Suara murottal Al-Quran dari toa masjid terdengar merdu. Azizah sudah terbangun sejak pukul dua pagi tadi, ia bangun lebih awal untuk melaksanakan salat tahajjud. Setelah tahu waktu subuh tak lama lagi tiba, Azizah pun membangunkan semua keluarganya.
Azfar tak perlu waktu lama untuk dibangunkan, ia segera bangkit dari pembaringannya, lalu ia membangunkan Haji sengko yang tidur di samping kanannya dengan memukul-mukul sedikit tangan orangtua itu. Beberapa detik setelahnya, Haji Sengko juga sudah terbangun.
Adirah, gadis kecil itu susah sekali dibangunkan. Azfar melihat adiknya yang susah dibangunkan mencoba menjahilinya, lelaki itu membuka mata Adirah dengan jarinya. Melihat kejahilan Azfar, Azizah langsung menegurnya.
“Adirah, ayo bangun, salat subuh tidak lama lagi,” kata Azfar yang berbisik di telinga Adirah, sambil mendorong-dorong badan mungil gadis kecil itu.
“Aaa... sedikit lagi, belum juga waktunya, Kak. Adirah masih ngantuk.” Adirah memutar badannya malas dari hadapan Azfar.
“Ya ampun, susah sekali dibangunkan. Baiklah, kakak siram saja muka kamu dengan air,” ancam Azfar dengan cengiran.
Adirah tentu saja mendengarnya, hanya saja tubuhnya masih sulit untuk bangkit.
“Arghh... iya, iya, Adirah bangun.” Tubuh mungil itu berusaha untuk bangkit. Setelah sudah duduk dengan sempurna, mata gadis kecil itu masih terpejam, sesekali menguap dengan lebar.
“Ayo ikut kakak ke samping rumah, kita cuci muka dulu, biar kantuknya hilang.” Azfar menarik kedua tangan Adirah, berdiri. Azfar menggandeng tangan gadis kecil itu untuk menuju ke keran air.
“Cuci muka dan gosok gigi ya, Adirah,” kata Azfar yang sudah selesai mencuci muka. “Sekalian berwudhu saja.”
Setelah Adirah selesai membasuh muka dengan air, wajah putih bersih dan imut itu sudah terlihat segar, rasa kantuknya sedikit demi sedikit hilang. Azfar dan Adirah pun menuju halaman depan rumah, mereka dapati Nenek Arni dan Indri sudah terbangun. Zaldin masih tergeletak di atas terpal dengan tidur yang nyenyak. Nenek Arni sudah berusaha membangunkannya untuk salat subuh, tapi sia-sia.
“Di mana Haji Sengko?” tanya Adirah, bola matanya mencari-cari keberadaan orang tua itu.
“Pulang ke rumahnya sebentar, katanya mau ambil pakaian salat,” jawab Nenek Arni.
“Adirah ikut salat di masjid lagi ya, Kak,” pinta Adirah sambil menggoyang-goyangkan tangan Azfar.
“Tanya dulu sama Ibu,” balas Azfar.
“Bu, boleh, ya?” Adirah menatap penuh harap ke pada Azizah.
Azizah menghela napas perlahan, “Iya, boleh.”
Seperti berat rasanya membolehkan Adirah, namun Azizah yakin, jika tidak diizinkan, pasti putrinya itu merengek-rengek lagi.
“Horeee.” Adirah berseru riang, terlukis di wajahnya senyuman lebar yang tak terlalu nampak karena pelataran halaman rumah hanya diterangi lampu pelita.
Haji Sengko sudah kembali ke rumah Nenek Arni dengan baju koko berwarna putih yang ia kenakan. Sarung kotak-kotak yang terpasang rapi, dan seperti biasa: songko putih terpasang di kepalanya.
“Masya Allah, saya kira tadi sosok Malaikat yang muncul,” celetuk Azfar saat melihat kedatangan Haji Sengko dari kegelapan. Adirah tertawa kecil mendengar celetukkan itu.
“Ah, kamu ini, bikin Haji merasa ingin terbang saja.” Haji Sengko tersenyum, tersipu malu di hadapan mereka semua. “Ayo kita ke masjid sekarang, tidak lama lagi azan berkumandang. Adirah salat di Masjid lagi?”
“Iya, Haji. Ibu sudah mengizinkan,” jawab Adirah, menoleh ke arah Azizah, tersenyum. Azizah membalas senyuman manis putrinya itu dengan senyuman manis pula.
Suara murottal dari toa masjid masih terdengar dengan merdu. Azfar, Adirah dan Haji Sengko segera berjalan menuju Masjid, tak lama lagi azan waktu subuh akan dikumandangkan. Mereka bertiga berjalan di tengah kegelapan, Haji Sengko membawa senter untuk menerangi jalanan. Udara di luar sangat dingin, menusuk ke kulit.
