"Saguplo, tolong temukan Sinetra dan Eka! Biar aku yang urus di sini!"
Harimau itu menurut, beranjak mencoba mengendus bau Sinetra dan Eka.
"Enggak akan bisa mencari dua temanmu itu," kata Aji."Sekalipun masuk, pasti harimau kecilmu bakalan enggak bisa keluar." melompat, menendang Yudha. Yudha berbalik, menangkis kakinya, memutar badannya. Aji memutar badan menendang lagi. Dewa dan Samudra menyusul, mereka ikut menyerang.
"Lotus Bloom!"
Dewa menghentakkan tangan kanannya ke bawah, muncul beberapa kelopak Bunga Teratai berukuran raksasa ke arahnya. Dia melompat, Samudra melesat di belakangnya. Mengunci pergerakannya lalu menghentakkannya ke bawah.
Bruuak!
Timbul retakan dan asap menyeruak menjadi satu. Yudha jatuh terkapar. Kostum Garuda-nya kotor, merintih sakit. Samudra dan Aji melayang turun di belakang Dewa.
"Mana Gana?"
"Dia mencari kartu," kata Aji.
Saguplo berlari mengendus setiap sekeliling stadion. Menabrak Sena yang siap dengan membawa kamera. Harimau itu tiba-tiba mengendus sesuatu, tepat di antara salah satu jalan.
Pik!
Harimau itu merentangkan dua kakinya ke depan, mencakarnya cepat hingga robek memperlihatkan sesuatu lubang. Melompat masuk ke lubang menuju dimensi, berlari mengendus lagi menelusuri tempat itu.
"Guncangannya berhenti."
"Mungkin guncangan tadi dari atas."
"Bikin takut, deh... "
"Apa Yudha yang melawan mereka?"
"Yudha?"
"Dia tadi kan enggak ikut jatuh ke dalam portal. Cuma kita doang."
"Terus nasib kita gimana? Masa kita di sini terus?"
"Aku bilang tadi, kita harus menunggu pertolongan."
Sinetra menyerah.
"Enggak tahulah!"
Terdengar suara langkah kaki berlari menuju ke arah mereka—Saguplo datang.
"Itu..."
"Harimau?!"
Mereka melangkah mundur.
"Dari mana harimau ini datang?"
Saguplo melangkah mendekat, menubrukkan kepala ke kaki mereka bak kucing manja kepada majikan.
"Eh, dia jinak!" kata Eka.
Saguplo menubrukkan kepalanya lalu berganti menggelungkan badan. Sinetra membungkuk, mengelus kepalanya. Ia tertawa geli saat tangannya dijilat harimau kecil itu.
"Haha, geli! Kamu lucu ya? Kayak Molly! Kamu sini disuruh sama siapa?"
Saguplo berhenti menjilat, mata cokelatnya memandangi mereka, menggerung pelan.
"Aku enggak tahu gerunganmu," kata Eka. "Harimau ini pasti ada yang nyuruh."
Saguplo menggerung lagi.
"Kamu bliang apa? Mau main? Mau menolong kami?"
Saguplo menggerung, menjilati lagi.
"Kayaknya dia ke sini buat nolong kita..."
Eka ikut membungkuk.
"Kamu bisa mengeluarkan kami dari sini?"
Saguplo berhenti menjilat, mengangguk. Dia berdiri, muncul sinar menutupi badannya mulai membesar seperti bentuk harimau dewasa. Membungkukkan badannya sejajar dengan mereka. Mereka pun naik ke atas punggungnya. Dia berlari ke jalan masuk ke dalam dimensi tadi menuju lubang, melompat keluar dan lubang itu langsung tertutup rapat. Saguplo terus berlari. Sinetra duduk di depan melihat sosok Pahlawan Aruna—Margana, melayang turun di salah satu gedung olahraga. Tangannya meraih kartu Bumiratewu menyimpannya di Evolution Entity-nya.
Evolution Entity mereka kembali menyala. Sinetra mencoba berdiri.
"Kamu mau ngapain?!"
"Aku akan mencoba mendekatinya! Biarpun aku enggak berubah, aku bisa melawannya!"
"Jangan, Sine!" seru Eka, melarangnya. "Dia pakai wujud Pahlawan Aruna!"
"Aku tahu!"
Ia mencoba melompat disertai cahaya dari Evolution Entity namun ia tak berubah. Dua kakinya menapak miring di dinding gedung. Melompat lagi melewati pegangan besi, menendang pemuda itu.
Bruuak!
Margana terjungkal. Dia segera bangkit, membalas serangannya dengan tangan kosong saling menangkis dan menendang. Sinetra mencabut pedang-kalau di anime aslinya Nichirin. Mengarahkannya ke arahnya. Margana menangkis pedang itu seraya tertawa terbahak.
"Hahaha! Kamu memakai pedang kayu itu?" ejeknya.
"Gundulmu! Ini bukan pedang kayu! Tapi replika Nichirin!"
"Oh, kalau enggak salah, tampilanmu itu mirip sama anime yang sering ditonton adikku, Sena..."
Mata Sinetra terbelalak.
Sena?
Ia teringat pemuda yang tadi menolongnya.
Margana menepis pedangnya, meninjunya sampai terjungkal ke bawah. Eka buru-buru menyuruh Saguplo melompat. Ia menangkap tubuhnya cepat. Saguplo merentangkan dua cakar raksasanya menyerang Margana. Dia melompat menghindar, pipinya menggembung keluar semburan merah-api ke arah mereka.
Bruaash!
Margana pun mengeluarkan kartu Blumbangan, keluar lingkaran sihir dan terisap menghilang.
