Dua jam perjalanan mengarungi pepohonan menuju kota. Sampailah maserati yang disetir Kalla menuju daerah ibu kota. Dan sepanjang jalan, jeritan Rumi riang membahana. Ini kali pertama gadis itu ke Jakarta. Kalau orang lain, sudah pasti Kalla mengejeknya kampungan abis. Tapi ini Rumi. Kalla malah ikut senang tiap kali adik iparnya itu terbengong-bengong menatap gedung pencakar langit di sekeliling. Saling berjejeran menembus awan. Rumi bahkan nyaris melongok ke luar jendela.
Kalla tertawa juga. “Ampun, Rum, patah ntar leher lo. Turunin aja jendelanya kalau mau buka.”
“Nggak bisa cara bukanya, Mas.”
“Klik yang di bawah.”
Jeritan Rumi makin kencang. “Eh, bisa, Mas! Bisa! Aku bisa buka sendiri jendelanya!” dan ketika kaca itu turun, kepalanya segera menyembul keluar, “Huwaaa... Mbak Ki, bagus banget gedungnya! Mbak, lihat deh! Tinggi banget! Huwaaah, itu bagus menaranya! Apa itu?!”
Kalla jadi panik sendiri. “Eh, eh, Rum! Kepala lo jangan gitu! Ntar kesamber motor gimana? Rum, masuk!”
“Ih, kampungan banget sih, Rumi! Mas Kalla jadi malu! Udah, masuk!”
Rumi mencibir. Mau tak mau menutup jendela juga. “Iya, iya, emang Rumi kampungan! Nggak kayak Mbak Kinna yang udah tinggal di sini dari lama!” meski begitu, senyumnya tidak surut melirik Kalla. “Mas Kalla, terus rumah Mas yang mana? Pasti bagus banget, ya, kayak menara itu juga?! Wushh, keren banget! Rumi pengen, dong, main ke rumah Mas Kalla!”
“Hehe, mau mampir ke rumah gue, ya? Ya udah, yuk, ke sana!”
“Boleh, Mas?!”
“Iyalah, boleh!”
Tapi Kinna yang tidak setuju. “Apaan, sih?! Nggak usah, Kal! Kita mampir kosnya Rumi dulu!”
“Kenapa nggak boleh?” Rumi jadi sedih.
Kalla tetap kekeh. “Boleh! Siapa yang nggak bolehin, sih?! Nanti kenalan sama Mama gue, ya, Rum!”
“Kal—” suara Kinna melirih, “lo nggak malu bawa Rumi ke rumah lo? Ntar kalau dia malu-maluin gimana? Gue nggak mau Tante Donna ilfeel—”
Dan Kalla tidak suka jika Kinna sudah berpikir demikian. “No, yang! Please, jangan pikir aneh-aneh, deh! Pasti Mama seneng banget ketemu Rumi! Bakal dianggep anak sendiri juga! Kayak kamu gituuu!”
Kinna nyengir malu. Ini lagi. Apaan, sih? Tiba-tiba pakai aku-kamu segala. Kinna, kan, jadi meelting mendadak. Kalla memang jago memberi kejutan. Meskipun kadang lebih banyak reseknya, sih. Tapi Kinna tidak bisa mengelak, bahwa dia menyukai kegajean dan keromantisan Kalla yang aneh bin ajaib itu.
Jadi, Kinna hanya pasrah saat maserati yang dinaiki mereka mulai menembus kompleks mewah menuju rumah Kalla. Diam-diam Kinna menahan degup jantungnya. Lama tidak menemui Donna, Kinna jadi tidak sabar dan panik. Tapi, baru beberapa detik saat maserati itu mulai masuk ke dalam gerbang, kepanikannya terganti kehampaan. Saat sebuah jazz merah sudah mendarat di sana.
“Thalia here?” bisik Kinna tanpa sadar, merasakan tangan Kalla meremas jemarinya.
“It’s okay, right?” jawab Kalla berusaha setenang mungkin. Meski juga menunjukkan raut kaget yang sama. Tapi segera membantu Kinna melepaskan sabuk pengaman. “Yuk, turun dulu, Rum?” diliriknya Rumi yang masih terbengong-bengong menatap kagum rumah Kalla yang bak istana.
“I— ini rumah Mas Kalla?!” Rumi menggigit bibir, “Ya ampun, Mas, ini rumah atau istana, Mas!”
Kalla hanya terkekeh mencoba menutup kecemasannya. “Dih, istana! Emangnya presiden tinggal di istana?!”
Tapi Rumi masih terbengong-bengong, bersorak sambil menyeret-nyeret Kinna. Tidak peduli raut muka Kinna sudah sedikit masam. “Mbak Ki udah sering masuk rumah Mas Kalla, dong, ya?! Wah, beruntung banget, Mbak!”
“Ya udah, yuk! Mau masuk ke dalem?!”
“Mau, Mas! Mau! Rumi mau!”
Kinna meringis perlahan. Menatap punggung Kalla yang sudah bergerak menjauh sambil merangkul Rumi menuju pintu utama.
“Apaan, sih, Rum? Nggak usah dilepas sepatunya! Ya ampun, pake aja!”
“Tapi Mas, sepatu Rumi dari desa kotor!”
“Halah, kotor doang! Ntar juga dibersihin! Buruan, masuk!” pandangan Kalla teralih pada Kinna yang malah mematung di belakang, “why?!”
