Chapter 1
Hujan deras sedang mengguyur seluruh kota. Angin kencang juga datang menyapu hujan yang turun dari langit. Membuat seluruh Kota basah merata. Sore itu, langit sedang tidak bersahabat.
Cuaca buruk tidak menghentikan niatku untuk datang ke rumah sakit. Meski harus memesan taxi dan berlarian dari tetesan hujan. Aku tetap datang.
Kamar Raflesia nomor dua puluh tujuh lantai dua. Tangan kananku langsung membuka pintu kamar itu dengan tergesa-gesa.
Begitu di dalam seorang dokter yang ditemani dua orang perawat sedang berbicara serius dengan Managerku.
“Sangat disayangkan. Jari telunjuk tangan kanannya tidak bisa dijahit. Waktunya sedikit terlambat sehingga organ dalamnya sudah mati.” Dokter itu ikut bersimpati.
“Lalu solusinya bagaimana Dokter?” Tanya Managerku dengan suara bergetar.
“Kita hanya bisa pasrah. Dua jam lagi obat biuasnya akan hilang. Apa keluarganya sudah dihubungi?” Dokter menatapku yang baru saja masuk ruangan. Dia mengira aku adalah keluarga pasien.
Tidak heran. Penampilanku memang cukup meyakinkan untuk dianggap sebagai keluarga pasien. Penampilan yang berantakan, nafas tersengal dan wajahku terlihat bingung. Semua orang di ruangan itu menatap ke arahku
“Sebentar lagi istrinya akan datang Dokter.” Jawabku meluruskan pandangan dokter.
“Baiklah. Silahkan hubungi tim kami kalau ada apa-apa. Permisi.” Dokter itu pergi diikuti dengan dua perawatnya.
Ini merupakan berita duka. Seorang rekan kerja kami baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas, dan sekarang sedang terkapar tak sadarkan diri.
Dia adalah Pak Bakri, office boy di kantorku. Baru saja aku menerima kabar kalau dia mengalami kecelakan sepulang kerja hari ini. Melihat luka yang diperolehnya, ini merupakan kecelakaan parah.
Pelipis kanannya dibalut kain kasa, sepertinya ada luka disana. Lalu di kakinya banyak luka-luka goresan yang sudah di obati. Dan tangannya, salah satu jarinya putus. Meski sudah diperban dengan tebal sekalipun, aku seolah bisa melihat darah yang perlahan mengalir dari sela-sela perbannya.
Aku yang tidak sanggup melihat keadaan itu refleks menutup mulutku dengan sebelah tangan. Memperlihatkan eskpresi terkejut bercampur ngeri.
“Bagaimana cerita detailnya Pak? Bagaimana bisa sampai begini?” Tanyaku pada Managerku.
“Kita bicara di luar saja.” Aku mengikuti langkah Managerku. Keluar dari ruangan.
Dari penjelasan yang aku dengar, kecelakaan terjadi ketika Pak Bakri sedang dalam perjalanan menuju rumahnya. Di perkirakan, hujan yang deras dan jalanan yang terjal membuat Pak Bakri mengalami kecelakaan.
Aku dan Managerku mendapat telpon dari seorang pria yang menyelamatkannya. Setelah mendengar kabar itu aku yang baru saja sampai di depan rumah langsung bergegas menuju rumah sakit.
“Tapi bagaimana bisa nggak ada seorangpun di sana yang melihat kejadiannya. Saat itu masih sekitar jam lima sore. Jam orang kerja pulang kerja. Bukannya orang berlalu lalang masih banyak?” Aku berspekulasi.
“Saya juga berfikir begitu tapi nyatanya jalan yang Pak Bakri lalui itu sangat sepi. Apalagi hari ini hujan deras, orang-orang tidak banyak berlalu lalang. ” Sanggah Managerku.
“Lalu siapa yang membantu Pak Bakri?” Belum sempat Managerku menjawab. Seorang pria mendatangi kami.
“Pak Freddy yang menolongnya.” Managerku menjawab sambil menatap pria yang baru saja bergabung dengan kami.
