Read More >>"> RUMIT (Pak Presiden) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - RUMIT
MENU
About Us  

Satu pekan setelah bencana.

Pukul empat dini hari, suara merdu murottal dari toa Masjid melantun dengan merdu. Seperti biasa, Azizah lebih dulu terbangun. Ia sholat tahajjud terlebih dahulu, lalu membangunkan keluarganya untuk bersiap-siap menunaikan salat subuh.

Azfar, Haji Sengko, dan Adirah salat subuh berjamaah di masjid lagi. Sedangkan Azizah, Nenek Arni, dan Indri salat di halaman rumah. Zaldin? Lelaki itu malah tertidur dengan nyenyak ketika semua orang bangun untuk salat.

Lepas salat subuh, salah seorang TNI memberitahu pada beberapa orang jamaah Masjid, termasuk Azfar dan Haji Sengko, bahwa pagi ini, Bapak Presiden Republik Indonesia beserta rombongannya akan berkunjung ke Donggala. Salah satu tempat yang akan Presiden datangi nanti adalah lapangan pengungsian. Berita itupun, Azfar dan Haji Sengko kabarkan lagi pada orang-orang yang ada di rumah, semua ikut gembira mendengarnya.

Presiden dan rombongannya tiba di Palu kemarin. Presiden dan rombongannya juga telah berkunjung dan melihat kondisi lokasi terjadinya likuifaksi.

Saat ini, langit sudah mulai terlihat terang. Dari balik gunung yang ada di seberang teluk, matahari mulai naik dari peraduannya.

“Nanti Pak Presiden akan berkunjung ke tempat pengungsian, aku harus datang ke sana dan melihatnya. Tiap hari hanya melihat Pak Presiden dari TV saja, kali ini aku harus melihatnya secara langsung,” kata Haji Sengko tersenyum lebar.

Azfar mengangguk-angguk, setuju dengan apa yang diucapkan Haji Sengko. Ia juga pasti akan datang melihat, lagi pula, sebelum ada kabar kedatangan Presiden, ia memang sudah sering berkunjung ke area hantaman tsunami dan tempat pengungsian. Hari ini sangat special: kedatangan orang yang sangat penting di negara ini.

“Aku juga ikut melihat Pak Presiden,” seru Adirah, seketika semua mata memandang ke arahnya.

Azfar dan Azizah saling tatap, lalu geleng-geleng kepala.

“Adirah, yang datang nanti itu Pak Presiden, seluruh warga akan berbondong-bondong untuk melihatnya, orang-orang akan saling berdempetan. Jadi, Adirah jangan pergi.” Azizah sudah memperkirakannya, meyakinkan kepada putrinya.

“Kan ada Haji Sengko dan Kak Azfar yang menjaga Adirah, Bu.” Adirah tetap ingin ikut.  

Azfar dan Azizah kembali saling tatap, menghembuskan napas, pertanda menyerah.

Azizah menatap lagi ke arah Nenek Arni, terlihat Nenek Arni mengangguk, lalu tersenyum, pertanda: membolehkan Adirah untuk ikut, toh ada Haji Sengko dan Azfar yang akan menjaganya.

Azizah beranjak berdiri, hendak menuju ke samping rumah, segera memasak untuk sarapan pagi. Perempuan berumur empatpuluh tahun itu belum mengeluarkan kata agar membolehkan putrinya untuk ikut ke tempat pengungsian.

“Buu... boleh kan Adirah ikut dengan Kak Azfar dan Haji Sengko?” Adirah mendongak ke arah Azizah yang tengah berjalan menuju samping rumah. Gadis kecil itu terus memohon.

Terhenti langkah Azizah, bibirnya menciptakan senyuman tipis, “Iya, Adirah, boleh.”

“Horeee, ketemu Pak Presiden!” Adirah pun berseru riang.

