“Dunia Sasha sudah cetak ulang kelima, Pak.” Sahut seseorang di seberang sana. “Ada produser yang tertarik untuk menjadikannya film.”
Joseph tersenyum puas. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya lima tahun silam, Maya memang memberikannya pesan untuk menerbitkan mahakarya terakhinya yang ia beri judul Dunia Sasha. Kini, buku tersebut laris manis di pasaran. Tak jarang, orang menangis tersedu-sedu membaca kisahnya.
Sebuah kisah nyata seakan-akan Maya menulis sendiri takdirnya.
Setelah menutup telepon, Joseph melirik Keisha yang menari-narikan kuas di atas sebuah kanvas. Seperti perkataan Maya dua tahun lalu, Keisha akan menjadi pelukis terkenal. Kini, gadis itu memiliki galeri pribadi dan menetap di Bali. Penikmat-penikmat lukisan bahkan sanggup membeli dengan harga mahal untuk mendapatkan karya ciptaannya. Joseph yang memiliki akses terhadap rekan-rekan bisnisnya yang juga penikmat seni lukis, membuat gadis itu mudah menemukan pasarnya.
Satu-satunya karya yang tak ternilai harganya, tergantung bak icon di studio pribadinya. Sebuah lukisan wajah Maya Kamila yang sedang tersenyum lebar. Lukisan yang seakan-akan hidup untuk menemani Keisha agar selalu mendapatkan inspirasi.
“Kei, tiga puluh menit lagi kita ketemu teman Papa yang mau beli lukisan kamu, ya?”
Masih fokus menari-narikan kuas di atas kanvas, Keisha hanya mengangguk. “Oke, Pa.”
***
Angin musim gugur menerbangkan rambut Raisa yang tergerai. Ia mengencangkan coat merah jambu yang dikenakannya, beserta syal dengan warna senada. Daun maple kemerahan mulai berguguran di sekitar. Tak jarang, dedaunian kering itu terbang dan tiba di hadapannya.
Setelah usai mengikuit kelas transport phenomena, perempuan itu duduk sendirian di salah satu taman di Technical University of Berlin. Tempatnya melanjutkan gelar master.
Sebelum ia masuk ke kelas, Joseph memberikan dua kabar baik. Ia mengirimkan potret galeri Keisha yang semakin lama semakin ramai pengunjung. Kini, kakak perempuannya bahkan membuka kelas melukis. Beberapa penikmat lukisan papan atas rela membayar hasil ciptaan Keisha dengan harga mahal.
“Dia mau buka satu galeri lagi. Lokasinya di Jakarta. Kalau tempatnya sudah selesai direnovasi, dia bilang kamu dan suami kamu harus datang untuk menghadiri acara pembukannya.” Ujar Joseph di telepon.
Raisa sontak mengiyakan. Ia turut senang karena kakaknya yang beberapa tahun lalu mengalami trauma kesehatan mental, kini kembali bangkit sebagai pelukis yang sukses. Raisa bahagia sebab Keisha berhasil menemukan sesuatu yang menjadi gairah dan dunianya.
Kabar kedua, Joseph memberitahu bahwa Dunia Sasha sebentar lagi akan diadaptasi menjadi film. Kabar yang membuat Raisa membuka kembali buku ciptaan Ibunya yang terakhir. Meski entah berapa kali ia telah khatam membacanya.
Dunia Sasha. Dunia Raisa-Keisha.
Raisa tersenyum melirik foto Maya bersama dirinya dan juga Keisha di halaman terakhir bukunya.
***
Sepeninggal Ibunya, sekaligus kepergian Aran untuk bekerja ke Industri migas di Jerman, membuat Raisa menyibukkan diri dengan urusan kuliah dan bekerja paruh waktu sebagai tutor Kimia di salah satu bimbingan belajar. Aktivitasnya yang padat setidaknya mampu menghalau rasa sedih yang tiba-tiba muncul. Keisha yang setahun vakum, mulai kembali menekuni kelas melukisnya.