“Gue—”
“Kal! I miss you!”
Suara Kinna mulai hilang. Semakin putus asa saat tiba-tiba pintu di hadapannya terbuka. Bahkan sebelum Kalla membunyikan bel yang terhubung pada layar intercom. Thalia di sana, tersenyum cerah menyambut kedatangan mereka. Tanpa aba-aba berlarian menubruk Kalla.
“Thal—” dan Kalla mematung saat sesuatu yang kenyal dan basah menekan bibirnya. Merasakan ciuman Thalia yang sangat mendadak. Dan di hadapan Rumi?! Tanpa Kalla bisa mengelak?! Sampai lengannya yang sejak tadi merangkul Rumi dihempaskan gadis itu sendiri.
Tapi yang didengar Kalla hanyalah suara lembut Thalia dalam pelukannya. “I miss you! Where are you?! Why not answer my call?! Why, Kal?!”
Kalla mematung hampa. “Tha— Thalia?”
“Iya, ini aku, Kal. Aku nggak di Aussie lagi. Aku di sini. Kamu dari mana saja?” Thalia menatapnya nyaris menangis.
“A— aku,” Kalla melirik Kinna dan Rumi. Merasakan sendiri bagaimana pucat di wajah Kinna. Dan luka dari tatapan Rumi yang terus menjauhkan diri, “Je— jemput Cendol di Sukabumi, Thal.”
“Oh, Kinna nggak sendiri ternyata?” Thalia tersenyum menyadari kehadiran Rumi. Senyumnya merekah menatap Kinna, “adik kamu, Ki? Mirip sekali!”
Kinna tahu dirinya kacau. Tapi, tetap tersenyum. “Yes, Thal. My lil sister. Her name is Tarumi. Rumi.”
“So cute.” Thalia mengelus rambut Rumi. “Hello, Rumi. My name is Thalia.”
Dan Thalia begitu ramah. Juga sangat baik. Terus mengulurkan tangan ke arah Rumi, menanti gadis itu menyambutnya. Meski detik-detik berlalu dan Rumi tidak menyambut juga. Malah menampilkan raut kesal.
“Rumi!” pekik Kinna marah. “Ini namanya Mbak Thalia. Pa—” meski terluka, Kinna tetap harus mengatakannya. “Pacarnya Mas Kalla. Ayo salaman dulu, Rum! Nggak boleh kayak gitu! Mbak Thalia mau kenalan sama Rumi!”
Tapi yang dilakukan Rumi malah menarik-narik lengan Kinna. “Mbak, ayo pulang! Mbak Ki! Rumi nggak mau di sini!”
Kinna tidak pernah marah pada Rumi. Rumi juga tidak pernah menampilkan sisi kekanakan. Ini kali pertama Rumi jadi sangat menjengkelkan. Kinna ingin marah karena sikapnya yang tidak sopan pada Thalia.
Kalla berusaha menenangkan. “Ya udah, Rum, ayo masuk! Katanya mau lihat kolam tadi?”
Lagi-lagi Rumi melakukannya, menghempaskan tangan Kalla. “Aku udah nggak minat! Jangan pegang-pegang aku! Ayo, Mbak Ki, ngapain di sini? Pulang aja, Mbak!”
“Rumi, nggak boleh gitu!” Kinna benar-benar malu rasanya. Dirinya juga tidak enak pada Thalia yang menatap bingung di sana.
Hingga akhirnya suara Donna terdengar memekik dari dalam ruangan. Berlarian menghampirinya, membuat Kinna ingin menangis. Bahkan di saat ibunya tidak pernah mencarinya, Donna selalu mencemaskannya. Bagaimana Kinna tidak terharu? Bagaimana Kinna tidak jatuh cinta pada Kalla dan seluruh keluarganya?
“Loh, Kinna! Kamu udah pulang, sayang?!”
“Tante!” tangis Kinna hampir turun memeluk Donna. “I miss you, Tante. Huhu... I miss you!”
“Ya ampun, sayang! Tante juga kangen kamu, Ki! Kok main kabur-kaburan, sih? Untung Kalla langsung tahu dan jemput kamu, loh! Kamu itu kebiasaan, ya?! Bikin orang panik aja, Ki!”
“Maaf, Tante, ada urusan keluarga di Sukabumi! Oh, ya, terus—” tatapan Kinna teralih pada Rumi yang masih menampilkan raut dingin. “Ini adek Kinna, Tan!”
Donna menjerit riang. “Jadi, ini yang namanya Rumi itu, ya, Ki?! Ayo, masuk, Rumi sayang!”
“Ayo, Rum,” suara Kalla penuh permohonan.
Tapi yang dilakukan Rumi malah berbalik dan berlarian menuju gerbang. Sontak membuat Kinna panik dan mengejarnya. Mau tak mau Kalla mengejar juga. Tapi, Thalia menahan.
“Thal, please—”
“Kamu baru saja datang, istirahat dulu. Let Kinna take care of her own sister.”
Kalla menghela napas kasar, akhirnya berseru pada Kinna, “Ki, anter Rumi ke kosan. Gue nyusul ntar.”
Entah Kinna mendengarnya atau tidak.