 

***

 

Pukul delapan pagi. Setelah sarapan pagi, Azfar, Adirah, dan Haji Sengko berangkat ke tempat pengungsian dengan berjalan Kaki. Matahari menyiram lembut wajah mereka. Mereka melewati pelataran rumah-rumah penduduk, yang lokasinya jauh dari bibir pantai. Setiap melewati warga yang tengah berkumpul di halaman rumah—di bawah tenda-tenda terpal, mereka bertiga menyapanya. Ada salah seorang warga bertanya pada mereka bertiga hendak kemana, dan mereka jawab: menunggu kedatangan sang Presiden di pengungsian. Mendengarnya, beberapa dari warga ikut pergi ke lapangan pengungsian.

Beberapa menit kemudian, mereka pun sudah sampai di pengungsian. Tempat pengungsian kali ini sangat ramai, di sana juga sudah banyak para TNI, Polri, dan para relawan. Kabarnya, Presiden dan rombongannya sudah dalam perjalanan menuju ke daerah mereka, yang salah satu terdampak cukup parah akibat gempa dan tsunami. Orang-orang juga mulai keluar dari tenda masing-masing, menanti kedatangan sang Presiden.

“Ekhem.” Seorang perempuan muncul dari belakang mereka yang sedang menatap keramaian pengungsian.

Adirah menoleh ke belakang, seketika ia terkejut. “Kak Aya!” Gadis itu berseru riang ketika melihat seorang relawan yang mengajarinya menggambar kemarin sore.

“Eh, Aya.” Azfar juga terkejut.

Aya tersenyum lebar melihat ekspresi gembira juga kaget dari dua kakak-beradik itu. Aya merasa sangat senang atas kehadiran mereka.

“Haji Sengko, kenalkan, ini Aya, salah satu relawan dari Manado. Aya, ini Haji Sengko.” Azfar memperkenalkan.

“Halo, Aya,” sapa Haji Sengko, ramah.

“Halo, Pak,” balas Aya, tersenyum.

“Hahaha, Pak.” Adirah tertawa geli.

Azfar mencuil lengan Adirah, matanya melotot manatap gadis kecil itu.

Mendengar Adirah yang tertawa karena dirinya dipanggil 'Pak', Haji Sengko memberitahu pada Aya: “Panggil Haji saja. Biasanya orang-orang memanggilku dengan panggilan itu.” Haji Sengko tersenyum.

“Baik, Haji,” Aya mengangguk, tersenyum.

Haji Sengko bertemu dengan beberapa orang kawannya di pengungsian. Azfar dan Adirah berpisah sebentar dengan orang tua itu, karena Aya mengajak mereka pergi mendekat ke tenda relawan.

“Haji, nanti kita pulangnya sama-sama. Aku dan Adirah ke sana sebentar.” Azfar berpamitan pada Haji Sengko.

Haji Sengko mengangguk, lalu bilang agar Adirah dijaga baik-baik.

Azfar, Adirah, dan Aya berjalan di sela-sela tenda pengungsi. Relawan cantik itu sengaja membawa mereka ke tenda relawannya, karena hendak memberikan sesuatu.

“Kak, tenda milik Kinaya di mana, ya?” Tanya Adirah pada Azfar. Kinaya adalah tentangga mereka dulu sebelum bencana, sekaligus teman dekat Adirah di bangku kelas satu SD.

“Kakak tidak tahu, Adirah,” balas Azfar.

Sudah berada di depan tenda-tenda relawan Manado. Aya masuk ke dalam tenda, mengambil sesuatu.

Saat keluar dari tenda relawannya, Aya duduk bersimpuh di depan Adirah, menyerahkan sebuah coklat batang. “Adirah mau coklat?”

Adirah mengangguk, tersenyum lebar. “Mau, Kak.”

Mereka bertiga duduk di sebuah kursi berbahan plastik. Adirah duduk di tengah antara Azfar dan Aya. Mereka menikmati suasana pagi, menatap sekitar yang ramai. Nampak anak-anak kecil berlarian di sela-sela tenda. Aya juga memberikan coklat batang pada Azfar. Beberapa snack juga Aya berikan, mereka menikmatinya bersama-sama.

“Abi dan Nining sejak tadi tidak terlihat.” Azfar memulai percakapan.

“Iya, dari tadi aku juga tidak melihat mereka,” balas Aya, “Tadi malam kami duduk-duduk sambil berbincang-bincang.”

“Oh ya!” seru Azfar.

