Read More >>"> Dunia Sasha (Patah Hati) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dunia Sasha
MENU 0
About Us  

            Aran terpaku di tempat, hingga sosok Raisa hilang bersama tas rajutnya di balik pintu keluar. Saat perempuan itu tak terlihat lagi, Aran seketika menemukan kesadaran dirinya yang tiba-tiba menghilang beberapa detik.

            “Lepas!” Serunya pelan. Namun, gadis yang memeluknya tetap bergeming. “Kamu nggak bisa meluk aku seenaknya disini.”

            Aran merasakan napas gadis itu di ceruk lehernya. “Kenapa kamu nggak jemput aku di bandara? Aku kecewa loh yang datang malah sopir!”

            Aran menggenggam kedua lengan perempuan itu. Melepaskan pelukannya.

            “Kamu tahu kan aku presma sekarang? Aku juga asisten lab. Aku sibuk.”

            Sepasang mata, yang dilapisi lensa kontak berwarna biru milik gadis itu, mendelik tajam. “Aku nggak suka ya alasan sibuk! Kenapa sih kamu harus sibuk?”

            Aran tak kalah tajamnya. “Aku punya dunia sendiri.”

            Gadis itu mendengus. Air mukanya menampakkan protes dan tidak terima. Ia bersandar di dinding bercat putih terang. “Antar aku pulang!”

            “Aku bawa motor. Kamu yakin?” Aran menyelisik pakaian perempuan itu dari atas ke bawah. Pakaian yang rasanya tidak pantas dibonceng menggunakan kendaraan roda dua.

            Gadis itu mengangguk mantap. “Aku naik taksi kesini.”

            Senyum smirk gadis itu jelas menampakkan kebohongan besar. Mobil mercedes benz berwarna putih miliknya terparkir manis di area kampus tak jauh dari tempat mereka berdiri. Gadis itu memastikan sopirnya yang akan mengambilnya malam ini juga.

***

            Pukul enam pagi, Raisa masih terkulai lemas di ranjangnya. Dengan mengenakan piama biru laut bergambar ikan-ikan kecil, gadis itu memeluk guling dan membenamkan wajahnya yang memerah di bantal. Ia tak pernah menduga patah hati pertama yang ia alami berakhir dengan tangis tak kunjung berhenti,

            Melihat insiden Aran berpelukan dengan perempuan itu semalam, membuat langkah kaki Raisa kaku. Gadis itu masuk ke dalam mobil sedan putih milik ibunya. Tanpa menghidupkan mesin, Raisa mencengkeram kemudi kuat-kuat. Mencerna apa yang sedang terjadi. Air matanya menetes tiba-tiba. Ia menangis sesenggukan seiring dengan semakin eratnya cengkeraman di kemudinya yang dilapisi kain merah jambu berbulu.

            Ia marah pada dirinya sendiri yang terlalu ke-geer-an, terlalu bodoh, dan terlalu naif. Jelas, siapa dirinya di mata Aran? Tidak ada alasan yang masuk akal mengapa Aran harus menyukainya. Semua itu hanya angan-angan kosong belaka. Kini, kepercayaan dirinya jatuh ke dasar jurang. Aran yang terkenal seantero kampus, tidak mungkin memiliki kekasih yang sembarangan. Raisa melirik pakaiannya sendiri, kemudian mengingat bagaimana cara perempuan modis itu berpenampilan. Sungguh kontradiksi. Seperti langit dan bumi.

            Sampai pukul enam pagi, rasa sesak itu tak kunjung pergi. Raisa bingung. Ditambah lagi, ia harus praktikum kimia organik pukul 8 pagi dan bertemu dengan Aran. Bahkan, gadis itu sama sekali tidak membaca materi mengenai pembuatan etanol yang akan mereka pelajari di laboratorium. Dua beban sekaligus membuatnya tak kuasa berangkat dari tempat tidur. Beban dari hati terdalamnya dan beban yang akan membuatnya dimarahi Aran karena tidak membaca buku panduan praktikum terlebih dahulu.

