Read More >>"> Cinta (Puisi dan Semi Novel (Cinta Rebecca 3) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta (Puisi dan Semi Novel
MENU
About Us  

“Coba, kau katakan sekali lagi dengan jujur,” kataku dengan nada jenaka. Meskipun demikian, ada semacam rasa bahagia mendengar ucapannya. Aku tahu Edmund selalu serius dalam menghadapi hidup ini.

 

“Akankah merupakan suatu kehancuran dan hari kiamat jika kau terpaksa terikat dengan seorang pria tua yang telah melewati masa mudanya dengan sia-sia seperti diriku, padahal kupikir di dalam benakmu masih terdapat banyak cita-cita untuk masa depanmu itu?” Aku merasa resah dan tak tahu apa yang harus kulakukan kala itu.

 

“Kalau kali ini aku meminangmu, apakah aku ini bukan pria yang kau idamkan? Ataukah bukan sesuatu yang kau kehendaki dengan permintaanku yang secepat ini?”

 

“Bukan, bukan itu maksudku,” tukasku cepat-cepat. ‘

 

“Aku ingin memastikan agar kau dapat mengulangi ucapanmu lagi sehingga aku sungguh-sungguh mempercayaimu,” kataku berolok-olok, meski ulangan kata keseriusan yang aku harapkan dari Edmund.

 

“Sejak dahulu memang kau ini aneh dan terkadang sulit diselami,” katanya kemudian.

 

“Selama kepergianku dulu itu, aku telah berpikir dan memutuskannya bahwa apabila pekerjaanku sedikit hampir rampung saja – kedatanganku di awal musim panas ini aku akan mengutarakannya kepadamu, Rebecca.”

 

Kemudian, aku menuju ke arah piano tuaku untuk menghindari tatapannya yang penuh pesona itu, dan aku yakin bahwa Edmund mengerti bahwa aku telah menyetujuinya. Lalu, kumainkan lagu ‘Sonata Penyair Cinta’ baginya. Belum selesai aku mainkan ‘Sonata Penyair Cinta’ pada baris akhir, tiba-tiba Edmund menghentikannya dan menutup toets di atas jemari tanganku.

 

“Jangan kau merusak kebahagiaanmu,” katanya, “Saat ini musik yang memenuhi ruang jiwamu lebih indah dari musik mana pun di dunia ini.”

 

Aku merasa bersyukur, tapi resah karena Edmund ternyata mengerti apa yang tersembunyi dalam hatiku dan tidak sabar menunggu kata-kata jawaban lamarannya itu. Memang, manakala kepergian Edmund beberapa waktu lalu, pernah suatu hari terpikir olehku, di mana adanya sedikit keraguan di hatiku. Ada rasa was-was dan kuatir yang tak tahu apa yang membuatku jadi demikian walaupun aku sendiri menunggu lamaran yang keluar sendiri dari kata-katanya itu. Namun, bagaimana pun juga, aku sangat menghargai kejantanan dan cintanya. Sebelum kedatangannya ini, aku berkesimpulan bahwa lebih baik aku menampilkan keindahan jiwaku daripada kecantikan fisik tubuhku. Demikian pula dengan pembawaanku, agaknya telah diketahui Edmund dengan baik dan dikaguminya. Namun, meski hanya sebatas kekaguman dan menurutku, itu belumlah berarti semurni-murninya cinta. Aku harus dan ingin menyiasati kenyataan ini. Aku harus mengembangkan jiwaku untuk meningkatkan penghargaannya terhadap diriku; dan ternyata, setelah itu, hubunganku dengannya menjadi lebih mulus, segera setelah aku menyadari semua ini. Aku tak lagi mengharapkan pujiannya terhadap penampilan lahiriahku.

 

Pada akhir musim panas, Edmund harus kembali ke Moscow untuk merampungkan sedikit sisa pekerjaannya dan memastikan bahwa tidak sampai pada musim panas berikutnya, pekerjaannya itu akan tuntas; dan ia akan datang untuk menikahiku. Betapa aku ingin memeluknya, mendekapnya erat-erat ketika ini. Selama ini, aku selalu berdoa dan berdoa dengan menundukkan kepalaku dengan khusyuk hingga dahiku menyentuh lantai. Saat ini pula, doaku rupanya terjawab. Aku merasa seolah-olah jiwa ibuku, ayahku, benar-benar melingkupi kami dan memberikan restunya.