Sesampainya di masjid, jamaah ramai, sama seperti waktu sholat Isya malam tadi.
***
Matahari pagi mulai bangkit dari peraduannya. Azfar dan keluarga mulai beraktivitas. Azizah dan Indri menyiapkan sarapan pagi. Sambil menunggu sarapan siap, Azfar dan Adirah menyiram bunga-bunga milik Nenek Arni. Haji Sengko berbincang-bincang hangat dengan Nenek Arni. Zaldin baru saja terbangun, lantas mencuci muka, lalu bergabung duduk bersama Nenek Arni dan Haji Sengko. Ini adalah hari ke enam setelah bencana.
Setelah sarapan pagi nanti, Azfar berencana akan pergi ke lokasi kemarin—pinggir jalan Poros. Remaja itu suka sekali menyaksikan para petugas dan relawan yang terus bertugas. Bagi Azfar, mereka semua itu adalah Pahlawan bagi semua korban bencana. Di situasi pelik seperti ini, Azfar paling suka beraktivitas di luar rumah, bahkan ia punya keinginan untuk bergabung, membantu relawa-relawan, terserah membantu dalam bentuk apa.
Setelah menyiapkan sarapan di dapur, Azizah dan Indri pun datang ke halaman depan membawa sarapan. Pagi ini menunya adalah nasi goreng dan telur dadar. Haji Sengko belum ada di sana, orang tua itu pamit pergi ke rumahnya sebentar.
“Azfar, panggilkan Haji Sengko, bilang kalau sarapan sudah siap,” titah Azizah.
Azfar mengangguk lalu beranjak dari duduknya.
“Tunggu, Kak, Adirah ikut!” kata Adirah yang sedang mencari-cari sendalnya. Itu sudah menjadi kebiasaannya, selalu mengikuti kakaknya, padahal jarak rumah Nenek Arni dan Haji Sengko dekat saja.
Sesampainya di rumah Haji Sengko, Adirah berteriak: “Hajii! sarapan sudah siap, mari makan sama-sama.”
“Salam dulu, Adirah,” komentar Azfar pada Adirah.
“Iya, maaf, Kakak Ganteng. Assalamualaikum, Hajiii.”
Sudah tiga kali mereka berdua mengucapkan salam, tapi tak ada jawaban, Azfar pun mencoba membuka pintu rumah Haji Sengko. Saat sudah masuk ke dalam rumah, mereka mencari Haji Sengko.
“Haji. Haji,” Adirah memanggil sambil mengamati isi rumah.
Terdengar suara dari dalam WC: “Iya, ada apa, Adirah?” Haji Sengko mengenal suara panggilan itu.
“Sarapan sudah siap. Haji ditunggu di rumah Nenek,” kata Azfar.
“Oh iya, baik,” balas Haji Sengko dari dalam wc. “Kalian duluan saja, nanti haji menyusul.”
“Oke, Haji,” balas Adirah, lalu berbalik arah, berjalan keluar.
Sepuluh menit, Haji Sengko datang, ikut duduk bersama keluarga Nenek Arni. Mereka pun sarapan pagi bersama-sama.
Dari balik dedaunan pohon sinar matahari menembus masuk hingga ke pelataran halaman depan. Satu-dua daun berjatuhan ke tanah. Angin sepoi-sepoi membuat suasana sejuk.
Suasana sarapan bersama pagi itu diisi dengan percakapan-percakapan hangat. Tujuh menit, piring-piring mereka akhirnya tandas. Selanjutnya mereka menikmati menu penutup. Zaldin mengambil roti yang ada di dalam rumah. Azizah menyiapkan teh hangat di dapur darurat.
“Ini roti pemberian relawan kemarin saat aku duduk-duduk di sekitaran posko bantuan,” kata Zaldin.
“Sruppp... ah.” Haji Sengko menyeruput tehnya. “Luar biasa, bantuan terus berdatangan ke kita. Salut sama donatur-donatur yang sudah membantu.”
“Iya, Haji, truk-truk besar bermuatan bahan logistik dari berbagai daerah terus berdatangan,” sambung Azfar.
Adira hanya mendengar percakapan mereka sambil menikmati teh hangat dan roti.
