Read More >>"> RUMIT (Relawan Dari Manado) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - RUMIT
MENU
About Us  

Hari ke lima setelah bencana. 2 Oktober 2018.

Di pagi yang cerah itu, Azfar banyak menyelesaikan pekerjaan rumah, seperti mencuci pakaiannya sendiri, menyapu halaman, dll. Ia anak yang sangat yang rajin.

Seperti hari kemarin, selesai mengerjakan semua urusan rumah, Azfar akan pergi ke lokasi yang kemarin ia kumpul bersama teman-temannya.

Azfar berjalan kaki dari rumah Nenek Arni menuju ke lokasi itu. Azfar yakin, pasti teman-temannya ada di sana lagi.

Matahari menyiram dengan lembut puing-puing bangunan rumah penduduk. Azfar berjalan kaki di pinggiran jalan Poros. Sesekali ia saling sapa dengan warga yang sedang mencari barang-barang berharga di area bekas tempat tinggal mereka dulu. Sesekali juga menyapa para petugas dan relawan yang sedang bertugas.

Dari kejauhan, Azfar melihat teman-temannya sedang berkumpul duduk-duduk di pinggir jalan Poros. Azfar dengan rasa gembira segera berlari-lari kecil menghampiri, ia teringat kembali dengan hal-hal luar biasa kemarin: disapa para petugas yang melintas, mobil relawan singgah memberikan nasi bungkus. Semoga hal-hal luar biasa itu tercipta lagi di pagi ini.

Anak-anak remaja itu memiliki beberapa tempat duduk baru, mereka mengambilnya di sekitaran puing-puing rumah penduduk. Tempat duduk yang mereka ambil adalah sebuah kursi sofa. Mereka mengambil kursi-kursi itu tetap meminta izin pada pemiliknya. Pemiliknya memberikan saja, karena kursi sofa itu juga sudah tak layak pakai.

Di perkumpulan anak-anak remaja itu, ada yang bermain catur, kartu joker. Ada juga yang hanya menatap kendaraan-kendaraan yang melintas. Jika ada wanita cantik lewat, pasti diteriaki: “CEWEK.”

Di antara anak-anak remaja itu, hanya ada beberapa orang yang bersekolah di kota Palu, salah satunya Azfar. Banyak dari mereka bersekolah di kota Donggala. Sekolah-sekolah mereka yang ada di kota Donggala juga hampir semua rata dengan tanah.

Pagi yang cerah itu, para petugas dan relawan mulai sibuk. Ada relawan yang membantu petugas untuk mengevakuasi korban, dan ada juga bertugas di lapangan pengungsian.

Benar saja, pagi itu, petugas-petugas yang ada di truk meneriaki remaja-remaja di pinggir jalan itu lagi. Teriakan yang masih sama seperti hari kemarin: “SEMANGAT, ADIK-ADIK!”. Tapi teriakan dari petugas itu dibarengi dengan lemparan beberapa mi instan dan snack-snack. Truk-truk petugas itu tidak bisa berhenti, mungkin karena mereka sedang buru-buru, akhirnya mereka lempar saja mi instan dan snack-snack dari truk. Para petugas itu baik sekali.

Truk-truk petugas yang mungkin berasal dari Sulawesi Selatan atau Sulawesi Barat itu banyak yang menuju ke kota Palu dan Sigi. Sebagian sudah berhenti di Donggala. Palu dan Sigi sangat parah. Ada tiga sekaligus bencana yang menimpa dua kota itu, yakni gempa, tsunami, dan likuifaksi.

“Azfar, aku baru dengar dari orang-orang tentang apa yang kamu alami di Palu empat hari yang lalu,” kata Abimanyu sambil merangkul pundak Azfar.

Mendengar ucapan Abimanyu, membuat semua mata tertuju pada mereka berdua yang duduk bersampingan.

“Apa yang Azfar alami di Palu empat hari yang lalu?” tanya Ferdi.

“Astaga, kamu belum tahu?” tanya Abimanyu pada Ferdi, wajahnya terlihat serius. “Azfar, ayo ceritakan pada mereka.”

Azfar tersenyum. Di pinggir jalan poros itu ia akan bercerita panjang lebar, mulai dari guncangan gempa yang dahsyat, lumpur menelan semua yang dilaluinya, hingga Basarnas yang menolongnya, lalu ditarik ke helikopter.

Semua teman-teman Azfar yang mendengar cerita darinya seperti tak percaya.

“Kenapa bisa selamat? Padahal hampir semua manusia yang diterjang lumpur tidak bisa selamat. Begitu yang kudengar,” ucap Adit sambil memegang dagunya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana saat itu Azfar berusaha menyelamatkan diri.

“Ya ampun. Pertanyaanmu aneh, Dit.” Ferdi menjitak kepala Adit. “Azfar selamat, berarti Allah masih memberi kesempatan untuk dia hidup.”

“Iya, itu sebuah anugrah besar yang patut disyukuri. Azfar masih diberi kesempatan untuk hidup,” sambung Mizran.

Azfar tersenyum lebar melihat teman-temannya yang sedang membahas tentang dirinya. Melihat Ferdi yang menjitak kepala Adit tadi, juga membuat Azfar dan yang lain tertawa.

Likuifaksi atau pencairan tanah yang terjadi di kota Palu dan Kabupaten Sigi menjadi fenomena yang menandai dahsyatnya bencana gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah. Ahli geologi Universitas Saint Louis AS, John Encarnacion, menyebut fenomena likuifaksi di Sulteng menyeramkan. (Republika. 5 Oktober 2018)

“Azfar, aku tidak pernah melihatmu di tempat pengungsian setelah bencana empat hari yang lalu,” kata Abimanyu.

“Aku tinggal di rumah Nenekku,” jawab Azfar. “Dua hari setelah bencana, aku, Ibu, dan adikku sempat tinggal di lapangan pengungsian. Satu malam saja. Setelah itu kami dipanggil sama omku Zaldin untuk tinggal di rumah Nenek.”

Abimanyu mengangguk.

“Kamu beruntung ya, Azfar, masih punya rumah nenek yang utuh,” kata Ferdi sambil menatap jalanan.

“Kamu betul, Ferdi. Sedangkan kita harus tinggal di tenda pengungsian, yang kalau siang hari, hawa di dalam tenda sangat panas, seperti dipanggang di dalam oven,” sambung Adit. “Lebih kasihan lagi sama keluarga yang punya bayi. Duh, kasihan sekali.”

Azfar hanya terdiam. Teman-temannya memang benar, Azfar sedikit beruntung karena bisa tinggal di rumah neneknya yang masih utuh. Eh, tapi kan Azfar bersama keluarganya belum bisa tidur di dalam rumah, tapi mereka juga membangun tenda di halaman rumah. Siang hari panasnya juga bukan main.

