena merasa hal ini merupakan kewajibannya sebagai seorang ibu, melainkan sebagai seorang ibu yang terpelajar dan wanita yang juga penuh kasih sayang. Beliau begitu baik terhadap kami, lebih-lebih kepadaku, dan merasa senang putranya akan segera menikah. Namun, di balik semua itu, aku menyadari bahwa ibu Ray itu ingin agar Ray mendapat pasangan yang lebih baik dariku. Aku dapat memahaminya dan setuju dengan pendirian beliau itu. Kami setuju untuk tidak menunda-nunda hari pernikahan. Ray sudah membeli semua perabot rumah pada rumah yang akan kami tempati di Kaohsiung.

 

Akhirnya, aku berangkat ke Kaohsiung dan menetap sementara di rumah ibu Ray sampai masa pernikahan kami berlangsung. Selama sebulan sebelum pernikahan, hampir setiap hari, aku dan Ray bertemu. Terkadang makan siang dan berbincang-bincang hingga larut malam.

 

Sehari menjelang pernikahan kami, udara menjadi cerah. Petang pertama musim gugur yang lembab, dingin, dan cerah - halaman tampak kelihatan bersinar. Malam itu, aku naik ke peraduan dengan perasaan penuh bahagia, karena pada hari pernikahan kami esok, udara pasti akan cerah.

 

Matahari baru saja terbenam ketika aku bangun dari ketiduranku karena kelelahan oleh kesibukan dalam mempersiapkan kebutuhan esok hari. Alam sekitar benar-benar diliputi cuaca permulaan musim gugur. Namun, aku diliputi rasa gundah antara percaya dan tidak, bahwa aku benar-benar hendak menempuh hidup yang benar-benar baru. Benarkah mulai hari ini aku akan meninggalkan kenalanku yang aku cintai, tetanggaku, … Edmundku, segala kenanganku di Hua Tung dulu? Benarkah esok nanti, aku harus tinggal di rumah baru yang telah disiapkannya itu, rumah yang penuh pilar-pilar beratap sirap dan taman bunga mawar merah dan mawar putih?

 

Aku menunggu kedatangan Ray dengan tidak sabar. Ray datang lebih awal dan barulah aku benar-benar yakin bahwa aku akan menjadi isterinya. Seketika itu, lenyaplah segala kesangsian yang merisaukan aku selama ini. Saat ini, aku merasa seolah-olah jiwa ayah dan ibuku melingkupiku dan memberikan restunya. Semua kenangan berbaur dengan harapan kebahagiaan dan rasa duka yang bermuara pada kekhidmatan emosi yang berpadu dengan kesyahduan alam.

 