Joseph yang kembali fokus menata bisnis, seringkali pergi ke luar kota hingga ke luar negeri. Di rumah hanya ada Raisa dan Keisha, beserta pelayan keluarga Westring yang masih tetap membersamai mereka.
Raisa yang mengajar hingga pulang malam setiap hari membuat Keisha terusik. Entah berapa kali ia diam-diam melirik ke kamar Raisa, memastikan apakah adiknya sudah sampai rumah atau justru masih kelayapan di luar sana. Hingga akhirnya, Keisha gerah dan menunggu Raisa di ruang tamu seperti petugas keamanan.
Ketika Raisa tiba di rumah dengan wajah kepayahan, Keisha langsung menyemprotnya. “Kalau kamu butuh uang, kamu bisa minta denganku! Berhentilah mengajar sampai pulang malam!”
Meski bingung setengah mati, Raisa akhirnya menyunggingkan senyum. Keisha mampu menerima dirinya dengan utuh sebagai seorang adik, kendati gadis itu terlalu sukar mengakuinya.
Ketika Raisa lepas wisuda dan resmi mendapatkan gelas Sarjana Teknik, gadis itu sibuk melamar pekerjaan kesana kemari. Ia yang tidak berminat di bidang fashion, menolak tawaran Joseph untuk bekerja di perusahaannya. Sebagai konsekuensi, ia harus mencari pekerjaan secara mandiri dan memulai semuanya dari nol. Namun dalam beberapa bulan, ia belum menerima kesempatan bekerja di perusahaan.
“Kenapa nggak S2? Kamu kan pintar.” Ujar Keisha saat mereka memutuskan untuk pergi makan bersama di salah satu restoran seafood.
“Boleh juga.” Raisa mengangguk. Memutuskan untuk menerima saran Keisha. “Aku mau mulai cari-cari beasiswa.”
“Kenapa kamu selalu nyusahin diri sendiri? Kamu lupa kalau sekarang kamu Raisa Westring? Kamu tinggal bilang ke Papa kalau mau kuliah S2 kemanapun.”
Kendati hidupnya berubah drastis sebagai anak bungsu pengusaha kaya raya, identitas hidup sederhanannya bersama Maya belum bisa luntur hingga sekarang.
Raisa menggeleng, “Kalo Ibu masih ada. Dia pasti nyuruh aku buat cari beasiswa atau kerja paruh waktu untuk biaya kuliah.”
Keisha menyuap lobsternya. Ia malu melihat dirinya sendiri yang selalu menganggap hidup serba mudah hanya karena ia Keisha Westring. “Kuliah di Jerman bagus.” Keisha mengalihkan pembicaraan.
Raisa mendelik heran. “Tau darimana?”
Keisha mengangkat bahu. “Sebenarnya aku punya saran lain.” Raisa mengerutkan kening, menunggu ucapan selanjutnya. “Kenapa kamu nggak ikut Aran aja ke Jerman? Lagipula dia udah kontrak tiga tahun. Kesempatan di Jerman juga bagus-bagus bagi karir kamu ke depan.”
Raisa terkejut mendengar saran Keisha di luar dugaannya. Meski gadis itu tak pernah lagi menentang hubungannya, Keisha tidak pernah benar-benar menunjukkan ketertarikannya terhadap hubungan adiknya dengan lelaki yang pernah membuatnya begitu terobsesi. Keisha bersikap cuek dan masa bodoh.
Raisa tertawa kecil. “Kalau Ibu masih hidup, aku bisa digantung hidup-hidup kalau berani ikut cowok sampe ke negara lain.”
“Kenapa kamu nggak menerima ajakan Aran untuk nikah?” Pertanyaan itu membuat kedua bola mata Raisa membesar. “Aku denger ajakan Aran waktu itu.”
Raisa tak pernah menyangka bahwa Keisha mendengar percakapan dirinya dan Aran di telepon saat gadis itu sedang bersantai di halaman belakang kala itu.
“Kenapa ya hampir setahun aku belum keterima kerja juga?” tanya Raisa sambil menyelupkan sepasang kakinya di kolam renang.
“Kamu mau ikut aku kesini?”
