Senin, hari pertama sekolah.
Jarak Panti Sosial dan sekolah baru Azfar, Abimanyu dan Nining tidak begitu jauh, mereka bisa menempuhnya dengan berjalan kaki. Ketiga remaja itu begitu riang saat pertama kali masuk sekolah baru. Saat masuk dari gerbang utama, siswa-siswa yang melihat mereka menatap kebingungan, betapa tidak, wajah mereka bertiga terlihat sangat asing di sekolah itu.
Nining ditempatkan di kelas XI IPA-2, sedangkan Azfar dan Abimanyu, mereka berdua sekelas, di XI IPS-1.
Hanya mereka bertiga saja yang memilih sekolah itu, belasan pelajar dari Palu lainnya memilih sekolah lain. Saat upacara sedang berlangsung tadi, kepala sekolah SMA Sultan Alauddin memperkenalkan mereka bertiga ke semua siswa di sekolah itu. Semua guru dan murid SMA Sultan Alauddin menerima mereka dengan senang hati. Kepala sekolah juga memberikan seragam gratis kepada mereka bertiga, seperti seragam batik, olahraga, dan pramuka.
Hari pertama sekolah, lancar, banyak teman-teman kelas yang meminta berkenalan dengan mereka, sebagian bertanya-tanya bagaimana kondisi kota Palu saat bencana dan saat sekarang ini. Azfar, Abimanyu dan Nining bercerita banyak pada teman-teman baru mereka.
Saat hari pertama masuk kelas juga, selesai belajar, Abimanyu terlihat enjoy ke semua teman kelasnya, bicaranya banyak, seakan-akan teman-teman kelas baru itu adalah teman-teman kelasnya di SMA-nya dulu.
Saat di kelas, Abimanyu menghampiri seorang siswa lelaki. Ditilik dari gaya-gayanya di kelas, sepertinya siswa lelaki itu pendiam.
“Hai, tinggal kamu yang belum berkenalan dengan kami berdua. Nama kamu siapa?” sapa Abimanyu pada siswa lelaki itu.
Bukannya Abimanyu yang seharusnya malu-malu, tapi malah siswa lelaki itu, ia sejak tadi hanya menghabiskan waktunya membaca buku di bangkunya, tanpa ingin berkenalan dengan Azfar dan Abimanyu.
“E-eh. Na-namaku Salman. Iya, Salman,” jawabnya sedikit gugup, lelaki itu meraih uluran tangan Abimanyu.
Salman, seorang lelaki yang pendiam, susah bergaul, kerjanya di sekolah hanya berdiam diri di kelas, sambil membaca buku.
“Namaku Abimanyu, biasa dipanggil Abi. Dan di sampingku ini….” Abimanyu menoleh pada Azfar, mempersilahkan teman baiknya itu untuk menyebut namanya.
“Azfar.” Azfar tersenyum lembut ke arah Salman.
Azfar dan Abimanyu selalu mengajak Salman bercakap-cakap di kelas, dan itu tidak membuat Salman risih. Justru lelaki itu malah senang, karena cara pendekatan Azfar dan Abimanyu pada dirinya sangat bagus. Azfar yang tahu hobi Salman yang suka membaca buku, akhirnya ia membahas tentang buku pada Salman, dan lelaki itu menyukainya.
Jika melihat seseorang yang terlihat cuek, pendiam, dingin—sedingin batu es, jangan langsung menilai bahwa orang itu sombong. Tidak! Orang pendiam seperti itu, karena mereka tidak bertemu dengan orang yang tepat. Dan, sepertinya Salman sedikit demi sedikit merasa bahwa Azfar dan Abimanyu adalah orang yang tepat baginya, karena sikap Azfar yang paham dengan keadaan seseorang, dan Abimanyu yang paling banyak humornya, akhirnya seorang Salman mulai terbuka pada Azfar dan Abimanyu.
Senin berikutnya. Satu pekan sudah berada di lingkungan sekolah baru, ketiga remaja itu sudah mulai hapal setiap sudut sekolah, mengenal dan dikenal banyak guru. Mereka bertiga juga sudah punya kantin andalan.
Saat upacara tadi, dua siswa perwakilan SMA Sultan Alauddin yang mengikuti Kompetisi Sains Nasional (KSN) dipanggil ke hadapan para murid yang tengah berbaris, karena kedua siswa itu telah mengharumkan nama sekolah—meraih juara di KSN. Siswa pertama seorang gadis yang meraih juara di mata pelajaran biologi, dan satunya lagi siswa laki-laki, dia meraih juara di mata pelajaran kimia. Gemuruh suara tepuk tangan para siswa mengudara saat kepala sekolah memuji-muji dan membanggakan kedua siswa berprestasi tersebut.