“Bu Anna juga datang rupanya.” Freddy menyapaku. Tangannya penuh dengan roti dan air mineral. Sepertinya ia bermaksud membelikan cemilan untuk Pak Bakri.
“Pak Freddy. Bagaimana kejadiannya Pak?” Aku langsung berdiri dan menginterogasinya.
“Emm.. boleh Saya duduk dulu?” Freddy bertanya ragu sambil mengangkat barang bawaannya.
“Oh ya, maaf. Silahkan.” Kataku sambil mempersilahkannya duduk. Membiarkan cemilan yang ia beli terpisah darinya. Dibiarkan duduk tanpa tuan diujung kursi.
Sama dengan apa yang dikatakan oleh Managerku. Tempat kejadian kecelakaan itu gelap. Orang jarang berlalu lalang di sana, di tambah lagi jalan itu tidak begitu bagus. Banyak aspal berlubang yang membahayakan setiap pengguna jalan. Dan saat diguyur hujan, jalanan itu sudah seperti ranjau di dalam aspal.
“Saya datang sedikit terlambat. Pak Bakri sudah terjatuh dan banyak darah yang hanyut oleh air hujan. Jadi Saya langsung membawanya ke rumah sakit dan menelpon Bu Anna dan juga Pak Adrian karena saya tidak tau harus menghubungi siapa.” Jelas Freddy dengan rasa bersalah.
“Kami justru berterimakasih. Pak Freddy yang merupakan vendor kami sudah sangat perhatian dengan karyawan Kami dan mau membantu Kami. Terimakasih Pak Freddy.” Managerku menepuk pundak Freddy. Seolah memberikan penghargaan.
“Tentu saja Pak. Kita memang harus saling membantu.” Freddy mengangguk.
Dua menit kemudian, Istri Pak Bakri datang. Penampilannya lebih berantakan dariku. Dia datang dengan masih menggunakan baju rumahan. Sandal jepit yang tidak serupa warnanya. Rambut yang basah terkena hujan dan nafas yang tidak teratur. Pasti karena ia baru saja berlarian menuju kemari.
Begitu melihat kami semua yang bermuka kosong, ia langsung menangis. Seolah ia tau seberapa buruk keadaan suaminya tanpa perlu melihat atau mendengar satu katapun dari kami.
Sekitar lima belas menit kemudian Pak Bakri sadarkan diri. Ia terlihat bingung sesaat, bertanya sedang ada di mana. Begitu mengingat dan menyadari kondisinya, ia menangis tersedu-sedu.
“Pak Bakri harus sabar dan tabah. Kami akan bantu semaksimal mungkin.” Managerku menepuk pundak Pak Bakri. Mungkin menepuk pundak adalah cara Managerku menenangkan seseorang.
“Betul Pak. Kami akan bantu. Bapak jangan khawatir.” Sebagai Asisten Manager yang membawahi office boy dan driver, aku merasa bertanggung jawab akan hal yang di alami Pak Bakri.
“Bagaimana Saya tidak khawatir? Sekarang Saya cacat. Perusahaan pasti tidak mau memperkerjakan pegawai yang catat. Lalu bagaimana nasib istri dan anak Saya?” Pak Bakri menangis, Untuk pertama kalinya aku melihat seorang pria dewasa menangis.
“Pak Bakri tenang dulu. Jangan berfikir yang macam-macam. Kita akan cari solusinya sama-sama nanti. Fokus saja sama pemulihan kesehatan Bapak.” Managerku kembali menepuk pundak Pak Bakri. Kali ini lumayan lama.
Istri Pak Bakri kembali menangis. Seketika ruangan dipenuhi suara isak tangis suami istri.
Tak banyak yang bisa kulakukan saat itu. Aku hanya bisa menenagkan istri Pak Bakri dengan memeluknya. Berharap itu membantunya.
“Saya punya kenalan dokter bedah terkenal. Nanti akan saya bantu untuk cari solusinya Pak Bakri.” Freddy yang sedari tadi diam akhirnya bicara.
Hening sesaat. Selama beberapa detik kami hanya diam menatap Freddy.
“Terimakasih banyak Pak Freddy.” Pak Bakri menatap Freddy yang berdiri di sampingku.
