Aksa yang selesai bernyanyi di panggung bersama Yudha yang hari ini libur bekerja sedang berada di kafe yang tidak jauh dari arah dia bernyanyi. Mereka sedang menyeruput segelas es cokelat dengan kue tradisional kelepon dan lopis.
"Mana Bang Gatra?"
"Dia enggak ikut. Lagi ribut sama teman kost-nya."
"Kenapa ribut?"
"Ribut gara-gara temannya mau nonton Raden Kian Santang." Yudha juga meletakkan boba-nya di meja, menyunduk kelepon dengan garpu.
"Hahaha! Teman Bang Gatra lucu! Kamu suka juga?"
"Enggak."
"Tapi, di Aliansi Garuda ada mereka, anggota kita bertambah, ya."
"Maksudmu Sinetra sama Eka?"
"Ya, tapi aku senang banget ternyata mereka—dia penggemar Hard Core Band! Kamu penggemarku?"
"Enggak. Siapa yang penggemarmu?" kata Yudha.
"Jangan begitu dong, kita kan patner."
"Menurutku di Aliansi Garuda enggak ada yang pakai sistem patner."
"Patner di Aliansi Garuda," tambah Yudha."Tumben traktiran?"
"Pengin saja. Bumi kuajak tadi enggak mau."
"Kalau mau traktiran, jangan aku doang, tapi Sinetra sama Eka juga... Mereka kan sudah menjadi teman kita di Aliansi," Yudha mengingatkan.
"Kapan-kapan saja."
"Sa," kata Yudha menelan kelepon yang dikunyahnya."Kamu enggak kepikiran apa bernyanyi sama Eka? Eka kan, Deejay?"
"Belum kepikiran." Aksa menusuk kelepon."Dia orangnya cuek begitu."
"Kalau belum kenalan, pasti enggak tahu sifat aslinya. Kita baru kenalan kemarin."
Aksa menggigit kelepon. "Mereka mengingatkan kita dulu, ya?"
"He?"
"Sebelum kita masuk Aliansi Garuda, ingat? Kukira Ketua itu orang aneh. Tapi, kalau sering ketemu orangnya baik. Dia seperti mama buatku."
"Aku juga. Kalau di kost enggak masak, orangnya yang memasakannya untuk kami."
"Alaa, paling kalau enggak ada Ketua, paling kamu disuruh masak."
Yudha menyengir.
"Kenapa ya, Ketua langsung percaya sama mereka? Padahal masuk Aliansi Garuda itu harus orang yang benar-benar terpilih?"
"Kalau Ketua percaya, memilih mereka berarti mereka bukan orang sembarangan."
"Jadi ingat dulu kita pertama kali bertemu dengannya dan memilih kita," kata Aksa,"saat kuberi tahu Brother, dia kaget dan marah banget."
"Aku sama. Malah Mbok marah."
"Tapi kalau sudah menjadi Pahlawan Garuda, tugasnya berat, ya? Malah kita punya musuh!"
"Pahlawan Aruna? Aku penasaran dengan mereka."
"Penasaran kenapa?"
"Penasaran sama wajah mereka. Aku belum pernah tahu wajah mereka."
"Pasti wajah mereka jelek. Aku saja belum pernah lihat wajah Ketua Pahlawan Aruna."
Yudha terdiam sebentar.
"Kamu bilang apa? Ketua Pahlawan Aruna?"
"Iya."
Yudha teringat soal kemarin Ketua mereka memanggil Ketua Pahlawan Aruna dengan sebutan "Kakak".
"Ada apa emangnya?" tanya Aksa.
"Kamu tahu kemarin? Saat Ketua melawan Ketua Pahlawan Aruna? Kalau kakak Ketua Pahlawan Aruna itu adalah kakak Ketua!"
"Masa? Ketua itu mana pernah membahas keluarganya! Mana mungkin dia itu kakaknya Ketua!"
"Iya, Sa! Aku dengar kemarin!"
Mereka adu urat, membuat para pengunjung di kafe menoleh bahkan ada yang berdeham di samping mereka, bermaksud untuk diam. Mereka berhenti, melanjutkan makan. Salah satu pengunjung membahas berita tentang penyerangan raksasa dan dua orang penyelamat seorang bocah kecil di taman kemarin menjadi topik hangat.
"Sinetra dan Eka," bisik Aksa.
"Mereka menjadi terkenal gara-gara itu. Mengalahkan berita bulan kemarin soal Hard Core Band mempromosikan tour di Kota Cyborc lain."
Aksa mendengus. "Kalau enggak ada kami. Pasti enggak ada lagu metal kan?"
"Band metal itu banyak, Sa. Aku terus terang menyukai lagu rock."
"Kamu pernah kan mendengarkan lagu band kami?"
"Pernah."
Wajah Aksa sumringah.
"Bagaimana?"
"Bagus. Tapi, langsung kuhapus pas ku-donwload."
"Kenapa kamu hapus?"
"Itu yang nyuruh Bang Bagas. Dia bilang lagunya enggak jelas, terus dia pas sakit gigi bikin giginya tambah sakit."
Wajah Aksa sumringah langsung sebal.
"Tapi berita tentang mereka cepat banget nyebarnya?"
"Iya, di kost kemarin, aku mendengar teman-teman Bli Gatra membicarakan berita itu," bisik Yudha."Malahan Bang Bagas, heboh ngomongnya!"
Aksa tertawa.
"Terus?"
"Sampai Bang Dhonny makan, makanannya tumpah. Dia marah sambil mulut penuh makanan."
"Hahaha!"
Aksa melihat jam di tangannya. Menunjukkan pukul 12.00.
"Ayo kita pulang! Kuanterin kamu pulang! Sama beli cokelat buat Bumi. Cokelatnya habis soalnya," ajaknya.
Yudha menurut. Mereka beranjak, membayar pesanan di robot kasir lalu keluar dari kafe.
"Kita ke mana dulu? Beli cokelat atau nganterin aku pulang?"
"Beli cokelat dulu."
Mereka menuju area parkir, Aksa memakai helm, mengeluarkan sepeda melayang-nya. Yudha menyusul naik di belakangnya memakai helm. Mereka melesat ke jalan raya menuju supermaket. Aksa menyalip transportasi melayang yang berjalan pelan. Sekarang di Lab Desain, Sinetra sudah di meja kerjanya. Sekarang, Mahasiswa-mahasiswi jurusan Desain Komputer 1 mempraktekkan materi selanjutnya, Dream Weaver, pelajaran membuat desain web—membuat si kembar Hendra mengeluh sementara Hendri tampak cuek.
"Bang, habis bikin desain ini, dimasukin ke web yang ini?" tanya Rommy, menunjuk tutorial yang dibuat dahulu oleh Indra saat mengajarkan materi.
"Iya," kata Indra."Pokoknya sesuai itu. Desainnya kalian buat terserah."
"Nyong, desainmu apa?" tanya Hendra kepada adik kembarnya.
"Apa ya? Mungkin Final Fantasy XIII."
"Huh, susah nih kayaknya."
"Nanti kalau bingung, boleh konsultasi ke saya," ujar Indra. Dia melihat Sinetra biasa, menonton anime.
"Apa, Bang?" tanya Sinetra.