Di sepanjang garis pantai Teluk Palu, berjejer rapi rumah-rumah penduduk  dan jalan poros Palu-Donggala yang terpasang kuat di bumi. Hampir semua rumah-rumah yang ada di pesisir pantai itu telah rata dengan tanah akibat terjangan tsunami. Rumah Nenek Arni pun yang jauhnya dengan pesisir pantai berkisar 100 meter masih juga kemasukan air laut. Itu berarti saat ombak tsunami menerjang, terjangannya cukup jauh, namun tidak sedahsyat yang ada di pesisir pantai. Makanya ketika Zaldin masuk ke rumah Nenek Arni setelah alam mulai tenang, semua lantai basah oleh air laut, menghasilkan aroma asin dari air laut yang tajam di seluruh ruangan rumah.

Di pagi itu juga wartawan dari berbagai stasiun televisi mulai berdatangan ke lokasi bencana terparah, termasuk desa Azfar tinggal.

Sambil menikmati snack pemberian petugas dan mengamati kendaraan berlalu-lalang, Azfar dan teman-temannya didatangi wartawan, lengkap dengan kameramennya.

“Selamat pagi, adik-adik. Kami boleh meminta waktunya sebentar?” Seorang wartawan menyapa mereka.

Azfar dan teman-temannya mengangguk.

“Di antara kalian, ada yang siap untuk diwawancarai?” tanya wartawan itu.

Remaja-remaja itu saling tatap, lalu saling tunjuk-menunjuk.

“Abi siap, Pak,” tuduh Adit sambil menunjuk ke arah Abimanyu. Nama panggilan Abimanyu adalah Abi.

“Hei, kamu jangan memfitnah seperti itu, ya!” Abimanyu memelotot ke arah Adit, wajahnya terlihat kesal.

“Abi, iyakan saja. Kamu akan masuk tv,” seloroh Ferdi.

“Aku tidak mau!” Abimanyu mengelak.

Tim stasiun televisi itu tertawa meliat tingkah mereka.

“Sudah-sudah. Kalian tidak usah saling menunjuk. Kami hanya butuh orang yang siap saja.” Kata Wartawan itu.

Sebenarnya Azfar siap diwawancarai, hanya saja ia tidak mengalami kejadian tsunami saat itu, ia hanya merasakan peristiwa likuifaksi saja. Wartawan itu meminta keterangan saat terjadinya gempa dan tsunami, dan apa yang para korban rasakan setelah bencana itu menimpa. Akhirnya yang siap untuk diwawancara adalah Mizran, seorang anak muda lima tahun lebih tua dari Azfar.

Sepuluh menit, proses wawancara pun selesai.

Tak terasa matahari sudah naik tepat lurus di atas kepala mereka. Azan waktu salat Zuhur sudah berkumandang. Azfar dan beberapa temannya berjalan kaki menuju ke masjid, melaksanakan salat. Ada Abimanyu, Adit, dan Firsan yang juga ikut salat. Tiga remjaa itu seumuran dengan Azfar. Usai salat Zuhur, Azfar dan tiga temnnya itu hendak pulang ke tempat tinggal masing-masing. Abimanyu, Firsan, dan Adit pulang ke pengungsian, sedangkan Azfar pulang ke rumah Nenek Arni. Jalan menuju tempat pengungsian dan rumah Nenek Arni satu arah.

Azfar, Abimanyu, Firsan, dan Adit berjalan di pinggiran jalan poros. Matahari siang menyengat sangat panas sampai ke ubun-ubun mereka. Keempat remaja itu mengamati sekeliling, juga memandang lautan Teluk Palu yang luas, yang sebelumnya tidak terlihat dari jalan poros karena tertutup rumah-rumah penduduk. Di tengah perjalanan, tiba-tiba dari kejauhan mereka melihat ramainya para petugas, relawan, dan para penduduk berkumpul di atas tumpukan puing-puing bangunan. Azfar, Abimanyu, Firsan, dan Adit penasaran dengan apa yang sedang terjadi di keramaian itu. Mereka berempat segera berlari menghampirinya. Sesampainya di sana, kepala mereka mendongak di antara punggung-punggung penduduk yang juga ikut menyaksikan. Seketika Adit menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Ternyata di kerumunan itu sedang menyaksikan temuan mayat seorang kakek. Benar saja, hampir semua korban dari terjangan tsunami adalah orang-orang yang sudah lanjut usia.

Innalillahi wa innalillahi rojiun.” Terdengar ucapan itu dari mulut Azfar dan Adit.

Abimanyu menatap dua temannya dengan penuh tanda tanya di kepala. Apalah daya dirinya yang tak bisa melihat temuan mayat itu, karena tubuhnya yang pendek.

“Mayat siapa?” tanya Abimanyu pada kedua temannya.

Adit mengangkat bahu, "Belum tahu. Mayat itu susah dikenali, seluruh badannya pucat dan wajahnya juga hancur."

“Hei, itu mayat dari kakek teman kita, Desi!” lapor Firsan yang baru saja menghampiri tiga temannya. “Aku tadi menguping pembicaraan warga. Salah satu dari mereka mengenali pakaian yang dikenakan mayat itu empat hari yang lalu.”

Azfar, Abimanyu, dan Adit mengangguk, terdiam.

Beberapa menit kemudian, sebuah mobil ambulans tiba di lokasi temuan mayat itu—segera mengevakuasi, dan akan dimakamkan dengan layak. Mobil ambulans itu pun berlalu pergi. Keempat remaja itu pun pergi melanjutkan perjalanan untuk pulang. Perut mereka sudah sangat lapar. Para petugas dan relawan masih terus mengevakuasi dan mencari korban yang sampai hari ini belum juga ditemukan. Kabarnya, masih ada beberapa korban lagi yang belum ditemukan di kecamatan itu.

Di tengah-tengah perjalanan pulang, tiba-tiba sebuah mobil pick-up berhenti tak jauh dari hadapan mereka. Terlihat di bagian belakang mobil yang terbuka, ada dua orang perempuan dan satu orang lelaki. Azfar dan tiga kawannya itu berjalan mendekati mobil tersebut. Tiga remaja yang ada di mobil itu turun sambil menggandeng sebuah kantongan plastik berukuran besar.

“Sepertinya merek relawan,” kata Abimanyu, tatapannya ke arah tiga remaja yang sedang turun dari mobil. “Mereka juga bawa kantongan besar. Sepertinya nasi bungkus. Alhamdulillah.”

“Jangan berharap lebih!” tandas Adit.

“Permisi, Kakak-kakak,” sapa relawan remaja lelaki. Remaja lelaki itu membuka lebar-lebar kantongan plastik, dan kedua remaja perempuan mengambil empat bungkus nasi untuk Azfar, Abimanyu, Firsan, dan Adit. Ketiga remaja yang membagikan nasi bungkus itu mengenakan rompi yang sama berwarna coklat, di belakangnya bertuliskan: RELAWAN.