 

Semua kenangan berbaur dengan harapan kebahagiaan dan rasa sepi yang seringkali bermuara pada kekhidmatan emosi yang berpadu-satu dengan kesyahduan alam. Wajahnya mencerminkan rasa khidmat yang sama pula. Tiba-tiba, Edmund menoleh padaku dan tampaknya ada ucapan yang ingin diucapkannya.

 

“Jangan-jangan, aku salah menafsirkannya,” pikirku. Akhirnya, Edmund berkata kepadaku, “Ayahmu pernah berpesan kepadaku, ‘Menikahlah dengan Rebecca, anakku!’ Tentu saja beliau berkata hanya main-main pikirku ketika dulu itu.” Edmund mulai mengatakan kenangannya bersama ayahku dulu.

 

“Betapa senang hatinya seandainya beliau masih ada,” kataku sambil mengeratkan genggamanku di jemarinya.

 

“Yah, saat itu, aku masih muda dan belum ada usaha apa pun,” katanya sambil menatapku. “Bagaimana mungkin aku dapat membahagiakanmu dengan kehidupanku yang miskin itu? Bukankah hanya dengan berkebun itu tidak dapat membuat kita pergi berkeliling dunia?”

 

Edmund lalu menambahkan ceritanya.

 

“Aku sering mencium matamu ketika kau masih kecil dulu; masih ingatkah kau akan kejadian itu? Tak pernah terpikir olehku sebelumnya bahwa matamu begitu berarti bagiku. Saat itu, aku memanggilmu ‘Mawar Merah’”.

 

“Ayo, panggil aku Mawar Merah sekarang.”

 

“Memang begitu maksudku semula,” katanya, “Saat inilah baru aku tahu bahwa kau milikku,” dan pandangannya yang tenang penuh rasa bahagia meneduhiku.

 

Kami berjalan perlahan dan melewati jalan-jalan yang diapit kebun dan ladang di bawah sinar matahari yang tidak terlalu panas. Di udara yang lenggang itu, suara kami seakan-akan terdengar sebagai satu-satunya, seperti suara yang ada di bawah kubah langit biru. Dalam keadaan yang seharusnya menggembirakan ini, aku merasakan sesuatu yang menakutkanku yang tiba-tiba saja menyergap khayalku. Kemudian, aku menahan langkahku dan berkata dengan terus terang pada Edmund, “Sampai saat ini, aku masih belum yakin sepenuhnya, apakah semua ini nyata bagi masa depanku kelak! Seringkali ada perasaan yang menghantuiku dan aku tidak tahu dan tidak mengerti apa yang menakutkanku itu. Barangkali hanya ilusiku yang mengganggu akibat masa laluku tanpa orang tua, entahlah,” kataku.

 

Edmund hanya berpikir sejenak, “Lupakanlah, Sayangku! Mudah-mudahan itu hanya ilusi dan anggap saja sebagai suatu mimpi buruk di siang hari,” jawabnya sambil meraih tanganku dan menciumnya.

 

Tanganku terkulai tak bertenaga, tapi perasaan mencekam itu masih belum lenyap juga. Oh, kenapa perasaanku jadi begini? Bukankah ini menghancurkan suasana kami?

 

“Yah, Edmund,” tapi aku berkata juga dengan lirih dan setengah bergumam. Ketika kata itu terucap, jantungku berdebar dan tanganku yang gemetar mencengkeram tangan Edmund dengan erat. Kemudian, Edmund pun memelukku erat-erat dan menepuk-nepuk bahuku untuk menghibur. Suatu gelombang panas menyapuku dan mataku pun mencari wajahnya dalam keremangan senja. Seketika itu, rasa takutku lenyap, tergantikan rasa cinta dan cinta yang hangat. Perasaan cinta yang kurasakan saat ini lebih perkasa, tapi terasa lebih lembut dari yang pernah kurasakan sebelumnya.

 

Di petang ini, dalam bayangan pikiranku, aku benar-benar miliknya dan merasa bahagia karena Edmund siap melindungiku dan tentu saja, dapat menjagaku suatu hari kelak.

 

Tiga bulan telah berlalu. Impian kami tanpa terasa sudah mendekati ujungnya meski belum tercapai sepenuhnya. Kami tidak sepenuhnya mengabdikan diri dan hidup penuh pengorbanan bagi sesama seperti yang kuangankan sebelumnya ketika kami berkata pada musim panas yang lalu. Sebaliknya, kami diliputi rasa ingin mencintai dan dicintai, rasa gembira yang seakan-akan tak kunjung berakhir. Kadang-kala, seolah-olah hanya kami yang ada di dunia ini.