"Enggak. Eh, nasib taman di samping kampus kita bagaimana?"
"Saya pas datang tadi ada truk-truk melayang datang terus ada para petugas membersihkan taman itu. Saya tanya robot satpam, katanya para petugas itu di datangkan dari Pemerintahan Daerah
Cyborc," jelasnya.
"Oh. Tapi, berita kemarin sampai sekarang masih dibahas lho. Dua pahlawan kayak Kamen Rider itu beneran ada ya? Siapa tahu kayak Lightning Farron..."
Sinetra tertawa. Ia dan Eka yang sudah bertemu dengan Mirna, tahu bahwa salah satu Pahlawan Garuda—seorang wanita.
"Hahaha! Kalau kayak karakter itu yang ada Anda ditonjok!"
"Hehe. Terus raksasa itu nasibnya gimana?"
"Enggak tahu. Abang tahu Pahlawan Garuda itu sekarang?"
"Iyalah. Enggak tahu juga mereka itu datangnya dari mana-Ya, Nak?" Indra menengok Hendra di meja kerjanya. Dia tampak frustasi melihat kode-kode di Program Dream Weaver-nya.
"Jangan menyerah! Kamu pasti bisa Hendri—"
"Hendra!"
Hendri tetap cuek. Dia mulai memasukkan kode-kode di Dream Weaver-nya. Sinetra melanjutkan menonton. Tanpa sadar tasnya menyala kuning terang.
"Eh?"
Buru-buru membuka tas, melihat Evolution Entity-nya menyala.
"Aduh!"
"Kenapa?"
"Oh eh, enggak, Bang, boleh enggak saya minta izin sebentar?"
"Boleh. Mau ke mana?"
"Itu, tiba-tiba saya ada panggilan darurat!"
"Iya sudah," kata Indra."Lama?"
"Iya." Ia berdiri, beranjak keluar membawa tas menuruni tangga menuju toilet. Di bawah, ada tiga toilet di situ. Ia mengetuk pintu pertama. Ada sahutan. Ia masuk ke toilet kedua. Aman. Tangannya merogoh benda bersinar itu.
"Kata kunci! Oh, tahu!" tangannya di rentangkan lalu mengucapkan kata kunci."Garuda Evolution!"
Evolution Entity-nya langsung menyala lebih terang bersamaan diringi backsound.
"Become of Garuda Evolution."
Ia pun diselimuti sihir dimensi-langsung berubah total menjadi Pahlawan Garuda.
Cliing!
"Wow! Aku berubah!" katanya takjub melihat penampilan barunya. Ia mengambil kartu Gapuran di belakang bawah tengkuknya. Kartu Gapuran di tangannya menyala terang, ia terisap lingkaran sihir kartu itu, berpindah tempat di sebuah pantai dengan laut berwarna biru jernih. Damai dan asri. Ia melihat sekeliling bahkan hampir tertabrak burung bangau yang terbang melintas. Ia tampak bingung.
"Cuma aku di sini? Mana yang lain?"
Di Studio Alzaki, Margana cs tampak sibuk melayani pelanggan. Selesai melayani, mereka beranjak makan siang di dapur. Sena, adiknya, duluan memakan bekalnya. Mereka duduk, membuka bekal masing-masing.
"Mana Oom Erza, Sen?"
"Keluar tadi. Enggak tahu ke mana."
"Oh."
"Abang."
"Apa?"
"Sudah baca berita kemarin?"
"Berita apa?" tanya Aji, menyantap bekalnya berisi oseng-oseng buncis. Kebetulan Wanda, adiknya, belajar memasak.
"Kamu makan buncis, Ji? Boleh minta?" kata Samudra, menatap bekalnya berisi ayam goreng kecap.
Sena melanjutkan."Berita ada dua orang pemuda menyelamatkan seorang bocah dari raksasa di taman."
"Tahu," kata Samudra, mengambil buncis dari bekal Aji, mencobanya, "Enak!"
Aji tersenyum. Dia senang masakan adiknya dipuji.
"Bukan mama yang bikin. Tapi Wanda."
Sena terkejut lalu meraih
oseng-oseng itu juga."Boleh minta, Bang?"
Margana melirik adiknya. Dia sudah mengetahui dari dulu bahwa adiknya menyukai Wanda dari kecil.
"Boleh. Ambil saja—kamu tadi sudah, Dra!" melihat Oseng-osengnya diserobot Samudra.
"Minta doang, kok! Nih, ambil saja ayam kecapku!"
"Enak!" puji Sena.
"Enak apa suka, masakannya atau anaknya?" goda Margana.
"Me-memang enak kok!" pipi Sena merona.
Aji menyipit tak suka.
Angkasa terbang menyusul. Membuka kulkas mengambil cokelat. Menghampiri Margana.
"Itu cokelat siapa, Ang?"
Angkasa menggeleng.
"Itu cokelat Oom Erza," kata Sena.
"Kembalikan! Itu bukan punyamu! Nanti kubelikan."
Angkasa murung.
"Ambil saja kalau mau," sahut seseorang dengan tampilan ala boyband Korea.
"Oom Erza? Habis ke mana?"
Dia menunjukkan paket berukuran sedang.
"Kamera," jawabnya.
"Kamera lagi? Kita sudah punya kamera."
"Maksudnya robot kamera."
Dia meletakkan paket itu di meja. Membukanya, memperlihatkannya pada mereka.
"Taraaa!"
Robot kamera itu berbentuk bulat seukuran bola.
"Saya tanya yang bikin robot ini bisa terbang memotret di area luas terus bisa mencetak foto jadi. Kayak drone gitu."
"Woow! Terus kamera DRSL kita bagaimana?"
"Masih dipakai."
"Yang nyiptain siapa, Oom?"
"Sebentar," katanya, membuka handpone mencari kontak."Namanya tadi kalau enggak salah, Dewa Anantara."
"Apa?!"
"Dewa Anantara?"
"Bukannya dia... "
"Kalian kenal?" tanya Erza.
Mereka mengangguk.
"Dia teman kami," kata Aji.
"Oh. Dengan ini memotret foto lebih mudah." Erza memasukkan kembali ke dalam kardus. Membawanya ke ruangan khusus pemotretan.
Aji menatap Sena, menyahut,"Oi, enak oseng-osengnya?"
Sena berhenti makan. Mulutnya mengunyah buncis meringis. Aji menyeret bekal milik Samudra.
Cliing!
Evolution Entity mereka menyala di saku masing-masing. Mereka mengetahui, berdiri.
"Mau ke mana, Bang?" tanya Sena.
"Biasa. Mau beraksi," kata Margana. Mereka keluar dari dapur keluar ke jalan."Bilang sama Oom, kami ada urusan."
Sena mengangguk. Menghabiskan oseng-osengnya. Mereka berlari ke arah selatan-bersembunyi. Merentangkan Evolution Entity masing-masing, berubah sambil mengucapkan kata kunci.
Kembali ke Yudha dan Aksa. Mereka tiba di supermaket. Mereka masuk seraya pintu bergeser. Aroma AC menyerbu, hanya beberapa pelanggan di situ. Aksa meraih keranjang troli. Mereka berjalan menyusuri setiap rak-rak berisi bermacam-macam aneka jajan.
