Pukul enam pagi, Aran sudah duduk mantap di belakang kemudi. Tanpa mematikan mesin mobil, ia melirik rumah Raisa yang masih sepi dengan pintu pagar yang digembok. Beberapa kali, ia melirik ponselnya. Raisa tidak membalas pesannya.
Tak lama kemudian, terlihat seorang perempuan yang ia tunggu-tunggu keluar dari rumah. Gadis itu menggunakan rok plisket hitam dan baju blues berlengan pendek dengan warna senada. Aran melirik dirinya sendiri. Ia mengenakan celana denim hitam dan kaus putih yang tertutup oleh jaket denim hitam. Mengapa ia dan Raisa bak detektif hari ini?
Setelah mengunci pintu rumah dan pagarnya, Raisa melirik-lirik mobil jazz merah yang berhenti tepat di depan rumahnya. Ragu apakah itu Aran atau bukan.
Aran menurunkan kaca jendela. “Ini aku. Masuk!”
Raisa membuka pintu penumpang, lalu melesat masuk. “Aku kira kita pake motor.”
“Kita ke Cibinong, bukan ke Margo City!”
***
Sementara Wildan sibuk merangkai fotobioreaktor dan esktraktor bersama anak-anak jurusan mesin yang tergabung dalam Himpunan Peneliti Muda, Aran dan Raisa mengambil alih untuk mengajukan penelitian di pusat Limnologi LIPI. Penelitian bisa saja dilakukan di laboratorium kampus, namun mengembangbiakan mikroalga lebih baik dilakukan di tempat yang minim resiko dan punya fasilitas yang lebih memadai. Salah sedikit saja, mahkluk uniseluler itu akan mati. Waktu tiga bulan sangat sempit untuk menghadapi resiko koloni-koloni itu mati, kemudian mengulang penelitian dari awal.
Prosesnya tidak serumit yang dikira, mereka hanya mengajukan proposal. Salah satu peneliti Limnologi ternyata berteman karib dengan Pak Subroto.
“Saya udah dikasih pesan sama Mas Sub. Katanya ada muridnya yang mau penelitian disini buat lomba ke Tokyo. Mana bisa saya menolak mahasiswa keren-keren begini.”
Hampir saja mereka diajak makan siang bersama, namun ternyata beliau ada rapat mendadak. Setelah mendapatkan hasil yang cukup bahwa mereka bisa penelitian disana, Aran dan Raisa pamit undur diri untuk melanjutkan perjalanan menuju Bekasi.
***
“Kenapa menu barat semua?” Raisa menyelisik satu persatu menu makanan di The Lake House.
“Itu ada juga nasi bakar, ayam geprek, ayam goreng....” Aran menjawab santai setelah menjatuhkan pilihan ke Pasta Al Pesto.
Dengan dikelilingi oleh kolam renang di sisi kanan dan kiri, mereka duduk berhadapan di meja makan berkapasitas dua orang. Angin berhembus lamat-lamat meniup rambut hitam Raisa yang tergerai. Beruntung, cuaca hari ini sejuk. Tidak panas, tapi tidak juga hujan.
“Cepet pesan! Kita langsung mau ke Bekasi.”
Raisa mengangguk, lalu menjatuhkan pilihan ke nasi bakar dan Blossom Tea. Guna mencegah kantuk dan harus menyetir lagi ke Bekasi, Aran memesan segelas ice americano.
“Mau tambah batagor dan chicken wings?” tanya Aran. Raisa hanya mengangguk.
15 menit setelah Aran mengajukan pesanan, makanan dan minuman tersaji di depan mereka dengan susunan-susunan yang apik dan estetis. Pandangan Raisa jatuh ke minuman hitam pekat dengan embun di sekitar gelas.
“Waktu itu, Kakak bilang nggak suka kopi.”
“Suka. Cuma nggak suka kamu yang kasih.” Aran berujar cuek. Lalu menyeruput minuman hitam pekat dan pahit dengan bau kopi yang wangi.
“Kenapa?”
“Aku rasa aku nggak melakukan apa-apa untuk dikasih hadiah kopi susu.”
Dan, dari awal aku memang ingin menghindari kamu. Aran melanjutkan dalam hati. Keinginan yang entah mengapa sekarang gagal total.
Raisa mulai melahap nasi bakarnya. “Aku juga nggak melakukan apapun untuk dikasih hadiah es krim dan nasi ayam goreng. Dan....” Raisa menjawab. “Makanan-makanan ini juga.”
Aran terdiam beberapa saat. Fokus menyantap pasta dengan saus Pesto khas Italia berwarna hijau.
“Sebenarnya, semua itu bukan hadiah....” Aran menusuk satu buah batagor dengan garpu, kemudian menyantapnya. “Aku memang mau melakukannya walaupun kamu nggak berbuat apa-apa.”
“Kenapa?”
Pertanyaan Raisa ditanggapi dengan kebisuan. Jawabannya menggantung di udara. Hanya terdengar bunyi kunyahan bersahut-sahutan sebagai hadiah dari perut keroncongan bertubi-tubi yang mereka rasakan sedari pagi. Jantung Raisa kembali berdebar. Entah bagaimana bisa ia makan siang berdua saja bersama seorang pria di sebuah tempat yang sangat romantis? Bagaimana bisa ia pulang-pergi bersama pria ke Cibinong dan Bekasi, dimana sebelumnya Raisa hanya pergi keluar kota bersama Maya? Dan bagaimana bisa pria yang dulu ia sukai diam-diam sebagai sosok yang tak terjangkau, kemudian mematahkan hatinya, dan kembali sedekat ini?