“Terimakasih sudah menyelamatkan Saya. Kalau bukan karena Pak Freddy saya tidak tau bagaimana jadinya.” Pak Bakri berbicara sambil menangis.
“Jangan dipikirkan Pak. Bapak banyak istirahat saja.” Jawab Freddy sambil tersenyum tipis.
“Maafkan Saya Bu Anna, Pak Adrian. Maaf kalau Saya sudah banyak salah selama ini. Dan terimakasih sudah mau membantu Saya.” Pak Bakri meminta maaf sekaligus berterimakasih dengan diikuti tangisnya yang mengalir deras.
Setelah berpamitan, aku berjalan pelan menelusuri lorong rumah sakit. Kakiku melangkah lunglai. Kejadian hari ini membuatku banyak pikiran.
Dari belakang Freddy menepuk pundakku.
“Apa yang sedang Anda pikirkan Bu Anna?” Freddy tersenyum begitu melihatku terkejut. Kemudian berjalan sejajar denganku tanpa merasa bersalah.
“Bukan apa-apa.” Jawabku singkat.
“Apa Bu Anna masih merasa kasihan?” Freddy bertanya sambil tersenyum menatapku.
“Eh? Bapak kok bisa tau?” Aku memang sedang bersimpati pada apa yang menimpa Pak Bakri.
“Saya merasa sudah kenal Bu Anna sejak lama. Makanya saya bisa tau. Hahaha.” Freedy tertawa kecil. Membuat lesung pipinya terlihat.
“Bapak bisa saja.” Aku ikut tersenyum tipis. Mengabaikan candaan Freddy.
“Hujan masih deras, Bu Anna nggak akan naik ojekkan?” Langkah kami terhenti di ujung koridor.
“Saya akan pesan taxi.” Aku meraih ponsel yang terselip jauh di dalam tas.
“Tidak usah. Saya antar saja. Toh kita ini tetanggakan? Tidak perlu merasa sungkan.” Ajakan itu sempat kutolak namun Freddy tetap bersikukuh. Akhirnya aku menurutinya.
Selama di perjalanan aku hanya termenung. Aku terus memikirkan kejadian hari ini. Bahkan aku tidak sadar kalau Freddy sedang mengajaku berbicara.
Apa yang sedang aku pikirkan adalah Pak Bakri. Dia sudah bekerja cukup lama di perusahaan kami. Kinerjanya cukup bagus dan orangnya ramah. Tapi Pak Bakri memiliki satu kekurangan, yaitu genit.
Pernah suatu hari dia sengaja menyentuh tanganku waktu sedang meletakkan kopi di atas mejaku. Awalnya aku berfikir itu ketidaksengajaan atau hanya iseng saja. Sampai akhirnya hal itu terus berlanjut.
Hal terparah yang pernah dia lakukan padaku terjadi sebulan yang lalu. Lebih tepatnya saat aku sedang membuat coklat panas di pantry. Pak Bakri yang baru selesai bersih-bersih ikut masuk ke pantry. Menyadari kehadiran Pak Bakri, aku sedikit mempercepat urusanku di sana dan bergegas keluar.
Belum sempat aku melangkah keluar, aku merasakan bagian belakangku disentuh olehnya. Dengan satu jari telunjuknya!
“Bapak sengaja ya?” Tanganku berhenti menuang air panas. Menatap Pak Bakri tajam.
“Eh? Apa ya Bu?” Wajah Pak Bakri seolah tidak bersalah.
Saat melihat ekspresinya yang pura-pura tidak tahu itu membuatku ingin menyiram wajahnya dengan air panas.
“Bapak tadi sengaja menyentuh Sayakan?” Tanyaku marah.
“Loh, Bu Anna ngomong apa. Saya cuman lewat. Maaf kalau kesenggol. Saya nggak sengaja.” Tanganku meremas gelas yang berisi coklat panas.
“Bapak terlalu sering nggak sengaja. Lain kali hati-hati ya Pak. Kesabaran Saya ada batasnya.” Jawabku tegas.
“Bu Anna salah paham. Saya-” Seseorang datang dan memotong kalimat Pak Bakri.