***
Hal yang pertama kali dilihat Kalla ketika memasuki rumah adalah setumpuk undangan warna-warni. Kalla masih merespon apa yang terjadi. Otaknya masih terus memikirkan Rumi yang pergi tiba-tiba. Sampai dia tidak sadar, bahwa kini undangan itu benar-benar mencuri perhatiannya. Fokusnya segera terkumpul saat matanya menatap nanar tulisan di sana.
“Thal—”
“Surprise!” Thalia malah tersenyum manis menyadari keterkagetan Kalla saat mengambil undangan itu, “Do you like it, Kal?”
Tanpa sadar Kalla mengerang frustasi. Hilang sudah kecemasannya pada Rumi. Sekarang yang dia cemaskan malah undangan ini. Apa ini? Matanya segera menatap Thalia meminta kejelasan.
“What is it?”
Thalia sedikit terkesiap. “Kok kamu tanya begitu, Kal? Ya, ini, undangan pernikahan kita.”
“Apa?! Kita?!” ulang Kalla tak percaya, “kapan kita—”
Donna yang mendengar percekcokan itu hanya tertawa dari belakang punggung Kalla. “Loh, kamu itu gimana, sih, Kal? Iya, kan, kalian udah tunangan! Tinggal nikah aja! Makanya Thalia sengaja pulang cepet-cepet dari Aussie! Mau ngasih kejutan kamu! Mulai sekarang Thalia nggak bakal kemana-mana lagi!”
Kalla hanya mendengar omongan Donna bak angin lalu. Aku yang udah kemana-mana, Ma. Aku. Tapi, suaranya tak keluar. Jemarinya meremas pelan undangan di tangan. Mau tak mau menatap Thalia yang tersenyum dengan binar bahagia. Kalla bisa gila rasanya. Melihat senyuman Thalia yang tulus itu. Apakah dia berniat menghancurkannya sekarang? Apakah dia tidak punya perasaan?
“Urusan Thalia di Aussie udah kelar. Sekarang Thalia bisa nemenin kamu terus di sini. Dampingin kamu jadi istri kamu. Jadi, Mama mau pernikahan kalian dicepetin bulan depan. Gimana? Kamu pasti setuju, kan?”
“Ma, tapi aku—” Tapi aku udah nikah, Ma. Kalla menghempaskan tubuhnya lemas. Percuma dia bicara. Donna sudah berbusa-busa. Entah kenapa otaknya jadi pusing sekali?
Dan suara Donna terus mengalun. “Mama nggak mau tahu, pernikahan kamu sama Thalia dicepetin. Makanya kita bikin kejutan, ya, Thal? Semua udah hampir siap. Lima puluh persen. Jadi, pas kamu dateng. Surprise! Eh, taunya—”
Kalla masih bisu.
“Kamu tuh kenapa sih jadi loyo gini, Kal?” Donna jadi emosi sendiri. “Pulang-pulang udah bawa Kinna malah nggak semangat. Harusnya semangat gitu. Terus itu tadi adiknya si Kinna kenapa, Kal? Nanti sore coba, ya, Mama temuin Kinna? Apa masih kangen keluarganya di Sukabumi apa gimana?”
Tapi karena Kalla masih seperti patung. Donna mencubit pahanya sadis. “Heh, Mama itu ngomong, Kal!”
“Aduh! Aduh!” Kalla menjerit. “Apaan, sih?! Iya, aku ngerti, Ma!”
“Ngerti apa?! Kalau ngerti, ya, udah sana! Siap-siap lihat gedung bareng Thalia! Atau mau ikutan meeting bareng tim wedding organizer! Jeng Winda udah urus semuanya, loh, Kal! Biar Mama yang nyusul Kinna nanti!”
Kalla melotot. “Apa?!” pandangannya teralih pada Thalia yang tersenyum lembut. “Mama kamu, Thal?!”
“Yes, Kal. Mamaku juga sudah setuju. Lagipula, buat apa aku terus mencari kesibukan di luar sana? Kalau—” senyuman Thalia lembut, “kalau yang aku inginkan, sebetulnya sederhana. I just want to life with you. Be your wife and... mother of your kids... Our kids,” ralatnya.
Thalia mengatakannya dengan begitu romantis dan tulus. Harusnya Kalla merasa terharu. Tapi, nyatanya sekarang dia malah ketakutan. Juga merasa bersalah melihat senyuman tersungging di bibir Thalia. Berkali-kali meraup muka gelisah.
“Thal, kenapa kamu nggak bilang?”
Senyuman Thalia sedikit hilang. “Maksud kamu?”
“Kenapa kamu nggak bilang dulu ke aku? Kenapa kamu ngatur semuanya sesuka kamu sendiri?” meski suara Kalla nyaris hilang, akhirnya bibirnya berucap juga, “Tanpa persetujuan aku!” marahnya.
“I just want to surprise you!” kali ini tawa Thalia berubah hambar. Sadar ada yang aneh dari reaksi Kalla. “Why?! You didn’t like it? Bukankah kita memang seharusnya menikah, Kal?”
Ganti Kalla yang diam membisu. Merasakan bola mata Thalia yang menatap sendu.
“Kita sudah bertunangan. Kamu lupa?” dan Thalia mengangkat jemarinya. Menunjukkan sesuatu berkilauan yang masih melingkar di sana— yang bahkan Kalla lupa di mana menaruh cincin pertunangan mereka itu.
“Where is your ring? You didn’t wear it.”