"Kamu mau?" tawar Aksa kepada Yudha. Dia meraih cokelat dua Silver Queen dan dua Cungkybar.
"Aku?"
"Iya. Kamu mau? Sekalian saja. Bli Gatra mau?"
"Terserah," kata Yudha,"dia suka snack kentang."
Aksa mengangguk, meraih dua snack kentang berukuran besar."Kamu yang mana?"
Yudha meraih dua Tanggo rasa cokelat dan dua Beng-Beng. Meletakkannya di keranjang troli.
"Sa?"
Aksa menoleh.
"Chungky bar sama Silver Queen itu buat siapa?" tunjuk Yudha ke empat cokelat di keranjang.
"Bumi," kata Aksa.
"Robotmu aneh. Masa dikasih cokelat? Enggak rusak?"
"Enggak. Dia baik-baik saja kukasih ini. Malahan dia menyukainya. Kamu tahu kan, kalau dia dibuat secara enggak sengaja oleh Brother," lanjutnya.
Mereka melanjutkan ke rak lain. Selain membeli cokelat, membeli sereal, dan susu kotak. Setelah membeli apa yang dibutuhkan, mereka menuju meja kasir yang dijaga robot kasir. Robot berukuran mini itu cekatan mengecek setiap harga barang yang dibeli. Selesai mengecek, mentotalnya. Memberitahu semua totalannya. Aksa mengelungkan uang, memberikannya ke robot itu. Robot itu memberikan kembalian kepadanya.
"Terima kasih," ucap Aksa, mengambil kantong plastik itu. Mengajak Yudha keluar. Di saku mereka masing-masing, Evolution Entity menyala terang.
"Shit!"
"Aduh!"
"Bagaimana ini? Belanjaannya sama sepeda melayang-mu dititipkan ke mana?" kata Yudha.
Aksa tampak berpikir.
"Sa?"
Aksa masih berpikir. Dia tersenyum.
"Aku tahu di mana kita menitipkannya."
"Di mana?"
Aksa memakai helm diikuti Yudha naik, memakai helm-nya. Sepeda melayang keluar dari parkiran menuju jalan raya. Aksa mengenggas rem berbelok ke jalan alternatif, jalan itu menghubungkan jalan menuju perumahan kecil. Perumahan itu bernama "Perum Malang Cyborc." Mereka melaju melintasi perumahan itu dan sampai di salah satu rumah bercatkan putih dan minimalis. Aksa membelokkannya ke pagar yang bergeser otomatis. Sepeda melayang berhenti dan masuk di garasi.
"Ini rumah siapa?" tanya Yudha,"Evolution Entity kita bagaimana?"
"Diam dan tenang. Kita pasti bisa berubah," jawab Aksa," ini rumah temanku."
Aksa memencet tombol bel lalu terdengar suara seseorang dari mikrofon hologram.
"Siapa ini?"
"Aku Aksa."
"Oh, tunggu sebentar," katanya, mematikan mikrofon hologram itu. Terdengar suara kenop pintu dibuka. Memperlihatkan seorang wanita manis-bertubuh tinggi sekitar
165 cm, berkulit kuning, bermata sipit, dan berambut panjang sebahu, berponi rapi. Rambutnya dikuncir mirip sebelah kanan memakai jepit ulat.
"Ayo, masuk," katanya mempersilakan. Mereka menurut masuk.
"Sa, ingat. Kita bukan bertamu."
"Aku tahu."
Wanita itu mempersilakan mereka duduk di sofa abu-abu bulat besar sampai Yudha terjungkal.
Bruuk!
Wanita itu buru-buru menolong Yudha.
"Anata Daijoubu desu ka?"
Yudha salah tingkah.
"Sis, kami nitip belanjaan sama sepeda melayang. Nanti kami ke sini lagi," kata Aksa.
"Memangnya mau ke mana?"
"Penting. Oh, kenalkan ini temanku, Yudha Wijaya—"
"Made Yudha," potong Yudha mengulurkan tangan ke wanita itu.
"Saya Dhani, kamu bisa panggil saya Kak Dhani atau Kak Minami."
"Kok namanya...?"
"Saya asli orang jepang. Sama seperti Aksa, saya dan saudari saya mempunyai nama Indonesia."
"Nah," Aksa berdiri. "Kami pergi dulu!" menyeret Yudha. Keluar lagi wanita berwajah mirip, namun berambut panjang diurai memakai jepit strowberi.
"Siapa, Minami?"
"Aksa."
"Ke mana mereka?" menatap punggung keduanya keluar berlari.
"Katanya penting, Anee-san."
Mereka berlari ke arah tempat yang tidak diketahui orang.
"Di sini."
Tempat itu adalah halaman belakang Perum.
"Ngeri ya?"
"Enggak kok. Kita aman di sini." Aksa merogoh saku mengambil Evolution Entity. Yudha pun sama.
"Ayo!"
Mereka merentangkan tangan ke depan, mengucapkan kata kunci.
"Garuda Evolution...!!"
Berpindah di pantai, keluar lingkaran sihir kartu Blumbangan. Margana cs sudah sampai dengan wujud mecha mereka. Margana merasakan sesuatu di sekitar situ.
"Kenapa?"
"Aku merasakan ada orang selain
kita."
"Siapa?"
Sinetra yang daritadi di sana langsung bersembunyi di balik batu.
"Dewa?"
"Bukan," tangannya muncul sinar merah-api membentuk keris kecil menyala. Dilemparkannya ke arah batu.
Set! Set!
Sinetra melirik membelalakan mata, menghindar menjauh.
Duuaar!
Dia! Batinnya.
"Betul, kan?"
"Mari kita bereskan. Kamu, cari kartunya. Biar kami yang urus dia!" perintah Aji mengajak Samudra. Mereka maju. Menghujamkan keris sama menyalanya.
Set! Set!
Sinetra melangkah mundur, tangannya mengeluarkan sinar kuning menyerupai pedang mirip pedang Katakana. Menangkisnya.
Tring! Tring!
Masih memegang pedangnya, muncul serpihan sinar kuning, mengelilingi pedang. Ia maju, mengarahkan pedangnya ke arah mereka.
Booom!
Mereka bertiga melompat menjauh.
Ukh, mereka kuat! Batin Sinetra.
Aji dan Samudra juga mengeluarkan senjata.
"Dia baru?" kata Aji.
"Baru? Siapa?"
"Dia. Siapa lagi?"
"Kayak belum pernah lihat. Tapi sudahlah, kita lawan dia dulu sebelum Dewa datang bersama musuh kita yang lain!"
Mereka maju, mengangkat senjata. Sinetra maju melayangkan pedang, muncul arus sinar dari pedangnya.
"Flow of Garuda Light!"
Margana, mencoba merasakan daya kartu. Sekelebat dia menunduk, daya kartu—berada di bawahnya. Dia melayang turun. Berdiri di atas air.
"Di sini."
Muncul lingkaran sihir kartu Gapuran tak jauh darinya. Keluar Aksa dan Yudha yang sudah berubah wujud menjadi Pahlawan Garuda. Yudha mengeluarkan Bintang Raksasa-nya, melemparkannya ke arahnya. Bintang Raksasa berputar. Margana berputar menghidar. Aksa menggulungkan badan, mengubah tubuhnya menjadi bola.
