Read More >>"> Call Kinna (BAB 20) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Call Kinna
MENU
About Us  

Suasana rumahnya kini berbeda setiap kali Kalla pulang. Ada yang berubah. Bukan lagi kehangatan yang dirasakannya kini. Tidak ada sambutan Donna setiap kali dia melangkah pulang. Tidak ada pelukan rindu. Atau bahkan basa-basi setiap dia akan melangkah menuju kamar. Mamanya bahkan tidak peduli. Hampir berhari-hari menganggapnya sebagai makhluk tak kasat mata. Hal-hal sepele tapi sangat melukai Kalla. Menolak berbicara dengannya, menghindari berkontak dengannya, bahkan memilih pergi jika Kalla mulai menampakkan diri.

Malam ini pun, Donna tidak turun untuk makan malam karena tahu kedatangannya. Kalla hanya tertawa miris sambil menikmati tuna panggang di piringnya. Rasanya hambar. Buru-buru dihabiskannya tanpa banyak bicara.

“Mau langsung pergi?” lirik Tomi menyadari putra sulungnya itu sudah akan beranjak dari kursi.

Kalla berdeham lirih. “Hem... Kinna sendirian... Jadi, aku harus temenin dia, Pa. Kandungannya lemah.”

Tomi mengangguk-angguk santai. Berbeda dengan sang mama, papanya lebih santai menanggapi semua problema yang terjadi ini. Kaget, sih, itu pasti. Siapa yang tidak kaget kalau tahu-tahu mendapat kabar akan segera punya cucu pertama? Lah, cucu dari mana? Anaknya saja belum— maksudnya, baru akan menikah. Tahu-tahu dia akan menjadi kakek dalam jangka waktu kurang dari sembilan bulan ke depan. Wow, sangat mengejutkan!

Tomi hampir jantungan waktu itu! Tapi, setelah tahu ternyata perempuan itu Kinna. Setidaknya, Tomi lega. Kalau itu Kinna, anehnya, Tomi tidak kaget. Sebenarnya dia sudah merasakannya dari dulu, entah siapa dari mereka— Kalla atau Kinna— pasti ada sesuatu. Jadi, saat hal ini terjadi, Tomi hanya pasrah. Mungkin seharusnya sebagai orang tua, mereka belajar ke depannya untuk lebih peka dan mengerti perasaan anak. Dan seharusnya Tomi belajar dari masa lalunya dan Donna, bahwa persahabatan di antara lelaki dan perempuan tidak ada yang murni. 

 “Kondisi cucu Papa udah sehat, kan?”

Kalla tersenyum mendengar perhatian Tomi. “Iyalah, anak aku pasti kuat. Lagian, udah masuk bulan kedua besok.”

Tomi hanya geleng-geleng mendengarnya. “Hah, kamu itu. Jaga yang benar, ya, cucu pertama Papa. Pokoknya Papa nggak mau dengar kamu bikin masalah lagi.”

Mau tak mau Kalla bangkit tersenyum, memeluk papanya dari belakang, “Thanks, Pa. You know what I needed.”

Tomi terbahak mendengarnya. “Of course. Cause whatever you do, you always be my little boy, Sakalla.”

“Yash, itu pasti!”

“Ah, Papa punya ide. Gimana kalau bawa Kinna tinggal ke sini aja, Kal? Kandungan Kinna pasti makin besar nanti. Terus kamu tiap hari harus berangkat kerja juga. Mana mungkin Kinna ditinggal sendirian, kan? Suruh ke sini biar ada yang jagain terus.”

“Good idea, Pa,” Kalla masih tersenyum, “aku setuju. Aku nggak mungkin tinggalin Kinna terus-terusan pas aku kerja. Takutnya ada apa-apa. Tapi... mungkin nggak sekarang. Kinna nggak mau aku suruh tinggal di sini.”

Tomi mengangguk. “Papa ngerti. Mamamu juga butuh waktu, Kal.”

Ya, Kalla tahu itu. Sampai hari ini mamanya masih terus menelan pil kecewanya. Dan Kalla memberikannya waktu. Meski sisi lain juga terus berusaha meyakinkan kepercayaan itu kembali. Tapi, yang bisa dia lakukan sekarang adalah memberikan waktu. Let it flow.