Kalla hanya menunduk. Kembali melempar dirinya ke sofa. “Aku...”
“Where?”
Satu tarikan napas, Kalla menyelamatkan dirinya. “Aku simpen.”
***
Tidak ada yang bicara baik Kinna maupun Rumi. Sejak kemarin— lebih tepatnya sejak sampai di kos ini— Rumi lebih banyak diam. Tidak berniat mengajak Kinna bicara. Kinna sudah berusaha sebisa mungkin membujuk Rumi. Tapi percuma, adiknya itu tidak menggubris juga.
Dalam sekejap, kebahagiaan Rumi hilang. Kinna jadi menyesali kebodohannya sendiri. Melihat raut mendung di wajah Rumi sepanjang hari adalah hal yang tidak pernah Kinna bayangkan. Kinna membenci dirinya sendiri. Padahal saat berangkat kemarin Rumi sangat bahagia. Semua berubah setelah mereka ke rumah Kalla. Kinna sangat menyayangkan kenapa Rumi harus mengetahui fakta menyedihkan itu. Seharusnya, cukup dia saja yang menanggung ini.
“Rum, laper nggak? Mbak bikinin mie mau?”
Tapi tidak ada sahutan juga. Rumi hanya terus melamun di pintu kos. Tepat di samping kasurnya. Setidaknya Kinna merasa bersyukur. Kos ini bisa dibilang lebih dari cukup untuk seorang mahasiswi baru di perantauan. Kamar tidurnya nyaman. Punya dapur dan kamar mandi sendiri. Bahkan AC dan fasilitas oke lainnya. Coba Kinna disuruh membiayai sendiri. Mana sanggup Kinna membiayai kos seperti ini— yang bisa dibilang fasilitasnya jauh di atas kosnya yang lama.
Kabar baiknya lagi, Rumi menemukan banyak teman seumuran yang berada di kos ini. Akan satu kampus juga dengannya. Tadi berbondong-bondong menyapa dengan ramah. Tapi Rumi tidak peduli, bersikap dingin pada mereka semua. Mungkin, Rumi hanya butuh waktu. Kinna tahu itu.
“Rum, plase—”
“Aku nggak laper!” Rumi hanya tertawa hambar. “Buat apa, sih, sebenernya kita ikut si Kalla itu ke sini, Mbak?! Kenapa kita harus mau diatur-atur sama dia?! Pulang aja ke Sukabumi, Mbak!”
“Rum, nggak boleh gitu!”
Lama Kinna terdiam. Sampai akhirnya suara deru mobil terdengar dari luar. Kinna tidak perlu melihat untuk tahu bahwa maserati yang sangat dihapalnya itu kini sudah menyusul ke sini. Rumi— yang menyadari mobil Kalla mulai terparkir di area garasi kos— sontak bangkit menutup pintu. Berniat menghalangi Kalla yang akan masuk.
Kinna frustasi rasanya. “Rumi, please, nggak boleh gitu, Rum!”
Tapi Rumi tak peduli. Tetap akan mengunci pintu di depannya. “Orang asing dilarang masuk! Apalagi pecundang!”
Kalla yang sadar itu untuk dirinya. Otomatis memundurkan diri dari pintu. “Gue nggak boleh masuk, ya, Rum?”
“Masih nanya lagi!” Tentu saja Rumi semakin kesal. Tapi Kinna tidak menyerah.
“Rumi, please! Ini kos yang bayar Mas Kalla, ngerti? Buka, nggak!”
Mau tak mau Rumi mengalah juga. Sambil mendengus melempar diri menjauh ke atas kasur. Kalla yang berhasil masuk hanya bisa menghela napas panjang. Perlahan meletakkan plastik berisi nasi padang yang dibelinya tadi.
“Rum—”
Rumi masih pura-pura tuli.
“Rum, gue bisa jelasin! Gue mohon, Rumi!” Kalla mendesah frustasi.
“Jangan mainin Mbak Kinna!” hanya itulah yang akhirnya muncul dari mulut Rumi. “Mas Kalla mau satu level sama Kang Jamal?! Atau lebih busuk dari itu ternyata?!” sarkasnya.
Tentu saja Kalla terluka. Perlahan mendudukkan diri di lantai tepat samping kasur Rumi. “Rum, percaya sama gue. Gue nggak bakal ninggalin Mbak Kinna.”
Kinna yang mendengarnya ikut mendongak. “Kal, don’t—”
“No!” putus Kalla tanpa bisa dibantah. “Gue janji sama lo, Rum! Gue nggak bakal tinggalin Mbak Kinna! Gue bakal nikahin Mbak Kinna! Gue sumpah! Lo boleh potong jari gue kalau gue bohong, Rum—”
“Apa itu bisa dipercaya?!” tantang Rumi dingin.
“Iya, Rumi! Iya! Tapi tunggu bentar, ya, biar gue kelarin urusan gue satu per satu? Kalian yang sabar, ya? Gue cuma butuh waktu,” Kalla memaksakan senyum. “Jangan sedih lagi, ya? Gue janji! Oke! Sini janji dulu sama gue!”
“Mas Kalla janji nggak akan bohong?”
“Gue janji, Rum! Gue sayang Mbak Kinna! Gue cinta sama Mbak Kinna! Lo harus percaya sama gue!” Kalla melirik Kinna yang menatap sendu. “Apapun yang terjadi, gue bakal nikahin Mbak Kinna di depan orang tua gue, Rum! Secara sah, di mata hukum dan agama! Pegang janji gue!”