"Garuda Roll Ball!"
Dia berputar menggelinding. Margana melompat kayang.
"Dasar Bintang dan Bola jelek!" gerutu Margana.
Yudha merasakan daya kartu. Menunduk ke bawah.
"Sa, di bawah!"
Bintang Raksasa berputar berbalik ke arah Margana lagi. Dia bediri—menggembungkan pipi menyemburkan api.
"Blowing of Fire!"
Bintang Raksasa berputar ke dalam embusan api, terkikis perlahan-lahan.
Kreek! Kreek!
Aksa menyusul, menggelinding ke arah Margana. Margana berbelok menghindar. Menggelinding ke arah Yudha. Kembali lagi ke model awal.
"Apa sih?"
"Di bawah!"
"Apanya?"
"Kartunya!"
"Kamu saja yang ngambil—Bintang Raksasa-mu!"
Yudha melihat senjatanya terkikis. Dengan sendirinya senjata itu berputar kembali padanya. Dia merentangkan tangan, menangkapnya.
"Aduh, kebus!"
"Sudah tahu panas kok ya dipegang," kata Aksa."Yud, ambil kartunya di bawah, biar aku yang melawan dia—ke mana sih Sinetra sama Eka?" dia menggulung badan lagi, berputar melesat menyerang Margana. Aji, Samudra di daratan saling menangkis.
Bleessh!
Mereka mundur beberapa langkah.
"Siapa dia?"
"Pahlawan Garuda baru," kata Samudra.
"Tahu. Dia..."
"Mana mungkin kita tahu? Kita selama menjadi musuh mereka, kita enggak pernah tahu wajah mereka!"
"Bukannya waktu kita melawan kemarin, mereka cuma bertiga, kan?"
Samudra mengangguk.
"Terus, mana Dewa? Kenapa belum datang juga?"
Bruuk!
"Kenapa, Bang?" tanya Christine.
Dewa mengambil kardus kecil berisi boneka Ice Bear. Boneka Ice Bear itu adalah boneka favorit Nanda, anak semata wayang mereka. Nanda, terbuai tidur di pundaknya. Bocah kecil berumur empat tahun itu lelah karena seharian di bermain di tempat bermain.
"Jatuh," katanya.
"Biar aku yang membawakannya." Christine meraih belanjaannya. Mereka menuju area parkir, menghampiri mobil melayang berwarna putih.
Dewa membuka pintu, masuk duluan. Istrinya membuka bagasi, meletakkan belanjaan dan kardus berisi boneka Ice Bear. Menutupnya lalu membuka pintu, masuk. Menyalakan mesin. Dengan cekatan wanita itu memundurkan mobil melayang diiringi aba-aba robot satpam di belakang.
"Terima kasih," ucap Christine, menempelkan kartu pembayaran di dada robot itu. Mata robot itu bersinar kebiruan.
"Sama-sama. Selamat Jalan."
Mobil melayang melesat keluar menuju jalan raya.
"Abang, mau dimasakin apa besok?"
"Apa saja. Seperti biasa."
Evolution Entity di sakunya menyala terang. Christine melirik.
"Bang, handpone-nya nyala."
Dewa menatap sakunya.
"Biarkan saja. Terus jalan saja."
"Tapi—"
"Itu hanya Evolution Entity-ku."
Christine hampir lupa kalau suaminya adalah seorang Pahlawan Aruna.
"Enggak apa-apa, Bang?"
"Enggak. Yang penting pulang dulu," kata Dewa.
Mobil melayang berbelok ke salah satu jalan menuju Perumahan. Perumahan itu sama dengan Perumahan Yamamoto Bersaudari, teman Jepang Aksa. Mobil melayang sampai di depan rumah bercatkan abu-abu dengan pinggiran batu pualam. Masuk ke dalam garasi yang terbuka otomatis, mereka turun. Dewa membuka pintu, langsung masuk menghampiri kamar. Dia membaringkan Nanda di ranjang. Christine, menyusul masuk merenteng belanjaan dan kardus boneka Ice Bear. Meletakkannya di meja ruang tengah. Dewa keluar.
"Aku pergi dulu."
Christine mengangguk.
"Hati-hati."
Dewa berdiri, merogoh saku celana yang menyala tadi dirogohnya, merentangkan tangan-berubah wujud menjadi Pahlawan Aruna. Setelah berubah, dia meraih kartu Blumbangan di belakang bawah leher. Kartu itu memancarkan sinar- muncul lingkaran sihir, terisap—berpindah tempat ke sebuah pantai. Rekannya sibuk melawan musuh. Margana mendongak.
"Dewa!"
Dewa meluncur ke bawah membantu Margana. Aji dan Samudra masih melawan Sinetra. Sinetra, tak sanggup melawan mereka, tertendang kaki Samudra dan terpental ke laut.
Bruuash!
Sinetra terseok-seok tetapi masih bertahan, pedang Blowing-nya terpental jauh seketika menghilang.
Mereka kuat! Batinnya.
Muncul lagi lingkaran sihir, lingkaran sihir kartu Gapuran. Di lingkaran itu keluar Eka. Dengan sayap mecha-nya melayang turun. Berlari di atas air menghampiri Sinetra.
"Sine!"
Ia membantunya bangun.
"Kamu enggak apa-apa, kan?"
Sinetra menggeleng.
"Maaf, lama," katanya,"aku tadi bingung pakai dua benda itu."
"Aku juga."
"Musuhmu yang mana?"
Sinetra menunjuk Aji dan Samudra di tepi pantai. Eka akan maju namun di tahan pemuda itu.
"Mereka kuat, Ka! Hati-hati!"
"Aku tahu."
Di telapak tangan Eka mengeluarkan sinar api-emas, tangan kanannya membentuk menyerupai tangan raksasa mecha bercakar. Ia maju menghadapi mereka.
"Giant Claw of Garuda!"
Ia menyerang mereka.
"Muncul lagi!"
"Apa?"
"Aduh, kebus..." Yudha mengibas-ngibaskan tangannya yang masih kepanasan. Dia melihat ke bawah, langsung melompat, berenang ke dalam. Margana yang mengetahuinya ikut melompat ke laut.
"Gana! Tunggu—"
Mereka berdua berenang saling cepat. Di laut yang airnya biru jernih itu tampak hamparan batu-batu karang cantik dan ikan-ikan berenang bergerombol mengikuti pemimpin mereka bahkan ada yang melihat mereka. Di sisi-sisi batu karang itu ada anemon laut berukuran mungil nan lucu. Ada ikan melihat mereka takut, bersembunyi di antaranya. Dengan waspada mereka mencari kartu yang dicari. Mereka sontak melihat benda bersinar keperakan. Buru-buru mereka berenang, mereka di hadang oleh ikan berukuran lumayan besar. Mereka menghindar, merebut kartu Mandura-kartu kedua. Mereka berebutan berenang ke atas kembali.
Pyaaash!
"Aku duluan! Aku lebih dulu menemukannya!"
"Enak saja!"