Pagi itu, Zaldin bercerita banyak kepada keluarganya tentang apa yag disampaikan oleh kakaknya Mawan yang ada di bone saat mereka berdua teleponan kemarin. Mawan bercerita banyak padanya; tentang banyaknya stasiun televise yang setiap hari menayangkan berita bencana yang terjadi di Palu, Sigi dan Donggala. Bagaimana orang-orang di kampungnya berbondong-bondong mengeluarkan sedekah untuk para korban bencana. Wina, saudara Zaldin dan Azizah dari jawa, juga bercerita bahwa di sana sudah banyak kelompok-kelompok yang turun ke jalan melakukan penggalangan dana buat korban bencana Palu, Sigi, Donggala.
Usai bercakap-cakap hangat dengan keluarganya, Azfar berpamitan pada Azizah, bilang hendak bertemu dengan teman-temannya.
“Kak, boleh adirah ikut?” pinta Adirah.
“Kakak akan lama di sana, Adirah, kamu tidak akan betah,” balas Azfar. “Lagi pula kakak akan kumpul bersama teman-teman kakak.”
“Yaahh.” Adirah terlihat kecewa, wajahnya memelas.
“Kalau kakak pulang nanti, kita main sama-sama lagi.”
Seperti biasa, Azfar berjalan kaki menuju desa sebelah, hendak bertemu dengan teman-temannya. Pertama, ia akan singgah di lapangan pengungsian untuk memanggil Abimanyu yang kemarin sudah janjian dengannya untuk sama-sama ke jalan poros.
Sesampainya di tenda pengungsian, Azfar mengamati sekeliling lapangan, beberapa warga sudah membuka penutup tendanya agar udara segar masuk. Azfar menuju ke tenda Abimanyu yang bernomor empatbelas. Tenda Abimanyu berada di tengah-tengah. Ketika sampai di depan tenda Abimanyu, Azfar mendapati lelaki itu sedang menggulung jendela tendanya.
“Pagi, Abi,” sapa Azfar.
“Eh, Azfar. Sedang apa di sini?” tanya Abimanyu yang pura-pura tidak tahu.
Azfar menatap sinis pada Abimanyu.
“Hahaha, bercanda, Far.” Abimanyu tertawa mengejek. “Eh, tadi malam aku bertemu lagi sama dua relawan cantik itu.”
“Oh ya? Di mana?” Tanya Azfar, penasaran.
“Ciee, kamu penasaran ya?” celetuk Abimanyu.
“Tidak!” balas Azfar singkat.
Abimanyu tertawa lagi, ia sangat suka membuat temannya marah.
“Di samping tenda petugas,” balas Abimanyu. “Oh iya, Randi, Aya dan Zahwa, hari ini mengajak kita untuk bergabung dengan mereka membagi-bagikan nasi bungkus ke para korban di sekitaran jalan poros,” lanjut Abimanyu.
Wajah Azfar yang tadinya jengkel, setelah mendengar penuturan dari Abimanyu, seketika wajahnya berbinar.
“Wah, itu keren sekali.”
“Nining juga akan bergabung pagi ini,” lanjut Abimanyu, sambil berjalan menuju samping tenda sebelah kanan, menggulung jendela berikutnya.
“Wah, ternyata Nining juga sudah akrab dengan mereka.” Azfar mengikuti langkah Abimanyu ke samping tenda.
“Iya, tadi malam kami semua duduk-duduk di atas terpal yang disediakan petugas.” Abimanyu menunjuk lokasi mereka berkumpul malam tadi. “Sambil bermain kartu poker, berbincang-bincang. Seru sekali.”
“Hmm, kalian seru sekali tinggal di lapangan ini, ramai. Bukan kayak di rumah nenekku, sunyi, tidak ada teman berkumpulku di sana.”
“Syukuri saja. Masih untung rumah Nenekmu utuh. Kami di tenda kepanasan. Semua punya kelebihan dan kekurangan masing-masing,” kata Abimanyu. Jarang Abimanyu bijak seperti ini. “Tunggu, aku mandi dulu, setelah itu kita ke tenda relawan dari Manado itu.”
“Tidak perlu mandi, kamu tetap ganteng seperti ini.” Azfar terkikik.
Abimanyu memicingkan matanya ke arah Azfar. “Balas dendam, ya?”
Azfar tertawa meliat raut wajah temannya itu.
Mereka pun berjalan menuju tenda relawan dari Manado setelah Abimanyu selesai mandi.
“Selamat pagi.” Sapaan ramah dari Abimanyu dan Azfar kepada relawan-relawan dari Manado. Para relawan itu sedang sibuk menaikan beberapa kantongan plastik besar ke mobil pick-up.
“Pagi…. Eh, ada Azfar,” kata Aya, ia sedang kesulitan mengangkat kantongan plastik berisi nasi bungkus yang ukurannya besar, peluh mengucur di keningnya.
“Hai, Aya. Hai, Zahwa," sapa Azfar, lembut.