“Oke, Rumi akan pegang itu! Dan kalau sampe Mas nggak tepati, inget Mas, mungkin bukan Rumi yang ngehukum Mas nanti. Tapi hukum karma itu berlaku dari Allah. Apa yang Mas Kalla tabur, itulah yang akan Mas Kalla tuai.”
***
Sepanjang jalan macet tak terelakkan. Berkali-kali Kalla menghela napas gusar disela kegiatan menyetir. Sesekali menatap rintik-rintik hujan yang turun membasahi kaca mobil. Tidak ada suara selain bunyi lirih dari radio yang diputarnya di antara gerimis malam itu. Sementara kendaraan di sekeliling bergerak lambat. Seperti waktu yang Kalla rasakan semakin lambat.
“Are you okay?”
Suara Kinna yang memecah keheningan hanya dibalasnya dengan senyuman tipis. “Sure.”
Kinna tertawa masam. Menyadari gerak-gerik Kalla yang frustasi. Terus menyugar rambutnya. Bahkan hampir menyenggol beberapa kendaraan lain di depan. “Really?!”
Tapi akhirnya tawa Kalla pecah. “Gue pusing banget, Ndol!” kekehnya, masih mencoba bercanda. “Rumi udah benci sama gue, ya?! Goblok banget gue emang!”
“Lo nggak perlu dengerin omongan Rumi, Kal! Rumi itu cuma bocah. Jangan tanggepin omongan dia,” lirih Kinna cemas. “Please, she just kidding!”
“And you think, I’m kidding you? No!” Kalla nyaris membanting setir. “Gue bakal nikahin lo, Ki! Apapun yang terjadi!”
“Kal, please, gue nggak apa-apa!
“Gue tetep bakal ngaku ke Mama kalau kita udah nikah di Sukabumi! Gue paling nggak bisa bohongin Mama, Ki! Rumi bener, gue takut karma—” tawa Kalla masih menguar, “kita ngaku aja, ya? Apa yang udah kita lakuin. Gue takut, Ki! Gue takut dosa sama Mama! Lo tahu, gue paling nggak bisa bohong-bohong ke Mama.”
Detik berikutnya Kinna malah menahan tawa mengalihkan pandangan ke luar jendela. “Ck, Kal, Kal, lo itu nggak pernah berubah, ya? Masih aja anak Mami!”
Tentu saja Kalla kesal. “Dih, gue ngomong serius, lo malah ketawa! Kesel gue! Kebiasaan, deh!”
Tapi Kinna masih tetap tertawa. Mana bisa dia bahas hal-hal serius dengan Kalla. Kalau ujung-ujungnya mereka akan saling mengejek begini. Mana bisa juga mereka sok romantis, kalau ujung-ujungnya mereka akan tetap jadi Kalla dan Kinna yang bersahabat dari jaman bahlul.
“Gue, nih, mana pernah kenal sama ibuk gue! Mana gue takut sama ibuk. Mau bohong juga, bodo amat kali, Kal.”
“Iye, itu lo! Gue nggak nanya, Ndol!” sinis Kalla meski tersenyum juga, “tapi Mama gue itu, kan, Mama lo juga dari dulu. Mama kita.”
Kinna tersenyum. Kalla benar. Di saat dia tidak punya ibu sejak dulu. Bertahun-tahun ada Donna yang menggantikan posisi ibunya. Tapi, mana Kinna tahu apa reaksi Donna nanti. Kinna tidak mau Donna membencinya yang murahan ini.
“But, I’m afraid, Kal. If Tante Donna know this crazy things.”
Suara Kalla memotong tiba-tiba bersama dengan bunyi decit panjang maserati. Kalla melepaskan sabuk pengamannya segera. “Udah nyampe, nih. Ngomongnya ntar lagi. Ngantuk gue, Ndol.”
Kinna mengangguk. Gerimis kecil masih turun. Segera dia berlarian menyusul Kalla menuju beranda rumah. Matanya langsung tertuju pada bangunan rumah yang dipijakinya kini. Rumah ini tidak begitu besar, sih. Hanya terdiri dari satu lantai. Terletak di sebuah kompleks perumahan yang entah— tapi menurut Kinna, sejak pertama kali maserati Kalla memasuki area ini— Kinna merasa tempat ini sangat homey untuk ditinggali. Tidak seperti rumah-rumah di kompleks kebanyakan. Suasana di sini tergolong asri. Kinna merasa tenang.
Katanya, Kalla belinya buru-buru. Jadi, cuma dapat yang begini saja. Katanya cuma? Bahkan Kinna tidak bisa membeli rumah sejenis ini sekalipun. Tapi, laki-laki itu dengan santai bilang mau beli rumah. Dan keesokan harinya langsung dapat setelah Leon mencarikan sebuah rumah. Selera Leon yang sederhana, memang patut diacungi jempol.
“Sementara kita tinggal sini dulu, ya?” Kalla menarik tas Kinna, menyeret perempuan itu dari kebengongannya. “Buruan, ngapain di situ, sih, Ndol? Bengong mulu! Laler masuk! Hap! Ayo, gue mau bobok, nih, temenin!”