Abimanyu nyengir. “Dugaanku benar, kan. Mereka membawa nasi bungkus.” Suara Abimanyu terdengar oleh tiga relawan itu. Bikin malu saja!

Azfar menyikut lengan Abimanyu. “Tidak boleh seperti itu!”

Tatapan Azfar kembali ke arah ketiga remaja relawan itu. “Maafkan teman kami.”

Ketiga relawan itu hanya tersenyum. Sepertinya umur tiga relawan itu sepantaran dengan Azfar, Abimanyu, Firsan, dan Adit.

Setelah menerima nasi bungkus, Abimanyu bertanya kepada ketiga relawan itu:

“Selanjutnya, kalian akan ke mana?”

“Tempat pengungsian.” Relawan lelaki yang menjawabnya.

“Di lapangan sepak bola? Yang tidak jauh dari sini?” tanya Abimanyu lagi.

Ketiga relawan itu mengangguk.

“Wah, kebetulan sekali, kami berempat juga akan ke sana. Kami boleh numpang?” Abimanyu berseru riang.

Lagi-lagi Azfar menyikut lengan Abimanyu, kali ini dengan tatapan yang tajam. “Hei, Abi! Sudah diberikan nasi, minta tumpangan lagi. Kamu bikin malu saja!”

Abimanyu hanya nyengir mendengar ucapan Azfar.

“Tidak apa, Kak. Kami juga senang membantu kalian,” kata relawan lelaki yang pandangannya ke arah Azfar. “Tunggu sebentar, aku minta izin dulu pada supir kami.”

Abimanyu mengangguk sambil tersenyum lebar, tapi Azfar, Firsan, dan Adit menahan malu.

“Sungguh, aku malu punya teman seperti Abi.” Firsan geleng-geleng kepala.

Kedua relawan perempuan itu tertawa.

“Mari, kakak-kakak, mobil akan segera berangkat,” kata relawan lelaki setelah meminta izin pada supir mereka. Supir itu juga adalah relawan, senior mereka.

Azfar, Abimanyu, Firsan, dan Adit mengangguk, lantas segera naik ke atas mobil pick-up.

“Kak, boleh bantu aku naik?” kata relawan gadis yang tak berhijab pada Azfar. Gadis itu kesusahan untuk naik ke atas mobil. Ia mengulurkan tangannya ke atas pada Azfar.

Azfar mengangguk, segera meraih tangan gadis itu—menariknya ke atas.

“Alah, relawan itu tidak boleh manja!” gerutu relawan lelaki. “Dari awal-awal tadi, mana ada minta tolong untuk naik ke mobil seperti ini.”

“Aku capek, sudah tak mampu lagi naik ke mobil,” balas relawan gadis itu, menatap sinis ke arah relawan lelaki.

Mobil pun mulai berangkat ke arah tempat pengungsian.

“Kalian relawan dari mana?” tanya Azfar yang mulai membuka percakapan di antara mereka, rambut lurus, hitam, lebatnya berayun-ayun dihembus angin.

“Manado.” Relawan lelaki yang menjawab.

Azfar mengangguk.

“Kapan sampai di sini?” tanya Azfar lagi.

“Kemarin,” kali ini relawan gadis yang dibantu Azfar naik ke mobil tadi yang menjawab. “Kami juga tinggal di lapangan pengungsian. Kira-kira dua minggu lamanya kami jadi relawan di sini.”

Rambutnya gadis itu panjang sampai ke bahu, diterpa angin dari atas mobil, sesekali anak rambutnya menutup matanya. Ia orangnya periang.

Azfar, Abimanyu, Firsan, dan Adit mengangguk, namun tidak bagi relawan lelaki itu.

“Tidak ada yang tanya kamu, Aya.” Relawan lelaki mencibir.

Gadis itu menatap sinis lagi ke arah relawan lelaki. Ia tak suka jika ucapannya selalu disanggah.

“Aya?.... Nama yang unik.” Azfar menatap ke arah gadis itu.

“Iya.” Gadis itu mengangguk dan tersenyum lembut, “Lengkapnya Aya Sofia.... Oh iya, nama kamu siapa?”

“Bukan hanya unik, tapi bagus,” Azfar tersenyum. “Namaku Azfar.”

Melihat Azfar dan Aya sudah berkenalan, yang lain juga ikut berkenalan, menyebutkan nama masing-masing.

Relawan laki-laki bernama Randi, dan relawan perempuan satunya lagi bernama Zahwa. Randi dan Zahwa adalah seorang Muslim, rekan mereka bernama Aya Sofia adalah seorang Nasrani.

Mobil yang mereka tumpangi sudah memasuki lorong menuju tempat pengungsian, sedikit menanjak. Beberapa menit kemudian, mobil pun telah sampai di lapangan pengungsian.

“Azfar, kamu tidak usah pulang, kita makan siang di tribun saja,” kata Abimanyu sambil menunjuk ke arah tribun yang ada di sebelah kiri lapangan.

“Tapi—,”

Belum sempat Azfar bicara, Abimanyu langsung menarik tangannya, berjalan ke arah tribun. Firsan dan Adit mengekor di belakang mereka berdua.

“Tunggu.” Aya menghentikan langkah mereka berempat, “Boleh aku bergabung dengan kalian?”

Keempat remaja itu menoleh ke belakang.

“Tentu saja boleh. Ayo,” seru Abimanyu.

Zahwa juga ikut bergabung dengan Azfar dan teman-temannya, sedangkan Randi izin pamit pergi ke tenda relawan untuk istirahat.

Di tribun terasa sejuk, walaupun sinar matahari menyengat panas di luar. Mereka terlindungi atap raksasa tribun dari sinar matahari. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah remaja-remaja itu. Pembungkus nasi mulai mereka buka. Saatnya untuk makan siang.

“Oh, jadi Azfar tidak tinggal di pengungsian ini?” tanya Aya pada Azfar sambil mengaduk-aduk makanannya dengan sendok.

“Iya,” Jawab Azfar, mulutnya sudah mengunyah makanan. “Aku dan keluarga sempat tinggal di pengungsian ini, tapi hanya satu malam saja.”

Aya mengangguk.

“Aku boleh mendengar cerita dari kalian saat bencana itu terjadi?” Tatapan Aya bergantian menatap Azfar, Abimanyu, Firsan, dan Adit.

Abimanyu yang sejak tadi menikmati nasi bungkus miliknya, seketika mendongak ke arah Aya, “Boyeh, boyeh. Au ang akan beceita u'uan.” Mulutnya masih penuh dengan makanan, sehingga apa yang ia katakan tidak begitu jelas. Abimanyu bersemangat sekali menanggapi permintaan Aya.

“Hei, kamu bilang apa, Abi? Kalau makanan masih penuh di mulut, jangan dulu bicara,” seloroh Firsan.

Langit-langit tribun dipenuhi gelak tawa remaja-remaja yang baru saja berkenalan itu.