“Oh, ya, dan soal...” suara Tomi menggantung. Kalla menatap serius papanya itu. “Pernikahanmu dan Thalia resmi batal. Thalia dan keluarganya sudah tahu semua ini. Yah, begitulah. Tapi, saran dari Papa, kamu menemui Tante Winda dan Om Aji untuk minta maaf sebagai wujud tanggung jawab atas kekacauan yang kamu buat ini, Kal. ”

Kalla tersenyum hampa. Dia tahu itu. Sangat tahu. Memang seharusnya begitu. Thalia pantas mendapatkan yang lebih baik darinya. Sebelum semua terlambat. Ada kalanya Kalla bersyukur, dia masih di tahap ini dengan Thalia. Belum terlalu jauh, karena itu pasti menyakitkan bagi Thalia.

“Kamu tahu?” ulang Tomi lagi, penuh sesal, “tindakan kamu sangat mengecewakan.”

“Aku tahu...” Kalla mengepalkan tangan kuat-kuat, “I’m sorry, Pa. Buat semua kekacauan ini. I’m so useless.”

Reval yang berdiri di sudut meja makan, sambil menenggak minumannya melirik penuh sindiran. “Dan lo baru sadar sekarang? Udah bagus keluarga Thalia tahu dan langsung batalin pernikahannya. Poor Thalia. She deserved better than you!”

“Sudahlah...” Tomi menyela bijak, “seenggaknya Papa langsung dapat ganti.”

“What?” ulang Reval. “Ganti apa?”

“Calon cucu Papa. Keluarga baru kita. Betul?” Tomi menatap Kalla dengan rupa mengusir. “Sudah sana kamu pulang. Kasihan Kinna kamu tinggalin lama-lama.”

Reval geleng-geleng. “So lucky you, Mas. Lo selalu punya malaikat pembela di rumah ini. Ck... ck...” ejeknya.

Kalla meringis. “Ya, aku... pamit, ya, Pa?” dirinya baru akan beranjak, tapi menoleh lagi, “Oh, ya, dan soal aku sama Kinna... aku minta restu Papa buat ngesahin pernikahan kita.” suaranya melirih.

“Kamu nikah di Sukabumi itu awalnya gimana?”

“Ceritanya panjang, Pa,” Kalla mendesah berat, “nanti Papa bisa ikut gila kalau aku ceritain. Tapi, aku bersyukur, Pa. Karena kejadian ini... aku jadi tahu, kalau aku cinta sama Kinna. Bukan Thalia.”

“Maafin Mama, ya?” Tomi berbisik, “Mama yang berusaha jodohin kamu dan Thalia. Bikin kamu dalam posisi sesulit ini. Seharusnya Mama dan Papa yang paling tahu siapa yang kamu butuhkan.”

Kalla hanya bisa menggeleng menahan sesak. “Nggak, Pa. Aku sendiri yang salah. Bukan Mama atau Papa. Bukan... Ini kebodohan aku sendiri... Biar aku yang tanggung semuanya...”

Selepas kepergian Tomi, suasana jadi lebih hening. Reval memilih bungkam. Menyantap makannya tanpa suara. Kalla hanya menghela napas sambil sesekali meliriknya.

“Mama di mana?”

Reval mengedikkan bahu, tidak tahan lagi. “Kamar... Ck, peluk kaki Mama sekarang.”

Kalla tertawa dalam hati. Apapun itu... dia akan melakukannya. Itupun jika Donna sudi menerima pelukannya di kaki. Tapi, Kalla tidak yakin. Dan dia hampir menahan sesak tiap kali melewati kamar mamanya dan mereka hanya diam. Saling membisu tanpa banyak bicara. Seakan mereka bukanlah ibu dan anak yang memiliki ikatan batin. Hanya manusia asing yang tidak sengaja bersitatap.

Menghela napas panjang, Kalla memberanikan diri melangkah melewati kamar Donna. Langkahnya terhenti saat pintu kamar itu terbuka. Mau tak mau Kalla melangkah perlahan ke dalam. Donna sedikit tersentak di depan cermin, melirik sekilas, tapi kembali berdandan.

“Ma...” Kalla tahu dia bisa menangis kapan saja di depan mamanya, “boleh masuk, nggak? Ma...”

Tapi, tidak ada jawaban. Kalla menganggap itu sebagai ya. Jadi, dia melangkah semakin ke dalam. Seketika suasana sunyi. Dan Kalla tidak bisa menahannya lagi. Ingin dia runtuhkan apa saja, dinding di antara mereka.

“Ma, I’m sorry...” Kalla meringis sesal, memeluk Donna diam-diam, “for everything...”

Dan meski Donna tidak bereaksi sekalipun, Kalla tidak melepaskan. Malah menyandarkan kepalanya di sana. Semakin memeluk punggung Donna. Oh, dia sangat merindukan Donna. Sehangat apapun pelukan yang didapatnya dari Kinna tiap malam, tidak akan pernah menggantikan kehangatan pelukan Donna. Karena pelukan hangat mamanya adalah tempat ternyamannya di dunia.