Aya tersenyum bahagia, wajahnya berseri.
Melihat beberapa relawan dari Manado mengangkat kantongan-kantongan plastik, Azfar dan Abimanyu segera ikut membantu.
“Nining di mana?” tanya Aya.
Azfar menoleh pada Abimanyu, mengangkat alisnya sebelah, bermaksud agar Abimanyu yang menjawab, karena ia tak tahu di mana Nining berada.
“Aku juga tidak tahu Nining di mana,” kata Abimanyu. “Mungkin masih di tendanya.”
Beberapa menit kemudian, nampak seorang perempuan bertubuh gempal berjalan ke arah mereka. Ia tertawa-tawa kecil saat berjalan mendekat.
“Itu dia orangnya,” kata Azfar yang duluan melihat Nining.
“Gila! tidak ada angin, tidak ada hujan, tapi ketawa-ketawa sendiri,” kata Abimanyu ketika Nining sudah berada di hadapan mereka. “Apa yang kamu ketawakan?”
“Aku ketawa melihat wajahmu,” balas Nining yang menatap ke arah Abimanyu.
“Ada apa dengan wajahku? Aku ganteng?”
“Tentu tidak!” balas Nining dengan tawa kecilnya.
“Masih pagi sudah dapat catatan buruk dari malaikat.” Abimanyu menyipitkan matanya.
Nining hanya membalas dengan tawa kecilnya lagi. Tawa kecil yang khas dari perempuan itu.
“Kamu lambat, semua kantongan sudah selesai diangkut ke mobil, berarti kamu tidak boleh ikut.” Abimanyu menunjuk kantongan plastik yang sudah tersusun rapi di mobil pick-up.
“Kamu siapa? Beraninya mengatur!” timpal Nining.
Hal seperti itu adalah kebiasaan Abimanyu dan Nining jika bertemu, selalu saja bertengkar, tapi tak sampai mengena ke hati. Mereka berdua satu sekolah di SMA, hanya beda jurusan saja, Abimanyu dari jurusan IPS, sedangkan Nining IPA, tapi hubungan mereka sangat akrab. Nining juga sekampung dengan Abimanyu dan Azfar, rumahnya juga rata dengan tanah akibat tsunami.
“Masih pagi-pagi sudah bertengkar.” Azfar geleng-geleng kepala melihat kelakuan dua temannya itu.
Aya, Zahwa dan beberapa relawan dari Manado tertawa meliat kelakuan anak-anak remaja korban bencana itu.
Setelah dirasa semuanya sudah siap, mereka semua pun naik ke mobil pick-up. Pagi ini tak ada Firsan dan Adit bergabung. Abimanyu dan Azfar sempat mengecek ke tenda mereka tadi, tapi hanya keluarga dua lelaki itu mereka dapati di tenda.
Delapan orang yang membagi-bagikan nasi bungkus pagi ini: ada Azfar, Abimanyu dan Nining (tiga korban bencana yang bergabung dengan relawan). Dan ada Aya, Zahwa, Randi dan dua relawan senior. Sesuatu yang menggetarkan jiwa; tiga remaja korban bencana, tapi turut serta membantu korban lainnya. Mereka sangat menyukai aktivitas pagi ini. Dua relawan yang lebih tua berada di ruang kemudi, sedangkan mereka yang seumuran berada di ruang terbuka mobil pick-up.
Mobil menuju ke arah timur—arah menuju kota Palu. Mereka tidak langsung menurunkan nasi-nasi bungkus kepada korban yang ada di desa itu, tetapi memulainya di titik yang sudah ditentukan, lalu kembali sampai ke titik awal hingga nasi bungkus habis.
Mobil pun berjalan membelah jalanan poros—tidak begitu laju, karena sesekali menghindari aspal yang merekah. Wajah mereka yang penuh dengan semangat menjadi relawan diterpa angin, rambut pun ikut berayun-ayun mengikuti arah hembusan angin, kecuali Nining dan Zahwa, rambut mereka tidak terlihat karena tertutup jilbab. Jilbab mereka saja yang sesekali rusak karena terpaan angin yang cukup keras. Sesekali mereka semua saling tatap, yang kemudian menciptakan senyuman kebanggaan di wajah mereka.
Melihat Nining yang memperbaiki jilbabnya dengan men-doerkan bibir bawahnya lalu meniup ke pangkal jilbabnya, Abimanyu menegurnya: “Oh, ternyata seperti itu cara perempuan memperbaiki jilbab, harus men-doerkan bibir bawah, hahaha.”
“Iya. Memangnya kenapa?” balas Nining.
Abimanyu tidak menjawab, ia hanya tertawa.
