Read More >>"> Call Kinna (BAB 15) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Call Kinna
MENU
About Us  

Bagi Kalla, Rumi sudah seperti adiknya sendiri. Pertama kali melihatnya, Kalla bertekad akan menyayangi setulus hati. Rumi yang begitu sederhana. Berbeda dengan gadis remaja kebanyakan yang dia temui di ibu kota. Rumi boleh saja hidup dan besar di desa. Tapi, lihat saja. Ck, gadis itu benar-benar cantik dengan kulit putih susunya yang bening. Mirip seperti Kinna. Hanya saja, Rumi jauh lebih anggun dan kalem. Rumi juga rajin, pintar, dan suka bekerja keras.

Di saat Kinna bahkan belum bangun tidur, gadis itu sudah bangun dan pergi ke pasar. Kalau tidak, Kalla sering menemuinya asyik menyapu di halaman depan rumah. Kadang juga sudah berkutat di dapur. Menanak nasi dan menyiapkan teh. Waow, idaman sekali.

Kalla sering bercerita padanya setiap malam di depan ruang tamu. Rumi selalu penasaran. Bagaimana kehidupan seru di ibu kota? Jadi, Kalla menceritakan segalanya. Membuat Rumi terkagum-kagum dan ingin melihat keindahan ibu kota juga.

Kalla berjanji akan mengajak Rumi ke sana. Rumi pantas mendapatkan itu semua. Di umurnya yang sekarang, Rumi kehilangan banyak hal. Kebebasan dan kebahagiaan remaja di usianya. Kalla berpikir, akan menukarnya dengan banyak hal yang seru. Termasuk menguliahkan Rumi di Jakarta.

Kalla bersikukuh. Kinna tidak bisa menghalangi. Malamnya, Kalla mengajak Rumi pergi ke mall. Hanya karena mendengar dari cerita Kinna, Rumi jarang sekali jalan-jalan ke mall. Jadi, Kalla ngotot mengajaknya. Kalla ingin belikan banyak sekali barang untuk keperluan kuliah Rumi. Jadilah, Kinna terseret juga. Sekarang mereka di jalan menuju mall yang berada di pusat kota— yang bahkan perjalanannya memakan waktu satu jam— menggunakan mobil milik Niko.

Kalau bukan karena dipaksa, pasti Kinna menolak ajakan Kalla. Sebagai kaum pecinta rebahan, jelas Kinna lebih memilih menghabiskan waktu di rumah sambil maraton drama korea yang belum usai. Tapi, melihat Rumi yang bahagia mendengar ajakan Kalla, Kinna jelas luluh. Dan Kinna, merasa amat sangat jahat jika merusak kebahagiaan itu. Baiklah, kapan lagi mereka menghabiskan malam minggu bersantai kalau bukan sekarang?

Diam-diam Kinna tersenyum juga mendengar percakapan antara Rumi dan Kalla yang asyik sendiri.

“Rum, seneng nggak lo?”

Rumi mengangguk riang dari dudukannya di jok belakang. “Iya, Mas! Seneeeng banget tahu nggak? Mas Kalla, ini pertama kali aku naik mobil, Mas!”

Kalla hanya tertawa. Bukan tawa mengejek seperti yang sering ditujukannya pada Kinna. Tapi, tawa yang tulus. Kinna bahkan bisa merasakan arti senyuman di bibir Kalla sekarang. “Kalau gitu, kita harus sering pergi jalan-jalan? Bener, nggak?!”

Rumi kembali mengangguk. Masih terus memainkan kursi empuk di belakang. Bahkan meraba-raba atap mobil. Juga layar screen yang menempel di kursi. “Wah, beli kayak gini berapa, Mas, harganya?”

Kalla terkekeh melirik Rumi yang sekarang memencet-mencet tombol di screen. “Hihi, kenapa emang? Lo mau mobil, Rum?”

 “Heh!” teriak Kinna tanpa sadar, “jangan aneh-aneh, ya!”

“Gue beliin mobil, Rum! Tapi abis lo lulus kuliah, ya?”