 

Suatu hari, sekembalinya Edmund dari Moscow, aku melihat Edmund bertambah kurus serta wajahnya pucat sekali, dan tidak seperti waktu kita bertemu sebelumnya. Rupanya, Edmund terkena radang beku di seluruh badannya karena cuaca dan kerja yang tanpa pengawasan dokter yang baik ketika ia berada di Moscow itu. Naluri jahatku berkata, “Benarkah Edmund akan meninggalkan orang yang dicintainya dan mencintanya?”

 

Edmund seperti membaca pikiranku dan ia langsung berkata, “Lebih awal sekembaliku ke sini karena aku memang merasakan bahwa kehidupanku akan padam. Seringkali, aku merasakan kedinginan dan gelisah tak menentu, tetapi aku tak apa-apa ketika terakhir di Moscow itu. Hari berikutnya, aku merasakan sakitku bertambah parah dan aku mulai berobat ke dokter yang menganjurkan agar aku diopname saja. Namun, aku pikir sebaiknya aku lekas kembali ke sini. Sementara itu, aku semakin dekat dengan tepi jurang. Saatku semakin dekat dan kian dekat; dan inilah aku sekarang, bagaikan puing-puing, tak ada kehidupan dalam mataku. Yah, ada bayangan kematian; dan aku masih saja memikirkan penyakitku, sementara yang ada dalam benakku hanyalah kematian dan kematian; dan bila aku mati, maka aku ingin berada dalam pangkuanmu. Namun, apakah benar ini sungguh-sungguh akan terjadi?” katanya lirih dan terbata-bata. Jantungku berdetak semakin kencang dan ilusi lama yang buruk itu seperti kembali muncul dan menakutkanku.

 

Setelah itu, kami saling berdiam diri dalam alam pikiran kami masing-masing. Kalaupun aku melihat ada rona kesedihan di wajahnya, aku pun merasakan hal yang sama dan berharap bahwa cinta kami tak pernah akan padam.

 

Setelah dua hari Edmund di rumahku – kemudian Edmund kubawa ke rumah sakit terdekat. Kira-kira dua bulan lebih Edmund berada di rumah sakit dan setiap hari, aku datang menjenguknya karena antara rumah sakit dan tempat tinggalku tidaklah terlalu jauh jaraknya. Ketika itu, aku datang menjenguknya dan melihat Edmund terbaring semakin lemah di bangsalnya; dan tepatnya pada hari pertama di bulan ketiga ini, Edmund minta agar dipanggilkan pendeta. Ada perasaan yang menggeletar menggigit di hatiku – benarkah mulai hari ini, Edmund akan meninggalkan orang-orang yang dicintainya?

 

“Kau tak akan mati, bukan?” tanyaku lirih.

 

“Sesungguhnya, kita ini akan hidup selamanya. Suatu saat, kita semua akan dipanggil. Kumohon, Sayangku, berdoalah untukku,” ujar Edmund perlahan dan berusaha melanjutkan kata-katanya dengan suaranya yang biasanya lemah lembut itu. “Terima kasih, Rebecca. Selama ini, kau bersikap baik padaku. Kau tahu sekarang, ada baiknya memang kita tidak jadi menikah. Kalau kita menikah, itu akan percuma saja. Sekarang, dengan begini saja, semua tidak ada masalah bagiku.”

 

Edmund memandangku bagai musim-musim memandang ladang. Ia tersenyum dengan senyuman termanis yang baru kali ini kulihat.

 

“Semua laki-laki pasti akan mencintaimu untuk diri mereka sendiri. Aku mencintaimu untuk diriku sendiri.”

 

Jiwaku seperti terbang entah ke mana; aku hanya sanggup merenung dan berdiam diri. Kemudian, Edmund berdoa bersama pendeta, tetapi hanya dengan tangan dan hatinya. Dalam hatinya, mungkin dia berpikir bahwa kalau di dunia ini semua berjalan dengan baik, maka di atas sana semuanya juga akan baik-baik saja.

