Read More >>"> Cinta si Kembar Ganteng (Bagian 4 – sewaktu 11 tahun) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta si Kembar Ganteng
MENU
About Us  

Rifky dan Rafky terlalu terburu-buru untuk ke sekolah. Tahun terakhir yang menjanjikan untuk segera usai, dengan santai atau tidak sama sekali. Abu yang mengantar keduanya ikut gaduh dengan keburu-buruan.

Rafky tidak mau memakai sepatu hitam, Rifky tidak mau melepas sepatu hitam. Rifky sudah rapi rambutnya, Rafky masih acak-acakan. Buku-buku sudah masuk semua ke dalam ransel sekolah Rifky. Rafky masih berlarian ke seisi kamar mencari buku tugas matematika, buku pelajaran IPA dan penggaris. Padahal semalam, Rifky sudah memasukkan semua kebutuhan mereka ke dalam ransel masing-masing.

Nyak Fatimah ikut mengejar Rafky ke sana-sini. Dengan piring berisi nasi, sekali suap, sekali kejar. Rafky tak ada ampun dalam histeris. Abu menunggu dengan geram di waktu yang harus segera menekan sidik jari masuk kantor. Begitu pintu mobil terbuka, Rafky menjerit dasinya lupa ditaruh di mana.

Seterusnya. Hampir tiap pagi keluarga itu gaduh. Tetangga kiri dengan jarak 100 meter mungkin sudah terbiasa. Rumah di samping kanan sesekali menawarkan senyum hambar karena bising pagi yang tak kunjung usai. Pintu rumah di depan, tak pernah terbuka, maupun jendela, sebelum pukul 10 pagi; waktu mereka bangun semua.

Belum lagi. Jika ada orang lewat di depan rumah, sebelum masuk mobil, Rafky akan berujar, “Selamat pagi,” kepada kakek-nenek yang tidak dikenal baik, “Selamat pagi,” kepada orang jual sayur, “Selamat pagi,” kepada anak kuliahan yang jalan kaki menuju halte, “Selamat pagi,” kepada pemuda yang baru saja lari pagi, dan “Selamat pagi,” kepada bayang entah siapa dari sudut kiri dan kanan dari pandangannya.

Abu biasanya akan menderukan mesin mobil sekali, menutup pintu dan pura-pura menancap gas. Rafky akan berhenti membungkuk di pinggir trotoar dan berlari ke pintu mobil yang tertutup. Abu akan membuka pintu, menarik sabuk pengaman dan merekatnya, baru kemudian mereka menuju ke sekolah dalam jarak 5 kilometer dari rumah tanpa kemacetan. Tapi sayang, pagi hari adalah waktu trafik jalan padat di kota ini.

Anak sekolahan dengan kendaraan bermotor bergandengan di jalan. Angkutan umum kadang berhenti suka-suka mengambil penumpang. Kendaraan roda dua yang kebut-kebutan takut terlambat masuk kuliah atau kantor. Tak lupa, abang becak dengan mak-mak baru pulang dari belanja pagi, dengan barang bawaan sangat banyak, sesekali diserempet oleh anak sekolahan yang membuat barangnya jatuh.

“Berhenti kalian!” teriak abang becak yang dicemoohan oleh gerombolan anak sekolah. Mereka menarik pedal gas dengan kencang. Syukur-syukur selamat, tak kecuali sesekali di antara mereka oleng ke parit atau terjerembap di jalan yang masih berembun. Saat itu, tak ada yang menolong seketika karena orang-orang di sekitar dalam tawa berlari ke abang becak dan seorang penumpangnya yang baru kena musibah. Apakah pecah telur-telur yang baru dibeli, daun sawi yang kotor, atau bawang berserak di jalanan.

Rifky sesekali mungkin memperhatikan kejadian aneh di jalan. Tidak dengan Rafky. Mulai dari masuk mobil sampai ke sekolah, Rafky akan tertidur pulas. Tidak juga karena bergadang. Bukan pula karena mabuk kendaraan. Tetapi, “Biar cepat sampai!”

***

Sampai di rumah, jika sudah pulang sekolah, Rifky akan membersihkan diri, baru kemudian makan. Rafky malah sebaliknya. Kebiasaan yang berbanding terbalik dari anak kembar. Rafky akan berlama-lama dengan seragam sekolah. Menepis keringat yang membasahi badan. Mengabaikan ocehan Nyak yang berlari ke sana-sini dengan piring nasi di tangan. Dan juga, tidak pernah melihat mata melotot Abu yang lelah dengan sendirinya.