            Maya yang telah bersiap rapi menuju ke kantor penerbitan, membuka pintu kamarnya. “Ca, kamu nggak kuliah? Kamu ada praktikum kan jam 8?”

            Raisa mengangguk tanpa menampakkan wajahnya. “Bu, Caca nggak kuliah dulu, ya? Lagi demam.”

            Merasakan ada keganjilan dari pernyataan putrinya, Maya melangkah masuk. Ia mengulurkan tangan dan meraba dahi Raisa yang sama sekali tidak panas.

            “Kamu bohong? Kenapa?” Maya bertanya tegas. “Ibu nggak suka ya Caca bohong!”

            Raisa bangkit duduk dengan wajahnya yang sembab dan memerah. Kedua kantung matanya membesar. Rambutnya acak-acakan seperti sarang laba-laba.

            “Patah hati?” tanya Maya tiba-tiba. Raisa hanya bergeming. Keterdiaman Raisa memberikan kesimpulan besar bahwa anak tunggalnya sudah mulai mengenal lawan jenis. Sesuatu yang sangat Maya benci untuk ia sadari.

            “Ca, kamu inget? Dari awal Ibu sudah bilang kalau fokus kamu sekarang belajar, bukan jatuh cinta!”

            Air muka Raisa berubah seperti hendak mewek. Namun ditahannya, ia terlampau malu menangis di depan Maya. “Caca juga nggaktahu bakal kayak gini, Bu. Caca nggak bisa kontrol.”

            Maya mengurut pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut. Ia membenarkan semua ucapan Raisa. Bagaimanapun juga, ia adalah korban cinta buta. Cinta—sebuah omong kosong yang akhirnya membuat hidupnya sengsara.

            “Okelah.” Maya menghembuskan napas. “Kamu yang mulai, kamu yang harus bertanggung jawab. Lupakan dia dan kembali normal kayak biasa! Butuh waktu. Tapi kamu pasti bisa.”

            Setelah mengatakan sepatah kata tegas bak titah itu, Maya melangkah keluar kamar. Sebelum menutup pintu sepenuhnya, wanita itu menoleh. Raisa masih terduduk dengan wajah menyedihkan di atas ranjang.

            “Kamu boleh bolos hari ini, tapi tidak dengan besok.” Maya mengeluarkan selembar lima puluh ribu dari dompet, kemudian menaruhnya di atas meja dekat pintu kamar. “Nggak perlu masak makan siang! Kamu boleh pesan makanan.”

            Maya menutup pintu dan melangkah pergi. Deru mesin mobil yang semakin lama semakin melemah, menandakan Maya sudah sepenuhnya hilang dari rumah.

            Biasanya, Raisa kegirangan saat Maya menyuruhnya membeli makanan, bukan mengharuskannya untuk memasak. Namun kali ini, ia tak merasa girang sama sekali.

***

            Aran membimbing anak-anak kelompok lima yang kini sedang melakukan hidrolisis pati menggunakan enzim. Kabar baiknya, kelompok lima berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan horor Aran sebelum praktikum. Namun kabar buruknya, personel mereka berkurang satu. Fia hanya menyampaikan kepada Aran kalau Raisa sakit.

            Pikiran Aran sepenuhnya melayang saat Raisa menyaksikan dirinya dipeluk seorang perempuan dengan air muka yang sulit untuk dijelaskan. Gadis kecil itu terkejut, namun lebih dari itu, sepasang matanya seketika sayu dan kecewa. Aran tak sepenuhnya paham arti sepasang mata itu semalam. Semestinya, ia tak harus peduli. Lelaki itu sibuk. Tapi ketidakhadiran Raisa hari ini, membuat pikirannya tak lepas dari kejadian semalam.