“Bagaimana kalau kamu praktekan, Abi, dengan men-doerkan bibir bawahmu lalu meniup ke atas,” pinta Nining pada Abimanyu, ia ingin sekali melihatnya, padahal bermaksud untuk meledeknya.
Abimanyu menurut, lalu mempraktikkan apa yang Nining minta, “Fuhhh…”
Seketika mobil dipenuhi gelak tawa karena melihat wajah Abimanyu yang mempraktikkan cara seperti itu. Wajahnya terlihat lucu.
“Ih, kamu cocok seperti itu, Abi. Besok aku berikan satu jilbab, oke?” Nining tergelak, tapi suaranya kecil, membuat tawa seperti itu menular ke mereka semua.
Abimanyu membalikkan badannya, ia terlihat sangat malu setelah berani melakukan hal konyol itu, tapi dalam hati ia juga merasa senang, karena telah membuat kawan-kawannya terhibur. Posisinya berdiri sambil memegang bagian kepala atas mobil pick-up, menikmati terpaan angin pagi yang sejuk, dan mengamati duka di kiri-kanan jalan, terlihat tumpukan puing-puing rumah penduduk akibat terjangan tsunami.
Aya duduk bersampingan dengan Azfar, sesekali tangan gadis itu menyeka anak rambut yang menutupi matanya.
“Teman kamu itu lucu,” kata Aya pada Azfar, pandangannya ke arah Abimanyu yang sedang menikmati perjalanan.
Azfar juga memandang ke arah Abimanyu, lalu tersenyum, “Iya, dia itu pelawak di kampung kami.”
Aya lalu menoleh ke arah Azfar, manatap lelaki itu—cukup lama. Ia tersenyum lembut. Bola mata gadis itu tertuju pada mata menawan milik Azfar: bulu matanya cekung yang elok, bola mata coklat berseri, dua pasang alis tebal rapi. Azfar membalas tatapan itu, tapi sebentar saja, lelaki itupun langsung menundukkan pandangannya.
“Maaf.” Aya tersipu malu setelah sadar bahwa dirinya telah memperhatikan wajah Azfar begitu lama. Ada rasa kehangatan dalam dirinya jika berada di dekat lelaki itu, seorang lelaki yang baru ia kenal satu hari yang lalu.
Mobil pick-up yang mereka gunakan terus menyisiri jalanan poros, lajunya duapuluh kilometer perjam, sangat pelan. Tak kala mobil itu melintas di jalan yang ada beberapa orang sedang berkumpul di sana, Abimanyu melihat ada Firsan dan Adit juga duduk di perkumpulan itu.
“ADIT! FIRSAN!” Teriak Abimanyu penuh kebanggaan sambil melambai-lambaikan tangannya.
Tatapan Firsan dan Adit ke arah Abimanyu yang sedang berada di atas mobil. Mereka berdua menatap heran. Abimanyu kenapa bisa ikut dengan relawan-relawan itu? Azfar dan Nining juga ada? Demikian maksud tatapan heran mereka berdua.
Firsan dan Adit tak ada berkumpul dengan relawan-relawan dari Manado semalam, maka dari itu mereka tak mengetahui informasi sama sekali.
Beberapa menit kemudian, mobil itu sudah tiba di titik yang sudah ditentukan—masim berada di wilayah Kabupaten Donggala, beberapa kilometer lagi menuju ke arah timur sudah memasuki wilayah Palu.
Bukan hanya mereka relawan yang bertugas, tapi masih banyak lagi. Para petugas juga masih terus mencari korban yang sampai saat ini belum ditemukan.
Beberapa jam yang lalu—di bibir pantai wilayah desa Azfar, ada alat berat menarik sebuah bus mini yang ada di dasar laut. Ketika bus mini itu sudah ditarik ke daratan, petugas menemukan dua mayat di dalamnya. Mungkin saja dua mayat itu, ketika tsunami akan menghantam, mereka tak sempat keluar dari mobil untuk menyelamatkan diri.
Relawan-relawan muda dari Manado, tugas mereka bisa dibilang ringan; sekadar membantu para korban yang selamat, seperti membagi-bagikan nasi bungkus seperti saat ini. Saat di lapangan pengungsian, mereka juga melakukan kegiatan trauma healing kepada para korban, khususnya kepada anak-anak kecil. Mereka juga biasa membantu memasak di dapur umum untuk para pengungsi.