Akhirnya, mereka saling tarik-menarik. Layaknya lomba tarik tambang Tujuh Belas Agustus saat warga Indonesia merayakan.
Aksa dengan Garuda Roll Ball-nya menggelinding ke arah Dewa. Dewa melompat ke atas. Aksa berbelok menggelinding lagi. Dewa mengeluarkan sinar merah-api membentuk lilitan mirip bunga di setiap sulurnya ada duri tajam membentuk topan menghadang Aksa.
"Poison Red Fire Flower!"
Sreet!
Garuda Roll Ball Aksa langsung dihentikannya.
"Ah!"
Sulur-sulur bunga api itu membelitnya. Bunga-bunga api itu bermekaran menyala terang. Mengeluarkan aroma racun yang membuatnya terhipnotis.
Deg.
Di dalam wujud normalnya. Mata Aksa membulat kosong. Kartu Mandura yang direbut mereka, direbut cepat oleh Margana. Dia meninju wajahnya.
Buaak!
Yudha terpental jatuh ke laut lagi. Kesadarannya makin menipis, ditepisnya. Dia berenang keluar. Berjongkok di atas air.
"Ukh..."
Eka menghujamkan Giant Claw of Garuda.
Bruuak!
Mengenai mereka disusul tubuh mereka perlahan-lahan hancur seperti cahaya.
"Eh?"
Ternyata itu cuma duplikat sihir!
Terdengar suara menyahut di belakangnya.
"Hei, kami di sini!"
Ia membalikkan badan, Aji dan Samudra menyerangnya balik.
"Magic Hammer Aruna!"
"Little of Fire!"
Bruuak!
"Aakh!"
"Eka!" Sinetra mengeluarkan sayap mecha-nya, melesat menolongnya. Eka tertimbun pasir di bawah-membentuk lingkaran. Sinetra melompat turun.
"Eka!" membantunya bangun."Enggak apa-apa kan-tangan dan punggungmu mengeluarkan darah!"
Eka merintih sakit. "Aku enggak apa-apa..." mendongak ke atas, melihat Margana membawa kartu Mandura.
"Sine, kartunya..."
"Kartu?"
"Kartunya-"
Eka ambruk.
"Eka!"
Dalam lilitan dan racun, pikiran Aksa jauh di alam sadar. Dalam pikirannya, sewaktu dirinya masih kecil. Tempat itu berwarna merah-gelap diiringi isakan tangis orang-orang, tempat tinggal hancur porak-poranda, tak berbekas. Dia ketakutan dan menangis. Pakaian yang dikenakannya hanya kaos dan celana pendek menutupi lutut tampak kotor, rambut acak-acakan.
"Hiks, hiks..."
"Brother..."
"Hiks, hiks..."
"Kamu di mana?"
Terdengar suara samar-samar.
"Aksa! Aksa!"
Deg.
Dia membuka mata pelan, melihat siapa yang memanggilnya.
Yudha.
"Kamu enggak apa-apa?"
Aksa bangun perlahan, menggeleng.
Yudha merasa lega."Kamu beneran enggak apa-apa?"
"Enggak. Mana Sinetra dan Eka?"
"Mereka tadi ada, tapi ke mana?"
"Kami di sini!" sahut Sinetra di tepi pantai.
Aksa dan Yudha menghampiri mereka. Menatap Eka pingsan dan terluka.
"Sang Hyang Widi!" Yudha berjongkok, merentangkan dua tangan, menyembuhkan lukanya.
"Yudha," kata Sinetra, "kartunya..."
"Aku tahu. Kartunya sudah direbut."
Luka Eka pelan-pelan tertutup.
"Bagaimana ngomongnya ke Ketua?"
"Itu gampang. Jangan khawatir."
Sinetra menatap luka Eka. Ia diam saja.
**
Mereka pulang, Aksa dan Yudha kembali ke perunas, mengambil belanjaan dan sepeda melayang. Aksa hanya diam, mengingat kejadian yang dialaminya. Mereka tiba di rumah tadi. Pagar bergeser otomatis, mereka masuk saat Dea, saudari Dhanni, yang mempunyai nama jepang Sho Yamamoto sementara Dhanni, mempunyai nama jepang Minami Yamamoto.
"Sudah selesai urusannya?" tanya Dea.
"Sudah."
Mereka duduk. Yudha terjungkal lagi. Dea menolongnya.
"Aksa sudah datang, Ane-san?" keluar Dhanni dari dapur menuju ruang tamu membawa nampan di atasnya ada dua teh dan beberapa camilan di piring, meletakkannya di meja.
"Silakan," katanya.
"Terima kasih."
Yudha meraih gelas, menyeruput teh. Dua wanita itu menatap Aksa.
"Sa, kenapa?"
Aksa tak menjawab.
"Aksa?"
Aksa mendongak.
"Eh ya?"
"Kamu kenapa?"
"Aku enggak apa-apa." tangannya mengambil roti brownies rasa cokelat, memakannya.
"Enak! Kakak yang bikin?"
Dea mengangguk.
"Kamu kapan ada waktu?"
"Emang kenapa?"
"Sebelum kalian datang, kami dapat pesan dari teman kami, dua hari sebelumnya di dekat Alun-Alun Cyborc, akan di adakan acara ECV Asia.
"Apa ECV Asia itu?"
"Acara bergensi yang diadakan seluruh asia termasuk Indonesia. Acara utamanya adalah penggalang dana dan sisanya ber-cosplay," jelas Dhanni, duduk di samping Dea.
"Kamu mau enggak ikut?"
"Ikut?"
"Kamu boleh mengajak teman. Temanmu kamu ajak ber-cosplay," kata Dea.
"Apa?"
"Aku enggak bisa cosplay!"
"Saya juga!"
"Tenang. Itu bisa diatasi."
"Kami yang akan mendandani
kalian," timpal Dhanni."Kamu punya teman lagi selain Yudha Wijaya ini," lanjutnya.
"Made Yudha."
"Kita mengajak siapa, Yud?"
Yudha tampak berpikir. Dia tak mungkin mengajak teman se-kost Gatra.
"Bli mungkin mau."
Aksa ikut berpikir. Namun terlintas di pikirannya Sinetra dan Eka.
"Aku tahu!"
"Siapa?"
"Sinetra dan Eka! Mereka pasti mau!"
"Bagaimana? Setuju?"
Aksa dan Yudha mengangguk mantap.
"Tapi beritahu mereka. Nanti takutnya mereka enggak setuju," kata Dea.
"Iya. Tunggu," Aksa menoleh ke arah Yudha.
"Apa?"
"Kita kan enggak punya nomor Whatssap mereka?"
Dhanni dan Dea langsung menepuk jidat masing-masing. Sementara Sinetra dan Eka tiba di kampus. Luka Eka sembuh namun ia lemas. Langit beranjak sore, mereka masuk, berjalan menaiki tangga menuju lantai dua. Sinetra menyuruh Eka duduk di kursi panjang besi dan dirinya masuk ke lab. Di ruangan, Indra masih terpekur di depan komputer. Ada Irfan, asisten dosen, datang sebelum ia datang. Sinetra menghampiri meja menekan tombol absen di tab di samping komputer. Mencangklong tas. Indra meliriknya.
"Mau pulang?"