Rafky akan tertidur jika sudah lelah. Rifky akan membereskan tas, buku-buku Rafky, dan mungkin juga memasukkan seragam Rafky yang kotor ke dalam keranjang pakaian kotor di sudut kamar mereka. Begitu bangun, Rafky akan keluar kamar mencari bola, memompa sepeda, mengambil air putih di dalam kulkas, menarik lengan Rifky, lalu ke lapangan di belakang rumah.

Meski, mau tidak mau, Rifky juga akan bermain bola tanpa jeda. Rafky tidak akan penah lelah sama sekali. Keduanya akan pulang saat Abu datang dengan setangkai lidi dengan baju kantor yang belum sempat digantinya. Rifky akan segera menepi sedangkan Rafky masih berteriak sekuat tenaga, “Kau tendang ke kiri bukan ke kanan!” perintahnya kepada kawan satu tim.

Muazin mengumandangkan azan, Rafky baru selesai terengah-engah. Butir keringat di dahi Abu tak kunjung kering. Abu mungkin sudah lelah untuk marah. Setangkai lidi yang dibawanya hanya untuk menakuti-nakuti saja. Tak pernah sekalipun Abu melayangkan lidi-lidi itu ke punggung kedua anaknya.

“Malam ini kalian harus cepat hapal ayat….,” belum selesai Abu berujar, Rafky mengeluarkan keluhan panjang.

“Sudah kubilang, jangan main satu tim kita. Abang nggak pernah dengar. Aku nggak mau kita satu tim. Kalau satu tim, kita selalu kalah,” Rafky melempar-lempar bola di tangannya. “Tadi Abu lihat sendiri, kan? Abang mainnya payah. Jaga gawang nggak bijak. Jadi kapten malah cepat lelah. Besok-besok kita bisa tim saja!”

Rifky mengekor dari belakang. Abu berujar, “Satu tim saja bisa kalah, bagaimana dengan pisah tim?”

“Kami akan menang!”

“Kalian ditakdirkan untuk selalu bersama. Abu selalu bilang begitu, bukan?”

“Nyatanya kami kalah!”

“Kalian belum menemukan kelebihan masing-masing. Kalian berdua tidak bisa dipisahkan. Abang akan jaga adik. Adik akan menuruti apa yang abang sampaikan,”

“Tidak bisa begitu juga, Abu!”

“Raf, kamu itu harus menurut sama abangmu. Begitu juga kamu, Rif, kamu harus jaga adik kamu,”

“Iya, Abu,” jawab Rifky.

“Tapi, Abu,” keberatan Rafky.

“Kalian butuh strategi. Kalian itu satu hati, satu kata dalam banyak hal. Cuma butuh selaraskan pikiran dan atur siasat agar bisa menang,”

“Abang payah, Abu,”

“Raf, kamu melihat kekurangan abang kamu, itu sebenarnya kekurangan kamu juga,”

“Mana mungkin begitu,”

“Kalian itu satu jiwa. Satu terluka. Satu lagi ikut terluka. Satu tangan kanan. Satu lagi tangan kiri. Kalian harus berjalan seimbang agar bisa menembus batas yang orang lain tak akan mampu,”

“Iya, Abu,” kata Rifky.

“Abang jangan iya-iya saja-lah,”

“Mulai sekarang, Abu akan atur waktu kalian main bola. Jam 6 tepat, kalian berdua sudah harus pulang dan mandi. Tak ada bantah!” perintah Abu tegas.

***

Malam mengaji di surau dekat rumah. Alunan malam yang selalu sama menggambarkan bagaimana nyenyaknya udara di sekitar. Rafky sering terkantuk-kantuk karena lelah. Rifky sesekali mencubit adiknya agar segera bangun. Deru kendaraan di pinggir jalan tidak mengusik berat matanya Rifky di jam 9 malam.

Setoran hapalan sering terlambat karena Rafky akan tidur terlebih dahulu manakala anak-anak lain menghapal. Satu dua anak sedikit terlambat dalam menghapal yang membuat Rafky tidak sabar menanti. Lepas mengaji, baca doa, Rafky akan langsung tertidur karena anak-anak lain berebut siapa duluan menyetor hapalan. Rafky akan menanti bagian terakhir saja karena Abu juga datang menjemput selalu telat.