Yang sebenarnya diucapkan Abimanyu adalah: Boleh, boleh. Aku yang akan bercerita duluan.

Remaja-remaja itu makannya lahap, beberapa menit kemudian, makanan mereka sudah tandas dari pembungkusnya. Cerita dari keempat remaja yang menjadi korban bencana pun dimulai.

Abimanyu merubah posisi duduknya dengan bagus. Semua mata tertuju pada dirinya yang akan duluan bercerita.

“Pada saat itu, matahari sudah mulai tenggelam. Tapi aku masih terus bermain bola dengan teman-teman—,”

“Astaga, waktu itu kamu tidak salat Magrib? Pantas saja Tuhan marah, akibatnya alam dibuat kacau-balau,” celetuk Adit.

“Ssttt!” Firsan menaruh jari telunjuknya ke bibir Adit, “Kamu jangan dulu memutus cerita Abi, aku sedang memperhatikan wajahnya saat bercerita. Belum pernah aku melihat wajahnya seserius ini. Biasanya selalu bercanda.”

Mereka semua kembali tertawa, kecuali Abimanyu, lelaki itu tersipu malu mendengar gurauan Firsan.

“Sudah, sudah. Ayo dilanjutkan, Abi, dua relawan ini tak sabar menunggu lanjutan ceritamu,” kata Azfar.

Aya dan Zahwa mengangguk setuju.

“Langit mulai gelap, tiba-tiba guncangan dahsyat itu datang tanpa diundang. Aku seperti tak menyangka hal itu akan terjadi. Aku seperti sedang berada di alam mimpi. Kami semua yang berada di lapangan panik, terduduk berlutut di tanah, tak sanggup untuk berdiri karena kuatnya guncangan gempa. Saat itu ucapan dzikir terdengar di setiap mulut warga.”

"Setelah guncangan itu dirasa-rasa sudah berhenti, walaupun sesekali gempa susulan masih terus berguncang, aku segera berlari menuju rumah. Yang aku pikirkan saat itu Papa, Mama, Nenek, dan saudara-saudaraku. Sekencang mungkin aku berlari. Di tengah perjalanan, kulihat sudah ada beberapa rumah warga yang ambruk. Setibanya di rumah, aku dapati semua keluargaku berada di halaman depan rumah, tetangga-tetanggaku juga semua keluar. Kami semua sangat panik. Tak lama setelah itu, orang-orang yang rumahnya berada dekat dengan bibir pantai, berlari sekencang mungkin sambil berteriak: “Lariii! Tsunamiiii!”, tak perlu menunggu waktu lama, aku bersama keluarga dan semua warga ikut berlari sekencang mungkin, menuju ke dataran tinggi. Papaku saat itu langsung menggendong Nenekku dan membawanya lari. Nenekku buta—,”

Cerita Abimanyu terhenti sejenak karena ia melihat Aya menutup mulutnya. Mata gadis itu mulai berkaca-kaca. Aya terkejut, menatap ke arah Abimanyu dengan rasa haru. Bagaimana dengan Ayah dan Nenek Abi? Apakah mereka bisa mengalahkan lajunya terjangan tsunami? Apakah mereka selamat? batin Aya.

“Iya, Nenekku buta.... Saat itu papaku dengan sekuat tenaganya berlari sekencang mungkin. Aku, Ibu, dan saudara-saudaraku sudah tiba duluan di kaki gunung, lantas segera naik ke atas, Papa dan Nenekku ketinggalan di belakang. Aku terus naik hingga rasa-rasanya sudah aman, kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri dari atas bagaimana ombak tsunami itu menghantam setiap apa yang ada di depannya. Rumah-rumah penduduk sudah tenggelam, hanya terlihat atapnya saja, dan seketika itu juga ambruk. Kulihat air sudah sampai ke kaki gunung, tapi Papa dan Nenekku belum kami temukan. Aku dan keluargaku terus berlari ke tempat lebih tinggi lagi, karena terlihat dari kejauhan air laut mulai menggulung ombak ke dua, yang lebih besar dan tinggi dari ombak pertama.”

Zahwa—rekan relawan Aya, matanya juga sudah berkaca-kaca. Aya sudah meneteskan air mata. Mereka berdua mendengar dengan baik cerita dari Abimanyu. Dalam benak kedua relawan itu menyimpulkan, bahwa Ayah dan Nenek Abimanyu mungkin tak bisa selamat.

“Langit sudah gelap total, tak ada satu orang pun yang membawa penerangan, kami semua terus berlari, tak bisa melihat dengan jelas karena gelap, menghantam apa saja yang ada di depan. Batu-batu tajam yang akan melukai kaki, semak-semak berduri yang akan menusuk tubuh, kami semua tak peduli dengan itu semua, asal bisa selamat dari terjangan tsunami.”

“Karena malam yang begitu gelap, tak ada penerangan, kepanikan di mana-mana, banyak orang-orang yang berpisah dengan keluarganya saat berada di gunung, termasuk aku. Aku berpisah dengan Papa dan Nenekku, juga Mamaku, dan saudara-saudaraku. Entah kemana mereka semua. Di gunung itu, semua orang berteriak memanggil nama keluarganya masing-masing yang telah berpisah. Saat mencari keberadaan keluargaku, aku menyentuh pundak seseorang, lalu kutanya, siapa dia? Ternyata bukan salah satu dari keluargaku.”

“Terus berteriak, hingga kami saling mengenal suara satu sama lain, dan akhirnya bisa bertemu. Tapi hanya Papa dan Nenekku yang belum bertemu dengan kami. Kami semua bertanya-tanya dan khawatir dengan keselamatan mereka. Beberapa saat kemudian, ada salah satu warga yang mengenal keluarga kami, dia menghampiri dan memberi tahu bahwa Papa dan Nenekku sedang terduduk lemas, posisi mereka berdua tak jauh dari kami berkumpul. Aku segera menghampiri mereka berdua. Alhamdulillah, kami semua selamat."

Aya dan Zahwa menghembuskan napas lega, ternyata dugaan mereka salah. Syukurlah, Ayah dan Nenek Abimanyu selamat.

“Malam itu, aku, keluargaku, dan semua penduduk desa bermalam di gunung. Di bawah langit, di atas tanah. Tak ada atap yang melindungi, selimut yang menghangatkan badan, juga bantal. Untung malam itu langit berpihak pada semua korban bencana. Andai saja malam itu hujan, entah bagaimana nasib kami semua.”

"Pagi harinya, saat matahari sudah terbit dari arah timur, kami mulai turun ke desa. Di perjalanan menuruni gunung, kami semua tidak menyangka dengan jalan yang dilalui semalam. Bukan sebuah jalan setapak, melainkan semak-semak berduri. Anehnya, malam itu, tak ada sedikitpun rasa sakit dari tusukan duri yang aku rasakan, atau mungkin semua orang juga tak merasakannya. Mungkin karena ketakutan yang mendalam dengan gelombang tsunami, jadi apapun yang ada di depan, semua dihantam saja. Pagi itu, semua mengecek kaki dan badan masing-masing, penuh dengan luka-luka.”