***
Demi menghemat ongkos kirim, bangku penumpang bagian belakang mobil Aran telipat untuk menampung setabung besar gas hidrogen. Sekantung besar berisi Nickel (II) Nitrate Hexahydrate, Ammonium Heptamolybdate Tetrahydrate, alumina, larutan etanol 96%, dan larutan hexane bersisian di bagian kanan tabung hidrogen.
Pandangan Raisa jatuh ke Aran—yang entah beberapa kali sudah menguap—kendati barusan mereka membeli satu cup besar kopi. “Aku aja yang nyetir, Kak.”
Aran menggeleng. “Nggak usah.”
Raisa melirik jalan-jalan di sekitarnya. Mereka hampir saja memasuki jalan Tol Cimanggis-Cibitung yang akan mengantarkan mereka menuju Depok.
“Kita kan mau masuk jalan tol. Nanti setelah satu jam aku bangunin. Beneran!”
Aran tetap menggeleng meskipun matanya telah memerah. Ia kembali menyesap kopi hitam pahit dengan kadar kafein tinggi. Gadis di sebelahnya menampakkan wajah kesal.
“Kenapa nggak boleh?” Raisa bertanya dengan intonasi tinggi.
Aran melirik Raisa sekilas. “Kenapa harus?”
Raisa membuang muka ke jendela, membuat Aran menepikan mobil dan menghentikannya mendadak. Lelaki itu membenamkan wajah kantuknya di atas kemudi. “Aku nggak pernah disetirin perempuan sebelumnya. Aku cuma butuh waktu 10 menit buat istirahat. Jadi, jangan rewel!”
Raisa mendengus. “Dasar patriarki!”
Aran sontak mengangkat kepalanya. Melirik Raisa dengan mata melotot. “Apa?”
Tanpa takut, Raisa melotot balik. “Patriarki!”
Aran tertawa kecil yang kini terasa hambar. Dengan sinar mata yang masih tajam, lelaki itu menghabiskan satu cup kopi hitam sekaligus tanpa jeda. “Ternyata kita sudah sedekat ini sampai kamu begitu berani!”
“Maaf.” Raisa menghembuskan napas panjang. “Kalau seandainya posisi aku sekarang Kak Wildan. Kakak pasti mau kan gantian? Maksudku....” Gadis itu sepenuhnya tahu bahwa ia mungkin sedikit kurang ajar. “Aku nggak boleh nyetir cuma karena jenis kelamin? Itulah patriarki!”
Aran menatap Raisa cukup lama tanpa mengatakan apa-apa. Ia tak menyangka bahwa Raisa, yang kini baru memasuki usia 18 tahun, tumbuh menjadi perempuan yang sangat tangguh dan mampu berdiri dengan kaki sendiri. Mendengar cerita dari Raisa mengenai Maya Kamila, Aran mengerti bagaimana kokohnya wanita setengah baya itu mengajarkan Raisa untuk bisa banyak hal. Meski berat, Aran menyadari bahwa dalam perdebatan sengit ini, dialah yang salah dan harus mengaku kalah. Raisa benar. Namun, ia masih punya naluri laki-laki untuk menjaga dan melindungi. Maskulinitas itu sepenuhnya masih ada.
“Maskulinitas laki-laki dan patriarki itu beda tipis ternyata.” Aran berkata sebelum akhirnya ia membuka pintu mobil. “Satu jam, ya? Setelah itu bangunkan aku.”
***
Beberapa minggu ini, Keisha harus menjalani terapi dengan psikiatris. Terlahir sebagai anak pengidap gangguan kepribadian antisosial, ditambah dengan kondisi lingkungan yang memicu kemarahan, Keisha dinyatakan depresi berat. Ia tidak keluar kamar sama sekali. Konsultasi, pengobatan, hingga makan dilakukan semuanya di dalam kamar.
Joseph melirik Keisha dari pintu kamarnya. Ia menyeka sebulir air yang tiba-tiba menetes dari sepasang matanya. Memiliki putri yang tidak normal seperti Keisha, istri yang jauh dari kata baik seperti Elsa, hingga dirinya sebagai suami dan ayah yang buruk, membuat rasa bersalah menembus ke ulu hati. Beban besar berkilo-kilo terasa menghantam kepalanya.
Sejak kecil, Keisha melakukan hal-hal di luar kategori wajar. Gadis itu tidak tahu mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan sebagai manusia dan mahkluk sosial. Keisha tidak pernah punya teman. Hal-hal yang membuatnya masih bernilai saat ini adalah lahir dari keluarga kaya dan fisik yang mumpuni. Sisanya? Bahkan dalam akademik, Keisha gagal total. Melihat nilai Keisha, Joseph pesimis bahwa gadis itu bisa melanjutkan belajar di jurusan Teknik Kimia.
“Seandainya, Mama kamu disini....”
Joseph tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Mengingat kenyataan itu, rasa bersalah semakin menghantamnya bertubi-tubi, disertai penyesalan yang bisa saja ia bawa sampai mati. Kendati perusahaannya meraup keuntungan besar, nama baik keluarganya mentereng, hartanya bertumpuk-tumpuk nyaris takkan habis, sesungguhnya ia adalah pribadi yang gagal.