Mobil pick-up itu sudah sampai di titik tujuan, lalu berputar balik menuju titik start—lapangan pengungsian. Setiap melihat orang-orang yang mereka lalui, mereka berhenti lalu memberikan nasi bungkus. Itu akan menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi Azfar, Abimanyu dan Nining. Pertama kalinya mereka menjadi relawan, walaupun tidak menjadi relawan sesungguhnya. Mereka bertiga juga sangat bangga: anak-anak remaja korban bencana, tapi juga ikut membantu korban lainnya. Aya, Zahwa dan Randi menatap iba ketika tiga remaja korban bencana itu menyerahkan bungkusan nasi pada korban lainnya. Korban membantu korban! Sangat luar biasa. Itu juga merupakan pengalaman yang sangat luar biasa bagi Aya, Zahwa, dan Randi. Pertama kalinya mereka menginjakan kaki ke Sulteng, khusunya Kabupaten Donggala. Pertama kalinya juga mereka bertiga menjadi relawan.
“Aya, tolong ambilkan kantongan plastik itu.” Azfar menunjuk kantongan plastik yang ia maksud.
Aya mengambilnya lalu memberikannya pada Azfar.
Aya dan Zahwa bertugas mengopor kantongan plastik kepada mereka yang turun dari mobil bertugas untuk membagi-bagikan, termasuk Nining, ia juga ikut turun, itu semua atas perintah Abimanyu, alasannya agar badan Nining yang gempal itu bisa kurus.
Beberapa saat kemudian, mobil sudah memasuki wilayah desa mereka. Masih ada sekantong lagi nasi bungkus, dan itu akan diberikan kepada orang-orang yang berkumpul di tempat saat Abimanyu berteriak tadi.
Perkumpulan itu belum bubar, masih ada Firsan dan Adit juga di sana.
Sekarang waktu menunjukkan pukul sepuluh lewat tigapuluh. Nasi bungkus pun telah habis.
Setelah tugas membagi-bagikan nasi bungkus selesai, mobil kembali jalan menuju tempat pengungsian. Nampak butiran peluh di setiap wajah enam remaja itu. Suhu panas matahari mulai meninggi.
“Sore nanti apakah ada agenda lagi?” tanya Azfar kepada tiga relawan yang berhadapan dengannya.
“Ada. Trauma Healing.” Aya yang menjawab. Ia memancarkan senyum manisnya. “Mengajak anak-anak menggambar,” lanjutnya.
“Pas sekali. Kesempatan untuk Adirah berkunjung ke lapangan pengungsian,” gumam Azfar.
Sore harinya.
“Kakak sungguh mau ajak Adirah ke pengungsian?” seru Adirah kegirangan.
“Iya, Adirah.”
“Horee! Terimakasih, Kak.”
Usai salat Ashar, Azfar dan Adirah bersiap-siap akan pergi ke pengungsian. Adirah terlihat sangat tidak sabaran untuk melihat keadaan pengungsian, karena Azfar sering menceritakan padanya. Gadis kecil itu memakai kaos lengan panjang dan celana training. Rambutnya dikucir ke belakang dengan rapi.
“Jangan pulang terlalu sore. Sebelum salat Magrib harus sudah pulang ke rumah,” kata Azizah memperingatkan.
Azfar mengangguk, lalu berjalan menuju Azizah lalu mencium tangannya. Adirah mengekor di belakang kakaknya, lantas ikut mencium tangan Azizah.
“Pakai saja motor om itu, Azfar,” kata Zaldin sambil menunjuk motornya yang terparkir di halaman rumah.
Itu tawaran yang bagus. Azfar mengangguk. “Terima kasih, Om.”
“Horee, jalan-jalan naik motor,” seru Adirah berloncat-loncat.
Zaldin tersenyum lebar melihat tingkah Adirah yang menggemaskan, lelaki itu pun memberikan kunci motornya pada Azfar. Motor Zaldin itu selamat dari terjangan tsunami—hanya ada sedikit lecet saja, karena saat guncangan gempa yang begitu kuat, membuat motor itu terjatuh saat terparkir.
Azfar pun berlalu pergi mengendarai motor itu, Adirah dibonceng di depan. Mereka berdua tak langsung pergi ke pengungsian, melainkan menikmati jalanan kampung untuk sesaat. Matahari sore menyiram wajah mereka berdua. Angin sore yang sejuk, namun masih membawa aroma khas air laut yang tajam. Terukir di wajah mereka rasa gembira. Adirah baru ini lagi jalan-jalan menikmati keadaan di luar setelah bencana itu. Sebetulnya gadis kecil itu juga bosan di rumah terus.
Mengendarai motor pamannya, Azfar jadi rindu dengan motornya. Baru ini lagi ia mengendarai motor.
Ketika motor melintasi pelataran bekas rumah mereka, kepala Azfar dan Adirah menoleh, menatap sedih bekas rumah mereka.