“Dih!” Kinna jadi sewot. Buru-buru mengatupkan mulut. Tapi segera tersadar, “kita?! Lo mau tinggal di rumah ini juga?”
Kalla ikutan sewot. “Menurut lo?! Gue suruh tidur genteng? Terus lo enak-enakan tidur sini, gitu? Gue yang beli ini rumah!”
Kinna cemberut. “I just ask! Apaan, sih?! Nggak ada romantis-romantisnya!”
“Ya, abisnya lo nanyain gitu! Iyalah, gue tidur sini! Gue, kan, suami lo!”
Kinna mencibir. “Iya! Iya!”
“Lupa gue udah nikah ama lo?” sindir Kalla kesal, meski gengsi juga mengatakannya, “ya iyalah, gue tinggal sini! Ntar kalau bini gue tinggal sendiri! Digodain orang kompleks, terus digondol gimana? Mau lo?!”
Meski omongannya tetap sadis dan menyebalkan ala Sakalla. Tapi Kinna tersentuh juga. Lumayan, ada romantisnya sedikit. Bibirnya jadi tersenyum. “Iya! Iya! Ya udah, gih!”
“Buruan bawa masuk sisa tas gue di bagasi, Ndol!”
Kinna menggerutu lagi. Kemarin saja suaminya itu sok berusaha romantis dengan memanggil-manggil ‘yang’. Tapi apa sekarang? Ujung-ujungnya memanggil sesuka hati. Seenaknya sendiri maunya!
Dan Kalla masih berteriak dari dalam rumah. “Buruan, Ndol! Ujannya makin deres, nih!”
Kinna mencak-mencak emosi. Mau tak mau mengangkat semua tas gunung Kalla dari dalam mobil. “Iya, sabar paduka Raja! Saya datang!”
***
Gerimis masih turun bahkan hingga malam menjelang. Kinna menghela napas merasakan hawa dingin yang mulai menyerang. Berkali-kali mengintip dari balik jendela. Melihat tetes demi tetes hujan turun. Sesekali kilat menyambar-nyambar. Sementara dirinya di sini. Masih berkutat membereskan rumah yang tergolong baru ini. Hanya ada beberapa perabot yang tertata. Jadi, sebagian ruang masih kosong.
Untunglah rumah ini tidak terlalu luas. Hanya rumah sederhana biasa— yang di dalamnya terdapat sebuah ruang tamu, dua kamar, dapur, dan kamar mandi. Selain itu, ya, paling halaman depannya yang cukup oke. Bisa untuk main bola dan berkebun. Sayang, masih berantakan saja. Mungkin Kinna membutuhkan waktu seharian untuk membereskan ini semua.
Tas-tas gunung Kalla yang berisi pakaian masih teronggok di lantai. Banyak sekali dan berat. Kinna ingin mengumpat rasanya melihat laki-laki itu malah asyik rebahan di sofa sambil mengganti-ganti channel TV.
“Adem-adem gini enaknya ngapain, ya, Ndol?” gumam Kalla nyengir.
Kinna hanya mendengus sebal. “Ya, beresin ini semualah! Tanya lagi! Jangan diem aja, bisa? Lo enakan tidur, gue yang beres-beres!”
“Gue tuh ngantuk, yang!” protes Kalla tak terima, kembali membenarkan kepalanya di bantalan sofa. “Lagian capek! Banyak pikiran! Udahlah, biarin aja, besok gue panggilin orang buat beres-beres!”
Kinna menendang tas Kalla. “Ya, habis, lo bawa barang segini amat, Kal? It’s too much!”
Kalla melirik tas-tas gunungnya di bawah lantai. Nyengir berdosa. Saking semangatnya dia kabur dari rumah tadi— yang berpotensi membuatnya gila karena ada Donna dan Thalia yang terus menghantui tadi. Jadi, dia angkut semua barangnya ke sini. Memutuskan mencari ketenangan.
“Asli pusing banget gue, yang!” Kalla menghela napas panjang. “Mau meledak pala gue rasanya!”
Kinna mendudukkan diri di sofa. Kalla langsung maju memindahkan kepalanya ke sana. “If you stay here... Pulang, gih, Tante Donna ntar nyariin, gimana? Masak lo baru pulang, udah langsung minggat lagi, sih, Kal? Please—”
“Biarin aja,” Kalla malah memejamkan mata.
“Ih, malah tidur lagi! Gue tampol, nih!” emosi Kinna. Tapi percuma, namanya juga Kalla. Mau digampar juga sebodoh amat. Suaminya itu tidak akan peduli. “Heh, Kal— Ya udah, ih, kalau lo capek. Jangan tidur sini. Dingin juga. Kamar, tuh. Gue beresin.”
Kalla bangkit dari tidurannya. Nyengir lagi. “Kamar?! Yuk!”
Kinna jadi menyesal mengatakannya. “Apaan, sih?! Senyumnya gitu! Nyeremin! Awas ya lo!”
***
Pagi-pagi Kinna terbangun merasakan bau nafas busuk yang menyerang mulutnya. Kinna menatap ngeri Kalla yang masih setengah tertawa. Segera menghempaskan selimut ke mukanya. Membuat Kalla nyengir tak berdosa. Kinna langsung berlarian kesal.
“Sikat gigi, anjir! Bau! Mana berisik, hape lo bunyi terus! Siapa, sih?”