“Buat segala hal yang terjadi. Maafin aku, ya, Ma? Kita udahan main petak umpetnya, ya, Ma?”

Donna masih belum bereaksi. Kalla meringis penuh luka.

“Sampai kapan Mama mau kayak gini, Ma? Sampai kapan kita diem-dieman? Sampai kapan, hem? Mama terus-terusan anggep aku nggak ada. Ma...”

Donna menghela napas panjang. “Hmm...”

“Maafin aku sama Kinna, ya, Ma? Mama boleh benci aku... Tapi jangan Kinna. Kinna nggak salah, Ma. Semua kebodohan aku, Ma. Aku!”

“Thalia...” akhirnya hanya itulah yang terdengar dari mulut Donna, suaranya lirih, tapi penuh luka, “minta maaflah pada Thalia... Seharusnya kamu minta maaf pada Thalia! Bukan Mama!”

Kalla mengendurkan pelukannya, membuat Donna memicing. “Aku bakal minta maaf. Kalau perlu, aku bakal bersujud di depan keluarganya Thalia. Sampai mereka maafin aku, Ma. Apapun akan aku lakuin demi dapetin maaf dari Thalia...”

“Tapi itu nggak perlu,” Donna berbisik lirih, “If you know, Thalia sudah memaafkan kamu. Thalia sudah mengikhlaskan kamu,” pandangannya teralih pada sebuah box elegan di atas meja kaca. “Kemarin Jeng Winda memaksanya pulang kembali ke Aussie. Tapi karena masih terikat kontrak kerja dengan Grup kita, dia bersikap profesional dan milih tetap tinggal di sini. Bahkan dia sendiri kemarin yang menemui Mama, bilang maaf. Dan mengirimkan  itu...”

Pandangan Kalla mulai kabur. Mengintip sedikit celah dari box yang tergeletak entah sejak kapan di sana. Ternyata sebuah kebaya pengantin. Meski samar, Kalla masih mengingatnya dengan jelas. Kebaya itu sama persis dengan yang dipakainya saat fitting bulan lalu.

“Untuk Kinna...”

Tangis Kalla membanjir saat menemukan sebuah note kecil di sana. Tulisan tangan rapi Thalia terukir. Penuh sesal dan luka dibacanya perlahan sederet kalimat di sana.

Maaf untuk hadir dalam hubungan kalian...

Seharusnya aku tahu diri...

Semoga berbahagia kalian, Kalla & Kinna

Tertanda, Thalia Adiswara S.

Meski sekuat mati Kalla menahan, tangisnya berderai turun juga. Dipeluknya kuat-kuat note itu. Demi Tuhan, Thalia terlalu baik. Thalia terlalu baik untuknya. Thalia pantas mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik darinya yang brengsek ini. Thalia, you deserved better... Thalia you should find your happines. Kalla akan selalu mendoakannya. Meski kini dia terus menangis meraung-raung mengingat kebersamaan mereka. Walau hanya sebentar... Kalla pernah menerima kebaikan dari wanita sebaik itu. Thalia yang sangat sabar menghadapi sifat kekanak-kanakannya. Dan satu kali lagi, harus mendapatkan kebodohannya juga.

I’m sorry Thalia... I’m sorry... Wanita sebaik lo... Harus ikut menanggung kebodohan gue... Mungkin kata maaf pun nggak akan pernah cukup...

“Kamu harus menemui dia dan meminta maaf,” Donna berkata, meski dingin, tapi mampu menggetarkan seluruh hati Kalla. “Dengan itu, kamu mungkin bisa hidup lebih bahagia?”

Kalla terdiam sesenggukan.

“Bersama Kinna...”

Dan suara Donna masih tetap sedingin batu. “Thalia sudah mengikhlaskan segalanya, jangan sia-siakan itu! Jangan bodoh lagi! Cepat urus pernikahanmu dan Kinna, atau semua pengorbanan Thalia sia-sia!”

“Ma...” tangis Kalla merebak lagi, memeluk perut Donna. “Makasih... karena nggak pernah ninggalin aku... dan maaf... Mama boleh benci aku. Tapi jangan benci Kinna, ya?”

Donna hanya menatap sendu pantulan cermin. “Apa Mama pernah benci sama Kinna? Kapan?”

Kalla memaksakan senyum.

“Mama hanya...” kecewa.

Kalla tahu itu. Donna butuh banyak waktu.