"Iya. Sudah jamnya pulang."
Indra mendongak di balik komputer.
"Sudah jamnya pulang. Saya juga pulang deh," katanya, mengemasi barang-barangnya.
"Pulang juga, Bang?" tanya Irfan.
"Ya, mau main game. Mumpung lagi mood." menutup tas, mencangklongnya.
"Main game apa?"
"Biasa, Final Fantasy 15."
Sinetra berpamitan, keluar duluan menghampiri Eka.
"Ayo, kamu masih kuat?"
Eka mengangguk pelan.
Mereka menuruni tangga menuju lantai satu. Kawung dan Mega Mendung, mereka berbadan mungil bermotif batik sesuai motif badan mereka, menyapa, "Selamat Sore, Pak Arief."
"Selamat Sore," balas Sinetra.
Eka menoleh ke mereka beranjak menuju pintu kaca yang bergeser otomatis.
"Siapa mereka, Sine?"
"Mereka Kawung sama Mega Mendung. Mereka robot bersih-bersih."
Mereka menuju area parkir. Sinetra mengeluarkan sekuter melayang-nya, Eka naik dan masing-masing memakai helm. Sepeda melayang berbelok keluar. Robot satpam bersiap menyeberangkan mereka. Sinetra mengeluarkan kartu, menempelkannya di dada robot mungil itu.
"Terima kasih," ucapnya.
Robot satpam itu mengangguk. Mereka melaju ke jalan raya.
"Kita enggak mampir dulu?"
"Ke mana?"
"Ke Aliansi Garuda."
"Enggak usah."
"Ya, sudah. Aku bisa istirahat dulu," kata Eka menyelondorkan kepalanya ke pundak Sinetra alih-alih pundaknya mengenai kepala pemuda itu.
Druuk!
"Aduh, Ka!"
"Maaf."
Sinetra mendengus.
"Aku kan lemas."
"Tahu. Makanya kita cepat pulang."
Sekuter melayang berbelok ke arah kafe di sebelahnya ada sebuah lapangan bola tenis dan voli. Melesat lagi melewati lampu merah, berhenti di tengah lampu lalu lintas, lampu menandakan merah. Lama menunggu, akhirnya mereka melesat lagi hingga berbelok ke arah jalan lintas melewati Desa Cokelat-karena desa itu setiap rumah memiliki pohon cokelat hingga menyusuri jalan setengah jam mereka sudah berada di jalan menuju rumah. Melewati Pom bensin, berbelok ke jalan yang terdapat rel kereta-berbelok lagi ke jalan ada papan nama di situ bertuliskan Gang Bambu. Melewati sebuah butik kecil bernama "Ayyuni Lolita." Mereka sampai di rumah berpagarkan hitam, bercat abu-abu banyak ditanami bunga Algronema di samping rumah. Mereka masuk, mama tampak menggoreng ikan, mengangkatnya menggunakan serok, meletakkannya di panci yang bawahnya berisi minyak goreng.
Menoleh,"Sudah pulang, Le?"
"Iya."
"Kenapa kamu berdua terlihat lelah? Apalagi Eka. Ada apa dengannya?"
Mereka tak menjawab. Bingung apa yang akan dikatakan kepada mama.
"Ceritanya panjang, Ma," jawab Sinetra, turun diikuti Eka.
Mama diam, melanjutkan menggoreng lagi, tak ayal beliau terciprat minyak saat memasukkan ikan lele yang sudah dipotong, dibersihkan, dan sudah diberi bumbu kuning. Beliau menjerit heboh. Mereka masuk ke ruang tengah menuju kamar di samping ruang tamu. Shinta, sehabis memeriksa pekerjaannya, menonton drama korea di tab-nya, mendongak, melontarkan pertanyaan yang sama seperti mama. Mereka masuk ke kamar.
Di luar, Molly baru pulang, sehabis menggarong dengan teman sesama kucing. Kucing itu masuk melewati jendela kamar, mendekati kaki Sinetra, mengeong pelan.
"Apa?"
"Meong."
"Makan? Sudah dikasih makan sama kakak?"
"Meong."
"Belum?"
"Ngawur! Sudah kukasih makan, tahu!" seru Shinta."Nanti kalau dia lapar lagi, kasih makan sendiri. Daritadi ngikutin aku mulu."
"Iya, nanti kuberi makan dia," kata Sinetra.
Eka melepas bajunya hanya tinggal kaos saja.
"Kucingmu rakus."
"Enggak tahu. Padahal sudah diberi makan." Kakinya mengelus kepala kucing itu. Molly dielus seperti itu manja bahkan menggigit kakinya.
"Auw, auw-malah nggigit!" Sinetra mengangkat kakinya ke ranjang. Kucing itu berbaring di bawah lantai, menggeliat.
"Dasar kucing manja," kata Eka.
Molly meong.
Eka bangkit dari ranjang, membawa bajunya, meraih handuk berwarna hijau muda di ranjang berisi kumpulan celana dalam dan kaos Sinetra. Tampak plastik hitam di situ. Ia membukanya, berisi serenteng celana dalam dan kaos baru.
"Punya siapa ini?"
Sinetra menoleh, melihat plastik hitam itu.
"Enggak tahu," mengalihkan pandangan. "Kak, celana sama kaos ini punya siapa?" tanyanya.
Shinta menolehkan kepala dari tab.
"Itu punya Eka. Tadi dibelikan sama mama pas kamu sudah berangkat tadi pagi," jelasnya.
Eka tinggal di rumah, seperti biasa membersihkan rumah.
"Gitu. Soal baju, kamu bisa pinjam aku."
"Iya. Tugas yang berat, ya? Aku sampai enggak percaya."
"Aku juga. Berarti Ketua enggak sembarang memilih orang."
"Sama."
Eka berbalik keluar dari kamar. Shinta mem-pause drakor-nya.
"Kalian ngomongin apa, sih?"
Eka berhenti melangkah.
"Bukan apa-apa."
Shinta menyipitkan mata curiga.
"Jangan main rahasiaan."
"Siapa yang main rahasia? Aku sama Sine enggak begitu."
Shinta kembali menatap tab-nya, melanjutkan menonton.
Eka maupun Sinetra sama-sama menghela napas. Eka melangkah lagi menuju kamar mandi. Sinetra melepas seragam kerjanya, meletakkannya di ranjang lalu melepaskan kacamata. Molly bangun, keluar dari kamar karena dia dicuekin Sinetra.
**
Besoknya, Sinetra seperti hari kemarin, ia berangkat menuju Kampus USER. Setengah jam ia baru sampai, memakirkan sekuter melayang-nya masuk ke area parkir.Turun seraya mencabut kunci dan masuk saat pintu bergeser otomatis. Kawung dan Mega mendung menyapanya.
"Selamat Pagi, Tuan Arief,"
"Selamat Pagi, Kawung! Mega mendung!"
Ia menghampiri tangga, menaiki tangga ke lantai dua. Di depan Lab Desain, membuka pintu, di ruangan itu tampak Irfan. Ia masuk, menghampiri meja kerjanya, menyapa,"Selamat Pagi."
Irfan menoleh,"Selamat Pagi," balasnya.
"Tumben datang pagi? Biasanya siangan, Fan?"