            “Raisa ikut kelas sebelah aja kalau dia bisa pulih minggu ini. Kita nggak harus bertanggung jawab ke anak yang nggak ikut praktik, kok.” Riska memberikan usul. Dibalas gelengan tegas oleh Aran.

            “Nggakpapa. Sama gue aja.”

            Riska mendelik heran. Seorang Aran Dinata yang sibuk bisa-bisanya menyempatkan waktu hanya untuk satu mahasiswa absen. Karena tipikal gadis kalem itu pada dasarnya tak suka ikut campur, Riska memutuskan berlalu untuk kembali mengawasi kelompok tiga. Kelompok yang ia asuh.

            Aran mendekati sekumpulan anak kelompok lima. “Kalau Raisa udah kuliah, suruh dia nemuin saya!”

***

            “Bukannya kalau kita nggak masuk praktikum, kita bisa ikut kelas lain, ya?” Raisa bertanya heran kepada teman-teman di sekeliling tempat duduknya, seusai mata kuliah teknologi bioproses.

            Andre mengangkat bahu. “Mungkin dia nggak yakin kalau asisten lain ada pre-test.”

            Soni, lelaki bertubuh gemuk yang seringkali terbebani setiap praktikum bersama Aran, ikut menimpali. “Mungkin dia nggak rela kalau cuma Raisa yang bebas dari muka horornya.”

            Teman-temannya meledakkan tawa seketika. Sungguh, Raisa sama sekali tak takut dengan wajah lelaki itu yang minim senyum ataupun sorot matanya yang mengintimidasi. Raisa lebih takut pada perasaannya yang sulit terkendali.

***

            Sesuai perintah Aran yang disampaikan melalui teman-temannya, Raisa menunggu lelaki itu hingga kelasnya selesai, kemudian menemuinya tepat di pukul tiga sore tadi.

            Kondisi kelas masih ramai. Senior-seniornya sibuk membereskan barang-barang sambil berbincang-bincang. Raisa memberanikan diri melangkah menuju bangku Aran dan mengucapkan selamat sore.

            Aran meliriknya dari atas ke bawah. “Kamu sakit apa kemarin?”

            “Cuma demam, Kak.”

            Aran manggut-manggut, kemudian melirik arloji hitam yang melingkari pergelangan tangan kirinya. “Ada waktu jam tujuh nanti?”

            Raisa mengangguk. Meski dalam hati ia menggerutu. Kenapa harus jam tujuh? Dua mata kuliah sangat menguras kepala hari ini. Tugasnya menumpuk. Ia ingin pulang.

            “Kita ketemu di lab!” Seru lelaki itu, sebelum akhirnya merangkul ransel hitam dan berlalu keluar kelas.

            Tepat pukul 7 malam, Raisa berdiri sambil mengenakan jas laboratorium dan sepatu kets putih. Rambut hitamnya digulung ke atas asal-asalan. Selain ia dan Aran yang berada di ruangan, terdapat dua senior semester akhir yang sedang melakukan penelitian di meja seberang mereka.

            Lelaki itu melangkah menuju sebuah alat fermentor. Raisa mengiringinya dari belakang.

            “Bagaimana cara buat bioetanol?” tanya Aran spontan tanpa menoleh sama sekali.

            “Glukosa di fermentasi tujuh hari. Lalu etanol dipisahkan melalui distilasi.” Terdapat getar yang kentara dari suara Raisa. Ia masih ingat harus meminjam buku panduan praktikum dari kelas sebelah. Permintaannya berakhir dengan si empunya buku, yang terkenal buaya darat, mendapatkan nomor ponselnya.

            “Kalau kita nggak pakek glukosa. Pakeknya tepung, gimana?”

            “Harus di hidrolisis dulu. Bisa pakek asam. Bisa juga pakek enzim.”