“Tapi Mama janji, ya?” Kalla memohon, “Mama harus jengukin Kinna. Mama harus dateng waktu Kinna lahiran nanti. Sekarang Kinna kesepian, Ma. Sesekali jengukin Kinna, ya, Ma? Biar cucu Mama seneng. Kapanpun itu, Ma.”

Donna mendongak menatap raut penuh permohonan dari wajah Kalla.

Please...” lirih Kalla sambil meraih sebuah kertas dari meja kaca, dan menuliskan sesuatu di sana. Lalu mengulurkan pada Donna. “Kapanpun Mama mau... kapanpun itu... Ini alamat rumah aku sama Kinna, Ma. Ini rumah baru kita. Sekarang kita tinggal di sini. Mama boleh main kapanpun Mama mau. Okay?”

Donna tidak banyak bicara. Tapi akhirnya menerima secarik kertas itu.

“Ya udah, aku pergi dulu, ya, Ma?” dan satu kecupan panjang diberikan Kalla padanya.

 ***                                 

Pukul setengah tujuh malam, maserati yang dinaiki Kalla sampai ke pelataran rumah. Setelah dia mencoba mendatangi rumah Thalia, namun rumah itu sepi senyap. Akhirnya Kalla menyerah dan pulang.

Suasana rumahnya gelap saat dia turun. Lampu-lampu yang harusnya menyala terang tidak dihidupkan. Kalla jadi panik sendiri. Tidak. Tidak. Jangan bilang Kinna melakukan hal nekat lagi. Apapun itu, Kalla tidak akan memaafkannya kali ini. Dan Kalla kesetanan, berlarian ke dalam rumah. Menemukan rumah seluruhnya dalam keadaan gelap. Tapi, bagian kamarnya terdengar suara-suara gesekan kayu.

Kalla memekik, saat sadar bayangan di depannya tampak berusaha menaiki kursi tinggi. Pekikan Kalla jadi histeris. “No! No! Ki, please!” jeritnya memeluk pinggang Kinna kuat-kuat. Hampir menangis lagi.

Hanya tawa yang terdengar. “Apaan, sih?! Lepasin! Gue mau benerin lampu!”

Kalla hampir mati ketakutan.

Tentu saja Kalla marah. “Astaga, kenapa nggak nungguin gue pulang?! Ha?! Harus banget naik-naik kursi gini?!”

“Soalnya konslet, Kal, makanya mati semua!”     

 “Ya udah biarin kalo mati! Duduk-duduk aja tunggu gue pulang!” marah Kalla tanpa sadar. Segera menurunkan badan Kinna ke kasur. “Ki, please, harus berapa kali gue bilang? Ada anak gue di perut lo, ngerti?!”  

 Kinna hanya menunduk lesu. Mengamati perutnya yang sudah mulai menyembul lucu. Baby bump-nya makin hari makin menonjol. Hampir setiap hari Kalla membawa pulang dan membelikannya daster-daster ibu hamil dengan beraneka motif lucu. Sampai-sampai menumpuk di dalam kamar.

“Galak!” amuk Kinna kesal, “Apaan, sih?!”

Kalla hanya menghela napas panjang menerima kemarahan Kinna. Yang belakangan jadi sangat sensitif dan melankolis. Mudah marah jika Kalla memancing emosi. Lalu mereka akan saling menebas. Lupa kalau ada si kecil yang mendengar mereka setiap malam. Meski akhirnya berujung dengan tawa. Dan Kalla jauh lebih lega sekarang. Tidak sesakit dulu. Tidurnya jadi jauh lebih nyenyak saat malam-malam memeluk Kinna dan anak mereka di dalam perut.

Baby K, look! What’s your Mommy doing? Ck... kalau kamu udah gede nanti, bilangin tuh ke Mami kamu! Jangan suka ngelakuin apa-apa sendirian! Inget kodratnya sebagai cewek! Butuh Papi buat ngapa-ngapain!”

Kinna hanya meliriknya sekilas. Sesekali terhibur. Kalla selalu berusaha menghiburnya tiap malam. Membuatnya diam-diam selalu tertawa dan bahagia. Lupa bahwa— Kinna tahu— Kalla mungkin sedang tertimpa banyak masalah. Tapi mencoba tersenyum untuk dirinya dan calon anak mereka setiap hari. Kabar tentang pertunangannya dan Thalia yang hancur, Kinna sudah mendengarnya dari Starla. Dan itu semua karenanya...

“Masuk, yang! Biar gue yang nyalain listriknya. Sana, gih.”