Irfan meringis.
"Mau nonton anime soalnya," jawabnya. "Bang, setelin lagu, dong!"
"Mau lagu apa?"
"Terserah."
Sinetra diam-diam tersenyum. Tangannya menekan CPU, komputer pun menyala. Sambil menunggu, Irfan menoleh menatapnya. Dia tahu kenapa pemuda itu tersenyum.
"Bang, jangan setel lagu itu ya?"
Sinetra masih dengan senyumannya. "Lagu yang mana?"
"Lagu yang biasa Abang setel itu, sakit gigi saya kambuh lagi!"
Layar monitor komputer itu menandakan loading, kemudian muncul tampilan serta ikon-ikon program di dalamnya. Ia menggerakan mouse, membuka internet, mengetik sebuah tulisan- Youtube, menyetel lagu. Langsung saja lagu mengalun disertai sreamo kencang.
"JANGAN LAGU ITU!" pekik Irfan menutup dua telinganya. Sinetra tak peduli, lagu itu terus mengalun bagai serangan kawanan dementor yang mengisap kebahagian seseorang.
"Bang Sinetra!"
"Apa?"
"Ganti lagunya!"
"Enggak. Aksa lagi menyanyi nih."
"Saya enggak suka lagunya! Nanti gigi saya sakit lagi!"
Sinetra mendengarkan lagu berjudul Go with me, album pertama dari Hard Core band.
Pergi, pergi, pergi
Pergi denganku...
Kita pergi bersama menuju impian
Pergi
Aku ingin impian kita, walau berbeda bisa kita diwujudkan.
"Bang Sinetra."
"Apalagi?"
"Nanti lagu itu ganti yang lain ya?"
Sinetra mendengus. Mengganti lagu dangdut yang tidak disukainya. Lagu mengalun. Di Sampingnya Irfan tersenyum puas.
"Begitu dong. Ini baru enak di dengar."
Sinetra diam.
Pintu terbuka, Indra masuk menghampiri meja kerjanya. Tangannya meraih buku absen, mengipas-kipaskan ke arah wajahnya. Dahinya berkeringat.
"Panasnya!"
"Dingin, Bang, di sini," kata Sinetra.
"Iya, kan ada AC. Tapi di jalan tadi panas." kepalanya melengok ke arah Irfan."Hei, tumben kamu di sini?"
"Mau nonton anime."
"Oala. Sinetra, kamu kenapa?"
Sinetra diam saja, membuka komik online. Indra ikut menatap ke komputer. "Baca komik."
"Kamu enggak berubah ya."
Dua mahasiswa dari Jurusan Desain Grafis komputer 1, memasuki ruangan. Si kembar Hendra dan Hendri memilih meja kerja di samping Indra. Mereka menyalakan CPU masing-masing. Komputer mereka memperlihatkan program aplikasi Dreamweaver, mencicil tugas yang pernah diberikan oleh Indra. Mereka mencoba mengetik kata sandi sembari membuka Adobe Photoshop CS 6 dan tutorial yang diberikan Indra—agar mereka tidak kesulitan. Indra menghentikan kipasnya, menatap desain hasil karya mereka.
"Woow, jadi begitu! Bagus desain kalian," pujinya.
"Jelek," ucap mereka bersamaan.
"Lho, semuanya desainnya Final Fantasy?"
"Iya, samaan." Hendri melirik desain kakak kembarnya."Enggak jadi anime, Bang?"
"Enggak. Ini saja sudah cukup. Pokoknya pekerjaannya cepat selesai, biar aku bisa santai!"
"Hahaha!" tawa Indra."Ya sudah, habis tugas ini saya berikan kebebasan untuk kalian," katanya.
"Beneran?"
Indra mengangguk.
"Kalau ada kesulitan, tanya saya."
"Iya."
"Nanti, jam pelajarannya siapa, Nak?"
"Bang Vian," kata Hendra. "Sekarang sudah masuk Fotografi."
Mereka melanjutkan pekerjaan. Sinetra masih terpekur membaca komik. Lagu pun berganti-lagu Hard Core Band berjudul "Silent to Me" mulai mengalun. Sinetra yang cemberut langsung sumringah. Di samping kirinya, Irfan mulai mengaduh sakit.
"Sakit gigimu kambuh lagi?"
"Enggak."Irfan memegang bagian bawahnya."Perut saya sakit."
"Kirain."
Irfan mem-pause anime-nya, beranjak keluar menuju toilet bawah. Beranjak dari lab, pindah ke sebuah studio Cyborc di mana Hard Core Band biasanya membuat lirik. Aksa tampak serius menulis di buku catatan. Dia menulis sebuah lirik untuk album mereka yang baru di ruang makan. Lima teman band-nya asyik menyantap roti diolesi selai kacang dan cokelat menatap vokalis mereka mengeryitkan alis.
"Sa, jangan serius begitu. Santai saja."
"Apa sih yang kamu tulis? Coba kulihat." Erlio menarik buku itu. Tampak empat baris lirik yang ditulis.
Kau
Kau, kau memang tampan. Lebih tampan dariku
Kau
Kau, kau selalu tampil. Tampilanmu lebih baik dariku
"Cuma segini?"
Aksa menyeret bukunya.
"Cuma segitu."
"Apa judulnya?" tanya Samuel.
"Belum kutulis. Oh ya, kalian mau enggak kuajak berkostum untuk acara tiga hari besok?" tawarnya.
"Berkostum?"
"Cosplay, maksudmu?"
"Iya, kalian mau?"
"Siapa yang menyuruh?"
"Yamamoto bersaudari," kata Aksa.
"Tunggu, mereka bukannya make up artis ternama itu?"
"Mereka cosplayer?"
"Iya."
"Aku enggak bisa cosplay."
"Tapi kalau bertemu mereka mau!" kata Erlio,"mereka imut tahu!"
"Aku hanya menawarkan. Kalau enggak mau, biar temanku yang lain."
"Temanmu yang lain?"
"Siapa?"
"Kalau ikut, aku kasih tahu." Aksa menatap kembali bukunya.
Pintu bergeser, masuk seorang pria berperawakan tinggi, sekitar 170, berkulit putih, berambut cokelat rapi, bertubuh gagah dan bermata biru. Pria itu menghampiri meja, duduk di antara mereka.
"Dengarkan," katanya.
"Ada apa, Sir?"
"Saya mendapat pesan dari pihak acara Asian Festival Cosplay, kalian akan membawakan acara pertama," jelas Devian.
"Acara yang ada cosplay-nya?"
"Betul. Tiga hari lagi acaranya diadakan. Kamu kok tahu?"
"Tahu dari teman saya."
"Dari Yamamoto bersaudari," sahut Samuel, menggigit roti isi selai kacang.
"Yang penting, kalian harus mempersiapkan diri kalian."
"Sir, Tapi saya terlanjur diikutkan jadi cosplay itu..."
"Kamu jadi cosplayer?"
"Kamu mana bisa dandan?"
"Mereka yang mendandaniku tahu!"
"Jadi apa ya kamu nanti?"
Mereka berlima kecuali Aksa dan Devian bergumam bersama.
"Terserah aku jadi apa! Mau jadi Titan, iblis, vampir atau yang lain!"