Dari awal Abimanyu bercerita, sampai akhir, Aya dan Zahwa serius sekali mendengarkannya, tak berani memutus cerita dari Abimanyu, bahkan kedua gadis itu makin tak sabar mendengar cerita dari tiga remaja korban bencana selanjutnya.

Giliran Adit yang bercerita.

Cerita Adit tak jauh berbeda dengan Abimanyu. Awal ceritanya saja yang berbeda. Adit saat itu berenang di laut bersama teman-temannya yang merupakan anak-anak dari tetangganya.

“Apa, berenang di laut?” tanya Aya, terkejut.

Adit mengangguk, wajahnya serius.

Abimanyu meninju lengan Adit, sedikit kuat, “Huu, pandai mengatakan orang tidak salat, padahal dia sendiri juga tidak salat!”

Adit hanya membalas dengan cengiran.

Ketika mengambang di permukaan laut menggunakan pelampung, Adit dan teman-temannya tidak sadar kalau sedang terjadi gempa. Saat gempa, orang tua Adit dan beberapa orang tua teman-temannya berdiri di pinggir pantai sambil berteriak sekuat mungkin agar anak-anak yang berenang segera ke daratan. Melihat para orang tua sambil berteriak kepanikan dari pinggir pantai, Adit beserta teman-temannya segera berenang ke pinggir pantai, mereka belum tahu apa yang sedang terjadi. Ketika sudah hampir sampai di pinggir pantai, para orang tua itu berteriak lagi bahwa baru saja terjadi gempa. Laju anak-anak berenang ke pinggir pantai semakin kencang karena panik. Tapi di saat itu juga, tubuh mereka malah tertarik ke belakang lagi. Air laut surut seketika, pertanda gelombang tsunami tak lama lagi akan menuju ke daratan dengan hantaman yang kuat. Dengan sisa-sisa tenaga, Adit dan teman-temannya berenang sekencang mungkin mereka bisa. Akhirnya mereka sampai ke pinggir pantai, lalu meneruskan lari secepat mungkin menjauh dari bibir pantai. Demikian cerita dari Adit.

“Sungguh malang nasibku saat di gunung. Aku tidak memakai baju, hanya celana saja terpasang di tubuh.” Kepala Adit menunduk, ia terlihat sedih dan menahan malu.

Azfar, Abimanyu dan Firsan tertawa, tapi Aya dan Zahwa tidak.

“Kenapa ketawa?” tanya Aya.

“Lucu: ketika Adit tidak merasakan gempa saat itu, dan lari ke gunung tidak memakai baju," Azfar menyeringai lebar.

Cerita ke tiga, dari Firsan.

Cerita Firsan juga tak jauh berbeda dari dua temannya sebelumnya.

Saat itu Firsan hanya di rumah, tak ada aktivitas yang ia lakukan, hanya rebahan sambil bermain ponsel.

Saat terjadi gempa dan tsunami, ia bersama keluarganya juga lari ke gunung.

“Saat mendaki gunung untuk menyelamatkan diri, aku mengamati orang-orang yang kukenal sering minum-minuman keras, pemakai narkoba, mengucapkan kalimat-kalimat dzikir sebanyak-banyaknya.” Firsan geleng-geleng kepala sambil tersenyum tipis.

“Mengingat Allah di saat terjadi bencana saja,” tambah Abimanyu, yang dimaksudkan kepada orang-orang yang diceritakan Firsan.

“Tidak boleh bicara seperti itu, Abi. Boleh jadi, di balik bencana ini ada hikmahnya. Mungkin setelah bencana ini, mereka yang dulunya sering memakai barang-barang haram, akan tobat,” kata Azfar, pandangannya mengarah ke tenda-tenda pengungsi. “Aku yakin, adanya bencana ini merupakan teguran dari Tuhan, agar semua hambanya bisa sadar dan segera bertaubat.”

Mereka semua mengangguk sepakat atas ucapan Azfar.

Selanjutnya Azfar yang bercerita. Dari awal sampai akhir, bagi Aya dan Zahwa, yang dialami Azfar lah yang paling sedih dan mengerikan. Dua relawan itu juga baru tahu dengan bencana likuifaksi. Awalnya mereka hanya mengetahui gempa dan tsunami saja.

Tatapan remaja-remaja itu sekarang ke arah tenda-tenda pengungsi. Angin sepoi-sepoi berhembus dengan tenang, menciptakan kesejukan di tengah-tengah terik matahari yang menyengat panas.

“Teman-teman, aku pulang duluan.” Azfar berpamitan, beranjak dari duduknya.

Aya yang masih duduk, mendongak ke arah Azfar, bertanya: “Rumah Nenek kamu jauh dari sini?”

“Dekat,” jawab Azfar, tersenyum lembut.

Bangkitnya Azfar dari duduknya, mereka pun juga ikut bangkit, enam remaja itu pulang ke tempat tinggal masing-masing. Azfar pulang ke rumah Neneknya yang tak terlalu jauh dari lapangan pengungsian, Abimanyu, Firsan, dan Adit pulang ke tenda masing-masing, Aya dan Zahwa kembali ke tenda relawannya.

“Azfar, besok ke tempat kemarin, ya,” kata Abimanyu, namun mengernyit, belum paham di mana tempat yang Abimanyu Maksud. “Biasa… di pinggir jalan.” Lanjut Abimanyu.

“Oh. Oke, insyaAllah, Abi.”

Pertemuan dan perkenalan mereka siang itu akan membawa kesan yang sangat luar biasa nantinya.

 

***

 

Sepulang dari pengungsian, Azfar bercerita banyak pada keluarganya tentang apa saja yang ia alami dan lakukan dari pagi hingga siang hari ini. Azfar juga menceritakan pertemuan dan perkenalannya dengan relawan-relawan dari Manado.

“Kapan Kakak bisa ajak adirah ketemu dengan relawan-relawan itu?’ tanya Adirah pada Azfar.

“Nanti kalau ada waktu, kamu akan kakak ajak ke tempat pengungsian,” balas Azfar.

“Yaaah.…” Adirah memutar bola matanya malas, wajahnya terlihat cemberut. Gadis kecil itu ingin agar kakaknya menjawab 'besok' atau 'besok lusa'.

Sore harinya, di halaman depan rumah Nenek Arni yang tertancap sebuah tenda berukuran besar, Azfar, Adirah, dan Nenek Arni sedang duduk-duduk santai di sebuah terpal yang dibentangkan di atas tanah. Indri sedang menyapu halaman, sedangakan Azizah sedang menggoreng pisang untuk cemilan mereka di sore yang cerah itu. Sampai saat ini, belum ada satu orang pun dari penduduk yang melakukan aktivitas di dalam rumah, karena gempa susulan masih saja terus berguncang kapan pun itu.