Saguplo melindungi mereka menggunakan pelindung di kepalanya terdapat kristal kuning mengkilat. Pelindung itu menghilang. Semua yang terhenti terkena mantra Penghenti Waktu, kembali seperti semula. Sena yang ditabrak Saguplo saat waktu terhenti, oleng mengenai kamera dan peralatan lain di depannya.
Bruuk!
"Aduh!"
Erza dan Maria menoleh, membantunya bangun serta mengembalikkan kamera dan meletakkan peralatan semula.
"Kamu enggak apa-apa?"
"I-iya," kata Sena, merintih sakit."Aku tadi ngerasa ada yang menyenggol..."
"Jangan-jangan pengunjung lain kali."
"Bukan! Kayaknya berbulu..."
"Berbulu?"
"Mana ada hewan berbulu di sini?" kata Erza."Yang ada kingkong di belakangmu," tunjuknya ke temannya yang lain memakai kostum Zeke dalam wujudnya sebagai Beast Titan di belakangnya Sena.
Sena menoleh, terkejut melihatnya langsung memeluk Maria.
"Maaf, menganggetkanmu," katanya, menggigit batang cokelat di tangannya.
Di belakang Erza, teman lainnya baru datang. Dia memakai kostum Mikasa Ackerman bersama temannya Annie Lockhart memakai wujud Female Titan membuat Sena terkejut lagi, memeluk erat Maria.
"Maaf, terlambat! Macet."
"Enggak apa, kok."
"Sudah foto?"
"Sudah, tapi dipaksa sama dia!"
Maria meringis.
Saguplo melompat, menurunkan mereka. Mereka turun.
"Terima kasih, Harimau," ucap Sinetra mengelus pelan kepalanya.
Harimau itu mengangguk lalu menghilang. Yudha menghilang menggunakan kartu Gapuran-menuju toilet, kembali ke wujud normal menghampiri mereka.
"Kalian ke mana saja?" tanyanya.
"Kami terkurung di dalam dimensi."
"Kenapa kamu?"
"Habis melawan Pahlawan Aruna... Hebat sekali dia..."
"Jadi kalian enggak berubah pas melawannya?"
"Sama sekali enggak. Tapi harimau tadi yang menolong kami di dimensi."
"Saguplo itu."
"Saguplo?"
"Iya, dia Called sama seperti Hanoman," jelas Yudha,"Kita kembali stan, yuk. Pasti yang lain nyariin. Badanku juga sakit, nih."
Mereka berjalan meninggalkan gedung itu. Mereka kembali ke stan tadi. Di sana juga heboh, terutama Aksa yang lebih dulu datang bersama Devian, teman band-nya dan Yamamato bersaudari.
"Aku enggak sadar. Tadi kayaknya kita terdiam seperti patung."
"Iya."
"Kayak tiba-tiba... Aku enggak merasakan apa-apa..."
"Aku juga."
Mereka melengok, melihat Yudha dan Eka, yang menggotong Sinetra.
"Kenapa Sinetra?"
"Kamu kenapa, Yud?"
Mereka duduk. Eka mendudukkan Sinetra pelan.
"Kami enggak apa-apa... Habis
jatuh..." kata Sinetra menutupi, melanjutkan makan.
Yudha melirik Aksa di meja sebelah terkekeh.
"Ada yang lucu?"
Di sela kekehannya menjawab,"Ada. Aku lihat tadi mulut siapa yang maju..."
"Mulut siapa yang maju?"
"Kamu tahu sendiri, kan?"
Aksa tampak bingung.
"Aku enggak ngerti maksudmu." tangannya meraih daftar menu. Sontak dirinya teringat sesuatu. Wajahnya merona malu.
"Tahu dari mana kamu Yudha Wijaya! Kalau aku kayak gitu? Kamu foto, kan?"
Di sampingnya, Devian dan teman band-nya tertawa.
Yudha menghentikan kekehannya.
"Ada lah! Nanti aku ceritaiin pas pulang dari sini. Hei, dibilangin namaku bukan Yudha Wijaya!" sewotnya, menyantap makanannya lagi.
Pemuda memakai headband batik Gatot kaca di sebelah meja mereka menoleh, sedaritadi menyimak pembicaraan mereka. Bocah kecil yang dipeluk sang gadis menatap yang ditatapnya. Dia berhenti menangis.
"Abang lihat apaan sih?"
Pemuda itu kembali menggigit paha bebek goreng, menggeleng.
Sambil menunggu pesanan Aksa dan lainnya, mereka melanjutkan obrolan sampai Yamamoto bersaudari menghabiskan masing-masing dua piring soto ayam karena mereka sangat lapar. Makanan Sinetra telah tandas, menunggu yang lain selesai makan. Menyeruput es tehnya. Beberapa menit, mereka beranjak meninggalkan stan dan masuk ke salah satu stan yang menjual berbagai aksesoris. Mereka sibuk memilih. Apalagi Eka heboh di depan rak aksesoris Harry Potter. Ia bingung memilih di antara syal rajut bermotif garis sesuai asrama di Hogwarts.
"Pilih mana ya?"
"Pilih sesuai seleramu," kata Sinetra, ikut melihat syal-syal rajut itu.
"Tapi semuanya bagus... Bingung pilihnya..."
"Harry itu di asrama Gryffindor, kan? Pilih saja syal ini." menunjuk syal bergaris merah-kuning berlambang singa.
"Enggak ah," Eka menolak. Ia mengambil syal hijau bergaris putih berlambang ular di tengahnya. "Ini saja. Kamu enggak nyari aksesoris buat oleh-oleh pulang?"