Aya mengangguk, “Hampir tiap malam kami berkumpul, dan selalu bermain kartu poker. Abi kalah terus. Hukuman untuk yang kalah: wajah disumpit pakai jepitan jemuran. Ada belasan jepitan jemuran di wajah Abi.’" Aya menutup mulutnya, menahan tawa.

“Hahaha, pasti muka Abi sudah benjol-benjol dan merah-merah.” Azfar ikut tertawa.

“Iya, Nining saja setengah mati menahan tawa melihat wajah Abi dipenuhi jepitan jemuran.”

Pertemuan hangat mereka pagi ini sambil berbincang-bincang. Adirah tak banyak bicara, ia hanya fokus menikmati coklat pemberian Aya.

Sudah pukul Sembilan, tapi rombongan Presiden belum juga tiba. Baru pukul sembila lewat tigapuluh menit, masyarakat mendengar kabar bahwa Presiden dan rombongannya sudah tiba di kampung mereka, tepatnya di area bekas tsunami. Presiden bertemu dengan para korban di sana. Sebentar lagi rombongan itu akan menuju ke pengungsian.

Semua orang tak sabar menunggu kedatangan Presiden di pengungsian. Beberapa TNI sudah berjaga-jaga di sekitaran pengungsian, agar ketika Presiden dan rombongan tiba nanti, masyarakat tidak berbondong-bondong mendekat dengan Presiden.

Beberapa menit kemudian, rombongan itu telah memasuki pintu masuk lapangan pengungsian, dengan kawalan yang sangat ketat. Belasan mobil terparkir rapi di sepanjang lorong menuju tempat pengungsian. Beberapa mobil lagi terparkir di area lapangan yang tidak ditancapi tenda pengungsi. Sepertinya Pak Presiden ada di salah satu mobil itu. Semua warga mulai merapat ke mobil-mobil itu. Dari mobil sedan berwana hitam, keluar seseorang yang sangat penting di negara ini, mengenakan kemeja putih bersih. Beberapa TNI dan Polri di kiri-kanannya. Itu adalah sang Presiden, beliau berjalan ke tengah-tengah masyarakat, mengamati tenda pengungsian. Beberapa korban bencana diajak berbicara oleh Presiden, itu adalah kesempatan yang luar biasa karena bisa bercengkrama dengan orang yang sangat penting di negara ini. Pak Presiden bertanya keadaan korban. Di sela-sela banyaknya masyarakat berkumpul, beberapa di antara mereka ada yang berteriak: “Pak Presiden, tolong kami”. Pak Presiden menanggapinya dengan senyuman ramah. Dari raut wajahnya, beliau bisa rasakan kesedihan yang menimpa rakyatnya.

Azfar dan Adirah jauh dari posisi Presiden berdiri, hingga tak jelas melihat Presiden di tengah-tengah sana, kedua kakak-beradik itu terus mendongak, mencari keberadaan Presiden. Azfar menggendong Adirah di belakangnya.

“Kak Azfar, di Sana Haji Sengko!” Adirah menunjuk ke arah Haji Sengko yang berada di tengah-tengah masyarakat, nampak satu kepala yang memakai songko putih dari kejauhan. Tidak hanya memberi tahu pada Azfar atas keberadaan Haji Sengko, gadis kecil itu juga berteriak sekuat mungkin sambil melambai-lambaikan tangannya, “HAJI SENGKOO!”

Gadis kecil itu sangat lucu. Semua orang mencari keberadaan Presiden, ia malah mencari di mana Haji Sengko berada.           

Haji Sengko mendengar suara teriakan yang memanggil namanya itu, lantas membalas dengan lambaian tangan.

“Adirah, itu Presiden kita.” Azfar menunjuk ke arah seseorang yang mengenakan kemeja putih bersih, rambut disisir ke kanan dengan rapi.

Adirah mendongak, mencari. Ketemu. “Oh, itu Presiden kita ya, Kak?”

Isak tangis korban bencana terdengar di tengah-tengah keramaian, beberapa korban bergantian memeluk Presiden. Tidak semua yang bisa mendapatkan kesempatan yang berharga itu. Haji Sengko salah satu korban yang beruntung. Terlihat oleh Azfar dan Adirah, Haji Sengko sedang memeluk Presiden. Orang tua itu juga menangis.