Kinna menggigit bibir. Tiba-tiba membayangkan Thalia. Astaga, Kinna bisa gila rasanya Kalla kabur-kaburan tidak jelas begini. Tanpa menyelesaikan masalah. Sementara dirinya enak-enak di sini tidur dengan laki-laki itu. Kinna langsung hopeless saat menemukan setumpuk chat belum terbaca dan panggilan tidak terjawab. Masih dari Donna. Ditambah... Thalia.
“Im so hungry,” Kalla menguap lebar. “It’s time to breakfast, right. Yang, gue laper.”
Kinna malah melempar ponselnya tepat ke sebelah Kalla. “Your Mom... and your fiancee...”
Kalla hanya menghela napas panjang. Menyalakan ponselnya sendiri. Ternyata low bat. Menemukan hal yang sama di sana. Tatapannya langsung tertuju pada Kinna. Pura-pura tertawa. “Kapan kita jujur sama Mama, ya?”
Tepat saat itu jam weker berbunyi lagi. Pukul setengah delapan pagi. Melupakan semuanya, Kinna berjengit mendorong Kalla.
“Kal, Kal, jam delapan! Kita bisa telat kerja! Buruan!”
Kalla melotot, tersadar dari realita. Astaga, bisa gila dia sepagi ini. Ternyata sudah masuk jam kerja. Dan jatah cuti yang diambilnya sudah habis. Hari ini dia harus kembali masuk kerja. Mau tak mau Kinna ikut panik juga menyerobot handuk.
Kamar mandi di sana hanya satu. Dan mereka berebutan lagi. Seperti biasa. Dan selalu begitu.
“No, Kal! Gue dulu!”
“Enak aja! Gue!”
Tapi detik selanjutnya tertawa bersama. “Ih, bareng aja kalau gitu?”
“Apa, sih?! Bikin enek aja pagi-pagi!” rutuk Kinna menyambit punggung Kalla. Pada akhirnya mengalah. “Ya udah sana, buruan! Gue bikinin sarapan!”
“Oke, harus enak, yang!”
Tapi namanya juga Kinna. Apa yang diharapkan dari perempuan itu? Jadi, Kalla hanya bisa nyengir pasrah mendapati dua piring mie instan di atas meja. Menu seperti biasa. Kalau bukan gara-gara Kinna akan jadi istrinya—eh, atau sudah— Kalla pasti akan marah-marah. Jadi, dia hanya mengelus dada penuh kesabaran. Itu pun Kinna masih menjerit-jerit penuh rempong.
“Aduduuuh... matiin dong kompornya! Kal, Kal, panas! Ih!”
Kalla sendiri berlarian kaget mendapati serbet di tangan Kinna hampir terbakar api. “Huaaah! Gila! Matiin! Matiin! Yang, lo mau bakar rumah kita, iya?!”
“Aduh, sorry!”
“Udah, udah, buruan makan!” meski Kalla ingin menangis lagi, “kapan gue sehat kalau gini ceritanya? Masih mending lodehnya Rumi kemana-mana.”
“Apaan, sih, bawa-bawa Rumi?! Iya, gue emang nggak jago masak kayak Rumi!”
Meski mereka berdebat sepanjang detik, sampai Kinna berhasil menenteng tasnya menyusul Kalla keluar. Masih akan menyalakan gas motor matic-nya kalau Kalla tidak menyeretnya masuk ke mobil. Kalla, kan, jadi emosi sendiri. Buat apa berangkat sendiri-sendiri kalau tujuan mereka sama.
Tapi, di tengah-tengah jalan, Kinna merutuk lagi. Kesal sekaligus gemas.
“Iiih!”
“Apa?!”
“Ih, kan gue udah dikeluarin dari kantor! Gimana, sih?” saat akhirnya Kalla bengong menatapnya, mereka tertawa lagi. “Lo yang keluarin gue, Kal! Lo sendiri!”
“Oh, iya! Goblok!” Kalla terbahak, “ya udah, masuk lagi! Masuk! Udah gue masukin lagi lo ke kantor!”
Kinna geleng-geleng tak habis pikir. Menoyor pipi Kalla penuh sayang. Bisa-bisanya. “Hih, emang dasar aneh!”
“Ya maap, tapi sayang, kan?”
Meski mereka tertawa-tawa lagi di sepanjang lobby kantor. Pak Banu yang berjaga di lobby langsung bengong sendiri melihat Kinna datang lagi.
“Loh, Mbak Kinna bukannya udah—”
Tapi Kalla masih tertawa merangkul pundak Kinna. “Sekarang udah balik kantor lagi, Pak! Masih pagawai sini! Emang labil, ya!”
Kinna langsung nyengir malu.
Dentingan pintu lift terdengar. Jordan keluar dari sana. Mau tak mau Kinna menegang. Merasakan tatapan mata Jordan secara otomatis langsung tertuju padanya dan Kalla. Kinna mematung, tapi malah merasakan rangkulan Kalla di pundaknya makin erat.
Jordan melangkah mendekat menghampiri mereka. Senyumannya santai seperti biasa. “Hei, Ki, akhirnya lo berangkat juga,” tatapannya teralih pada Kalla, “Selamat pagi, Pak.”
Padahal Jordan tersenyum seperti biasa. Tapi Kinna merasakan luka yang luar biasa. Aneh, atau hatinya saja yang baper melihat senyuman Jordan.