“Apaan, sih?! Rumi masih kecil, nggak butuh mobil segala, Kal! Udah, lo fokus nyetir aja!”

“Ih, Mbak Kinna mah syirik aja, ih!” Rumi menggerutu, tapi akhirnya meringis juga, “Mbak Kinna bener, sih, Mas! Aku nggak butuh mobil, kok!”

“Terus lo pengennya apa, Rum? Bilang, gih,” Kalla masih tidak menyerah. Sambil tertawa menatap deretan pepohonan yang ada di kanan-kiri jalan. Lama sekali untuk sampai ke jalan raya. Untung mereka mengobrol seru, jadi jalanan tidak terasa.

“Sebenernya, Rumi cuma pengen minta satu hal sama Mas.”

Kalla melirik geli. “Apa? Bilang, dong. Gue pasti turutin semua yang lo mau, Rum.”

“Mas Kalla?”

“Iya, Rum?”

“Janji sama Rumi, ya? Jangan pernah tinggalin Mbak Kinna. Ya, Mas?”

Tawa riang Kalla mendadak berhenti. Mau tak mau Kinna hanya tesenyum hampa. Merasakan laju mobil yang mulai tidak beres. Sebentar-sebentar cepat, lalu melambat tanpa sebab.

Kinna menunduk menggigit bibir. Jangan paksain diri lo, Kal.

Dan Rumi malah menelusupkan muka polosnya ke jok depan, tersenyum riang tanpa beban. “Janji, ya, Mas?” 

Kalla baru akan menjawab, tepat saat Kinna menyahut ketus. “Nggak boleh janji-janji! Dosa!”

“Ih, aku ngomong sama Mas Kalla, kenapa Mbak Ki yang nyaut?”

Tapi Kalla tetap menyahut lantang, “Iya, gue janji, Rum!”

***

Kalla tidak pernah tahu bahwa bahagia akan sesederhana ini. Melihat kakak beradik yang diajaknya jalan-jalan ke mall malam ini tersenyum— sudah lebih cukup baginya. Betapa senangnya Rumi jalan-jalan mengitari mall— yang sumpah, bagi Kalla, mall ini tidak ada apa-apanya dengan yang sering dia kunjungi di Jakarta. Tapi, senyuman Rumi adalah segalanya. Kalla rela melakukan apapun. Bahkan memenangkan boneka di timezone demi Rumi.

“Seneng nggak, Rum?!”

“Seneng banget, Mas Kalla! Makasih, ya!”

Tapi Rumi benar-benar bahagia. Kalla tidak ingin mengusiknya. Bahkan menuruti permintaannya yang mau mengitari seisi mall. Keluar masuk satu gerai, lalu ke gerai lainnya. Sambil terus memasang muka terkagum-kagum. Meski tidak berniat membeli apapun. Gerai aksesoris, boneka, sepatu, bahkan baju-baju lucu. Kalla sudah mengatakannya, kalau Rumi ingin sesuatu, bilang saja. Namanya juga Rumi. Mau disuruh bagaimanapun, tetap menolak. Akhirnya Kalla memaksa Rumi memilih beberapa jenis tas, dan menyodorkan keranjang belanja untuk diisi seperangkat alat tulis.

“Mas Kalla, alat tulis aku masih banyak.”

“Nggak, Rum. Nggak ada penolakan. Gue nggak terima penolakan.”

“Mbak Ki,” Rumi melirik Kinna takut, “Rumi boleh—”

Dan melihat pelototan Kalla, Kinna tahu dia tidak bisa mengelak. “Iya, boleh, Rum. Pilih yang kamu bener-bener butuhin. Biar Mas Kalla yang bayar nanti.”

“Beneran?!” sorakan riang Rumi membahana ke seisi mall. Mau tak mau membuat Kalla tertawa geli. “Ya udah, Rumi beli binder baru, ya, Mas? Boleh?”

“Iya, iya, boleh! Pilih aja sesuka lo! Gue tunggu sini, ya, sama Mbak Kinna? Abis ini kita ke gelato. Katanya lo pengen banget es krim gelato.”