Kedatangan Presiden dan rombongannya bukan sekadar berkunjung, tapi juga membawa begitu banyak bantuan untuk para korban. Belasan truk mengangkut logistik. Truk-truk itu bertuliskan: “Peduli bencana Palu, Sigi, Donggala”.

Setelah berkunjung ke tempat pengungsian di wilayah kecamatan Banawa, bercengkrama dengan para korban, Presiden dan rombongannya pun menlanjutkan perjalanan menuju ke kota Donggala, melihat para korban yang ada di sana.

Keramaian tadi mulai bubar, para pengungsi mulai masuk ke tenda masing-masing, juga melakukan aktivitas lainnya. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas. Matahari mulai memancarkan sinar panasnya. Waktunya Azfar dan Adirah pulang ke rumah. Mereka mencari di mana keberadaan Haji Sengko. Aya juga masih bersama mereka.

“Hari ini, kegiatan apa saja yang akan kalian lakukan?” tanya Azfar pada Aya. Mereka sambil berjalan di sela-sela tenda pengungsi, mencari Haji Sengko.

“Sore nanti mengajak anak-anak bermain lagi,” jawab Aya.

“Hore. Nanti sore kita ke sini lagi ya, Kak.” Adirah berseru sangat senang.

“Iya, insyaAllah,” balas Azfar, tersenyum.

Aya memandang ke arah Adirah, “Nanti kita akan bermain bersama, juga ada kuis berhadiah.”

“Asyik. Adirah tidak sabar lagi, Kak Aya.” Adirah bertepuk tangan saking gembiranya.

“Datang, ya.” Aya memegang bahu gadis kecil itu sambil tersenyum.

Adirah mendongak, menatap Azfar. Tatapan bermaksud agar Azfar sore nanti datang ke pengungsian ini dan membawanya.

“Iya, iya, Adirah,” kata Azfar, paham dengan tatapan Adirah.

Aya tersenyum melihat Azfar, gadis itu selalu senang jika berada di dekat lelaki itu. Empat hari sudah ia berkenalan dengan Azfar, dirinya merasa sangat nyaman, tapi ia juga selalu membayangkan, bagaimana jika mereka berpisah nanti ketika rombongan relawannya telah selesai bertugas? Aya akan memanfaatkan waktu-waktu selama di Donggala sebaik mungkin, yakni memperbanyak bertemu dengan Azfar. Ada apa dengan gadis itu? Apakah rasa cinta telah merasuk ke dalam hatinya? Atau masih butir-butir cinta, belum utuh sepenuhnya? Bagi Aya, pertemuannya dengan lelaki itu akan menjadi kenangan terindah suatu saat nanti.

Mereka sudah menemukan Haji Sengko. Orang tua itu sedang bercakap-cakap bersama kawannya yang juga seumuran dengannya.

“Eh, akhirnya ketemu juga dengan kalian berdua. Dari tadi haji cari-cari... ayo kita pulang, perut haji sudah lapar,” kata Haji Sengko.

Azfar dan Adirah mengangguk.

Mereka bertiga mulai berjalan meninggalkan pengungsian.

“Sampai jumpa nanti sore, Adirah,” kata Aya sambil melambaikan tangan pada mereka yang berlalu pergi.

Adirah tersenyum, membalas, “Iya, Kak Aya.”

Azfar menatap ke arah Aya, tersenyum. Aya membalas tatapan itu dengan tatapan teduhnya sambil tersenyum, lantas cepat-cepat menunduk, karena sedikit malu. Tak mampu ia menatap tatapan dari mata Azfar. Tatapan yang selalu membuat jantungnya berdebar begitu cepat. Rasanya ingin terbang jauh karena saking bahagianya. Aya terus memandang ke arah mereka bertiga yang berjalan meninggalkan pengungsian sampai tak terlihat lagi.

 

***

 

“Azfar. Adirah. Tadi kalian berdua lihat haji peluk Presiden?” tanya Haji Sengko, orang tua itu sambil menyendok nasi dan ditaruhnya ke piringnya. Makan siang.

Azfar dan Adriah mengangguk kagum.

