CINTA DAN KEINDAHAN
Esensi cinta adalah keindahan. Keindahan memiliki berbagai tingkatan, mulai dari keindahan tubuh, pikiran, lembaga, ilmu, dan akhirnya keindahan mutlak. Keindahan adalah jembatan antara dua dimensi, yaitu dimensi material dan dimensi ideal, atau dimensi partikular, dan dimensi universal. Tidak hanya dalam cinta romantis ketika seseorang terpesona akan keindahan jasmaniah maupun rohaniah yang dicintainya, atau dalam cinta semesta di mana manusia terpesona akan keindahan dan keagungan alam, bahkan cinta ke-Tuhan-an pun diawali dan berpusat dalam garis batas keindahan.
DI DEPAN TAHTA KEINDAHAN
Pada suatu hari yang melelahkan, aku melarikan diri dari wajah-wajah kusam masyarakat dan kebisingan kota yang memuakkan, lalu berjalan ke arah lembah yang menyejukkan hati. Aku tergoda mengikuti aliran anak air dan senandung burung-burung sampai aku tiba di tempat yang dilindungi dahan-dahan pohon dari panasnya matahari. Aku berdiri di sana dan mereka itu semua menghibur jiwaku – jiwa dahagaku yang tidak melihat apa pun kecuali kesuraman kehidupan dan bukan kemanisannya. Aku masih tenggelam dalam pikiranku dan jiwaku mengembara di cakrawala ketika seorang bidadari dengan rangkaian daun-daun anggur yang menutupi tubuhnya yang telanjang, serta rangkaian bunga yang menghiasi rambut emasnya tiba-tiba muncul di hadapanku.
Ketika mengetahui keterkejutanku, ia berkata dengan lembut: “Jangan takut kepadaku, aku puteri dari rimba ini.”
Aku kemudian bertanya: “Bagaimana kamu bisa tinggal di suatu tempat seperti ini? Katakan padauk, siapakah engkau dan dari mana engkau berasal.”
Dia duduk dengan manis di atas rumput dan berkata: “Aku lambang alam. Aku perawan abadi yang selalu dipuja para leluhurmu; karena itu, mereka membangun altar, tempat suci, dan kuil di Baalbek dan Djabiel.”
Dengan berani, aku menyanyakan, “Tapi kuil dan tempat penyembahan itu kini telah rusak dan tulang belulang para leluhurku telah hancur menyatu dengan bumi; tak ada catatan yang tersisa tentang dewa pujaan mereka selain kisah pendek yang tidak jelas, terselip di antara buku-buku sejarah.”
Ia menjawab: “Sebagian dewa-dewa hidup dalam kehidupan para pemujanya dan mati bersama kematian mereka, tapi sebagian lagi hidup dalam keabadian yang tak terhingga. Kehidupanku ditopang oleh keindahan yang akan selalu kau saksikan ketika engkau mampu menenangkan dirimu, dan keindahan itu tidak lain adalah sang alam itu sendiri; dialah awal dari kebahagiaan para penggembala saat dia di tengah perbukitan, dan kegembiraan para penduduk desa di kebunnya, dan dari pengembaraan suku bangsa di antara gunung dan daratan. Keindahan ini membawa orang yang bijak ke hadapan singgasana kebenaran.”
Kemudian, aku berkata: “Keindahan adalah kekuatan yang menakutkan!”
Ia menjawab: “Manusia memang takut terhadap segala hal, bahkan diri kalian sendiri. Engkau takut kepada langit, padahal ia sumber kedamaian batin; engkau takut kepada alam, padahal ia tempat berdiam kedamaian dan ketenteraman; engkau takut kepada Tuhan kebaikan dan mengutuknya penuh kemarahan, padahal Ia penuh cinta dan kemurahan hati.”
Setelah berdiam diri beberapa saat, terbalut dalam impian yang manis, aku bertanya kepadanya: “Katakan kepadaku tentang keindahan yang oleh orang-orang telah diartikan tentang pengertian mereka sendiri-sendiri; aku telah melihatnya dihormati dan dipuja-puja dengan berbagai cara dan gaya.”
Dia menjawab: “Keindahan adalah apa yang menarik jiwamu, dan kepadanya, cinta diberikan dan bukan diminta. Ketika kamu menemukan keindahan, kamu merasa bahwa tangan-tangan terulur di kedalaman dirimu dan membawanya ke dalam jiwamu. Benda yang kurasakan ketika tangan terulur ke luar demi kedalaman dirimu. Dia rantai yang mempertalikan kebahagiaan dan kesedihan. Ia adalah kegaiban yang dapat kau lihat. Kekaburan yang dapat kau mengerti dan ketidakjelasan yang dapat engkau dengar – ia suci di antara hal-hal yang suci yang bermula di dalam dirimu dan berakhir di luar ujung terjauh khayalan duniawimu.”
Kemudian, sang puteri rimba itu menghampiriku dan meletakkan tangannya yang wangi pada pelupuk mataku. Ketika ia telah pergi, maka aku pun seorang diri di lembah itu. Ketika kau menengok ke arah kota yang kesemrawutannya tak lagi membingungkan, aku ulangi kata-katanya: “Keindahan adalah apa yang menarik bagi jiwa, kepadanya cinta diberikan dan bukan diminta.”
“Keindahan berakar pada hati yang terpesona dan hati yang berhasrat kepadanya, dan keindahan bukannya kebutuhan namun keterpesonaan; ia bukan mulut yang dahaga atau tangan yang terjulur hampa, tapi hati yang terbakar menyala dan jiwa yang terpesona.” (Kahlil Gibran)