"Nyari. Tapi deretan aksesoris paling kanan masih di serbu."
Eka meraih gantungan kunci menyerupai Fire Bolt dan Nimbus 2000 di rak bawah, menyeret Sinetra ke arah deretan rak paling kanan. Menerobos kerumunan pengunjung yang heboh memilih.
"Pilih yang kamu suka."
Seorang anak kecil di belakang mereka menangis karena kalah oleh pengunjung lain. Mamanya mencoba meraih anaknya karena terdorong-dorong.
"Mau apa, Dek?"
Bocah kecil itu menunjuk ke
atas, menunjuk topi menyerupai kepala babi. Eka meraihnya, memberikannya lalu menggendongnya.
"Kamu tunggu di sini. Aku mau ke mamanya dia."
Sinetra mengangguk.
Eka menerobos kerumunan para pengunjung yang berdesak-desakan. Aksa berteriak karena sebagian pengunjung meminta foto bersama secara paksa. Jubah-nya tertarik-tarik bersama teman band-nya juga kecuali Devian yang berhasil membebaskan diri.
Yudha menunggu di luar. Gatra, Pranaja, Bumi bersama Yamamoto Bersaudari ke arah stan yang menjual oleh-oleh. Di sana, Erza memilih jajan yang akan di beli tapi dibayar oleh Maria.
"Kamu beli yang mana?"
Sena bingung memandangi rak berisi macam-macam snack.
"Cokelat ini mau, Bum?"
Bumi di pundak Pranaja mengangguk. Pranaja memasukkanya ke ranjang. "Kamu sudah dapat, Tra?"
Gatra memborong beberapa snack kentang di tangannya.
"Sudah. Yang ini buat anak kost
lain." memasukkannya ke keranjang. Mereka menghampiri kasir lalu membayarnya, keluar dari stan merenteng masing-masing belanjaan.
"Sudah, Bli?"
Gatra memperlihatkan kantong plastik di tangannya.
"Sudah. Kita tunggu teman Aksa,"
katanya, duduk di tempat duduk yang sudah disiapkan. "Mana Aksa sama dua temanmu?"
"Mereka masih di stan sebelah. Aku tadi mendengarnya berteriak karena pengunjung ada yang meminta foto."
Kembali ke Eka, bocah kecil itu masih digendonganya. Dia melihat mamanya yang terdorong-dorong. Eka menepis para pengunjung, membebaskan wanita itu.
"Terima kasih, Nak," ucapnya meraih anaknya dari gendongan Eka.
"Sama-sama, Tante."
Eka kembali menerobos di antara kerumunan pengunjung menghampiri rak paling kanan melihat Sinetra muram, karena tak mendapatkan aksesoris gantungan kunci berbentuk anting yang mirip dipakainya.
"Kamu kenapa?"
"Direbut gantungan kuncinya."
"Direbut sama siapa?"
"Cewek itu," tunjuknya ke gadis berambut panjang, terlihat dari cara bicaranya yang ngotot. "Kita pulang saja."
Mereka menghampiri meja kasir, Eka membayarnya lalu merenteng belanjaan.
"Nanti aku kasih gantungan kunci Nimbus 2000 deh," katanya mencoba menghiburnya.
Sinetra tersenyum getir.
Mereka menghampiri bangku di mana yang lain menunggu. Dea dan Dhanni keluar merenteng belanjaan. Keluar Erza dan Sena memborong tiga kantong plastik. Dia melihat Sinetra muram. Tangan satunya yang bebas membuka kantong plastik, menyodorkan dua snack kentang kepadanya.
"Nih," ujar Erza.
"Bu-buat saya?"
"Buat kamu. Bagi sama saudaramu ya." dia beranjak diikuti Sena.
"Aku pulang dulu, Bang," pamit Sena.
Mereka melangkah menuju ke area parkir.
Erza menoleh ke Maria,"Suwun ya, Manis!" berbelok ke arah mobil melayang-nya.
Maria menyusulnya bersama teman yang lain. Pipinya merona.
"Jarang banget tuh si Alzaki ngomong gitu ke cewek..." bisik temannya berkostum Titan Colossal diringi anggukkan temannya berkostum Mikasa Ackerman.
"Oom, kenapa tadi ngasih jajan ke Bang Sinetra?"
Erza diam sebentar.
"Enggak apa, Sen. Lagi pula apa salahnya kita berbagi?"
Pintu bergeser, dia memasukkan tiga belanjaannya. Pintu bergeser tertutup berganti pintu depan terbuka. Dia masuk. Sena masuk di samping kirinya. Erza memasukkan kunci ke lubang kunci. Dia teringat wajah Handoko, anak temannya, saat Handoko berusia sembilan tahun, yang berduka cita atas meninggalnya sang ayah karena kecelakaan. Mamanya saat itu sedang mengandung si kembar Hendra dan Hendri. Dia menghiburnya dengan memberinya cokelat. Mobil melayang meluncur meninggalkan area parkir menuju jalan raya.
Margana cs sudah kembali ke studio dengan wujud semula. Saat mereka pergi, mereka menggunakan duplikat mirip diri mereka agar Erza pulang tak curiga. Mereka beristirahat di ruang depan.
"Kalian tahu, aku tadi melawan musuh tapi dia enggak berubah seperti yang biasa kita lakukan," cerita Margana, menyelonjorkan kedua kaki.
"Bener, Ga?"
"Iya."
"Dia kayak apa?"
"Dia tadi pakai pakaian kayak karakter yang pernah ditonton sama Sena... Dia pakai anting..."
"Aku tahu siapa," timpal Samudra, membenamkan wajah ke bantal."Shikamaru!"