“Iya, mau! Mau banget, Mas! Aku udah nggak sabar makan es krim gelato yang sering aku lihat di instagram! Rasanya kayak gimana, sih?”

“Gih, pilih dulu! Abis ini langsung cus gelato, deh!”

“Ya udah, aku cepet deh pilih alat tulisnya!”

Kalla hanya tersenyum tipis saat Rumi berbalik riang menelusuri stationary shop. Saking asyiknya memandangi gadis itu, sampai tidak sadar dehaman Kinna sejak tadi.

“Ehem...” Kinna langsung sok sensi, “jangan bilang, ya, Pak Kalla naksir adik saya? Saya nggak bakal kasih restu. Langkahi dulu mayat saya.” godanya.

Kalla malah jadi ngakak. “Bisa aja lo, Ndol.”

“Loh, iya, kan? Siapa cowok yang nggak naksir sama Rumi?”

“Gue nggak, kok,” Kalla nyengir, “karena dia adek lo, artinya adek gue juga.”

Maksudnya apa, tuh? Kinna jadi salah tingkah. “Gue beli minum dulu.”

Beberapa menit kemudian ketika Kinna kembali membawa dua cup milkshake. Kalla sudah tidak ada di depan stationary shop. Kinna jadi bingung sendiri. Sesekali berdecak sebal. Ini anak kok pergi nggak bilang-bilang, sih? Kinna, kan, jadi repot sendiri. Nanti yang bayar belanjaan Rumi siapa, dong?

Kinna baru akan mengomel saat sadar ternyata Kalla hanya berpindah tempat. Beberapa jengkal dari gerai sebelumnya. Sekarang laki-laki itu kembali asyik di timezone. Sibuk memainkan mesin boneka.

“Ck, what are you doin, here? I looking for you, Kal!”

Tapi Kalla malah tersenyum santai. “Ssst... don’t disturb me, Ndol!”

“What?!” Kinna mengulurkan salah satu cup di tangannya, “Nih, minum lo!”

Tapi Kalla malah tersenyum santai. Tidak goyah sama sekali dari kegiatannya menekan tombol mesin. “Bawain dulu ngapa, sih?”

“Ish, perasaan tadi udah main gituan! Rumi juga udah dapet bonekanya! Ngapain main lagi, sih!”

“Gue mau menangin,” dan jawaban riang Kalla membuat Kinna mati kutu. “Buat lo, Ki. Mau boneka juga, nggak?”

Iya, mau. Meski hati Kinna bersorak, tapi bibirnya membisu. Bersamaan itu suara dari mesin boneka terdengar. Triiing.

“Yours.”

Kinna menatap boneka kelinci yang diulurkan Kalla. Matanya kabur. Hampir saja menangis haru. “Tha... Thanks...” suaranya bahkan tidak keluar, tapi Kinna berusaha mengumpulkannya penuh keberanian. “Kal...”

“Yes?”

“I love you.”

Yang Kinna tidak sangka, laki-laki itu akan mengejar dan berbisik. “I love you too, Ki.”

Mau tak mau Kinna berbalik, memeluknya. Tanpa sadar menangis.

“Sorry, I just realized now, I need you more than anything in this world.”

***

Semalaman Kalla benar-benar kesal setengah mati. Bagaimana tidak? Ya ampun, desa ini benar-benar. Kalla sampai kehabisan akal. Banyak pekerjaan yang harus dia handle dan deadline yang berkejaran. Harus segera dia rampungkan. Tapi, siapuh, laptop jadul Kinna tidak membantu sama sekali. Ditambah jaringan yang seperti burung. Datang dan hilang sesukanya. Kalla emosi rasanya.

Kinna yang baru keluar dari kamar mandi. Sudah rapi dengan piyama polkadotnya langsung mencak-mencak. Melihat Kalla duduk menguasai meja belajar dan laptopnya. Ya tidak masalah, sih. Tapi laki-laki itu belum pakai baju sehabis mandi. Rambutnya basah mengaliri meja.

