KITAB SATU
Ketika aku mampu berdamai dengan hatiku sendiri, dengan batin kalbuku di dalam,
aku mengalami suatu sinar dan suara surgawi yang ada di dalam diri.
Di ruang suci itulah kutemukan bait kedamaian.
Aku tidak berharap menjadi tokoh maupun idola, juga tak berharap buat menjadi nabi, legenda, para suci, atau apa pun yang dihormati di sekeliling, karena aku adalah aku – seorang Cinde yang sederhana dan terkecil.
Matahari dan rembulan mempunyai waktunya sendiri, musim-musim mempunyai batasannya sendiri.
Cuaca, angin, dan keadaan selalu berubah-ubah.
Aku selalu duduk terbuai dalam lantunan sinar dan irama di dalam diri.
Aku adalah pencinta cinta kasih, kebenaran, dan kedamaian.
Sejak aku mengetahui KemuliaanMu,
aku tidak dapat mencintai benda-benda duniawi apa pun di dunia ini,
karena aku adalah Cinde yang punya mimpi-mimpi indah akan damai sejahtera di bumi,
di mana semua orang, semua bangsa di dunia, bergandengan tangan serta tersenyum bersama, dan kita semua mempunyai kewajiban ke arah itu.
Saling bercintalah, tapi jangan membuat belenggu dari cinta.
Biarkanlah cinta seperti air yang lincah menjelajah di antara pantai dua jiwa.
Saling isilah gelas minumanmu, tapi jangan minum dari gelas yang sama.
Saling bagilah rotimu, tapi jangan makan dari piring yang sama.
Bernyanyilah dan menarilah bersama, dan bersuka citalah.
Hanya, biarkanlah masing-masing dalam ketunggalannya.
Bahkan, masing-masing tali harpa memiliki ketunggalannya,
walau mereka berdendang dalam lagu yang sama.
Berikanlah hatimu, tapi jangan saling menguasainya,
sebab hanya tangan kehidupan yang mampu menaunginya.
Tegaklah berjajar, tapi jangan terlalu berdekatan.
Bukankah tiang-tiang candi juga berdiri berpisahan?
Lagipula, pohon jati dan pohon cemara, masing-masing tiada tumbuh dalam bayangan yang lainnya?
(Kahlil Gibran)
Apakah engkau mengisi dirimu dengan kasih sayang?
Seseorang yang memandang cinta, hanya seperti seorang penghibur, dan menolak menerimanya sebagai majikan?
Akankah kau menerima sebuah hati yang menyayangi, tapi tak pernah memberi?
Membakar, tapi tak pernah meleleh?
Akankah kau merasa senang dengan jiwa yang menggigil di hadapan prahara, tapi tak pernah menyerah?
Akankah kau menerima seseorang sebagai sahabat yang tidak merupakan budak-budak dan tidak pula akan menjadi budak?
Akankah kau memiliki diriku tapi bukan menguasai?
Akankah kau akan mengambil tubuhku dan bukan hatiku?
Maka, inilah tanganku – genggamlah dengan keindahan tanganmu, dan inilah tubuhku – rangkullah dengan tangan kecintaanmu, dan ini bibirku – berkahilah dengan sebuah ciuman mendalam yang memabukkan jiwaku.
(Cinde)
Apakah gunanya sebuah sumur jika ada air di mana saja?
Jika akar nafsu keinginan sudah diputuskan, apa yang harus dicari seseorang?
Kesedihan atau penderitaan apa pun yang ada dan berbagai macam penderitaan di dunia ini,
karena adanya sesuatu kecintaan terhadap hal-hal yang ada itu.
Tanpa sesuatu yang dicintai, penderitaan dan kesedihan itu tidak akan ada.
Jadi, mereka bahagia dan bebas dari kesedihan.
Yang tidak mempunyai yang dicintai di mana pun di dunia ini,
karena bercita-cita untuk tidak bersedih dan tidak kecewa.
Jangan melekat pada apa pun di mana pun di dunia ini.
Makhluk apa pun yang lahir atau akan lahir akan berproses terus dengan meninggalkan tubuhnya,
tahu bahwa semua yang dimiliki seseorang harus ditinggalkan.
Orang bijak akan bersemangat menjalani kehidupan suci.
Apa yang dulunya ada, kemudian tidak lagi.
Apa yang dulunya tidak ada, kemudian ada.
Apa yang dulunya ada, tidak akan ada lagi,
dan sekarang pun tidak ada.
Para dewa dan sebagian besar manusia benar-benar terbelenggu oleh apa yang mereka anggap sebagai tersayang dan menyenangkan.
Lesu karena kesedihan ketika orang yang mereka sayangi wafat.
Mereka jatuh ke dalam kuasa raja kematian,
tetapi mereka yang waspada siang dan malam,
yang melepaskan apa pun yang dicinta,
kedatangan kematian yang begitu sulit di tanggulangi,
mereka telah mencabut akar kesedihan.
Hujan membasahi apa yang tertutup.
Hujan tidak membasahi apa yang terbuka.
Maka, bukalah apa yang tertutup,
sehingga hujan tidak akan membasahinya.
Mereka yang pikirannya kokoh tak tergoyahkan bagaikan batu karang,
tidak terikat kepada benda-benda yang menimbulkan keterikatan,
tidak marah oleh hal-hal yang menyebabkan kemarahan.
Bila pikirannya terolah demikian,
bagaimanakah penderitaan dapat mendatanginya?
Persis seperti arus yang diketahui,
dari kemilau yang berangsur-angsur memudar,
yang dipancarkan oleh besi yang dipanasi di perapian,
ketika besi itu dipukul pandai besi,
demikianlah tidak ada pemburuan arus,
bagi mereka-mereka yang telah bebas sempurna,
yang sudah menyeberangi banjir,
ikatan pada nafsu-nafsu indria,
dan mencapai kebahagiaan yang tak tergoyahkan.
Ada sebuah analisis dari Schuzt:
Sikap seseorang terhadap orang lain amat banyak bergantung pada apa yang sudah dialaminya di waktu lampau dalam menghadapi keadaan yang sama.
Gagasan ini dirumuskannya dalam sebuah dalil dalam sosiologi:
‘Nur das erlebte ist sinnvoll, nich aber das erleben’ (Bukanlah hal mengalami itu sendiri yang bermakna, melainkan apa yang dialami).
Sebab bukanlah arus kesibukan dan rangkaian tindakan itu yang memberi makna, melainkan refleksi berdasarkan apa yang telah terjadi di masa lampau. Karena itu, setiap makna selalu mempunyai sifat re-produktif dan replektif.
Makna yang telah tersedia di masa lampau ini menjadi semacam persediaan pengetahuan sebagai ikatan yang kemudian membuat tindakan sosial sehari-hari seakan-akan berlangsung otomatis, karena seseorang tinggal merujuk pada tipe-tipe pengalaman dan tipe-tipe tindakan yang tersedia dari masa lampau.