“Bu Anna? Dari tadi saya cari ternyata di sini. Bisa minta tolong sebentar? Saya butuh stempel untuk surat jalan barang ini.” Freddy muncul entah dari mana.
Aku tidak tau apakah Freddy menyadari apa yang sedang terjadi antara aku dan Pak Bakri saat itu. Namun ia bersikap seolah tidak tau apa-apa.
Setelah hari itu Pak Bakri bersikap sangat baik padaku. Meski begitu aku tetap menghindari dan mengacuhkannya selama beberapa pekan. Mungkin itu membuatnya tidak nyaman dan sadar akan kesalahannya.
Tanpa sepatah kata maaf yang terucap darinya, aku kembali menyapanya dan kembali bersikap normal kepadanya. Memberinya kesempatan yang entah sudah keberapa kalinya.
Bukankah aneh? Bagaimana bisa sebulan kemudian semua ini terjadi. Apa yang paling mengganggu pikiranku adalah fakta bahwa jari telunjuknya yang selama ini digunakan untuk menggodaku putus. Apa ini hukuman untuknya? Tapi aku tidak pernah berharap hal seperti ini terjadi. Apa benar hanya kecelakan? Atau ada hal lain?
TIN-TIN!
Suara klakson membuyarkan lamunanku. Spontan aku menolah ke arah Freddy.
“Banyak orang yang tidak sabaran hari ini. Sepertinya mereka sudah punya banyak janji. Terutama mobil di belakang kita yang sibuk membunyikan klakson dari tadi.” Freddy bersikap biasa saja meski aku melamun sendirian.
“Maaf saya-”
“Nggak apa-apa. Bu Anna pasti masih kaget karena baru pertama kali melihat orang kecelakaan separah itukan?” Freddy memotong kalimatku. Kata-katanya membuatku terdiam sesaat.
“Bagaimana bisa Pak Freddy sangat memahami saya. Seolah-olah tau banyak hal tentang saya.” Aku menatap serius Freddy yang sibuk dengan kemudinya.
“Saya hanya menebak. Ternyata betul. Haha.” Lagi-lagi Freddy tertawa. Kali ini sedikit kaku.
Freddy merupakan vendor atau investor kami. Mereka menyediakan jasa transportasi export-import untuk barang yang kami produksi. Ini merupakan kali pertama perusahaan kami bekerja sama dengan salah satu jasa transportasi import. Langkah yang bagus untuk kemajuan perusahaan kami.
Selama dua bulan ini dia membantu kami menangani pemberkasan sekaligus menjadi kepala bagian koordinasi lapangan yang bertugas mengatur jadwal pengiriman barang. Intinya dia sangat berperan penting dalam kerja sama antar perusahaan ini.
Proyek pertama kami akan selesai dua minggu lagi. Setelahnya akan ada tim khusus dari perusahaan Freddy yang meneruskan proyek export-import ini. Freddy hanya membantu sementara, selagi dia yang paling berpengalaman di bidang ini.
Aku diberikan tanggungjawab untuk membantu segala kebutuhan Freddy yang berhubungan dengan pekerjaanya di sini. Dari sanalah kami saling mengenal.
Hal yang unik dari Freddy ini adalah dua hari setelah bergabung dengan perusahaan kami, dia pindah dari rumahnya dan memilih untuk mengontrak sebuah rumah di sekitar komplek perumahanku. Kami berdua sama-sama tidak menyangka akan menjadi tetangga sekaligus rekan kerja.
Freddy masih sibuk dengan kemudinya. Berusaha memecah keramaian di tengah Kota. Selain Freddy, penyeka kaca mobil juga sibuk naik turun menghapus air hujan.
“Apa Bu Anna nyaman di tempat kerja?” Freddy bersuara setelah hening beberapa saat.
“Saya tipe yang tidak banyak memikirkan itu. Apa itu artinya saya mudah nyaman di mana saja?” Jawabku sambil tersenyum ketir.
“Bisa jadi. Saya juga merasa kalau Bu Anna orang yang sangat baik. Bahkan terlalu baik.” Freddy memutar kemudi. Mulai memasuki gang perumahan.