“Ada lowongan kerja, kah?”
Aran terbahak-bahak di seberang sana mendengar tanggapan polos Raisa. “Ada atau nggak, aku pengen kamu tetep ikut aku kesini.” Aran berdeham menghalau gugup. “Aku pengen bawa kamu kesini. Sebagai istri aku. Kamu mau?”
“Mau.” Raisa menjawab tanpa berpikir. Aran di seberang sana terkesiap. Raisa masih tetaplah perempuan tak teduga seperti pertama kali Aran bertemu dengannya. “Tapi Kak, kasih waktu aku satu bulan buat mikir, ya. Dan aku disana mau bekerja atau kuliah. Nggak mau diem di rumah.”
“Oke.” Aran tak dapat menahan senyum bahagianya. “Terserah kamu mau ngapain aja disini. Aku nggak akan larang kamu. Kalau kamu sudah oke, aku bakal ngomong sama Papa kamu langsung.” Lelaki itu menghela nafas sejenak. “Aku cuma pengen kamu ada dimanapun aku ada, Raisa.”
Namun sudah hampir sebulan berlalu, Raisa belum memutuskan. Keisha adalah pertimbangan terbesarnya. Meski ia bukan Keisha yang sama seperti dulu, namun kenangan bahwa Aran adalah obsesi terbesar kakaknya, membuat Raisa selalu ragu.
“Bagaimana bisa?” Raisa mendengus. “Sedangkan Kakakku saja belum?”
“Kamu pikir kita hidup di zaman apa? Aturan mana yang mengharuskan yang tua harus menikah lebih dulu?” Keisha menyeruput jus apelnya. “Nggak usah terlalu mikirin soal aku. Lagipula, aku belum menemukan alasan kenapa aku harus hidup bersama laki-laki. Kalau menunggu aku yang menikah lebih dulu, Aran keburu kepincut dengan bule-bule Jerman!”
Mendengar ucapan Keisha yang bersahabat dan penuh dukungan, Raisa memutuskan hal besar dalam hidupnya dengan penuh keyakinan.
***
“Ca?”
Kedatangan Aran Dinata yang mengenakan celana jeans abu-abu dan jaket tebal dengan warna senada, membuat Raisa langsung menutup buku ciptaan Ibunya. Gadis itu melukiskan senyum lebar. Pekerjaan Aran yang akhir-akhir ini menumpuk dan harus membuatnya lembur selaku process engineer, membuat Raisa seringkali pulang kuliah sendirian dan menunggu kepulangan lelaki itu di apartemen. Tak jarang ia jatuh tertidur duluan.
Namun hari ini, Aran pulang lebih cepat. Lelaki yang resmi menjadi suaminya, berinisiatif mengajaknya menonton pertunjukan drama musical yang berlokasi di Deutsches Theater Berlin. Keduanya bangkit berdiri, lalu melangkah bersisian menuju U Ernst-Reuter-Platz Station.
Aran merangkul Raisa erat tanpa mengatakan apapun. Begitu pula Raisa. Keduanya menikmati semilir angin musim gugur dengan khidmat.
Sesekali Raisa menengadah ke langit sembari tersenyum lebar. Bertanya-tanya, apakah Maya melihat dirinya sekarang? Kalau iya, Raisa ingin mengatakan dengan jelas bahwa ia sangat bahagia dilahirkan ke dunia.
Raisa menggenggam buku Dunia Sasha di tangan kirinya. Sebuah mahakarya yang tak hanya menceritakan soal hubungan klise antara dua muda-mudi di mabuk asmara, tercerai-berai, kemudian menyatu kembali sebagai keluarga yang utuh bersama dua putrinya.
Lebih dari semua itu, Maya seakan-akan menegaskan perjuangan perempuan yang tak putus arang, kendati kehidupan membuatnya berkali-kali menyerah dan berteriak kepada dunia. Wanita itu menceritakan perjuangan seorang Ibu yang tetap bertahan dan menginginkan kehidupan, meski pada akhirnya ia terpaksa menyerah.
Aku adalah Ibu. I am mini you—Raisa Kamila Westring