Tak perlu terlalu jauh untuk jalan-jalan mengendarai motor, Azfar langsung memutar menuju arah pengungsian. Setibanya di pengungsian, Azfar memarkirkan motor di samping tenda petugas. Aya yang sadar dengan kedatangan Azfar, ia pun langsung menghampiri.
“Selamat sore,” sapa Aya pada Azfar.
“Sore, Aya.”
“Hai, nama kamu siapa?” tanya Aya, sedikit membungkuk pada gadis kecil yang digandeng Azfar.
“Adirah,” jawab Adirah dengan tersenyum.
“Ini adik kamu, Azfar?” Aya bertanya pada Azfar.
Azfar mengangguk.
“Aku baru tahu kamu punya adik.”
Azfar hanya tersenyum sambil menatap Adirah dan mengelus-elus kepalanya.
“Kamu ingin menggambar?” Aya bertanya lagi pada gadis kecil itu.
Adirah mengangguk semangat. Aya langsung meraih tangan gadis kecil itu, mengajaknya untuk duduk bergabung bersama anak-anak lainnya. Azfar ikut melangkah di belakang mereka. Di sana juga sudah ada Abimanyu dan Nining.
Anak-anak sangat antusias menggambar. Kertas dengan motif bermacam-macam itu sudah disediakan para relawan; ada gambar hewan dan tumbuh-tumbuhan. Azfar ikut duduk bersama anak-anak, melatih anak-anak untuk menggambar. Dari samping Azfar terlihat Abimanyu memukul jidatnya karena melihat seorang anak menggambar seekor macan dengan warna pink.
“Kenapa macan warnanya pink?” Abimanyu geleng-geleng kepala melihat gambaran anak kecil di hadapannya.
“Biar tidak terlihat garang, Kak, makanya aku beri warna pink,” jawab bocah itu disertai cengiran. Relawan-relawan yang melihat itu ikut tertawa.
Para orang tua dari anak-anak juga ikut menyaksikan kegiatan trauma healing itu. Juga ada orang tua yang membantu anaknya menggambar. Relawan-relawan dari negara Swis juga ikut menyaksikan keseruan di lapangan itu, mereka jarang berinteraksi dengan para korban, karena hanya satu-dua orang yang bisa berbahasa Inggris. Para relawan yang menyaksikan kegiatan trauma healing itu menatap haru. Para korban, mulai dari orang tua hingga anak-anak kecil, senang sekali dengan adanya aktivitas seperti ini, itu akan membuat trauma atas kejadian beberapa hari yang lalu sedikit demi sedikit akan hilang dari diri mereka.
“Apakah Kak Azfar yang mengajak Adirah datang kesini?” tanya Aya, pandangannya ke arah tangan gadis kecil itu yang sedang mewarnai kertasnya menggunakan krayon.
“Iya, Kak, Kak Azfar yang mengajak adirah. Katanya ada kegiatan bermain dan menggambar di pengungsian, juga katanya bakal ketemu sama kakak-kakak relawan yang cantik.” jawab Adirah, sambil tetap fokus menggambar bunga mawar di kertasnya agar tidak keluar dari garis motifnya.
“Oh ya?” Aya tersenyum lebar. “Adirah senang bisa datang di sini?” tanya Aya lagi.
Adirah mengangguk bahagia, “Senang, Kak.”
Aya memandang sejenak ke arah Azfar yang sedang mengajari anak-anak menggambar, posisi mereka berdua tak begitu jauh. Hatinya merasa senang karena telah bertemu dan berkenalan dengan lelaki itu, ia juga sangat bersyukur sekali. Gadis beragama Nasrani itu yakin, pertemuan ini adalah takdir yang telah Tuhan tetapkan.
Azfar beranjak berdiri dari duduknya, menghampiri Adirah yang masih bercakap-cakap dengan Aya. Sebagian anak-anak sudah kembali ke tenda masing-masing, waktu sudah menunjukkan pukul 17.00.
“Seru menggambarnya, Adirah?” tanya Azfar, tersenyum menatap Adirah.
“Iya, Kak. Coba lihat hasil gambaran adirah.” Gadis kecil itu menyerahkan kertas hasil gambarannya.
“Wah, bagus sekali. Rapi lagi,” Azfar memuji.
Adirah tersenyum. “Kak Aya yang mengajari adirah.”
Azfar menatap Aya, tersenyum. Tatapan itu dibalas oleh Aya dengan senyum manisnya juga.
“Ayo kita pulang, nanti Ibu mengamuk kalau kita pulang dekat waktu magrib,” kata Azfar pada Adirah.
Adirah mengangguk, lalu mereka pun bangkit dari duduknya.
“Aya, kami pulang dulu.” Azfar berpamitan.