“Haji Sengko memang hebat, bisa memeluk Pak Jokowi.” Adirah mengacungkan jempol pada Haji Sengko. Gadis kecil itu awalnya tidak mengetahui siapa nama Presiden Republik Indonesia. Ia mulai mengetahui saat dalam perjalan pulang tadi—Azfar yang memberitahu padanya.

Haji Sengko tersenyum bangga. Keluarga Nenek Arni yang sedang sarapam siang bersama itu, menatap kagum pada Haji Sengko.

Setelah sarapan siang, Azfar dan Adirah istirahat, tidur siang. Azfar sudah membuat keputusan: sore nanti ia akan pergi ke pengungsian lagi.

Jam setengah empat mereka terbangun, azan salat Ashar pun berkumandang, terdengar merdu di telinga. Mereka akan melaksanakan salat Ashar di Masjid lagi.

Usai salat Ashar, Azfar dan Adirah pun berangkat menuju pengungsian, berjalan kaki. Kali ini tidak memakai motor, karena paman mereka, Zaldin, sedang tidak ada di rumah. Motor dipakainya.

Berjalan menyusuri pelataran rumah-rumah penduduk, sesekali menyapa penduduk yang juga berkumpul di halaman depan rumah.

Mendekati pengungsian, Azfar dan Adirah melewati jalan setapak, yang kiri dan kanannya adalah semak-semak. Sesampainya di pengungsian, mereka berdua sudah mendapati para relawan dan anak-anak kecil sedang duduk di terpal yang digelar di samping tenda petugas. Ada dua kegiatan yang relawan adakan sore ini, pertama: para relawan mengajak anak-anak menggambar, kedua: setelah selesai kegiatan menggambar, akan ada games tebak-tebakan; siapa yang menjawab dengan benar akan mendapatkan hadiah.

Aya, seperti biasa, ketika melihat Azfar, gadis itu langsung mendekat ke lelaki itu. Karena kebiasaan superti itu semenjak berkenalan dengan Azfar, akhirnya mereka berdua menjadi sangat dekat. Apakah Aya ingin bersahabat baik dengan Azfar? Atau ia ingin sesuatu yang lebih? Gadis itu memang sudah merasa sangat nyaman, padahal baru beberapa hari berkenalan.

Dua puluh menit lamanya kegiatan menggambar, kini telah usai, setelah itu para relawan merapikan duduk anak-anak. Azfar, Abimanyu, Nining ikut membantu. Anak-anak pun dengan tertib duduk di atas terpal, beberapa orang relawan berdiri di hadapan anak-anak, menjelaskan bagaimana cara bermain games-nya.

“Baik adik-adik, kali ini kita akan bermain tebak-tebakan. Kami akan memberikan pertanyaan, jika ada di antara adik-adik yang tahu jawabannya, maka segera angkat tangannya tinggi-tinggi, lalu maju kedepan. Adik-adik semuanya sudah siap?!” Randi yang menjelaskan, seorang relawan dari manado yang beberapa hari yang lalu juga berkenalan dengan Azfar dan teman-temannya.

“SIAAPP.” Suara anak-anak korban bencana itu bergema di udara.

Randi, Aya, Zahwa, dan beberapa relawan lainnya mulai memberikan pertanyaan. Beberapa relawan yang lain duduk bersama anak-anak. Azfar, Abimanyu, Nining, juga beberapa remaja sepantaran dengan mereka, dan orang tua dari anak-anak ikut menyaksikan. Ada orang tua yang berteriak kepada anaknya: “Dengarkan baik-baik jawabannya, Nak, supaya bisa dapat hadiah.”

 Sudah empat pertanyaan yang dilontarkan, tapi Adirah belum juga mendapat giliran untuk menjawab, lebih tepatnya ia tak tahu jawabannya.

“Pertanyaan ke lima.... Siapakah nama Bapak Presiden Republik Indonesia?!”

Kali ini Adirah yang pertama mengangkat tangan. Tangannya ia angkat setinggi mungkin. Relawan yang membacakan pertanyaan itu langsung memanggil gadis kecil itu maju ke depan. Relawan itu mengulurkan sebuah towa di dekat mulut Adirah, lantas gadis kecil itu segera menjawab: “Pak Jokowi Dodo.”