Kalla bahkan belum mengganti pakaiannya saat memutuskan menaiki kursi, menggantikan Kinna. Hanya butuh sekali kejap, lampu menyala. Kinna terkekeh. Itulah hebatnya laki-laki kalau serba bisa urusan rumah tangga.

“Thanks...”

Kalla nyengir. “Itu udah tugas gue, yang! Sana, gih, masuk! Jangan capek-capek kenapa, sih? Gue, kan, udah bilang jangan ngapa-ngapain tanpa gue! Susah banget dibilangin! Untung sayang!”

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Mama Tersayang
362      276     2     
Short Story
Anya, gadis remaja yang ditinggalkan oleh ayah yang amat dicintainya, berjuang untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan. Kini, ia harus hidup berdua dengan ibu yang tak terlalu dekat dengannya. Senang atau tidak, Anya harus terus melanjutkan hidup tanpa ayah. Yang Anya tidak sadari, bukan hanya ia yang kehilangan ayahnya, ibunya pun kehilangan suami, dan teramat mencintai dia, Anya, putri satu-sa...
MASIHKAH AKU DI HATIMU?
626      409     2     
Short Story
Masih dengan Rasa yang Sama
My Halloween Girl
1010      541     4     
Short Story
Tubuh Kevan bergetar hebat. Ia frustasi dan menangis sejadi-jadinya. Ia ingat akan semalam. Mimpi gila itu membuatnya menggila. Mimpi itu yang mengantarkan Kevan pada penyesalan. Ia bertemu dengan Keisya dimimpi itu. “Kev, kau tahu? Cintaku sama besarnya denganmu. Dan aku tak akan membencimu,”. Itu adalah kata-kata terakhir Keisya dimimpinya. Keisya tak marah dengannya. Tak membencinya. Da...
Aranka
3979      1337     6     
Inspirational
Aranka lebih dari sebuah nama. Nama yang membuat iri siapa pun yang mendengarnya. Aland Aranka terlahir dengan nama tersebut, nama dari keluarga konglomerat yang sangat berkuasa. Namun siapa sangka, di balik kemasyhuran nama tersebut, tersimpan berbagai rahasia gelap...
Backstreet
1185      469     1     
Fan Fiction
A fanfiction story © All chara belongs their parents, management, and fans. Blurb: "Aku ingin kita seperti yang lain. Ke bioskop, jalan bebas di mal, atau mancing di pinggiran sungai Han." "Maaf. But, i really can't." Sepenggal kisah singkat tentang bagaimana keduanya menyembunyikan hubungan mereka. "Because my boyfie is an idol." ©October, 2020
Love Invitation
540      375     4     
Short Story
Santi and Reza met the first time at the course. By the time, Reza fall in love with Santi, but Santi never know it. Suddenly, she was invited by Reza on his birthday party. What will Reza do there? And what will happen to Santi?
Story Of Chayra
9843      2748     9     
Romance
Tentang Chayra si cewek cuek dan jutek. Sekaligus si wajah datar tanpa ekspresi. Yang hatinya berubah seperti permen nano-nano. Ketika ia bertemu dengan sosok cowok yang tidak pernah diduga. Tentang Tafila, si manusia hamble yang selalu berharap dipertemukan kembali oleh cinta masa kecilnya. Dan tentang Alditya, yang masih mengharapkan cinta Cerelia. Gadis pengidap Anstraphobia atau phobia...
Gloria
3280      1039     3     
Romance
GLORIA, berasal dari bahasa latin, berarti ambisi: keinginan, hasrat. Bagimu, aku adalah setitik noda dalam ingatan. Namun bagiku, kamu adalah segumpal kenangan pembuat tawaku.
Behind Friendship
4228      1195     9     
Romance
Lo harus siap kalau rasa sahabat ini bermetamorfosis jadi cinta. "Kalau gue cinta sama lo? Gue salah? Mencintai seseorang itu kan hak masing masing orang. Termasuk gue yang sekarang cinta sama lo," Tiga cowok most wanted dan dua cewek receh yang tergabung dalam sebuah squad bernama Squad Delight. Sudah menjadi hal biasa jika kakak kelas atau teman seangkatannya meminta nomor pon...
Golden Cage
456      256     6     
Romance
Kim Yoora, seorang gadis cantik yang merupakan anak bungsu dari pemilik restaurant terkenal di negeri ginseng Korea, baru saja lolos dari kematian yang mengancamnya. Entah keberuntungan atau justru kesialan yang menimpa Yoora setelah di selamatkan oleh seseorang yang menurutnya adalah Psycopath bermulut manis dengan nama Kafa Almi Xavier. Pria itu memang cocok untuk di panggil sebagai Psychopath...