"Bukan, bukan itu..."
"Terus siapa?"
"Nanti kalau Oom Erza sama Sena pulang, aku tanyakan ke anaknya."
"Oh ya, sebelum mereka berangkat, Oom Erza pakai kostum karakternya siapa? Kayak pernah lihat aku... temanku pernah pakai buat profil WhatsApp..."
"Kenapa dia enggak berubah? Atau yang kamu maksudkan, dia yang jatuh tadi ke portal sihirku? Dua orang kalau enggak salah," kata Aji.
"Dua orang? Satunya kayak apa?"
Aji mengingat-ingat.
"Kalau enggak salah, dia pake kostum kayak penyihir."
"Apa mereka sengaja enggak berubah?"
"Enggak, Ga, kalau masuk ke portal sihir, enggak bakalan bisa berubah karena di dalamnya enggak ada daya."
"Gila kamu!"
"Tapi tadi mereka bisa keluar," kata Margana.
Aji terkejut.
"Keluar dari mana?" sahut Erza, masuk ke dalam merenteng tiga kantong plastik di belakangnya. Sena menyusul menggotong peralatan.
"Enggak keluar ke mana-mana," kata Aji, menutupi. "Acaranya sudah selesai?"
"Belum," jawab Erza meletakkan tiga kantong plastik itu di meja.
"Wah, Oom, habis belanja?"
"Iya, tapi dibayarin temanku. Ambil saja yang kamu suka." Beranjak ke ruang ganti. Sena, kembali memasukkan peralatan di Ruang Foto. Kembali lagi ke ruang depan, duduk di sofa. Margana melirik ke arah ruang ganti, kembali menatap adiknya.
"Sen."
Sena membuka satu di antara tiga kantong plastik, mengambil snack kentang, membukanya.
"Apa?"
"Kamu di acara tadi sama Oom Erza, selain karakter yang dipakai dia, ada?"
"Banyak! Aku tadi kenalan sama namanya Bang Sinetra terus bertemu sama Bang Yudha. Dia pakai kostum Sasuke," ceritanya.
"Yudha yang pernah kamu bilang itu? Terus Sinetra itu pakai kostum kayak apa?" Margana mulai tertarik. Di seberang meja, Aji juga.
"Dia pakai kostum mirip banget sama karakternya Tanjirou."
"Dia pakai anting?"
"Ya, dia pakai anting, dahinya ada tatonya. Ini lho," merogoh saku, memperlihatkan gambar di handpone-nya. Aji menghampiri ikut melihat.
Mata Margana membulat.
"Bener, dia!"
"Kenapa?"
"Eh, enggak." tangan Margana menggeser gambar berikutnya."Kalau ini aku tahu," tunjuknya.
"Itu Harry Potter."
Matanya membulat lagi.
"Abang tumben tanya itu? Bilang saja Bang Margana suka anime-nya." Sena menggigit keripik kentang.
"Cuma penasaran."
"Gitu ngejek aku!"
Margana meringis.
"Tahu enggak? Di sana tadi aku kayak disenggol sesuatu... Cepat, kayak berbulu."
"Kucing?"
"Kayaknya."
"Mana ada kucing di sana?"
"Beneran! Aku enggak bohong!"
"Kalau kucing, aku percaya Sen, misalkan itu harimau aku enggak percaya—harimau?" Margana dan Aji berpandangan.
Angkasa melayang ke ruang depan, dia menempel di pundak Margana. Dia menguap.
"Kamu baru bangun, Ang?"
Angkasa mengangguk pelan. Memandang tiga kantong plastik di meja.
"Ada cokelat, Ji?"
Aji merogoh kantong plastik, tangannya meraih Better.
"Cuma Better doang." memberikannya ke Margana.
"Mau?" tawar Margana, menunjukkannya ke robot hitam itu.
Angkasa mengangguk, meraihnya dari tangannya.
Erza keluar dari ruang ganti, menuju westafel membasuh mukanya dengan air. Selesai membasuh, mengelap mukanya dengan handuk kecil yang dibawanya dari rumah. Beranjak ke ruang depan. Duduk di samping Samudra yang sudah lebih dulu tertidur. Dia membuka satu kantong plastik lain. Meraih Tanggo. Melirik Samudra.
"Bangunin sudah, Oom."
"Biarin. Jarang-jarang kalian bisa tidur di sini."
**
Mereka melangkah menuju area parkir. Masuk ke mobil melayang Pranaja. Kali ini Aksa yang menyetir. Mobil melayang Yamamoto bersaudari dan teman band Aksa lebih dulu keluar. Sebelum pulang, Dhanni memberitahu kostum yang dipakai mereka bisa dikembalikan besok. Mobil melayang Pranaja melesat keluar menuju jalan raya. Yudha menceritakan mereka terkena mantra Penghenti Waktu lalu Sinetra dan Eka terperangkap ke dalam dimensi. Mereka terhenyak dari kursi, Aksa marah.
"Bisa-bisa dia ngasih mantra itu ke orang-orang—ke kita juga!"
"Awalnya kita enggak tahu. Tapi saat melihat sekitarnya, semua berhenti."
"Tapi, aku mengalahkan salah satunya dan membawa kartunya kabur," kata Sinetra.
"Berarti mantra Penghenti Waktu itu hebat, dong."
"Penggunanya juga hebat."
"Masa aku pulang pakai beginian?" protes Yudha, selesai bercerita. "Enggak ganti dulu, Bli?"
"Enggak usah. Lagian sudah jalan ini. Mau ganti di mana?" Gatra menggeser bantal yang dipakai Sinetra.
"Aku nanti diejek sama anak-anak di kost!"