            Aran manggut-manggut. Berhenti untuk bertanya lebih lanjut. Lelaki itu mengeluarkan wadah berisi pati dan Enzym Alfa Amylase. Setelah mengingat-ingat prosedur percobaan, Raisa mengambil alih. Ia mencampurkan pati, Enzym Alfa Amylase, dan air ke dalam gelas beaker yang dipanaskan di atas hot plate bersuhu 90oC pada kondisi tertutup.

            Raisa terduduk diam tepat di sebelah Aran yang juga sama diamnya. Tak ada yang dapat gadis itu lakukan selain melirik magnetic stirrer yang berputar-putar selama satu jam ke depan. Sepenuhnya, Raisa kehilangan selera untuk mengajak Aran berbincang-bincang. Aran yang memang minim bicara, melakukan hal serupa. Mereka diam selama setengah jam.

            “Kamu naik taksi lagi?” Pertanyaan itu tiba-tiba mencairkan suasana.

            Raisa menggeleng. “Saya bawa mobil sendiri.”

            Aran yang merasa cukup atas jawaban itu, lantas menarik buku Meditations berjumlah 336 halaman yang baru saja ia lahap setengahnya. Lelaki itu tenggelam dalam buku bacaannya. Begitu pula Raisa yang tidak berniat mengganggunya.

            Raisa mematikan hot plate setelah satu jam. Aran hanya melirik sedikit, lalu meyakini sepenuhnya bahwa Raisa cukup mengerti dan cekatan. Gadis itu memindahkan larutan hasil hidrolisis ke dalam fermentor yang akan mengkonversi glukosa menjadi bioetanol seminggu kemudian.

            “Laporannya sekalian setelah distilasi saja.” Aran berujar dibalik sepasang matanya yang entah sejak kapan telah mengenakan kaca mata. Pemandangan yang baru pertama kali Raisa lihat. Membuat Aran terlihat semakin tampan dan menarik.

            Menyadari pandangannya, Raisa langsung geleng-geleng kepala. Lelaki itu, sekali lagi, tak akan pernah bisa ia jangkau.

            Raisa memasukkan barang-barangnya ke dalam tas rajut coklat muda. Tas rajut yang disimpulkan Aran sebagai tas kesayangan atau justru tas satu-satunya. Aran tetap fokus pada buku berbahasa inggris penuh di depannya.

            “Marcus Aurelius?” Tak tahan, Raisa memberikan komentar. Buku Marcus Aurelius berjudul Meditations telah ia lahap saat gadis itu duduk di bangku SMA.

            Aran menatap Raisa, kemudian mengangguk. “Kamu pernah baca?”

            “Saya punya bukunya di rumah.”

            Aran ikut bangkit. Memasukkan kembali meditations ke dalam ransel, bersama jas laboratorium yang telah ia lepaskan dari badan. Lelaki itu kini mengenakan kemeja polos yaag senada dengan warna tas rajut Raisa. Kemeja itu sedikit kusut.

            Mereka berjalan bersisian menelusuri lorong-lorong laboratorium menuju pintu keluar. Seperti biasa, laboratorium senyap di malam hari.

            “Kapan kamu baca bukunya Marcus?” Aran tak tahan ingin bertanya.

            “Waktu SMA.”

            Aran tersenyum tipis. Takjub. Perempuan itu telah mengenal filsafat stoisisme di usianya yang masih belasan tahun, sedangkan dirinya baru sekarang—baru saat dirinya berusia 20 tahun.

            Selama ini, Aran terkenal sebagai lelaki membosankan yang suka melahap buku-buku tebal. Kendati ia terkenal sebagai presiden mahasiswa, jarang ada perempuan-perempuan yang mau mendekatinya. Ia tidak ramah, wajahnya mahal senyum, pemikirannya rumit, dan kegemarannya membosankan. Gadis-gadis di kampus lebih memilih menggemari Jeremy, bujang kampus yang tampan dan necis.