Jam 10 seperti malam-malam lain. Rifky dan Rafky selesai menyetor hapalan hanya dalam lima menit saja. Anak-anak lain mungkin sudah sampai ke rumah. Sudah menyelesaikan tugas rumah, atau langsung tertidur. Kedua anak ini masih tertatih di atas jalan aspal yang remang.

Lampu jalan sesekali berkedip. Rifky yang mengantuk sudah tak terdengar omongannya. Di pangku Abu, Rifky terlelap. Rafky berjalan bersisian dengan Abu. Sampai usianya kini, tak pernah sekalipun Abu memangkunya sepulang mengaji malam hari. Tempat itu selalu milik Rifky.

Rafky kecil tak terlintas untuk mengeluh. Sampai di rumah, Nyak mematah Rifky ke kamar, menyelimuti dan baru kemudian memperhatikan Rafky. Waktu ke waktu yang lewat. Karena itu, Rafky sangatlah terbiasa menjadi mandiri. Saat Abu dan Nyak membereskan kebutuhan Rifky, Rafky sudah selesai semua urusan. Bahkan, kebutuhan Rifky pun sudah dirinya bereskan agar besok tidak kalang-kabut; namun keesokan harinya, Rafky sendiri yang akan mem-ping-pong-kan peralatan sekolah dengan sendirinya.

Demikian pula di akhir ujian sekolah. Abu bertanya satu persatu.

“Rif, kamu mau lanjut ke sekolah asrama?”

“Raf, kamu ikut apa kata abangmu bagaimana?”

Rifky menjawab, “Sekolah mana saja sama Abu, kami sekolah kayak orang-orang saja biar dekat dengan Abu dan Nyak,”

Rafky menjawab, “Sekolah asrama tidak bebas,”

“Sekolah asrama bisa buat kalian disiplin, Nak,” ujar Abu.

“Sekarang kami sudah disiplin dan tidak kurang suatu apapun, Abu,” kata Rifky.

“Kami juga juara kelas,” bangga Rafky.

“Pikirkan lagi, sekolah asrama itu banyak sekali manfaatnya untuk kalian. Kalian bisa dapat kelas tambahan matematika, sehari-hari ngomong dalam bahasa asing, bisa les musik, bisa ikut olahraga, bisa hapal ayat-ayat juga lebih mudah,” desak Abu. Matanya memicing ke arah Nyak yang diam saja.

“Kami cuma bisa berikan yang terbaik buat kalian, Nak,” ujar Nyak dengan mata sedikit berembun.

“Kami bisa belajar semua itu di luar dengan mudah, tapi kasih sayang Abu dan Nyak tidak bisa kami pelajari saat ada di asrama,” kata Rifky dan Rafky langsung mengangguk-angguk dengan mantap.

“Matematika kami bisa les, kan, Abu?” tanya Rifky.

“Iya,”

“Bahasa kami ikut tes juga apa nggak boleh?”

“Bisa,”

“Olahraga bisa ikut tiap Sabtu sore di sekolah bagaimana?”

“Nggak masalah,”

“Mengaji dan hapalan masih bisa ke surau tiap malam,”

“Benar,”

“Ngapain juga kami perlu sekolah asrama Abu?” tanya Rafky.

Abu terdiam.

“Asyik. Kami bisa main bola tiap sore!” girang Rifky.

“Rif, Abu belum kasih jawaban,” tegur Nyak. Rifky terdiam.

“Tidak ada main bola tiap sore,” kata Abu tegas.

“Abu…,” keluh Rifky.

“Kalian sendiri yang buat perjanjian. Jadi, pagi sekolah, sore les, malam mengaji. Libur cuma hari Minggu. Sepakat?” putus Abu.

Semuanya terdiam.

“Sepakat? Atau sekolah asrama?”

“Sepakat!” Rifky dan Rafky menyetujui.

Anak kecil dihadapkan pada keputusan yang sulit. Tapi keduanya melewati dengan mudah karena, “Kita nanti kalau sudah kuliah akan tinggalkan Abu dan Nyak berdua di rumah. Bagaimana perasaan mereka kalau sekarang saja kita sudah sekolah asrama?” tanya Rifky sesaat sebelum nyenyak mematikan lampu di kamar mereka.