“Eh, saya tidak sebaik itu. Bapak terlalu memuji.” Wajahku memerah. Aku tidak biasa dipuji.
“Betul. Saya tidak berbohong. Saya selalu merasa familiar dengan kebaikan Bu Anna. Benar-benar mirip seseorang. ” Freddy tersenyum lembut.
“Saya mirip seseorang?” Aku menatap Freddy sambil mengerutkan kening.
“Apa Bu Anna tidak merasa familiar dengan saya? Entah kenapa saya merasa kita pernah bertemu sebelumnya.” Freddy melirikku sesaat.
“Eh? Tapi Saya pasti ingat kalau pernah bertemu dengan Bapak.” Jawabku sedikit bingung.
“Begitukah?”
“Tentu saja. Bagaimana saya bisa lupa pria setamp-” Demi apapun. Aku langsung menutup mulutku.
Dasar gila! Bisa-bisanya kamu ingin bilang dia tampan?! Batinku mengumpat.
“Tamp? Tampar? Oh! Tampan? Apa tadi maksudnya saya tampan?” Freddy menyambung kalimatku yang terputus.
“Aduh, Saya mohon maaf. Saya nggak bermaksud lancang.” Aku meminta maaf sambil membungkukkan sedikit pundakku. Berharap Freddy tidak menyadari wajahku yang memerah.
“Hahaha. Bu Anna ini lucu sekali. Santai saja. Saya juga pernah dengar itu dari seseorang.” Tiba-tiba wajah Freddy terlihat sangat senang.
“Ehmm, apa itu istri Bapak?” Terlanjur basah mandi saja sekalian. Kalimat itu cocok untukku saat ini.
Aku terlanjur membahasnya sekalian saja aku pastikan status pria tampan di sebelahku ini. Meski sebenarnya aku sudah bisa menebak apa jawabannya. Tidak apa-apa, aku hanya penasaran. Tidak kurang dan tidak lebih.
Hening. Freddy menatapku dengan tatapan kosong. Untuk sesaat dia hampir menjawab lalu kembali menutup mulutnya.
“Iya. Calon istri.” Freddy menjawab samar-samar. Kini malah aku yang terdiam.
Aku tidak tau berapa usia pastinya. Dari segi wajah memang masih sangat awet, tapi entah kenapa aku yakin jarak Kami cukup jauh. Lalu Freddy baru saja mengatakan kalau dia punya calon istri. Apa itu pernikahan keduanya? Istri pertamanya bagaimana? Anaknya? Ah, lagi-lagi aku terlalu banyak berpikir.
“Oh! Dari tadi saya ingin bertanya. Bagaimana Bapak bisa sampai di lokasi kejadian hari ini? Bapak punya tujuan yang sama dengan Pak Bakri?” Tanyaku sambil memiringkan kepala. Bersikap semanis mungkin.
Aku mengalihkan pembicaraan Berharap Freddy melupakan pertanyaan dan perkataan bodohku. Namun respon yang terjadi malah tidak terduga. Freddy terkejut dan langsung menatapku tajam. Ekspresinya berubah begitu cepat.
“Loh. Sepertinya itu Adik Bu Anna? Kita sudah sampai ternyata.” Freddy mulai menepikan posisi mobilnya.
“Terimakasih Pak Freddy tumpangannya. Sampai jumpa besok. Mari.” Aku bergegas turun dari mobil dan melangkah masuk ke halaman rumahku.
Untuk sesaat aku sempat memikirkan apa maksud dari ekspresi Freddy.
“Kakak! Dari mana aja sih! Telpon nggak diangkat. Tau nggak kunci Kakak tuh nyangkut di depan pintu.” Andi langsung mengomeliku.
Seketika itu aku baru teringat. Kalau Aku meninggalkan kunci menggantung di depan rumah dan langsung bergegas pergi ke rumah sakit.
“Ceroboh banget sih! Kalau ada orang yang masuk gimana?” Andi masih terus mengomeliku.
Drama yang di buat oleh Andi membuatku lupa akan kecurigaanku pada Freddy sebelumnya.
***
love it...
Comment on chapter Chapter 1