Gatra menyangkal,"Enggak, Bagos, siapa yang ngejek kamu."
Mobil melayang masih melesat. Berbelok ke salah satu jalan, mobil melayang Yamamoto Bersaudari menuju perumnas sementara mobil melayang Pranaja melesat terus.
"Rumah kalian di mana?" tanya Aksa, fokus menyetir.
"Rumah kami?"
"Masih jauh dari Kota Cyborc. Mau ngapain?"
"Sekalian mengantar kalian pulang."
"Enggak usah! Kami nanti turun di halte Kota Pan, naik angkutan melayang," kata Sinetra.
"Kalau aku turunin di situ, kalian bakal dilihatin sama orang banyak."
Aksa menekan klason kencang, karena di depannya mobil melayang mengerem secara mendadak.
"Apaan sih mobil itu! Renting dulu dong kalau mau belok!"
Mobil melayang putih itu berbelok ke tempat kerjanya, Dewa berbelok ke area parkir, turun dari mobil melayang, buru-buru masuk ke kantornya—mengambil flash disk di meja.
"Untung, masih sempat," gumamnya.
Dia keluar dari kantor. Temannya menyapanya,"Lho, Wa, kok balik lagi?"
"Aku mengambil flash disk-ku yang ketinggalan," jawabnya."Kamu baru mau pulang?"
"Iya. Aku mampir ke kantin bawah sebentar, membeli nasi uduk buat makan malam. Kamu mau balik lagi?"
Dewa mengangguk. Berbalik, berpamitan kepada temannya meninggalkan gedung itu menuju area parkir, menaiki mobil melayang keluar. Terdengar sambungan hologram di depannya—Christine.
"Bang, nanti jemput aku sama Nanda. Di sini mendung," ucapnya.
"Iya."
"Abang di rumah?"
"Enggak. Ini di jalan. Tadi ke kantor sebentar, mengambil flash disk yang ketinggalan."
"Enggak pergi kayak biasanya?"
"Sudah, Chris. Nanti disambung lagi ya."
Pip!
Sambungan terputus di hologram itu. Dewa fokus ke depan melaju ke tempat tujuan. Seperti perkataan Christine, awan-awan mendung disertai suara gemuruh petir. Mobil melayang Aksa melesat memasuki Kota Pan, menyusuri pasar, kantor polisi, dan sekolah. Membelokkannya ke Jalan Anggrek, di depan jalan, Studio Alzaki berada, menuju kost pria. Memberhentikan mobil melayang Pranaja di depan pagar. Di kost itu hanya ada enam orang yang tinggal. Seorang pemuda melihat kedatangan mereka bergegas keluar membukakan pagar. Di dalam, tiga pemuda ikut melihat. Pintu bergeser, turun Gatra dan Yudha, mukanya ditutupi kedua tangan.
"Sasuke?!"
"Dudu, Sasuke. Iki Yudha," kata Gatra masuk ke teras, menoleh,"Terima kasih," ucapnya kepada Aksa.
Aksa tersenyum, melesat lagi ke arah jalan pintas.
"Tenane, Tra?"
"Iya!"
Mereka masuk ke dalam rumah. Tiga temannya lain terkejut. Dhonny, menyantap mie indomie ternganga.
"Jangan menatapku kayak gitu! Kayak enggak pernah lihat cosplay apa," celetuk Yudha merasa jengah.
Buru-buru tiga temannya menghampirinya. Gatra terdorong bokong Bagas sampai terjungkal ke karpet. Dia menyiapkan tongkat selfie, meletakkan handpone di atasnya. Empat pemuda itu bergaya. Yudha di tengah-tengah mereka. Kamera handpone memotret tak hanya satu tapi beberapa.
"Wis, wis!" seru Yudha merentangkan kedua tangan mendorong mereka menjauh.
"Sek talah, Yud!"
"Ayo, foto maneh!"
"Aku nggawe Bubunka no Jutsu lho!"
"Ora!"
"Geneya kok ora?"
"Aku kesel, Bang! Aku wis ndhek foto maeng!"
"Dilut wae."
"Emoh!"
Yudha berbalik menuju ke kamar mandi di dapur. Mereka langsung kecewa. Gatra bangkit, mengelus bokongnya yang sakit. Dia mendengus meninggalkan mereka ke kamar, melepas udeng batiknya, merebahkan diri ke kasur. Tiga temannya menoleh, melihat Gatra sudah tak ada. Yudha kembali beberapa menit dengan make up di wajahnya sudah hilang—kembali ke wajah seharusnya.
"Lha kok dibusek raine!"
"Dudu Sasuke maneh!"
"Ben." Yudha masuk ke kamar. Di kamar, terlihat abangnya sudah tertidur.
Dia melepas kostum-nya, mengganti pakaian yang dipakai saat berangkat ke rumah Yamamoto Bersaudari. Menaiki kasur bawah, mulai tertidur. Tiga temannya bubar menuju ruang tengah. Joko menatap kantong plastik itu penasaran dia membukanya ternyata berisi aneka camilan kentang.
"Wuih, isine jajan!" seru Joko, membuka salah satu keripik kentang itu.
"Endi?"
"Iki lho!"
Dhonny menghentikan menyantap mie-nya ikut mengambil bagian bahkan lebih.
"Oi, aja akeh-akeh! Sisane gawe Yudha karo Gatra!" Bagas memperingatkan.
Joko teringat.
"Oh iya, Gatra lak seneng karo kentang!" menatap dua kantong plastik itu sesama,"isine kentang kabeh! Dhon, iku nduwekku!" merebutnya dari tangan gemuk Dhonny.