Di tengah kehangatan berkumpul dengan keluarga di sore hari, seorang bapak berumur limapuluh-an mendatangi rumah Nenek Arni. Bapak itu memakai songko bulat berwarna putih di kepalanya.

Assalamualaikum,” sapa Bapak bersongko putih.

Waalaikumsalam,” serentak keluarga kecil itu menjawab sapaan seorang bapak dengan penuh kehangatan.

“Eh, Haji Sengko. Mari, Haji,” seru Nenek Arni, memanggil bapak bernama Haji Sengko itu untuk duduk bergabung dengan mereka.

“Terima kasih,” kata Haji Sengko dan ia pun duduk.

Adirah menatap heran ke arah Haji Sengko, ia baru pertama kali ini melihat orang tua tersebut, sedangkan Azfar sudah mengenalnya sejak lama.

Haji Sengko adalah tetangga Nenek Arni, ia hanya tinggal sebatangkara di rumahnya, istrinya sudah meninggal satu tahun yang lalu. Ia juga belum dikaruniai seorang anak. Mungkin Haji Sengko kesepian di rumahnya, maka dari itu sore ini ia bertamu ke rumah Nenek Arni.

“Adirah, ini Haji Sengko, tetangga nenek,” kata Nenek Arni yang paham dengan raut wajah keheranan cucunya itu.

“Halo, Adirah.” Haji Sengko menyapa ramah, tersenyum.

“Halo, Haji,” balas Adirah, sedikit menunduk, tanda sopan-santun.

“Oh, ini anak Azizah yang waktu itu masih kecil sekali, ya? Wah, sekarang sudah besar.” Haji Sengko tersenyum lebar.

Tak lama setelah kedatangan Haji Sengko, Azizah datang membawa senampan pisang goreng dengan sambal tomat di piring kecil.

“Eh, ada Haji Sengko. Sudah lama di sini, Haji?” Azizah meletakkan nampan berisi pisang goreng ke atas terpal.

“Baru saja,” jawab Haji Sengko.

Bukan hanya pisang goreng yang dibuat Azizah, juga ada teh hangat. Melihat adanya Haji Sengko bertamu ke rumah Nenek Arni, Azizah mengambil satu gelas lagi.

“Bu, Adirah ingin makan pisang goreng pakai gula,” kata Adirah ketika tidak melihat gula pasir disediakan Azizah. Begitulah anak-anak, belum minat dengan makanan pedas.

“Oh iya, ibu lupa. Tunggu ya, ibu ambilkan dulu.” Azizah kembali lagi ke dapur darurat di samping rumah.

“Masa' takut makan pedas. Lihat, kakak berani, amm.” Azfar memasukkan pisang goreng yang sudah dicocol dengan sambal tomat ke dalam mulutnya.

“Adirah kan masih kecil.” Adirah berdecak sebal.

“Tapi dulu kakak baru lahir sudah berani makan pedas.” Azfar terkekeh.

“Yang  Kak Azfar bilang itu betul, Nek?” Adirah bertanya.

“Tidak, Adirah,” jawab Nenek Arni seadanya.

“Huu, Kakak bohong!” Wajah Adirah semakin kesal.

Azfar terkekeh ringan melihat raut wajah kesal adiknya. Baginya, melihat adiknya kesal seperti itu, malah membuat wajah gadis kecil itu makin menggemaskan.

Duduk-duduk santai di sore itu, mereka isi dengsn percakapan-percakapan hangat, di temani pisang goreng dan teh hangat. Indri juga sudah selesai menyapu halaman, ia pun ikut bergabung duduk. Zaldin tak ada di rumah saat itu, ia sedang berada di luar.

Jam lima lewat tigapuluh, tak lama lagi waktu salat Maghrib, Haji Sengko kembali ke rumahnya, mandi, berganti pakaian salat. Orang tua itu akan salat berjamaah di Masjid. Jarak Masjid tak jauh dari rumah Nenek Arni dan rumah Haji Sengko. Setelah sudah siap untuk berangkat ke Masjid, Haji Sengko mampir lagi ke rumah Nenek Arni, hendak memanggil Azfar agar ikut dengannya salat di Masjid.

Azfar juga sudah siap dengan pakaian salatnya, mereka akan segera berjalan kaki menuju Masjid.

“Ibu, boleh adirah ikut Kak Azfar salat di Masjid?” pinta Adirah pada Azizah.

“Tidak usah, Adirah, kita salat di rumah saja.” jawab Azizah, mengusap pundak putrinya.

“Yaah. Boleh ya, Bu.” Adirah merengek-rengek agar Azizah mengizinkannya.

“Di luar sangat gelap, Adirah. Listrik saat ini belum menyala, lampu-lampu rumah penduduk semua masih padam.” Azizah tetap menolak keinginan Adirah.

“Kan ada Haji Sengko dan Kak Azfar yang menjaga Adirah, Bu.” Adirah tetap ngotot agar Ibunya mengizinkan. “Boleh ya, Bu? Boleh ya?”

Azizah menghela napas perlahan, “Baiklah. Ingat, jangan nakal-nakal di Masjid.”

“Hore. Terimakasih, Bu,” Adirah berseru riang. “Ayo, Haji. Ayo, Kak, kita berangkat, tidak lama lagi azan.”

Azfar dan Haji Sengko hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Adirah yang menggemaskan.

Azfar, Adirah, dan Haji Sengko pun berjalan menuju Masjid. Sesampainya mereka bertiga di Masjid bersamaan dengan lafaz pertama azan dikumandangkan. Suara muadzin yang mengumandangkan azan sangat merdu. Di Masjid itu, terdengar suara bising dari sebuah genset. Lampu-lampu menyala di sana.

Hanya ada beberapa tempat saja yang perlu bantuan genset sebagai sumber penerangan, seperti Masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya, pengungsian, posko bantuan, posko petugas. Untuk rumah-rumah penduduk biar satu pun belum ada lampu yang menyala.

Jamaah salat Magrib belum bisa menggunakan Masjid untuk beribadah, karena banyak retakan yang parah di dinding-dindingnya. Para jamaah hanya bisa salat di sebuah Masjid darurat yang di bangun para petugas di halaman depan Masjid. Sebuah Masjid darurat dari tenda berukuran sangat besar.

Antara jamaah laki-laki dan perempuan dipisahkan tirai. Azfar tak perlu khawatir dengan keberadaan Adirah di bagian jamaah perempuan, karena lumayan banyak ibu-ibu, remaja wanita, juga anak-anak yang seumuran dengannya ikut salat berjamaah di Masjid darurat.