“Eh, ha— hai, Jor! Iya, gue— gue balik!”
“Gue ikut seneng!” Jordan tersenyum lagi, tapi tetap terfokus pada Kalla yang menatap tajam. “Tapi, Pak Kall a, kenapa Anda masih di sini? Bu Thalia mencari Anda.”
Kalla hanya mengernyit kebingungan. Jordan mengedikkan bahu, lalu perlahan menyingkir. Sampai akhirnya mereka sampai di lantai sebelas, Kalla langsung tahu apa yang dimaksud Jordan. Thalia berdiri di sana. Tepat di depan pintu ruangannya— menggunakan name tag yang sama— dengan senyuman merekah.
“Sayang...” panggil Thalia mendekat, tanpa sadar tatapannya teralih pada Kinna, meminta penjelasan, “berangkat bareng Kinna?”
Kalla masih menatap kebingungan. “Ka... kamu di sini, Thal?”
Thalia mengangguk cerah. “Aku sekarang juga bekerja di sini. Kamu baru tahu, ya?” senyumnya makin lebar, “Surprise! Aku bakal ada di dekat kamu selama dua puluh empat jam. Kamu nggak perlu takut kehilangan aku lagi, Kal. Aku nggak akan kemana-mana lagi.”
Kalla melirik Kinna yang mematung sendu. “Oh... gitu...”
“Kamu kemana saja? Aku telpon kamu semalaman?” Thalia ikut melirik Kinna, sedikit kecewa, “Aku juga hubungin kamu, Kinna! Tapi kalian nggak ada yang menjawab telponku.”
“Maaf, Thal, semalam hape gue low bat,” Kinna menjawab lirih. “Ya udah, gue balik ke ruangan gue dulu.”
“It’s okay. Makasih, ya, sudah antar Kalla buatku,” Thalia memaksakan seulas senyum, meski Kinna tahu ada sesuatu pedih di dalam senyuman itu. Akhirnya Thalia memeluk lengan Kalla. “Mmm, ya udah. Yuk, Kal, kita ke dalam, sayang. Aku bikinin kamu sarapan.”
“Aku... udah sarapan,” mau tak mau Kalla meringis menatap Kinna yang berbalik pergi. Iya, dia sudah sarapan masakan buatan istrinya yang lain. Thalia akan sedih jika tahu. Bahkan rasa bawang goreng dari mie gosong yang dimakannya tadi masih terasa di mulut. Tapi entah kenapa Kalla mulai menyukai setiap masakan Kinna yang meninggalkan rasa kasap di mulut.
“Kamu sekarang banyak diam, ya?” Thalia tersenyum sedih. “Kenapa, sih, Kal? Ada yang salah sama aku?”
Kalla menatap Thalia sendu. “Apanya?”
“Kamu... ada apa?”
Hanya itu yang diucapkan Thalia. Tapi Kalla tidak bisa menjawabnya. Memilih melangkah masuk ke dalam ruangan. Thalia menyusulnya. Meraih sebuah rantang dalam paperbag yang ada di meja Kalla.
Kalla sedikit tersentak menyadari kondisi ruangannya yang jadi sangat rapi dan bersih entah sejak kapan. Meja dan peralatannya yang tersusun apik. Komputernya yang mengkilau. Lalu sebuah vas bunga indah yang ditata di atas meja.
Thalia tersenyum. “Waktu kamu ke Sukabumi, aku yang bersihin ruangan kamu. Kamu berantakan banget, sih, Kal. Jorok, deh. Akhirnya aku rapikan.”
Kalla menatap Thalia. Tanpa sadar tersenyum. Dan mengingat semua dosa-dosanya. Rasanya dia terlalu jahat. Thalia terlalu baik. Thalia... terlalu sempurna. Untuk dirinya yang penuh dusta.
Tanpa sadar Kalla merasakan matanya kabur. Sialan, tidak pernah dia merasa begini jahat. Padahal dulu dia biasa bermain-main dengan perempuan. Tapi, mungkin Leon benar. Karma tidak pernah main-main.
“Im sorry, Thal.”
“Maaf untuk apa? Kamu suka, kan?” Thalia tersenyum bangga, menyemprot vas bunga di meja. “Biar kamu nggak sumpek di ruangan ini.”
Kalla hanya bisa mematung kosong. Thalia jadi khawatir.
“Why?”
Kalla buru-buru menggeleng. Memaksakan senyum. Bagaimana mengatakannya. “Oh, ya, Thal, soal pernikahan kita—”
Tapi Thalia malah tersenyum riang. Membuat Kalla menciut putus asa. “Kebetulan aku juga mau membicarakan itu, Kal. Nanti siang kita ke butik, ya? Semalam aku tunggu, kamu nggak datang. Kamu bisa, kan? Aku mau pesan baju pengantin untuk pernikahan kita besok.”
Kalla semakin putus asa. “Oh...”
Thalia masih tersenyum penuh harap. “Aku mau pesan kebaya yang paling cantik dan beskap yang paling tampan buat kamu. Kamu tahu? Aku membayangkan pernikahan kita yang paling indah, Kal. Aku mau siapkan semua yang paling bagus. Aku udah nggak sabar.”
Kalla hanya memaksakan senyum. Diam-diam merasa hampir gila.
“Gimana menurut kamu? Nanti kamu bisa, kan?”
***