Azfar menatap lamat-lamat seorang gadis berprestasi yang berdiri di dapan sana.
“Tingkat nasional. Berarti mereka pintar ya, Azfar,” kata Abimanyu yang berdiri di samping Azfar.
Azfar mengangguk setuju.
Jam istirahat, Azfar dan Abimanyu, hendak menuju kantin, perut mereka sudah lapar. Salman juga mengikuti mereka berdua. Salman—siswa pendiam, mulai nyaman berteman dengan Azfar dan Abimanyu, ia selalu mengiktu kemana pun dua lelaki itu pergi. karena Kedekatan Azfar dan Abimanyu pada Salman, akhirnya mereka berdua memperkenalkan Salman pada Nining.
“Adik! Adik! Sini dulu.” Seorang guru perempuan berdiri di ambang pintu, memanggil Azfar, Abimanyu dan Salman. Itu adalah guru termuda di sekolah, namanya Ibu Mutamainah, para siswa biasa memanggilnya Ibu Mut.
Azfar, Abimanyu, dan Salman menoleh, menghampiri Ibu Mutamainah.
“Nah, kamu, yang ini.” Ibu Mutamainah menunjuk Azfar, “Ibu minta tolong sama kamu, panggilkan siswa bernama Ainun di kelas sebelas IPA-2.”
“Baik, Bu.” kata Azfar.
“Mau kami temani, Azfar?” Abimanyu menawarkan.
“Tidak perlu, kalian berdua duluan saja ke kantin, nanti aku menyusul.”
“Baiklah. Kalau ketemu Nining, ajak dia ke kantin,” kata Abimanyu, karena Azfar akan menuju ke kelas XI IPA-2, itu berarti siswa bernama Ainun itu sekelas dengan Nining.
Azfar mengangguk.
Kelas XI IPA-2 sangat ramai, lebih banyak siswa perempuan di dalamnya. Suasana di dalam kelas saat jam istirahat sangat bising, seperti suara kerumunan lebah di luar sarangnya. Saat Azfar masuk, seketika dengungan puluhan lebah itu terhenti, semua mata tertuju padanya. Semua siswa di kelas itu juga tahu, kalau Azfar juga murid baru asal Palu, sama seperti teman mereka, Nining. Nining juga ada di dalam kelas itu.
“Siswa atas nama Ainun ada?” Azfar bertanya ke semua siswa di kelas.
Salah satu siswi mengangkat tangannya ke atas, “Saya Ainun.”
“Kamu dipanggil Ibu Mut, di kantor,” kata Azfar.
Siswi bernama Ainun itu segera berdiri, menghampiri Azfar. Saat kedua siswa itu hendak pergi, Nining berteriak dari bangkunya, bangku yang juga Ainun duduk di sana tadi—Nining dan Ainun duduk sebangku. “Azfar, Abimanyu sama Salman di mana?”
“Mereka sudah di kantin. Oh iya, kamu dipanggil sama mereka,” jawab Azfar, lantas segera berjalan keluar kelas, bersisian dengan Ainun.
Saat berjalan bersisian dengan Ainun, Azfar berucap dalam hati: “Bukannya siswi ini yang dipanggil ke depan saat upacara tadi, karena juara KSN Biologi?”
Rupanya Ainun juga berucap dalam hati: “Oh, ini yang bernama Azfar, yang pernah Nining sebut namanya di kelas.”
Azfar merasakan hal aneh, jantungnya berdegup tak keruan, desir darahnya mengalir kencang di tubuh. Rasanya, remaja lelaki itu ingin mengantar Ainun sampai ke kantor, tapi jalan menuju kantin harus belok ke kiri. Lidah Azfar kelu, seperti tak mampu mengucapkan kata pamit pergi ke kantin pada gadis bernama Ainun itu.
Hampir tiba di pertigaan, Azfar segera memutuskan bahwa ia akan ke kantin. Untuk apa mengantar Ainun sampai ke kantor? Toh gadis itu juga tahu jalan ke kantor, meja Ibu Mutamainah pun dia tahu.
“Ainun, tugasku sudah selesai, aku lanjut ke kantin dulu.” Azfar sedikit menoleh ke arah Ainun.
Ainun balas menoleh ke arah Azfar, tersenyum lembut, “Terima kasih, Azfar.”
Saat tiba di kantin, Azfar memberi tahu pada Abimanyu dan Salman, bahwa siswi bernama Ainun yang tadi ia panggil, adalah siswi berprestasi di sekolah, yang telah memenangkan KSN Biologi. Hal itu sudah diketahui oleh Salman, karena ia sudah mengenal siswi berprestasi itu dari kelas sepuluh.