"Oala, tithik wae..."
"Heh, nang tangane sampeyan iku apa? Lak jajan?"
Dhonny menatap lima bungkus snack kentang di kedua tangan dengan kecewa.
"Wis, meneng! Aku tak ngemplok iki," kata Joko mulai menyantap snack kentangnya sembari menyetel televisi di depannya. Dhonny duduk kembali, menyantap mie-nya. Wajah bulatnya muram.
"Dhon, lak entek tuku maneh. Mumpung isa jajan."
Dhonny tak menjawab.
Bagas duduk di samping Dhonny. Membuka bungkusan kentang, menyantapnya. Di televisi, mempertontonkan permainan sepak bola Maschaster United. Joko menggantinya ke FTV di salah satu channel.
"Diganti seh, Jok?"
"Iku wae bola."
"Wis tau ndelok. Dibaleni maneh iku."
"Yudha, kok ora muncul?"
"Turu kayak-e."
"Gatra?"
"Embuh."
Bagas merebut remot dari tangan Joko, mengganti FTV ke channel lain ke sebuah berita kebakaran gedung.
Mobil melayang Pranaja masih melesat melewati rumah-rumah. Sinetra menatap jendela menghela napas. Wajahnya muram tapi tambah muram. Ia menyesal karena saat berhadapan dengan Margana, ia tak berpikiran merebut kartu Bumiratewu. Perasaan bersalah menyerapinya. Eka, di sampingnya sama. Ia juga menyesal. Di pikiran mereka saat ini terlintas sesuatu yang memutuskan, membuat harapan yang menurut mereka sia-sia.
Berhenti dari Aliansi Garuda.
**
Mobil melayang Pranaja keluar dari jalan pintas. Melesat di antara ojek online. Sinetra membuka kaca di sebelahnya. Angin sepoi-sepoi masuk. Setengah jam memasuki beberapa kota dan sampai di Desa Jati, Aksa membelokkanya ke jalan di antaranya ada dua gapura berdiri, menyeberangi rel kereta. Tepat di jalan kecil, ada papan nama bernama "Gang Bambu".
"Rumah kalian yang mana?"
"Di tengah itu," Eka menunjuk di balik jendela mobil ke arah rumah ke dua bercatkan putih, di sisi kanannya ada balkon.
Aksa memberhentikan mobil melayang Pranaja di depan pagar. Pintu bergeser, mereka turun. Eka menawarkan mereka untuk mampir, Aksa menolaknya halus. Pintu terbuka, Shinta keluar melihat siapa yang mendatangi rumah. Mobil melayang Pranaja mundur, membelokkannya keluar.
"Siapa ya?" tanya Shinta.
Mereka melongo.
Shinta ternyata tak mengenal dua
adiknya.
"Ini aku, Sinetra."
"Ini aku, Eka."
"Hah?"
"Iya, Kak."
Mereka masuk, melepas sepatu dan sandal ke dalam rumah. Dua keponakan laki-laki Sinetra di ruang tengah melengok di balik dinding-sama kagetnya dengan Shinta.
Sinetra dilihat seperti itu cuek, masuk ke dalam kamar diikuti Eka. Pintu ditutupnya, mereka melepas kostum yang melekat di tubuh mereka lalu melipatnya rapi. Sinetra melepas kacamata dan dua anting hanafuda, meletakkannya di meja. Mereka keluar menuju kamar mandi di dapur, dua keponakannya masih menatapnya tanpa berkedip. Mereka masuk, membasuh muka mereka.
"Kayak enggak pernah lihat saja," kata Eka, persis perkataan Yudha, mengambil Biore Man, sabun pencuci muka milik Sinetra memencetnya hingga keluar, meletakkannya di pinggir baskom air. Mengusapnya ke wajah. Sinetra melakukan hal sama. Selesai membasuh muka, mereka keluar dari kamar mandi, berbelok ke arah kamar. Dua keponakan Sinetra
melihat mereka.
"Bang," panggil di antara mereka. Yang juga menyukai anime seperti dirinya dan Sena.
Sinetra berhenti melangkah di ambang pintu.
"Apa?"
"Abang maeng nggawe kostume Tanjirou karo Harry Potter?"
"Iya."
"Sejak kapan Abang dadi cosplayer?"
"Aku maeng mek didandani thok," kata Sinetra.
"Sing cosplay Harry Potter iku sapa?"
"Dulurku. Dulur adoh saka Kutha Balik."
Sinetra masuk ke kamar, menutup pintunya sedikit. Ia merebahkan badan di kasur. Eka sama halnya Gatra, terlelap.
Suara sekuter melayang memasuki dapur. Mama melepas helm dan masker. Turun, merenteng satu kresek hitam berisi mangga. Meletakkannya di meja makan.
"Kakak, adikmu sudah pulang?" tanya Mama.
"Sudah. Baru pulang," jawab Shinta sudah berada di kamar, melanjutkan menonton K-Drama yang ditonton.
Mama masuk melewati ruang tengah menghampiri kamar depan. Membuka pintu sedikit.
"Lha, pada tidur semua?"
Sinetra menggeliat, membuka mata pelan.
"Apa, Ma?"
"Sudah makan?"
"Sudah. Tadi di sana kami diajak makan."
"Oh, lantas Mama tadi masakin kamu cumi-cumi kesukaanmu," bisik Mama, agar tak kedengaran dua keponakannya.
"Nanti saja makannya. Aku masih kenyang..."
Mamanya beranjak meninggalkan kamar sambil bergumam,"Bikin rujak buah, ah!"
"Aku mau!" seru Shinta, mematikan K-Drama-nya, keluar dari kamar.