Beberapa menit berlalu, salat Magrib pun telah selesai. Azfar, Adirah, dan Haji Sengko berjalan pulang ke rumah di tengah-tengah gelapnya malam. Azfar menggandeng tangan Adirah. Mereka bertiga terus berjalan, Masjid sudah tertinggal jauh di belakang, cahaya lampunya tak nampak lagi oleh mata lagi. Dari rumah tadi, Haji Sengko sudah mempersiapkan senter sebagai penerangan, agar tidak kegelapan mereka berjalan kaki menuju rumah.

“Kakak, kenapa Om Zaldi tidak salat?” Adirah bertanya di tengah perjalanan.

“Kakak tidak tahu.”

“Kenapa Kakak tidak mengajaknya salat?”

Azfar hanya termangu, menatap cahaya senter di kegelapan malam. Ia tak bisa menjawabnya.

Sejujurnya, Azfar ingin sekali mengajak Zaldin untuk salat, namun ia berpikir akan terlontar lagi di mulut Zaldin: “Anak dibawah umur tak usah mengajak salat!”. Ucapan seperti itu pernah Zaldin ucapkan kepada Azfar. Selalu terngiang di kepala Azfar bila berniat mengajak Zaldin untuk salat. Azfar hanya bisa mendoakan pamannya itu agar bisa berubah.

Di dalam ayat Al-Quran, dikatakan, mendoakan seseorang untuk berubah lebih baik lagi adalah selemah-lemahnya iman. Dan Azfar mengakui bahwa imannya masih lemah.

“Setelah sarapan nanti, kakak mau cerita kisah nabi Muhammad. Adirah mau mendengarnya?” Azfar berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Mau, mau!” Adirah mengangguk, tersenyum lebar. Gadis kecil itu memang suka mendengar cerita, apa lagi cerita dari kisah-kisah Nabi.

Pukul delapa malam, langit terlihat bersahabat; langit kelam bersih oleh awan, nampak di angkasa jutaan bintang kelap-kelip sangat indah. Di bawah tenda yang dibangun di halaman depan rumah Nenek Arni, Azfar dan keluarga kecilnya berbincang-bincang hangat, sarapan malam telah usai. Di sana juga masih ada Haji Sengko.

“Haji, menginap di sini saja, tidak usah pulang. Kasihan juga jika hanya Haji sendiri di rumah, apa lagi lampu belum menyala,” kata Nenek Arni, membuka percakapan baru setelah percakapan sebelumnya sudah selesai.

“Itu benar, Haji, menginap di sini saja, supaya rumah Nenek makin ramai,” sambung Adirah sambil menyeringai.

“Aku tidak ingin merepotkan kalian,” balas Haji Sengko.

“Sama sekali tidak merepotkan,” Nenek Arni menggeleng. "Justru kami semua ikut senang jika Haji tidur di sini. Lebih ramai lebih bagus, hitung-hitung saling menjaga.” Nenek Arni tersenyum.

Karena itu adalah permintaan tuan rumah, dan sepertinya itu tawaran yang bagus, Akhirnya Haji Sengko mengiyakan. Siapa pula yang nyaman tidur di rumah sendirian, apa lagi listrik padam? Haji Sengko pun berkata: “Baiklah. Terima kasih banyak, Nenek Arni.”

“Horee, Haji Sengko tidur bersama kita.” Adirah berseru riang, tersenyum lebar.

 “Haji mau gabung bersama adirah dan Kak Azfar? Kak Azfar mau menceritakan kisah Nabi Muhammad.”

“Nanti saja, Adirah, Haji mau ke rumah sebentar, ambil bantal dan selimut,” ucap Haji Sengko.

“Boleh saya temani, Haji?” tawar Azfar.

“Boleh. Ayo, Azfar.” Haji Sengko beranjak dari duduknya, menyalakan senter.

“Ikuuut!...” pinta Adirah, sedikit terkekeh.

Azfar menepuk jidatnya dengan telapak tangan. Adiknya itu selalu mengikutinya.

Azizah dan Nenek Arni geleng-geleng kepala juga tersenyum saat melihat Adirah meminta ikut menemani Haji Sengko ke rumahnya. Bagi Nenek Arni, hadirnya Azizah dan anak-anaknya di rumahnya, membuat suasana menjadi ramai, apa lagi cucunya bernama Adirah itu yang selalu terlihat periang, lucu, dan menggemaskan.

Tiba di depan pintu rumah, Haji Sengko mengambil kunci lalu membukanya. Orang tua itu masuk duluan ke dalam, langsung menuju ke kamarnya. Azfar dan Adirah berjalan lambat di belakang Haji Sengko, mengamati sekeliling ruang tamu menggunakan senter, aroma parfum khas Arab tercium di sana. Ada satu lampu pelita menyala di ruangan itu.

Bug.

Terdengar suara berdebam dari kursi sofa. Sebetulnya Azfar yang menendangnya tanpa sepengetahuan Adirah.

“Tadi itu apa, Adirah?” Azfar bertanya dengan nada menakuti, lalu tertawa kecil.

Refleks Adirah langsung memeluk pinggang Azfar, menutup matanya.

“Kaak, adriah takut.” Suara gadis kecil itu sedikit keras, sehingga dapat di dengar oleh Haji Sengko dari kamarnya.

“Azfar, jangan menakut-nakuti adikmu.” Haji Sengko berteriak dari kamarnya.

Azfar hanya terkekeh. Adirah mencubit perut kakaknya, kesal.

Dua menit, Haji Sengko sudah keluar dari kamarnya, membawa bantal dan selimut. Haji Sengko mematikan lampu pelita. Jika tidak dimatikan, ditakutkan ada kucing yang menyenggol pelita, sehingga hal yang tidak dinginkan terjadi. Mereka bertiga pun keluar dari rumah.

“Tadi kamu kenapa, Adirah?” Haji Sengko bertanya, sambil memegang pundak gadis kecil itu.

“Kak Azfar menjahili adirah.” Adirah berdecak sebal.

Azfar terkekeh lagi, ia mencubit pipi adiknya.

Di depan rumah Nenek Arni. Sesuai rencana Azfar dan Adirah tadi saat perjalanan pulang dari Masjid; akan menceritakan kisah Nabi Muhammad SAW. Hampir tiap malam, menjelang tidur, Azfar selalu bercerita pada Adirah. Namun karena saat ini ada Haji Sengko, maka Azfar memberikan kesempatan kepada Haji Sengko untuk bercerita.

Haji Sengko bercerita tentang bagaimana akhlak Nabi Muhammad SAW—ketika sang Nabi mengenalkan Islam kepada penduduk Thaif dan mengajak agar masuk Islam, bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah, dan Muhammad adalah rasul utusan Allah. Penduduk Thaif bukannya menerima ajakan beliau, malah melemparinya dengan batu. Urat di bagian atas tumit beliau terkena lemparan batu, berdarah. Pembantu beliau bernama Zaid bin Haritsah berusaha melindungi sang Nabi dari lemparan batu, sehingga kepalanya juga terluka. Melihat sang Nabi diperlakukan seperti itu, Allah mengutus malaikat penjaga gunung untuk menemui beliau. Malaikat itu menawarkan kepada beliau agar membinasakan penduduk Thaif dengan cara meratakan gunung yang tak jauh dari daerah bernama Thaif tersebut, sehingga dapat meluluhlantakkan perkampungan itu.