 

Edmund tidak banyak berbicara. Dia hanya meminta air putih dan tampak seperti keheranan atas semua yang dilihatnya. Kemudian, tampaknya, ada sesuatu yang membuatnya terkejut. Dia merentangkan kakinya lalu menghembuskan nafasnya yang penghabisan. Matahari telah tenggelam di matanya.

 

Aku melihat bayangan putih membawanya pergi menjauh - jauh sekali. Tak ada manusia mana pun yang berjalan seperti dirinya, meski ku tak tahu apakah bayangan putih itu adalah malaikat tanpa sayap. Apakah ini nafas yang terlahir dari kebunku yang bergerak ke Timur? Aku tidak tahu, aku tidak tahu!; dan mataku kabur tertutup oleh derasnya derai air mata.

 

Dalam hening dan isakku, aku masih sadar bahwa ada naga yang wafat dalam diriku dan aku tertinggal dalam kesendirian. Aku tahu bahwa aku harus kuat meski aku seorang wanita, karena aku adalah Rebecca, Rebecca, Rebecca … !; dan hari ini, aku berdiri mengenang laksana seorang musafir yang lelah, berdiri di tengah jalan pada jalan yang mendaki, dan aku menoleh ke sana kemari – namun, tiada melihat sesuatu pun dalam masa lampau kehidupanku yang dapat kubanggakan di hadapan matahari; dan Edmund tak kutemukan dalam musim dari tahun panen apa pun jua kecuali lembaran yang diwarnai dengan tetesan tinta hitam dan serta lukisan-lukisan dipenuhi dengan garis warna yang harmonis.

 

Bagaimanapun juga, setiap orang mengakuinya bahwa ‘Cinta Itu Memang Ada dan Nyata’ dalam kehidupan ini. Aku harus berkata pada diriku:

 

Inilah diriku, Rebecca.

Rebecca yang harus berani menghadapi tantangan hidup ini,

meski aku hanya sendiri.

 

Pagi ini, aku sampai di Ta Si, Taiwan Utara, untuk berkunjung dan melihat kondisi kesehatan Auric, mantan tetanggaku. Ia sering berkunjung pada ibuku dulu dan lebih tua usianya dariku. Kota Ta Si merupakan tempat pertemuan – kota budaya Taoyuan dan tempat tinggal bersejarah Li Theng Fang yang terkenal indah akan bunga-bunganya. Ta Si yang terkenal di antara area pegunungan dan dataran Selatan Taiwan Utara ini merupakan bidang tanah pertama yang makmur dengan kejernihan aliran sungainya.

 

Kususuri jalan kuno Ta Si yang memiliki bangunan tua abad ke-16 ini; di sini jelas menunjukkan kemakmuran daerah ini sebelumnya. Kerinduan akan persahabatan kami dengan Auric dan Yella telah membawaku kekediamannya.

 

Auric sekarang hidup sebagai petani karena ayahnya meninggal ketika Auric baru saja setahun menikah. Banyak peninggalan warisan yang mesti diurusnya. Aku tahu sejak lama bahwa Auric adalah seorang yang sangat ulet dan yakin dengan pengaturannya itu; sekarang ini, pasti ia akan menjadi lebih makmur lagi dan mendapatkan banyak keberuntungan.

 

Auric dan isterinya selalu bekerja dari fajar hingga senja hari. Ia bangun lebih awal dan tidur lebih lambat dari kebanyakan penduduk umum lainnya. Sekarang, mereka telah memiliki segalanya dan banyak tamu yang datang mengunjunginya dari jauh yang ada juga tak dikenalnya, tapi Auric selalu menyambutnya dengan pelayanan yang baik tanpa membeda-bedakan latar belakang mereka. Manakala yang datang cukup banyak maka seekor kambing atau kuda disuguhkannya.

 

Hidup memang terkadang tidak bisa selalu sempurna dan dengan kedua anaknya – Auric dan isterinya tidak cukup bahagia karena kedua anaknya itu tidak sejalan pandangannya untuk jadi penerus warisannya kelak. Anak-anaknya itu selalu saja berfoya-foya dan menghabiskan banyak sekali hartanya serta tinggalnya pun tidak mau di kota kecil seperti kota kecil di Ta Si ini.