“Iya. Hati-hati,” balas Aya. “Adirah, jangan lupa hasil gambaran kamu diperlihatkan pada ibu kamu, ya.”
“Siap, Kak Aya.” Adirah mengangguk gembira.
Azfar dan Adirah pun berjalan menuju ke arah motor mereka. Aya memandangnya terus sampai hilang dari kejauhan.
Setibanya di rumah, Adirah langsung memperlihatkan hasil gambarannya ke semua keluarganya. Pertama ia perlihatkan pada Azizah. Di halaman rumah itu juga ada Haji Sengko.
“Wah, gambaran anak ibu cantik sekali,” Azizah memuji sambil mengusap pangkal kepala Adirah.
Adirah banyak bercerita saat di rumah Nenek Arni: keseruannya saat menggambar dengan anak-anak yang lain, ramainya tempat pengungsian, berkenalan dengan para relawan, dan melihat relawan-relawan berkulit putih yang tak bisa berbahasa Indonesia.
Waktu Magrib hampir tiba. Seperti biasa, Azfar dan Haji Sengko salat di masjid, dan sudah tentu Adirah akan ikut lagi.
Azizah dan Indri mulai menyalakan beberapa pelita, setelah itu mengambil air wudhu, lalu salat di halaman rumah.
Listrik belum menyala. Mungkin akan memerlukan waktu lama untuk memulihkannya. Tiang-tiang listrik banyak berjatuhan saat dihantam tsunami.
***
Malam sudah sepenuhnya gelap, menyisakan cahaya dari api-api kecil pelita. Di langit jauh di sana, nampak bulan bersinar sangat indah, dikerumuni bintang-bintang yang berkelap-kelip. Keluarga Nenek Arni sudah berkumpul di halaman rumah, di tengah-tengah mereka sudah tersaji menu makan malam. Azizah dan Indri memasak mi instan dan menggoreng telur. Setelah bencana itu, mulai banyak bahan pokok diberikan kepada para korban. Siang tadi, Zaldin mendapatkan satu dos mi instan dan telur satu rak.
Mereka pun mulai makan. Masih ada Haji Sengko bersama mereka. Keluarga Nenek Arni sudah menganggap Haji Sengko seperti keluarga sendiri. Makan malam dibarengi dengan bincang-bincang hangat.
Lepas salat Isya di masjid tadi, Haji Sengko sempat berbincang-bincang dengan bebeberapa orang warga, tentang Rumah Tahanan di kota Donggala yang terbakar. Ratusan narapidana banyak dilepaskan karena situasi darurat. Itu adalah kabar buruk bagi masyarakat.
“Narapidana banyak dilepaskan, itu akan menjadi ancaman besar bagi semua warga,” kata Haji Sengko, wajahnya serius.
“Ancaman besar?” Nenek tak mengerti.
“Iya, ancaman besar. Para narapidana yang bebas itu akan berbuat onar di tengah-tengah masyarakat. Kemarin malam, di desa sebelah, mereka sudah beraksi di saat tengah malam, ketika semua orang sudah tertidur. Salah satu rumah warga telah dirampok, banyak barang-barang berharga hilang. Akan mudah bagi para narapidana untuk merampok, karena semua warga tidur di halaman rumah masing-masing.” Haji Sengko berhenti sejenak mengunyah makanan.
Semua wajah yang mendengar cerita dari Haji Sengko terlihat serius mendengar, ada rasa panik di setiap wajah-wajah itu. Haji Sengko paham dengan setiap raut wajah panik itu, lalu ia pun melanjutkan:
“Tapi tidak usah khawatir, TNI dan POLRI sudah mulai berjaga-jaga dengan ketat, mereka akan menyebar di mana-mana untuk berjaga,” lanjut Haji Sengko.
“Kita semua juga harus tetap berjaga-jaga. Ini bukan hal sepele.” Zaldin ikut bicara. Semua mengangguk setuju.
Beberapa menit kemudian, makanan mereka telah tandas di piring masing-masing. Sudah pukul sembilan malam. Cuaca malam ini sangat dingin. Tidur di tempat terbuka memang tidak senyaman di dalam rumah. Di luar banyak nyamuk. Mereka semua mulai memakai handbody anti nyamuk. Para relawan memang mengerti dengan keadaan para korban bencana. Selain makanan dan pakaian, obat anti nyamuk juga sangat dibutuhkan, mengingat para korban banyak yang tidur di halaman rumah masing-masing. Beberapa menit kemudian, mereka mulai terlelap dalam tidur, kecuali Zaldin, ia masih duduk sambil mengisap rokoknya. Zaldin duduk di samping istrinya, indri, yang sudah tertidur.