“Ish, kebiasaan, deh!” gemas Kinna meraih handuk dari gantungan dan meraupkannya ke muka Kalla. Lalu mengeringkan rambut Kalla, “harus banget gue yang ngeringin rambut lo? Siapa gue? Mak lo?”

Tapi Kalla hanya tersenyum geli, memejamkan mata. Menikmati Kinna yang memijit-mijit kepalanya. “Siapa lo? Istri gue-lah! Ah, lembutan dikit dong.”

“Ini udah lembut, Kal.”

Kalla masih tertawa. Tanpa sadar mendongak ke atas. Menatap muka Kinna yang hanya berjarak beberapa jengkal darinya. Kalau dia maju sedikit, bibirnya pasti akan langsung menghantam bibir mungil itu.

Kinna sendiri menunduk malu. “Ih, jangan mulai!”

Rumi yang melongok ke kamar mereka jadi salah tingkah. Melihat Kalla langsung mundur beberapa langkah— saat gagal mencium Kinna tadi. Senyuman Rumi berubah malu.

“Rumi ganggu, ya? Maaf, Mas, Mbak!”

“Nggak, Rum,” jerit Kalla meski tidak berbalik sama sekali, bersembunyi dengan bantal.

Rumi hanya terkekeh, mengalihkan tatapan pada Kinna. “Oh, ya, Mbak Ki, ada tamu yang nyariin Mbak!”

“Hah, tamu?!” pekik Kinna kaget.

“Iya, tamu! Mas-mas, sih, katanya dari kota juga. Mungkin... teman kalian?”

Sontak Kalla dan Kinna berpandangan bingung.

***

Dan pertanyaan Kinna terjawab saat berlari kesetanan menuju halaman rumah. Menemukan sebuah CBR berwarna merah putih melintang terparkir kokoh. CBR yang sudah lama tidak dilihatnya. Bersama pemiliknya yang sangat dia rindukan. Rasanya, lama sekali. Kinna sampai tidak percaya. Seluruh persendiannya melemas. Tanpa sadar pertahanan Kinna hancur juga.

“Jordaaan! Jor—” tangisnya meluncur tiba-tiba, bersama isak parau kerinduan yang ditahannya. “Jordan, it’s you?!”

Yang dicarinya muncul, nyaris menangis juga. “I miss you, Ki!”

Detik di mana Jordan berlari memeluknya, Kinna tidak bisa mengelak lagi. Tangisnya turun. Malam-malam yang dihabiskannya untuk memikirkan Jordan. Apa kabar laki-laki itu sekarang? Apakah sedang bahagia? Apakah menikmati langit biru di belahan negara berbeda? Sekarang Kinna lega. Lebih dari itu, Kinna merasakan udara bebas kembali dihirupnya. Meski sesak di dada.

“I miss you, Ki! I’ve always remember you! I can’t sleep, can’t eat, can’t do anything! Just only thinking of you—”

Kinna menunduk, menahan tangisnya. Teringat kembali malam-malam yang dilaluinya tanpa Jordan. Tanpa pahlawannya. Kinna melalui banyak kesulitan.  

“Im back for you... But, I didn’t found you everywhere... I feel almost crazy!” Jordan terkekeh, “Finally, I found you! You waiting me, right?”

“Jor—” isak Kinna masih parau.

“Why are you here? Let’s back! And marry me!” lirih Jordan, “do you want to marry me, Ki? You still waiting me?”

Mau tak mau Kinna semakin menangis.

“Terakhir di bandara itu, lo janji nunggu gue? Now, here I am!” pandangan Jordan teralih pada rumah kontrakan kecil di belakang mereka, tersenyum sedih, “Let’s go away from here. Take your beautiful Rumi with us. I will loving her like my own sister.”

Dan Kinna tidak pernah berhenti mengatakannya berkali-kali. “Jordan... you’re too kind.”