 

Sejak kejadian itu, kesehatan Auric memburuk. Apalagi ketika terjadi gagal panen dan wabah ternak yang berselang beberapa bulan terakhir ini. Kemujurannya pun telah berakhir. Kian lama, keluarga Auric semakin miskin dan dengan terpaksa ia menjual semua harta miliknya, termasuk ternak, ladang – keluarganya benar-benar telah terpuruk dalam jurang kepapaan yang menyedihkan. Begitu juga dengan isterinya, Yella. Anak-anak mereka pun, sekarang entah ada di mana dan tidak menolongnya, bahkan tidak pernah sekali pun menjenguknya. Entah di mana mereka berada. Meski kerap kali Auric mencarinya, tapi Auric dan Yella tak pernah dapat menjumpainya, dan keberadaan mereka itu entah ada di mana sekarang ini.

 

Kini, Auric dan Yella – menumpang pada tetangganya dan bekerja untuk orang lain. Tetangganya itu bernama Yetsin yang jatuh iba pada mereka. Yetsin bukanlah seorang kaya, tapi ia hidup berkecukupan dan berwatak baik. Yetsin selalu teringat akan kebaikan-kebaikan Auric dan isterinya itu di masa lalu hingga akhirnya Yetsin membantunya dengan menyediakan rumah kecil sebagai tempat tinggal Auric dan isterinya itu.

 

“Tinggallah bersamaku, Auric. Bawalah serta isterimu juga. Bekerjalah di kebunku pada musim panas dan rawatlah ternak-ternakku di musim dingin. Aku akan mencukupi semua sandang dan panganmu berdua. Jika kalian perlu sesuatu – beritahukanlah kepadaku segera dan aku akan memenuhinya bila aku mampu,” kata Yetsin kepada Auric. Auric sangat berterima kasih atas perlakuan Yetsin sekeluarga dan Auric kemudian tinggal dan bekerja di sana.

 

Pada awal mulanya, memang terasa sulit bagi Auric dengan beban mental dan kondisi tubuhnya yang menurun itu, tapi lambat laun, ia dapat menyesuaikan diri dan terbiasa menjalaninya. Ia tahu apa yang harus dilakukannya dan dengan rajin bekerja seperti biasanya. Di balik semua kejadian itu, Yetsin diam-diam merasa bersedih atas kemalangan yang menimpa Auric dan isterinya itu.

 

Pada suatu hari, Yetsin menerima kunjungan tamu-tamu jauhnya dan seperti biasanya, ia pun melayani mereka dengan suguhan seperti yang dilakukan oleh Auric dulu. Ini merupakan tradisi Ta Si sejak turun temurun bagi warga peladang dan peternak di Ta Si ini; dan ketika Yetsin bersama para tamunya kemudian asyik duduk dan berbincang-bincang dengan akrabnya sambil memakan santapan hidangan yang disuguhkan tersebut. Ketika itu, Auric baru saja selesai dengan pekerjaannya dan berjalan melewati mereka. Para tamu di sana melihat Auric, kemudian Yetsin bertanya kepada mereka, “Apakah Anda melihat orang itu tadi?”

 

“Ya,” jawab salah seorang tamunya itu, “Memangnya kenapa, Yetsin?”

 

“Dulu, Auric adalah orang terkaya di kota Ta Si ini. Pernahkah anda mendengar nama Auric itu?”

 

“Aku belum pernah melihatnya sebelum ini, tetapi namanya cukup terkenal dan dikenal kawan-kawanku yang berkunjung ke Ta Si ini.”

 

“Kini Auric telah jatuh miskin dan tinggal bersama isterinya di rumahku dan juga bekerja padaku.”

 

Para tamu itu sangat terkejut sekali; mereka menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu berkata, “Oh! Ternyata memang benar. Hidup ini seperti juga roda yang berputar, terkadang berada di atas dan kadang kala pula berada di bawah. Pasti mereka sangat bersedih sekali ….”

 

“Oh, siapakah yang tahu tentang dirinya dan perasaan Auric? Saat ini, ia hidup tenang, tenteram dan damai. Ia dapat bekerja dengan baik dan kerjanya di atas rata-rata pekerja lainnya yang bekerja padaku. Auric bekerja dengan baik dan prima.”