“Cantik, pintar lagi,” celetuk Salman. Sepertinya karakter pendiamnya sudah mulai luntur dari dirinya. Si Batu es itu mulai mencair karena perlakuan hangat oleh Azfar, Abimanyu, dan Nining.
“Uhukk, uhukk. Air, air!” Abimanyu yang sedang mengunyah makanan di mulutnya, seketika tersedak karena celetukan Salman. Lelaki itu segera meminum air.
“Ahh.” Abimanyu sudah merasa lega saat meminum air. “Sudah satu minggu aku mengenalmu, baru kali ini aku mendengar kamu berucap seperti itu.”
Azfar dan Salman tergelak mendengar penuturan Abimanyu. Memang benar, Salman memberikan celetukan sangat jarang, bahkan sama sekali belum pernah teman-teman di kelas melihatnya seperti itu.
Sepuluh menit, Nining menyusul ke kantin. Gadis gempal itu langsung memesan menu, lalu duduk bergabung bersama tiga teman lelakinya itu.
“Eh, Ning?!” tegur Abimanyu.
“Apa?”
“Tadi Salman bilang Ainun teman sekelasmu itu cantik dan pintar.” Abimanyu menyeringai lebar.
“Kan memang betul. Kenapa?” Nining pura-pura apatis.
“Ish, kamu tidak kaget?” kata Abimanyu, sebal.
“Kenapa harus kaget?”
“Ah, kamu tidak asyik.” Abimanyu memutar bola matanya malas.
Nining nyengir lebar melihat Abimanyu yang kesal padanya. Gadis gempal itu tidak pernah bosan membuat Abimanyu marah.
“Kamu tahu, Azfar, Ainun itu adik kandung dari Ibu Mut,” kata Nining, sambil menaruh kecap di mangkuk mi-nya.
“Oh ya? Aku baru tahu.” Azfar manggut-manggut.
“Iya. Ainun juga waktu SD dan SMP sekolah di Palu, lho,” kata Nining lagi.
“Sungguh?” Azfar sedikit terkejut
“Iya, Azfar, dia menceritakan semuanya padaku. Kami kan satu bangku di kelas.” Suapan pertama masuk ke dalam mulut Nining. Sambil mengunyah makanan, ia menyambung kembali: “Saat Ainun umur lima tahun, orangtuanya merantau ke Palu, dan mendirikan yayasan di sana. Yayasan orangtuanya sudah memiliki cabang di beberapa kota-kota di Indonesia, dan di Palu adalah pusat yayasannya. Itu sebabnya dari SD hingga SMP Ainun bersekolah di Palu. Saat akan masuk ke SMA, kebetulan Ibu Mut keterima menjadi guru di sekolah ini, dan Ainun memilih SMA ini, supaya bisa bertemu dengan Kakaknya setiap hari.” Nining kembali menyendok makanannya ke mulut.
Azfar, Abimanyu dan Salman mengangguk-angguk. Salman juga baru tahu soal itu, mungkin karena selama ini dia sangat tertutup dan bergaul ke semua siswa di sekolah.
Dua puluh menit berada di kantin, bel masuk sudah berbunyi. Pagi menjelang siang ini, pelajaran yang masuk di kelas XI IPS-2 adalah Geografi, dibawakan oleh Pak Ucok. Kebetulan sudah masuk di bab tentang lempeng. Mengetahui ada dua siswa dari Palu yang menjadi korban bencana di kelas itu, Pak Ucok memberi kesempatan ke salah satu dari mereka berdua untuk menceritakan betapa kuatnya guncangan gempa saat itu. Azfar yang menceritakannya. Mendengar cerita dari Azfar, semua siswa di kelas berdecak-decak ngeri, sambil membayangkan bagaimana jika mereka langsung yang merasakannya. Usai Azfar bercerita, Pak Ucok kemudian menjelaskan kenapa sampai terjadi gempa. Guru itu mengambil contoh lempeng yang melintasi tepat di bawah bumi terdalam Palu.
Waktu melesat tak terasa. Waktu salat zuhur telah selesai, juga mata pelajaran terakhir. Bel jam pulang telah berbunyi. Ratusan siswa berarak-arakan ke luar dari gerbang sekolah.
Saat berjalan, tak sengaja pandangan Azfar menemukan sosok Ainun yang tengah berjalan keluar dari gerbang. Azfar terus memerhatikan gadis itu, hingga tiba-tiba pandangan gadis itu juga tak sengaja melihat ke arahnya. Sejenak kedua remaja itu bersitatap, hingga saling menunduk satu sama lain karena malu. Dari sekian banyak siswa, kenapa pandangan mereka yang harus bertemu?