            Namun entah mengapa, anak kecil yang melangkah bersisian dengannya malam ini seakan-akan mampu mengalahkannya dengan telak.

            “Aku punya buku Massimo dan Seneca juga di rumah. Kalo Kakak mau pinjam juga boleh.” Suara Raisa terdengar lebih riang dan bersahabat. Suaranya yang kaku dan ragu-ragu sepenuhnya hilang. Apalagi setelah ia mengubah kata ganti orang pertama dari ‘saya’ menjadi ‘aku’.

            Aran menyunggingkan senyum. “Boleh. Bawa satu minggu lagi aja. Saya habiskan buku si Marcus dulu.”

            Raisa tiba di depan mobilnya. Gadis itu seketika menyadari sesuatu. Mengapa Aran mengikutinya kesini? Lelaki itu sama kikuknya. Ia berdeham mengatasi salah tingkah. Aran tak tahu persis mengapa langkah kaki itu membawanya mengantar Raisa.

            “Kak, saya mau nanya sesuatu.” Aran mengangguk. Setengah hatinya kecewa mendengar Raisa kembali canggung dan formal. “Kenapa saya nggak lulus BEM?”

            Aran terdiam beberapa saat. Membuat Raisa cepat-cepat mengonfirmasi. “Bukan apa-apa. Saya cuma pengen tahu letak kesalahan saya saat wawancara waktu itu.”

            “Nggak ada yang salah,” jawab Aran. “Hanya saja, kamu bukan pribadi yang sedang kami cari. Kamu bisa ikut organisasi lain yang masih buka.”

            Aran mengamini sepenuhnya bahwa Raisa kurang cocok menjadi anggota BEM. Kendati saat wawancara, Aran terkesima setengah mati. Namun, alasan takjubnya begitu personal. Tak dapat ia jelaskan di forum karena hanya menyangkut preferensi pribadinya.

            Raisa mengangguk. Ia cukup mengerti Aran tak bisa menjelaskan lebih rinci.

            “Saya pulang dulu, Kak. Terima kasih.”

***

            Tepat setelah mobil Raisa melaju pergi, Aran membalikkan badan. Senyum cerahnya seketika memudar—menyaksikan seorang perempuan berdiri di seberangnya—sembari melipat tangan di depan dada.

            Tanpa diketahui Aran dan Raisa, perempuan itu telah memperhatikan mereka sejak keluar dari laboratorium teknik kimia. Gadis berambut kecoklatan, yang kini bergelombang itu, menyaksikan betapa nyamannya Aran berbicara dan betapa lepas senyumnya di sebelah perempuan—yang mengenakan kemeja polos berwarna merah jambu—dengan rambut yang tergulung berantakan.

            Dan ia tak pernah menyukai itu.

            “Kamu belum mulai kuliah, tapi kamu disini malam-malam. Ngapain?” tanya Aran dengan intonasi cukup tinggi. Langkah kakinya perlahan mendekati perempuan itu.

            “Aku mulai kuliah besok.” Perempuan itu menyunggingkan senyum. “Mulai besok kamu jemput aku. Oke?”

            Aran berlalu. Melangkah menuju parkiran motor. Perempuan itu mengiring langkahnya dari belakang.

            “Aku nggak bawa mobil, Kesh. Kenapa kamu nggak nyetir sendiri aja?”