Jordan terlalu baik untuk dirinya. Jordan... Kinna benar-benar menangis. Jordan tidak pantas bersamanya. Tangisnya meluncur lagi. Andai Jordan tahu dia sudah menyerah pada Kalla. Bahkan tidak mengingat janjinya pada Jordan sama sekali. Kinna menyesal? Tidak. Kinna tidak pernah menyesal memasrahkan hidup pada Kalla. Tidak pernah. Tapi, Kinna terluka mengingat Jordan. Mengingat janjinya pada Jordan. Kinna merasa berdosa melihat laki-laki itu. Tuhan, maafkanlah dirinya dan kebodohannya.

Perempuan bodoh mana yang menolak ketulusan dari laki-laki seperti Jordan— yang memberikan janji masa depan jelas. Tapi mengapa Kinna di sini, terjebak hubungan tidak jelas bersama Kalla. Bodohnya lagi, mengapa dia menyukainya dan menerimanya? Apabila Jordan datang lebih dulu sebelum Kalla, apa yang akan terjadi? Perempuan normal pasti akan langsung mengiyakan ajakan Jordan yang indah. Tapi, dia tidak normal. Kinna merasa tidak pantas lagi untuk membayangkan yang indah-indah bersama Jordan. Mungkin dulu, Kinna masih berharap mencintai Jordan. Tapi sekarang, gerbangnya sudah dia tutup rapat. Bukan. Bukan karena dia tidak bisa mencintai Jordan. Kinna yakin siapapun perempuan—pasti akan jatuh cinta pada Jordan dan kebaikannya.

Melainkan, dirinya sendiri. Dirinya yang tidak pantas untuk Jordan. Kinna harus sadar itu. Jordan harus mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik darinya.

Jadi, Kinna hanya tersenyum. Berusaha menghapus tangisnya. “Lo capek Jor, di jalan? Lo butuh istirahat. Gue siapin kamar di pondokan, ya? Maklum, rumah gue sempit. Jadi, nggak bisa buat lo juga.”

Jordan hanya mengangguk. “Thanks, Ki.”

Kinna segera berbalik. Merasakan langkahnya masih hampa. Kosong. Bahkan hingga dia mengendap-endap ke kamar. Menutup pintu rapat. Menemukan Kalla mematung di ujung gorden. Melihat semuanya. Kinna merasa, seluruh persendiannya kembali melemas.

Kalla tersenyum hambar, mengepalkan tangan kuat. “I’m sorry...”

Kinna membalas sama hambar. Sambil meraih beberapa bantal dan selimut untuk Jordan. “For what?”

“Memisahkan lo dan... Jontor kesayangan lo itu.”

Kinna tertawa menangkup pipi Kalla. “It’s not your fault,” dirinya baru akan pergi, tapi Kalla menahannya, “just wait a minute, Kal. Gue temenin Jordan dulu. Atau lo mau ikut nemuin?”

Mau tak mau Kalla melepaskan tangan Kinna. Kalau Jordan tahu dia di sini, apa yang akan laki-laki itu lakukan?

Me or him?”

“And you ask me this shitty question?!” tentu Kinna marah dan terluka, “of course... you!  I will back, okay? Don’t worry!”

Kalla tidak pernah cemburu.  Atau mungkin, dia hanya tidak pernah sadar jika sedang cemburu?

***

Jordan sudah pulang pagi-pagi sekali. Kinna merasa berdosa setiap kali mengingat penolakan yang dia berikan semalam. Dua tangannya mengangkuti dua piring berisi nasi dan lauk pauk tanpa minat. Ada nasi sayur lodeh dan tongkol. Kalau di desa, makan seperti itu sudah mahal sekali. Kalla juga mulai terbiasa menikmati makanan desa sini. Perutnya juga karet karena dia terbiasa makan apapun sebenarnya. Merasakan bau menusuk di hidungnya, membuat Kalla menyerah juga. Memberi ruang waktu pada Niko untuk diam merenungkan perbuatannya.

“Kenapa lo berdua cuma lihat-lihatan doang, sih?” Kinna mengulurkan piring di tangannya. Satu pada Niko, satu lagi pada Kalla. “Let’s breakfast.”

Niko merebut piring dari Kinna. Sebelah kakinya sudah melompat lagi satu ke jendela. “Enakan makan di pondok. Gue ke sana, ya?” matanya melirik Kalla.