"Iya, deh. Berarti, besok kita mulai latihan lagi, Sir?" tanya Olson.
Devian mengangguk.
"Persiapkan mulai sekarang. Di sana kalian bisa menikmati acaranya juga. Enggak usah memaksakan diri... Kalian butuh refreshing kan?"
Mereka berenam tersenyum dengan mata berbinar-binar.
"Beneran?"
"Asyik!"
"Bisa foto bareng sama Yamamoto bersaudari dong!"
"Ngebet banget sama mereka he?"
"Iyalah! Mereka susah kalau diajak ngobrol-ngobrol-maksudnya mereka selalu sibuk..."
Samuel menatap Aksa. Dia kembali menatap bukunya."Nulis liriknya besok saja, kita istirahat dulu. Aku tahu kamu pengin bikin lagu baru lagi."
Aksa mengalihkan pandangan. Meletakkan pulpennya. Kepalanya di letakkan di meja. Pikirannya kembali soal kemarin, waktu dirinya terkena hipnotis senjata bunga beracun milik Dewa.
"Hiks, hiks... Bother... Brother..."
Dia memejamkan mata, mencoba melupakan kejadian dulu itu, sewaktu dirinya terpisah oleh Pranaja. Bahkan abangnya tak mengingatnya sama sekali.
"Lho, tidur?" sahut Olson."Kamu enggak apa-apa?"
Aksa membuka mata.
"A-aku?"
"Kamu sakit? Kalau begitu, kita pulang saja. Sir, kami pulang dulu," ucap salah satu dari mereka, beranjak dari kursi.
Aksa bangun, berdiri. Beranjak membereskan catatannya meninggalkan dapur. Mereka menuju ke parkiran studio, kebetulan dia tak membawa sepeda melayang ikut menaiki mobil melayang milik salah satu temannya. Mobil melayang berbelok masuk keluar ke jalan raya. Erlio meliriknya."Sa, kamu kenapa?"
Aksa menompangkan dagu di tangan. Menggeleng pelan.
"Kamu mikirin soal dandan cosplay itu?"
"Eh, ya... tapi, anterin aku pulang," pintanya kepada Samuel yang menyetir.
"Kamu mengajak Bumi ke acara itu?"
"Iya."
"Temanmu yang kamu bilang itu selebriti?"
"Bukan. Mereka orang biasa."
Mobil melayang melaju menuju jalan membelokkan menuju rumah Aksa-yang juga sebuah kompleks perumahan. Perumahan itu "Perum Cyborc 02". Melewati beberapa blok. Mobil melayang berbelok ke blok J, berhenti tepat di salah satu rumah bercatkan batu marmer cokelat, berpagar putih. Aksa turun, mengucapkan terima kasih. Pagar itu otomatis bergeser, dia masuk ke dalam rumah. Pranaja sedang memasak oseng-oseng tahu, menoleh. Bumi melayang memeluknya.
"Sudah pulang? Nih, aku masakin oseng-oseng tahu kesukaanmu," kata Pranaja."Bagaimana latihannya?" meletakkan oseng-oseng itu di meja.
Aksa menggeser kursi. Dia diam saja.
Pranaja ikut duduk. Menatap adiknya.
"Ada apa?"
"Brot, masih ingat?"
"Ingat apa?" Pranaja meraih piring, menyiduk nasi.
"Ingat tentang Brother lupa sama aku..."
Pranaja mengambil oseng-oseng tak jadi, terdiam sebentar sambil memperbaiki kacamata bulatnya.
"Masih. I am sorry," katanya,"kamu berpikir aku hilang ingatan lagi? Itu sudah masa lalu..."
"Jangan tinggalin aku lagi ya?"
Pranaja menggeleng.
"Siapa yang mau ninggalin kamu? Kayak di sinetron saja. Oh ya, kemarin banyak banget camilan yang kamu beli? Sampai Bumi kekenyang lho."
Aksa menatap robotnya.
"Beneran, Bum?"
Bumi mengangguk.
Pranaja pun mengajak makan Aksa. Aksa memakannya, memuji masakannya.
**
Kembali lagi ke Lab Desain, Sinetra masih terpekur di layar komputer menonton anime sampai adegannya diputar ulang membuat semua mahasiswa Desain Komputer 1 menoleh ke arahnya.
"Aku tahu apa yang di tonton sama Bang Sinetra," celetuk Hendra.
"Anime itu ya? Aku lebih suka anime militer," jawab Hendri.
"Kenapa kalian suka nonton itu?" Rommy, di sebelah Hendri, membuat desain di Adobe Photoshop CS 6 untuk tugasnya.
"Suka saja."
Sinetra menonton anime hingga bagian akhirnya.
"Kasihan."
"Siapa yang kasihan?" tanya Indra.
"Musuhnya. Tapi saya suka musuhnya kayak MJ."
"Siapa MJ?"
"Michael Jackson."
Pembicaraan mereka berlangsung hingga Evolution Entity menyala. Sinetra menunduk ke arah sakunya.
"Ada apa?"
"Bang, saya boleh izin sebentar?" ucapnya.
"Boleh. Ada urusan lagi?"
Sinetra mengangguk. Ia berlari sekencang mungkin menuruni tangga seperti sebelumnya masuk ke salah satu toilet-dari ketiga toilet bertuliskan "Khusus Karyawan" tampak dibersihkan oleh karyawan menggunakan sabun pembersih agar tak bau. Sisanya ada dua toilet. Ia mencoba mengetuk pintu di antaranya. Ternyata toilet itu ada penghuninya, berseru,"Hoi!"
Ia beralih ke toilet sebelah, namun didahului seorang dosen bertubuh tinggi, berkulit cokelat, yang mengajar Akutansi.
"Kamu mau masuk?"
"Silakan Bapak saja duluan," tawarnya sopan.
Dosen itu masuk seraya menutup pintu. Ia harus bersabar menunggu dengan perasaan gelisah karena benda itu sudah meraung tak sabar. Beberapa dosen keluar dari ruang Lembaga. Ia melihat dosen pembimbing yang dikenalnya keluar bersama seorang pria muda, memakai udeng batik berwarna biru, memakai jas putih seperti ilmuwuan ada tag nama tertera di dada kanannya bernama Wayan Gatra. Ilmuwan itu menoleh tersenyum padanya. Sinetra membalasnya dengan senyum yang dipaksakan. Saat melihat wajah pria itu, ia merasa tak asing. Ia teringat sesuatu yang amat terdesak.
"Bukan saatnya untuk itu!" katanya, meremas rambutnya.
Pintu toilet itu terbuka, dosen itu keluar. Sinetra menerobos masuk menutup pintu. Merogoh saku, mengambilnya. Dengan tak sabar mengucapkan kata kunci.
"Garuda Evolution!"
Evolution Entity bersinar terang ia masuk ke dimensi-berubah. Setelah berubah tangannya meraih kartu Gapuran di Evolution Entity. Kartu itu menyala, muncul lingkaran sihir mengisapnya berpindah ke Wedi, sebuah tempat mirip padang pasir.
Ia datang sendirian lagi dan menunggu.
NB:
*Aduh, kebus! (Bahasa Bali): Aduh, panas!