 

“Bolehkah aku bercakap-cakap dengannya?” kata salah seorang tamu itu pada Yetsin, “Aku ingin bertanya tentang kehidupannya.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Premium
Bertemu Jodoh di Thailand
2020      1067     0     
Romance
Tiba saat nya Handphone Putry berdering alarm adzan dan Putry meminta Phonapong untuk mencari mesjid terdekat karena Putry mau shalat DzuhurMeskipun negara gajah putih ini mayoritas beragama buddha tapi ada sebagian kecil umat muslimnya Sudah yang Sholatnya Sudah selesai yang Sekarang giliran aku yaaku juga mau ibadah ke wiharakamu mau ikut yang Iya yangtapi aku tunggu di luar saja ya Baikl...
Behind The Scene
1116      450     6     
Romance
Hidup dengan kecantikan dan popularitas tak membuat Han Bora bahagia begitu saja. Bagaimana pun juga dia tetap harus menghadapi kejamnya dunia hiburan. Gosip tidak sedap mengalir deras bagai hujan, membuatnya tebal mata dan telinga. Belum lagi, permasalahannya selama hampir 6 tahun belum juga terselesaikan hingga kini dan terus menghantui malamnya.
ORIGAMI MIMPI
26145      2997     55     
Romance
Barangkali, mimpi adalah dasar adanya nyata. Barangkali, dewa mimpi memang benar-benar ada yang kemudian menyulap mimpi itu benar-benar nyata. Begitulah yang diyakini Arga, remaja berusia tujuh belas tahun yang menjalani kehidupannya dengan banyak mimpi. HIngga mimpi itu pula mengantarkannya pada yang namanya jatuh cinta dan patah hati. Mimpi itu pula yang kemudian menjadikan luka serta obatnya d...
Ketos in Love
751      454     0     
Romance
Mila tidak pernah menyangka jika kisah cintanya akan serumit ini. Ia terjebak dalam cinta segitiga dengan 2 Ketua OSIS super keren yang menjadi idola setiap cewek di sekolah. Semua berawal saat Mila dan 39 pengurus OSIS sekolahnya menghadiri acara seminar di sebuah universitas. Mila bertemu Alfa yang menyelamatkan dirinya dari keterlambatan. Dan karena Alfa pula, untuk pertama kalinya ia berani m...
The Eternal Love
18371      2651     18     
Romance
Hazel Star, perempuan pilihan yang pergi ke masa depan lewat perantara novel fiksi "The Eternal Love". Dia terkejut setelah tiba-tiba bangun disebuat tempat asing dan juga mendapatkan suprise anniversary dari tokoh novel yang dibacanya didunia nyata, Zaidan Abriana. Hazel juga terkejut setelah tahu bahwa saat itu dia tengah berada ditahun 2022. Tak hanya itu, disana juga Hazel memili...
Asmara Mahawira (Volume 1): Putri yang Terbuang
5055      938     1     
Romance
A novel from Momoy Tuanku Mahawira, orang yang sangat dingin dan cuek. Padahal, aku ini pelayannya yang sangat setia. Tuanku itu orang yang sangat gemar memanah, termasuk juga memanah hatiku. Di suatu malam, Tuan Mahawira datang ke kamarku ketika mataku sedikit lagi terpejam. "Temani aku tidur malam ini," bisiknya di telingaku. Aku terkejut bukan main. Kenapa Tuan Mahawira meng...
Gue Mau Hidup Lagi
340      212     2     
Short Story
Bukan kisah pilu Diandra yang dua kali gagal bercinta. Bukan kisah manisnya setelah bangkit dari patah hati. Lirik kesamping, ada sosok bernama Rima yang sibuk mencari sesosok lain. Bisakah ia hidup lagi?
HAMPA
360      245     1     
Short Story
Terkadang, cinta bisa membuat seseorang menjadi sekejam itu...
The Reason
8410      1617     3     
Romance
"Maafkan aku yang tak akan pernah bisa memaafkanmu. Tapi dia benar, yang lalu biarlah berlalu dan dirimu yang pernah hadir dalam hidupku akan menjadi kenangan.." Masa lalu yang bertalian dengan kehidupannya kini, membuat seorang Sean mengalami rasa takut yang ia anggap mustahil. Ketika ketakutannya hilang karena seorang gadis, masa lalu kembali menjerat. Membuatnya nyaris kehilan...
The Past or The Future
385      303     1     
Romance
Semuanya karena takdir. Begitu juga dengan Tia. Takdirnya untuk bertemu seorang laki-laki yang akan merubah semua kehidupannya. Dan siapa tahu kalau ternyata takdir benang merahnya bukan hanya sampai di situ. Ia harus dipertemukan oleh seseorang yang membuatnya bimbang. Yang manakah takdir yang telah Tuhan tuliskan untuknya?