“Ya udah, sih. Semalem ada Jordan... lo tahu nggak?”

“Iya, tahu, kok! Pondokan yang gue pake beda ama Jordan! Santuy! Dah, ya, gue pamit undur diri! Mau siap-siap balik ke Jakarta nyusul Jordan!” cengir Niko.

“Kayaknya kita juga? Balik ke Jakarta besok?” sahut Kalla.

“Gue udah nggak punya rumah di sana.”

Kalla sampai jengkel sendiri. Harus berapa kali dia bilang? “But, you have me... Your home... Your hubby. Don’t talking non sense.”

“Kal...” lirih Kinna terkaget. Merasakan raut serius di muka Kalla.

“Kapan gue pernah bercanda, sih, Ndol? When I’m talking to you, I love you... I talk it seriously.”  

“I love you,” potong Kinna.

Mau tak mau Kalla tertawa. “I love you too, My Cendol!perlahan Kalla menarik Kinna dalam pelukan. Suaranya hambar, “buat bawa lo ke dalam ini semua...”

Kinna menggeleng dalam pelukan Kalla. “No, you’re my superhero.”

“All the shitty that I’ve done. Gue bakal tanggung jawab, Ki,” lirih Kalla tulus, “gue... no... we... we’ve gone too far... Maksud gue, kita udah terlalu jauh, Ndol. Kita nggak bisa begini—”

“Kal!” tanpa sadar Kinna menangis, “No, it’s okay, Kal! It’s okay!   

“I will marry you! Let’s get married in real! Let’s together forever!”

Detik itu Kinna benar-benar menangis.

“So, I will marry my bestfriend,” Kalla nyaris menangis juga, “I have living with you for many years. Almost thirteen years. Gue pikir, gue nggak keberatan ngabisin sepuluh tahun lagi bareng lo. Dua puluh tahun. Tiga puluh tahun. Atau ngabisin sisa-sisa tahun di hidup gue, nggak masalah. Asal itu bareng lo— gue nggak butuh apapun lagi.”

“All the feeling that I have for other women. Gue tahu sekarang, itu cuma rasa kagum. Termasuk perasaan gue ke Thalia. Tapi gue nggak jamin bisa hidup bareng cewek sesempurna dia, seperti gue hidup bareng lo bertahun-tahun. Tahu kekurangan masing-masing. Gue nggak perlu nyari jauh-jauh buat tempat ternyaman gue.”

“Oh, sweet,” tawa Kinna menghapus air matanya. “It’s like I dreaming this morning.”

 Mau tak mau Kalla ikut tertawa kesal, “I talking seriously and you just say that?! Poor me!”

Kinna malah tersenyum-senyum. Berusaha mengalihkan tatapan dari Kalla. “So lucky I’am. Ada dua superhero ngomong hal yang sama ke gue. How lucky I am?”

“Who?!” tentu Kalla tersentak emosi.

Masih teringat dalam benak Kinna, perkataan Jordan semalam. How sweet... Sekarang dia mendapatkan yang lebih. Itu keluar dari mulut laki-laki yang dicintainya. Bagaimana Kinna tidak merasa beruntung sebagai seorang perempuan? Meski Jordan... Ah, Kinna tidak ingin mengingat jawabannya tadi pagi.

Im sorry... Kinna mengatakan itu lirih-lirih. Bahkan di saat laki-laki itu pamit akan mengendarai CBR-nya kembali ke Jakarta. Tapi, Jordan benar-benar baik. Terlalu baik malah. Hanya tersenyum tulus padanya, tidak marah sama sekali. I can still be your superhero. Hanya itulah yang Kinna dengar saat akhirnya Jordan pergi. Oh, Jordan, you just go find your happines.

“Jordan! Omongan lo persis Jordan semalem, Kal! Kenapa bisa serasi gini, sih? Kalian sehati, ya?”

“Terus lo jaweb apa?”

“No... no... I love my best friend,” kekeh Kinna pada akhirnya, merasakan Kalla menggenggam erat jemarinya. Meski matanya mulai basah lagi mengingat Jordan. “I feel bad. Really bad.”