“Kita bisa pintar seperti orang-orang, kan, Abang?” ada gundah di hati Rafky.

“Kita hanya perlu jadi diri sendiri saja,” tutup Rifky.

Lalu, mimpi menghantui mereka sejak saat itu!

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Bulan
698      402     5     
Short Story
Ketika Bulan mengejar Bintangnya kembali
Asa
3994      1186     6     
Romance
"Tentang harapan, rasa nyaman, dan perpisahan." Saffa Keenan Aleyski, gadis yang tengah mencari kebahagiaannya sendiri, cinta pertama telah di hancurkan ayahnya sendiri. Di cerita inilah Saffa mencari cinta barunya, bertemu dengan seorang Adrian Yazid Alindra, lelaki paling sempurna dimatanya. Saffa dengan mudahnya menjatuhkan hatinya ke lubang tanpa dasar yang diciptakan oleh Adrian...
Ketika Takdir (Tak) Memilih Kita
516      281     8     
Short Story
“Lebih baik menjalani sisa hidup kita dengan berada disamping orang yang kita cintai, daripada meninggalkannya dengan alasan tidak mau melihat orang yang kita cintai terluka. Sebenarnya cara itulah yang paling menyakitkan bagi orang yang kita cintai. Salah paham dengan orang yang mencintainya….”
Campus Love Story
5773      1483     1     
Romance
Dua anak remaja, yang tiap hari bertengkar tanpa alasan hingga dipanggil sebagai pasangan drama. Awal sebab Henan yang mempermasalahkan cara Gina makan bubur ayam, beranjak menjadi lebih sering bertemu karena boneka koleksi kesukaannya yang hilang ada pada gadis itu. Berangkat ke kampus bersama sebagai bentuk terima kasih, malah merambat menjadi ingin menjalin kasih. Lantas, semulus apa perjal...
Cinta Wanita S2
4210      1219     0     
Romance
Cut Inong pulang kampung ke Kampung Pesisir setelah menempuh pendidikan megister di Amerika Serikat. Di usia 25 tahun Inong memilih menjadi dosen muda di salah satu kampus di Kota Pesisir Barat. Inong terlahir sebagai bungsu dari empat bersaudara, ketiga abangnya, Bang Mul, Bang Muis, dan Bang Mus sudah menjadi orang sukses. Lahir dan besar dalam keluarga kaya, Inong tidak merasa kekurangan suatu...
Pemeran Utama Dzul
348      230     4     
Short Story
Siapa pemeran utama dalam kisahmu? Bagiku dia adalah "Dzul" -Dayu-
Dinikahi Guru Ngaji
523      390     1     
Romance
Hobby balapan liar selama ini ternyata membuat Amara dipindahan ke Jakarta oleh Kedua orang tuanya, Rafka begitu kahwatir akan pergaulan bebas yang selama ini terjadi pada anak muda seperti putrinya. Namun, saat di Jakarta ternyata Amara semakin tidak terkendali, Rendra akhirnya akan menjodohkan cucunya dengan seorang duda anak satu. Shaka adalah guru Ngaji di TPA tidak jauh dari rumah ...
5 Years 5 Hours 5 Minutes and 5 Seconds
491      341     0     
Short Story
Seseorang butuh waktu sekian tahun, sekian jam, sekian menit dan sekian detik untuk menyadari kehadiran cinta yang sesungguhnya
Secret Melody
1992      702     3     
Romance
Adrian, sangat penasaran dengan Melody. Ia rela menjadi penguntit demi gadis itu. Dan Adrian rela melakukan apapun hanya untuk dekat dengan Melody. Create: 25 January 2019
Jika Aku Bertahan
11384      2348     58     
Romance
Tidak wajar, itu adalah kata-kata yang cocok untuk menggambarkan pertemuan pertama Aya dengan Farel. Ketika depresi mengambil alih kesadarannya, Farel menyelamatkan Aya sebelum gadis itu lompat ke kali. Tapi besoknya secara ajaib lelaki itu pindah ke sekolahnya. Sialnya salah mengenalinya sebagai Lily, sahabat Aya sendiri. Lily mengambil kesempatan itu, dia berpura-pura menjadi Aya yang perna...