"Kamu bantuin ngupas buahnya. Mama yang bikin bumbunya."
Mereka ke dapur, menyiapkan alat-alat dan bahan untuk membuat rujak.
Sinetra terbangun sore harinya, ia mengucek mata sambil mulut menguap-tertutupi satu tangannya. Ia beranjak dari kasur, keluar dari kamar. Berjalan ke ruang tengah, yang sekarang telah kosong. Dua keponakannya sudah pulang saat ia tidur. Molly seperti biasa pulang bermain dengan cicak kecil di mulutnya. Mendekati Sinetra dan memamerkan hasil tangkapannya.
Sinetra duduk di sofa abu-abu. Melihat kucingnya. Ekspresi wajahnya terlihat jijik.
"Euh, aku sudah tahu, kok," katanya,"Kucing pintar!"
Molly membulatkan mata, tampak senang dipuji oleh majikannya. Berbalik, melangkah ke dapur. Dia menyelinap masuk di kolong meja makan, menyantap hasil tangkapannya di sana. Mama yang sedang makan, menjerit ketika mengetahui Molly di kolong meja. Ayah sehabis dari kandang ayam, memberi pakan, langsung panik.
"Apa sih, Ma?"
"Ini, Yah, Molly!"
"Kenapa sama Molly—ke mana ya kucing itu? Kok enggak kelihatan sama sekali?"
"Ini lho, di bawah!" tunjuk Mama ke kolong meja.
Ayah menghampiri meja makan, menundukkan kepala. Molly berhenti menyantap, dua mata birunya menyala bak melihat lawan yang ingin merebut mangsanya.
"Eh?"
Molly menyantap lagi. Kali ini dengan mendesis.
"Tuh, kan, Bang! Dia ngelihat kamu kayak gitu! Jangan dilihat, diusir!" perintah Mama kepada suaminya.
Ayah mendongak tak mengusirnya.
"Suruh Sinetra saja," katanya. "Aku malas..."
"Kamu disuruh malah gantian nyuruh orang lain!" seru Mama seraya mendengus.
Ayah cuek saja, menghampiri westafel di samping rak piring dan sendok, mencuci tangan kemudian berbelok ke arah ruang tengah, meraih remote di meja kecil, menyetelnya namun tak kunjung menyala. Remote itu dipukul-pukulkan di meja. Mencoba menyetelnya lagi, dan berhasil, televisi menyala. Ayah duduk di samping Sinetra.
"Mana Eka?"
"Masih tidur."
"Sore-sore kok turu..."
"Dari tadi siang kok, Bang. Mereka habis pulang dari acara temannya," jelas Mama dari dapur.
"Acara apa?"
"Banyak, Yah."
Ayah menatap rambut anak keduanya yang mencuat ke belakang, bercatkan sedikit warna merah maron di sisi-sisinya. Beliau menatapnya seperti merasa aneh dan berbeda.
"Rambutmu kenapa?" tanya Ayah, menatap rambutnya tak suka.
"Oh, habis cosplay di acara itu," jawab Sinetra menonton kartun Upin dan Ipin.
"Kok rambutmu kayak gitu?"
"Memang gini gayanya, Yah. Eka apalagi, dia jadi Harry Potter tadi."
"Acarane sing nyeleneh."
"Acaranya bukan nyeleneh yang Ayah bilang... Kalau aku jelasin, Ayah enggak bakalan ngerti..."
Ayah diam saja.
Terdengar bunyi pesan dari handpone-nya di meja. Meraihnya, membukanya. Eka terbangun, keluar dari kamar sambil menguap masuk ke ruang tengah. Ia menatap Sinetra.
"Sudah mandi?"
"Belum."
"Kalau gitu, aku mau mandi duluan." Eka masuk ke dapur, melewati meja makan, keluar mengambil handuk, kembali lagi di depan kamar mandi.
"Siapa yang ada di kamar mandi, Ma?"
"Kakakmu. Ka, nanti kamu sama Sinetra makan cumi-cumi yang Mama buatkan tadi pagi. Habisin saja," kata Mama berdiri, membawa piring ke keran tadi mencucinya.
"Kakak gimana?"
"Sudah Mama sisakan tadi. Shin, cepetan kalau mandi! Gantian!"
Di dalam kamar mandi, gadis itu tak mendengar omongan mama karena terendam bunyi air mengalir.
"Shinta!" panggil Mama.
Gadis itu tak mendengar.
"Shinta!"
"Apa?!"
"Cepetan kalau mandi! Gantian!"
ulangnya.
"Iya!"
"Dasar anak itu! Kalau mau mandi sampai mau berapa jam lagi sih?" umpat Ayah.
Setelah dua jam lamanya, Shinta keluar dari kamar mandi dengan handuk bermodel baju, handuk kecil menggulung rambutnya di kepala. Di bergegas ke kamar, menutup pintunya. Giliran Eka masuk.
Upin-Ipin pun berganti iklan sabun. Sinetra berdiri kembali ke kamarnya, terbayang di pikirannya tadi, ia menggeser kursi, duduk, tangannya membuka laptop kemudian menyalakannya. Sambil menunggu, ia meraih tas kecil di gantungan dinding. Membukanya, meraih flash disk. Muncul di layar-menampilkan Windows berganti menampilkan wallpaper bergambar gadis iblis menggigit bambu di mulutnya serta ikon-ikon program-nya. Ia menancapkan flash disk itu ke salah ujung colokan. Flash disk pun masuk. Tangannya menggeser mouse ke arah ikon, membuka Microsoft Word. Mulai mengetikkan kata di lembar kosong. Di sela mengetik, mama menghampiri kamar.