Ray berjalan di sampingku dengan baju barunya, tenang tanpa bicara. Wajahnya menggambarkan rasa khidmat yang sama. Kemudian, Ray menoleh dan berkata, “Tak pernah terpikir olehku bahwa matamu hari ini demikian cemerlang binarnya. Sebelumnya, kulihat kadang-kadang begitu redup temaram dan sinarnya jauh dan dalam. Hari ini, aku begitu yakin bahwa kau milikku.” Pandangannya begitu tenang penuh rasa bahagia meneduhiku.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Premium
Bertemu Jodoh di Thailand
2019      1067     0     
Romance
Tiba saat nya Handphone Putry berdering alarm adzan dan Putry meminta Phonapong untuk mencari mesjid terdekat karena Putry mau shalat DzuhurMeskipun negara gajah putih ini mayoritas beragama buddha tapi ada sebagian kecil umat muslimnya Sudah yang Sholatnya Sudah selesai yang Sekarang giliran aku yaaku juga mau ibadah ke wiharakamu mau ikut yang Iya yangtapi aku tunggu di luar saja ya Baikl...
Behind The Scene
1116      450     6     
Romance
Hidup dengan kecantikan dan popularitas tak membuat Han Bora bahagia begitu saja. Bagaimana pun juga dia tetap harus menghadapi kejamnya dunia hiburan. Gosip tidak sedap mengalir deras bagai hujan, membuatnya tebal mata dan telinga. Belum lagi, permasalahannya selama hampir 6 tahun belum juga terselesaikan hingga kini dan terus menghantui malamnya.
ORIGAMI MIMPI
26140      2997     55     
Romance
Barangkali, mimpi adalah dasar adanya nyata. Barangkali, dewa mimpi memang benar-benar ada yang kemudian menyulap mimpi itu benar-benar nyata. Begitulah yang diyakini Arga, remaja berusia tujuh belas tahun yang menjalani kehidupannya dengan banyak mimpi. HIngga mimpi itu pula mengantarkannya pada yang namanya jatuh cinta dan patah hati. Mimpi itu pula yang kemudian menjadikan luka serta obatnya d...
Ketos in Love
751      454     0     
Romance
Mila tidak pernah menyangka jika kisah cintanya akan serumit ini. Ia terjebak dalam cinta segitiga dengan 2 Ketua OSIS super keren yang menjadi idola setiap cewek di sekolah. Semua berawal saat Mila dan 39 pengurus OSIS sekolahnya menghadiri acara seminar di sebuah universitas. Mila bertemu Alfa yang menyelamatkan dirinya dari keterlambatan. Dan karena Alfa pula, untuk pertama kalinya ia berani m...
The Eternal Love
18368      2651     18     
Romance
Hazel Star, perempuan pilihan yang pergi ke masa depan lewat perantara novel fiksi "The Eternal Love". Dia terkejut setelah tiba-tiba bangun disebuat tempat asing dan juga mendapatkan suprise anniversary dari tokoh novel yang dibacanya didunia nyata, Zaidan Abriana. Hazel juga terkejut setelah tahu bahwa saat itu dia tengah berada ditahun 2022. Tak hanya itu, disana juga Hazel memili...
Asmara Mahawira (Volume 1): Putri yang Terbuang
5055      938     1     
Romance
A novel from Momoy Tuanku Mahawira, orang yang sangat dingin dan cuek. Padahal, aku ini pelayannya yang sangat setia. Tuanku itu orang yang sangat gemar memanah, termasuk juga memanah hatiku. Di suatu malam, Tuan Mahawira datang ke kamarku ketika mataku sedikit lagi terpejam. "Temani aku tidur malam ini," bisiknya di telingaku. Aku terkejut bukan main. Kenapa Tuan Mahawira meng...
Gue Mau Hidup Lagi
340      212     2     
Short Story
Bukan kisah pilu Diandra yang dua kali gagal bercinta. Bukan kisah manisnya setelah bangkit dari patah hati. Lirik kesamping, ada sosok bernama Rima yang sibuk mencari sesosok lain. Bisakah ia hidup lagi?
HAMPA
360      245     1     
Short Story
Terkadang, cinta bisa membuat seseorang menjadi sekejam itu...
The Reason
8408      1617     3     
Romance
"Maafkan aku yang tak akan pernah bisa memaafkanmu. Tapi dia benar, yang lalu biarlah berlalu dan dirimu yang pernah hadir dalam hidupku akan menjadi kenangan.." Masa lalu yang bertalian dengan kehidupannya kini, membuat seorang Sean mengalami rasa takut yang ia anggap mustahil. Ketika ketakutannya hilang karena seorang gadis, masa lalu kembali menjerat. Membuatnya nyaris kehilan...
The Past or The Future
385      303     1     
Romance
Semuanya karena takdir. Begitu juga dengan Tia. Takdirnya untuk bertemu seorang laki-laki yang akan merubah semua kehidupannya. Dan siapa tahu kalau ternyata takdir benang merahnya bukan hanya sampai di situ. Ia harus dipertemukan oleh seseorang yang membuatnya bimbang. Yang manakah takdir yang telah Tuhan tuliskan untuknya?