“Benar sekali!” Seru relawan yang memberikan pertanyaan, membuat Adirah bertepuk-tangan sambil berloncat-loncat di tempat dia berdiri.

Relawan lainnya maju kedepan, lantas memberikan hadiah pada Adirah; dua permen lolipop dan sebuah boneka. Adirah menerimanya sambil tersenyum bahagia.

Saat Adirah maju kedepan untuk menjawab, Aya berada di samping Azfar. Aya berpindah dari hadapan anak-anak ke tempat Azfar berdiri, karena gilirannya memberikan pertanyaan sudah selesai. Abimanyu dan Nining juga berdiri di dekat Azfar.

“Apakah kamu yang memberitahukan padanya?” tanya Aya pada Azfar, tatapannya ke arah Adirah yang menerima hadiah.

Azfar tersenyum lebar, mengangguk, “Iya. Lepas dari pengungsian tadi pagi, aku tidak sengaja memberitahu padanya nama Presiden kita.... Ternyata Adirah masih ingat, hihihi.”

“Keren.” Aya nyengir, ia kagum melihat Azfar yang selalu mengajarkan setiap ilmu bermanfaat kepada adiknya. Bagi Aya, memberitahu nama Presiden kepada seorang bocah yang belum tahu, itu sebuah hal yang membanggakan.

“Kamu tidak mengatakan keren kepadaku, Aya?” celetuk Nining, “Padahal di pertanyaan kedua tadi, adikku bisa menjawab pertanyaan, juga mendapatkan hadiah, dan kamu juga sudah mengenal adikku.”

“Eh?.... Maaf, aku tadi tidak memperhatikannya, Nining.” Aya menelan ludah, suaranya kalut.

“Mmm... baiklah. Tidak apa, Aya. Aku paham dengan keadaan hatimu sekarang.” Nining terkekeh ringan, menggoda Aya.

Azfar tidak paham dengan ucapan Nining, tapi Aya paham, gadis itu langsung mencubit perut Nining yang gempal.

“Nining memang seperti itu, Aya. Dia ingin sekali dapat pujian,” celetuk Abimanyu, membuat Nining memelotot ke arahnya.

Dua puluh menit games kuis tebak-tebakan, akhirnya berlalu juga. Kegiatan trauma healing sore ini telah selesai, anak-anak mulai kembali ke tenda masing-masing, Azfar pun berpamitan pulang kepada teman-temannya.

“Azfar, besok pagi Aya dan rekan-rekan relawannya membagikan nasi bungkus. Mereka mengajak kita lagi. Betul kan, Aya?” kata Nining.

Aya mengangguk, tersenyum.

“Baik. Insya Allah aku akan datang lagi,” balas Azfar, kemudian berlalu meninggalkan pengungsian. Lelaki itu menggandeng tangan adiknya.

“Permennya jangan lupa diberikan satu pada Kakaknya,” kata Aya pada Adirah yang baru beberapa meter meninggalkan mereka, sedikit berteriak.

Adirah menoleh ke belakang, lalu menggelengkan kepala, “Tidak mau. Permen ini semua punya adirah.”

Azfar mencubit pipi imut adiknya itu, sangat menggemaskan.

Aya tersenyum memandang ke arah Azfar dan Adirah.