"Sinetra, makan dulu," pinta Mama.
"Sebentar, Ma."
"Nanti kan bisa dilanjutin menulisnya. Adikmu nanti keburu datang lagi. Kamu sama Eka malah enggak kebagian. Mumpung mereka belum ke sini."
Mama meninggalkan kamar. Sinetra berhenti mengetik, berdiri dari kursi keluar. Membiarkan laptop menyala. Sinetra berjalan ke dapur. Mamanya meraih mangkok yang disimpannya di atas lemari, meletakkannya ke meja. Masakan cumi-cumi diberi tambahan cabe yang dipotong kecil-kecil dan beberapa buah pete-kesukaannya selain jengkol. Mama kembali ke balkon.
Sinetra meraih piring, mengambil nasi di bakul kecil, mengambil berapa cumi-cumi berukuran kecil dan pete, menyantapnya. Decap lidahnya merasakan makanan itu. Sesekali mama memasakkannya cumi-cumi. Menurutnya, masakan mamanya itu sangat enak dan tak kalah dari masakan semur jengkol buatan almarhum sang nenek. Selesai mencuci, beliau menoleh melihat anaknya lahap memakan masakannya. Biasanya, jika beliau masak, sering malah, makanan itu utuh tak tersentuh dan membuangnya. Apalagi lidah ayah yang kerap kali tak cocok dengan makanan yang dimasaknya, membuat mama jengkel setengah mati.
Mama keluar ke samping rumah, menaiki tangga ke balkon, mengambil jemuran yang sudah kering.
Pintu terbuka, satu menit selesai mandi, Eka sudah berbalut handuk melilit di pinggangnya, rambutnya yang tak bergaya Harry Potter basah karena habis keramas.
"Kamu makan apa, Sine?" tanyanya, dua kakinya diusap-usapkan di keset handuk.
"Makan cumi-cumi," jawabnya. "Nih, kusisakan buat kamu." Sinetra mengambil kuah kental berwarna hitam yang sebenarnya adalah tinta.
Eka berbelok menuju kamar. Masuk, menutup pintu dan gorden seraya berganti pakaian. Selesai berganti pakaian, meraih sisir di meja rias, ia menatap cermin. Di balik cermin itu laptop masih dalam keadaan menyala diringi slide show berbentuk gelembung busa. Menyisir rambutnya yang kembali normal, meletakkan sisir ke tempat semula menghampiri laptop. Ia melihat di layar itu, membacanya.
Kami, Arief Sinetra Dwi Putra dan Eka Prameswara menyatakan undur diri da...
Betapa terkejutnya saat membaca tulisan yang tertera di laptop. Ia keluar lagi dari kamar berlari ke dapur.
"Sine, kamu enggak apa-apa?"
"Ha? Apa maksudmu?"
"Kamu menulis apa di laptop? Aku tadi membacanya!"
Sinetra tak menjawab, membereskan piringnya ke westafel.
"Kenapa kamu menulis itu?"
Sinetra memutar keran. Air keluar mengalir.
"Bukan apa-apa. Aku hanya iseng."
"Bohong!"
"Apa sih itu? Ribut saja!" sahut Mama dari atas.
"Enggak tahu," celetuk Ayah tak memperhatikan televisi malah terpekur ke arah handpone, menyaksikan video prank di YouTube sembari rebahan di sofa, mirip sekali dengan karakter Richard Watterson, karakter kelinci berbulu pink yang pemalas dan pengangguran dari kartun The Amazing World of Gumball yang pernah ditonton Sinetra.
"Bohong!" lanjut Eka.
"Dibilangin ya sudah." tangannya menyabuni piring dan sendok, membilasnya dengar air mengalir. Selesai membilas, meletakkan dua benda itu ke rak sesuai tempatnya. Bergegas keluar mengambil handuk, melewati Eka, masuk ke kamar mandi, menutup pintu.
"Sine!"
"Aku mau mandi!" seru Sinetra dari dalam diringi suara keran menyala.
Eka berbalik kembali lagi ke kamar. Shinta selesai mengganti pakaiannya dengan daster biru, bergambar semut berjajar rapi di depan-belakang.
"Ada apa, sih?"
"Enggak tahu dua anak itu." Ayah masih terpekur menonton YouTube di handpone.
Eka masuk ke kamar, duduk di pinggir ranjang menatap laptop yang menampilkan slide show sama. Molly berjalan ke kamar dengan menjilati mulutnya, puas menyantap seekor cicak, menaiki ranjang, duduk di sampingnya berganti menjilati salah satu kakinya.
Ia melirik ke arahnya.
"Ngapain kamu ke sini?"
Molly menjilati kakinya, menatapnya sebentar, menjilat lagi.
Eka menatap laptop. Tak percaya jika Sinetra menulis lembaran di depannya. Daripada menatap lama-lama, beranjak ke arah lemari kecil berisi kumpulan komik koleksi Sinetra dan paling banyak adalah koleksi novel berbagai genre, terutama fantasi dan teenlit. Tangannya terulur ke rak nomor empat deretan novel tebal-termasuk seri novel Harry Potter favoritnya hanya beberapa. Tangannya meraih salah satu novel bersampul biru dan bergambar dua gadis penyihir, berjudul "Darkest of Ray". Saat di dalam tubuh Sinetra, ia suka sekali mengoleksi novel. Alih-alih tersadar, Sinetra tampak bingung karena lemarinya didominasi novel.
Ia duduk lagi di ranjang, membuka novel dengan asal, mulai membaca. Molly berhenti menjilat, merentangkan ke empat kakinya, seperti biasa dilakukannya tidur.