Nabi SAW, dengan akhlaknya yang mulia, menolak tawaran dari malaikat penjaga gunung. Walaupun saat ini di antara penduduk Thaif belum ada yang menerima Islam, setidaknya beliau berharap, berdoa kepada Allah agar anak cucu mereka kelak bisa memeluk Islam.

Doa Nabi SAW Allah kabulkan. Hingga saat ini, penduduk Thaif sudah banyak yang masuk Islam.

Adirah berdecak kagum mendengar kisah dari Haji Sengko. Dari awal cerita, sampai akhir, gadis kecil itu sangat antusias mendengarkan, sama sekali tidak berani memutus cerita dari Haji Sengko. Bagi Adirah, Nabi Muhammad SAW adalah manusia yang sangat luar biasa, dengan akhlaknya yang mulia. Baru kali ini ia mendengar ada orang dengan akhlak semulia itu.

Jika adirah mengalami seperti yang Rasulullah alami; saat beliau dilempari batu, adirah tentu akan membalas kembali apa yang orang itu lakukan padanya, batin Adirah, pandangannya masih ke arah Haji Sengko yang mulai menutup ceritanya.

Cerita selesai, mereka pun segera tidur. Sekarang sudah pukul setengah sebelas malam, besok subuh mereka harus bangun untuk salat.

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Let's See!!
1583      748     1     
Romance
"Kalau sepuluh tahun kedepan kita masih jomblo, kita nikah aja!" kata Oji. "Hah?" Ara menatap sahabat kentalnya itu sedikit kaget. Cowok yang baru putus cinta ini kenapa sih? "Nikah? lo sama gue?" tanya Ara kemudian. Oji mengangguk mantap. "Yap. Lo sama gue menikah."
Mencari Pangeran Yang Hilang
2575      1071     3     
Romance
Naru adalah seorang cowok yang sempurna. Derajat, kehidupan, dan juga kemewahan layaknya seorang pangeran telah dia terima sejak lahir ke dunia. Orang tuanya seorang pengusaha kaya sejagat raya yang selalu muncul di TV. Namun ternyata dia yang merasa hidupnya terkekang oleh orang tuanya membuatnya tak memiliki satu pun teman. Dia pun benci tinggal di rumah. Dia ingin bebas. Ketika memasuki SMA,...
Are We Friends?
3028      929     0     
Inspirational
Dinda hidup dengan tenang tanpa gangguan. Dia berjalan mengikuti ke mana pun arus menyeretnya. Tidak! Lebih tepatnya, dia mengikuti ke mana pun Ryo, sahabat karibnya, membawanya. Namun, ketenangan itu terusik ketika Levi, seseorang yang tidak dia kenal sama sekali hadir dan berkata akan membuat Dinda mengingat Levi sampai ke titik paling kecil. Bukan hanya Levi membuat Dinda bingung, cowok it...
Seiko
429      321     1     
Romance
Jika tiba-tiba di dunia ini hanya tersisa Kak Tyas sebagai teman manusiaku yang menghuni bumi, aku akan lebih memilih untuk mati saat itu juga. Punya senior di kantor, harusnya bisa jadi teman sepekerjaan yang menyenangkan. Bisa berbagi keluh kesah, berbagi pengalaman, memberi wejangan, juga sekadar jadi teman yang asyik untuk bergosip ria—jika dia perempuan. Ya, harusnya memang begitu. ...
SURGA DALAM SEBOTOL VODKA
6824      1594     6     
Romance
Dari jaman dulu hingga sekarang, posisi sebagai anak masih kerap kali terjepit. Di satu sisi, anak harus mengikuti kemauan orang tua jikalau tak mau dianggap durhaka. Di sisi lain, anak juga memiliki keinginannya sendiri sesuai dengan tingkat perkembangan usianya. Lalu bagaimanakah jika keinginan anak dan orang tua saling bertentangan? Terlahir di tengah keluarga yang kaya raya tak membuat Rev...
Luka Dan Perkara Cinta Diam-Diam
5493      2132     22     
Romance
Kenangan pahit yang menimpanya sewaktu kecil membuat Daniel haus akan kasih sayang. Ia tumbuh rapuh dan terus mendambakan cinta dari orang-orang sekitar. Maka, ketika Mara—sahabat perempuannya—menyatakan perasaan cinta, tanpa pikir panjang Daniel pun menerima. Sampai suatu saat, perasaan yang "salah" hadir di antara Daniel dan Mentari, adik dari sahabatnya sendiri. Keduanya pun menjalani h...
Si 'Pemain' Basket
3568      1012     1     
Romance
Sejak pertama bertemu, Marvin sudah menyukai Dira yang ternyata adalah adik kelasnya. Perempuan mungil itu kemudian terus didekati oleh Marvin yang dia kenal sebagai 'playboy' di sekolahnya. Karena alasan itu, Dira mencoba untuk menjauhi Marvin. Namun sayang, kedua adik kembarnya malah membuat perempuan itu semakin dekat dengan Marvin. Apakah Marvin dapat memiliki Dira walau perempuan itu tau ...
Kembali Utuh
564      346     1     
Romance
“Sa, dari dulu sampai sekarang setiap aku sedih, kamu pasti selalu ada buatku dan setiap aku bahagia, aku selalu cari kamu. Begitu juga dengan sebaliknya. Apa kamu mau, jadi temanku untuk melewati suka dan duka selanjutnya?” ..... Irsalina terkejut saat salah satu teman lama yang baru ia temui kembali setelah bertahun-tahun menghilang, tiba-tiba menyatakan perasaan dan mengajaknya membi...
HIRAETH
360      251     0     
Fantasy
Antares tahu bahwa Nathalie tidak akan bisa menjadi rumahnya. Sebagai seorang nephilim─separuh manusia dan malaikat─kutukan dan ketakutan terus menghantuinya setiap hari. Antares mempertaruhkan seluruh dirinya meskipun musibah akan datang. Ketika saat itu tiba, Antares harap ia telah cukup kuat untuk melindungi Nathalie. Gadis yang Antares cintai secara sepihak, satu-satunya dalam kehidupa...
Dapit Bacem and the Untold Story of MU
6071      1886     0     
Humor
David Bastion remaja blasteran bule Betawi siswa SMK di Jakarta pinggiran David pengin ikut turnamen sepak bola U18 Dia masuk SSB Marunda United MU Pemain MU antara lain ada Christiano Michiels dari Kp Tugu To Ming Se yang berjiwa bisnis Zidan yang anak seorang Habib Strikernya adalah Maryadi alias May pencetak gol terbanyak dalam turnamen sepak bola antar waria Pelatih Tim MU adalah Coach ...