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
When Magenta Write Their Destiny
3993      1240     0     
Romance
Magenta=Marina, Aini, Gabriella, Erika, dan Benita. 5 gadis cantik dengan kisah cintanya masing-masing. Mereka adalah lima sahabat yang memiliki kisah cinta tak biasa. Marina mencintai ayah angkatnya sendiri. Gabriella, anak sultan yang angkuh itu, nyatanya jatuh ke pelukan sopir bus yang juga kehilangan ketampanannya. Aini dengan sifat dingin dan tomboynya malah jatuh hati pada pria penyintas d...
Call Me if U Dare
3712      1239     1     
Mystery
Delta Rawindra: 1. Gue dituduh mencuri ponsel. 2. Gue gak bisa mengatakan alibi saat kejadian berlangsung karena itu bisa membuat kehidupan SMA gue hancur. 3. Gue harus menemukan pelaku sebenarnya. Anulika Kusumaputri: 1. Gue kehilangan ponsel. 2. Gue tahu siapa si pelaku tapi tidak bisa mengungkapkannya karena kehidupan SMA gue bisa hancur. 3. Gue harus menuduh orang lain. D...
ARMY or ENEMY?
11214      3671     142     
Fan Fiction
Menyukai idol sudah biasa bagi kita sebagai fans. Lantas bagaimana jika idol yang menyukai kita sebagai fansnya? Itulah yang saat ini terjadi di posisi Azel, anak tunggal kaya raya berdarah Melayu dan Aceh, memiliki kecantikan dan keberuntungan yang membawa dunia iri kepadanya. Khususnya para ARMY di seluruh dunia yang merupakan fandom terbesar dari grup boyband Korea yaitu BTS. Azel merupakan s...
After Feeling
4476      1614     1     
Romance
Kanaya stres berat. Kehidupannya kacau gara-gara utang mantan ayah tirinya dan pinjaman online. Suatu malam, dia memutuskan untuk bunuh diri. Uang yang baru saja ia pinjam malah lenyap karena sebuah aplikasi penipuan. Saat dia sibuk berkutat dengan pikirannya, seorang pemuda misterius, Vincent Agnito tiba-tiba muncul, terlebih dia menggenggam sebilah pisau di tangannya lalu berkata ingin membunuh...
Mencari Pangeran Yang Hilang
2575      1071     3     
Romance
Naru adalah seorang cowok yang sempurna. Derajat, kehidupan, dan juga kemewahan layaknya seorang pangeran telah dia terima sejak lahir ke dunia. Orang tuanya seorang pengusaha kaya sejagat raya yang selalu muncul di TV. Namun ternyata dia yang merasa hidupnya terkekang oleh orang tuanya membuatnya tak memiliki satu pun teman. Dia pun benci tinggal di rumah. Dia ingin bebas. Ketika memasuki SMA,...
Photograph
1218      593     1     
Romance
Ada banyak hal yang bisa terjadi di dunia dan bertemu Gio adalah salah satu hal yang tak pernah kuduga. Gio itu manusia menyenangkan sekaligus mengesalkan, sialnya rasa nyaman membuatku seperti pulang ketika berada di dekatnya. Hanya saja, jika tak ada yang benar-benar abadi, sampai kapan rasa itu akan tetap ada di hati?
SEMPENA
2897      1037     0     
Fantasy
Menceritakan tentang seorang anak bernama Sempena yang harus meraih harapan dengan sihir-sihir serta keajaiban. Pada akhir cerita kalian akan dikejutkan atas semua perjalanan Sempena ini
Kani's World
1272      598     0     
Inspirational
Perjalanan cinta dan impian seorang perempuan dari desa yang bernama Kani. Seperti halnya kebanyakan orang alami, jatuh bangun dihadapinya. Saat kisah asmaranya harus teredam, Kani dituntut melanjutkan mimpi yang sempat diabaikannya. Akankah takdir baik menghampirinya? Entah cita-cita atau cinta.
Salon & Me
3348      1080     11     
Humor
Salon adalah rumah kedua bagi gue. Ya bukan berarti gue biasa ngemper depan salon yah. Tapi karena dari kecil jaman ingus naek turun kaya harga saham sampe sekarang ketika tau bedanya ngutang pinjol sama paylater, nyalon tuh udah kaya rutinitas dan mirip rukun iman buat gue. Yang mana kalo gue gak nyalon tiap minggu rasanya mirip kaya gue gak ikut salat jumat eh salat ied. Dalam buku ini, udah...
Samudra di Antara Kita
23863      3861     136     
Romance
Dayton mengajar di Foothill College, California, karena setelah dipecat dengan tidak hormat dari pekerjaannya, tidak ada lagi perusahaan di Wall Street yang mau menerimanya walaupun ia bergelar S3 bidang ekonomi dari universitas ternama. Anna kuliah di Foothill College karena tentu ia tidak bisa kuliah di universitas yang sama dengan Ivan, kekasihnya yang sudah bukan kekasihnya lagi karena pri...