            Perempuan itu melemparkan kunci mobil tepat di kaki Aran. Lelaki itu seketika membalikkan badan. “Itu kunci mobil. Jemput aku besok!”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Hello Goodbye, Mr. Tsundere
998      677     2     
Romance
Ulya tak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan Natan di kampus. Natan adalah panggilan kesayangan Ulya untuk seorang cowok cool, jenius, dan anti sosial Hide Nataneo. Ketika para siswa di SMU Hibaraki memanggilnya, Hide, Ulya malah lain sendiri. Ulya yakin si cowok misterius dan Tsundere ini punya sisi lain yang menakjubkan. Hingga suatu hari, seorang wanita paruh baya bertopi fedora beludru...
Ghea
440      283     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
Chapter Dua – Puluh
2948      1329     3     
Romance
Ini bukan aku! Seorang "aku" tidak pernah tunduk pada emosi. Lagipula, apa - apaan sensasi berdebar dan perut bergejolak ini. Semuanya sangat mengganggu dan sangat tidak masuk akal. Sungguh, semua ini hanya karena mata yang selalu bertemu? Lagipula, ada apa dengan otakku? Hei, aku! Tidak ada satupun kata terlontar. Hanya saling bertukar tatap dan bagaimana bisa kalian berdua mengerti harus ap...
Like Butterfly Effect, The Lost Trail
5067      1370     1     
Inspirational
Jika kamu adalah orang yang melakukan usaha keras demi mendapatkan sesuatu, apa perasaanmu ketika melihat orang yang bisa mendapatkan sesuatu itu dengan mudah? Hassan yang memulai kehidupan mandirinya berusaha untuk menemukan jati dirinya sebagai orang pintar. Di hari pertamanya, ia menemukan gadis dengan pencarian tak masuk akal. Awalnya dia anggap itu sesuatu lelucon sampai akhirnya Hassan m...
Diskusi Rasa
1100      644     3     
Short Story
Setiap orang berhak merindu. Tetapi jangan sampai kau merindu pada orang yang salah.
L.o.L : Lab of Love
2998      1078     10     
Fan Fiction
Kim Ji Yeon, seorang mahasiswi semester empat jurusan film dan animasi, disibukan dengan tugas perkuliahan yang tak ada habisnya. Terlebih dengan statusnya sebagai penerima beasiswa, Ji Yeon harus berusaha mempertahankan prestasi akademisnya. Hingga suatu hari, sebuah coretan iseng yang dibuatnya saat jenuh ketika mengerjakan tugas di lab film, menjadi awal dari sebuah kisah baru yang tidak pe...
The Investigator : Jiwa yang Kembali
1875      766     5     
Horror
Mencari kebenaran atas semuanya. Juan Albert William sang penyidik senior di umurnya yang masih 23 tahun. Ia harus terbelenggu di sebuah gedung perpustakaan Universitas ternama di kota London. Gadis yang ceria, lugu mulai masuk kesebuah Universitas yang sangat di impikannya. Namun, Profesor Louis sang paman sempat melarangnya untuk masuk Universitas itu. Tapi Rose tetaplah Rose, akhirnya ia d...
Pilihan Terbaik
4444      1385     9     
Romance
Kisah percintaan insan manusia yang terlihat saling mengasihi dan mencintai, saling membutuhkan satu sama lain, dan tak terpisahkan. Tapi tak ada yang pernah menyangka, bahwa di balik itu semua, ada hal yang yang tak terlihat dan tersembunyi selama ini.
Untold
1250      550     4     
Science Fiction
Tujuh tahun lalu. Tanpa belas kasih, pun tanpa rasa kemanusiaan yang terlampir, sukses membuat seorang dokter melakukan percobaan gila. Obsesinya pada syaraf manusia, menjadikannya seseorang yang berani melakukan transplantasi kepala pada bocah berumur sembilan tahun. Transplantasi dinyatakan berhasil. Namun insiden kecil menghantamnya, membuatnya kemudian menyesali keputusan yang ia lakukan. Imp...
Palette
4538      1746     6     
Romance
Naga baru saja ditolak untuk kedua kalinya oleh Mbak Kasir minimarket dekat rumahnya, Dara. Di saat dia masih berusaha menata hati, sebelum mengejar Dara lagi, Naga justru mendapat kejutan. Pagi-pagi, saat baru bangun, dia malah bertemu Dara di rumahnya. Lebih mengejutkan lagi, gadis itu akan tinggal di sana bersamanya, mulai sekarang!