No, you’re not,” Kalla meraih Kinna dalam pelukan. “Please, don’t cry.”

Tapi tangis Kinna malah mengencang lagi. “And Thalia... I’m a woman too... I feel really bad for her.”

Kinna merasa jahat sebagai perempuan. Sangat-sangat jahat. Mengapa dia menjadi perempuan yang harus menyakiti perempuan lainnya. Tuhan, maafkan dirinya. Mengapa dia harus ada di posisi seperti ini?

“Let’s talk with Mama! And of course Thalia?”

Kinna merasa tubuhnya mendadak tegang ketakutan. “Kal, gue nggak siap. So, please.”

“Everything will be fine, Ki. It’s not your fault. No. It’s my fault too. Our fault,” Kalla menenangkan, mengecup dahi Kinna yang berkeringat dingin. Lalu memeluk tubuhnya gemetaran. “Let’s live happily and peace.”

 

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Secret’s
3694      1222     6     
Romance
Aku sangat senang ketika naskah drama yang aku buat telah memenangkan lomba di sekolah. Dan naskah itu telah ditunjuk sebagai naskah yang akan digunakan pada acara kelulusan tahun ini, di depan wali murid dan anak-anak lainnya. Aku sering menulis diary pribadi, cerpen dan novel yang bersambung lalu memamerkannya di blog pribadiku. Anehnya, tulisan-tulisan yang aku kembangkan setelah itu justru...
The Alpha
1509      727     0     
Romance
Winda hanya anak baru kelas dua belas biasa yang tidak menarik perhatian. Satu-satunya alasan mengapa semua orang bisa mengenalinya karena Reza--teman masa kecil dan juga tetangganya yang ternyata jadi cowok populer di sekolah. Meski begitu, Winda tidak pernah ambil pusing dengan status Reza di sekolah. Tapi pada akhirnya masalah demi masalah menghampiri Winda. Ia tidak menyangka harus terjebak d...
Drama untuk Skenario Kehidupan
9431      1901     4     
Romance
Kehidupan kuliah Michelle benar-benar menjadi masa hidup terburuknya setelah keluar dari klub film fakultas. Demi melupakan kenangan-kenangan terburuknya, dia ingin fokus mengerjakan skripsi dan lulus secepatnya pada tahun terakhir kuliah. Namun, Ivan, ketua klub film fakultas baru, ingin Michelle menjadi aktris utama dalam sebuah proyek film pendek. Bayu, salah satu anggota klub film, rela menga...
Nothing Like Us
32871      4035     51     
Romance
Siapa yang akan mengira jika ada seorang gadis polos dengan lantangnya menyatakan perasaan cinta kepada sang Guru? Hal yang wajar, mungkin. Namun, bagi lelaki yang berstatus sebagai pengajar itu, semuanya sangat tidak wajar. Alih-alih mempertahankan perasaan terhadap guru tersebut, ada seseorang yang berniat merebut hatinya. Sampai pada akhirnya, terdapat dua orang sedang merencanakan s...
The Flower And The Bees
2977      1402     9     
Romance
Cerita ini hanya berkisah soal seorang gadis muda keturunan Wagner yang bersekolah di sekolah milik keluarganya. Lilian Wagner, seorang gadis yang beruntung dapat lahir dan tumbuh besar dilingkungan keluarga yang menduduki puncak hierarki perekonomian negara ini. Lika-liku kehidupannya mulai dari berteman, dipasangkan dengan putra tunggal keluarga Xavian hingga berujung jatuh cinta pada Chiv,...
Gloomy
548      356     0     
Short Story
Ketika itu, ada cerita tentang prajurit surga. Kisah soal penghianatan dari sosok ksatria Tuhan.
Gantung
627      411     0     
Romance
Tiga tahun yang lalu Rania dan Baskara hampir jadian. Well, paling tidak itulah yang Rania pikirkan akan terjadi sebelum Baskara tiba-tiba menjauhinya! Tanpa kata. Tanpa sebab. Baskara mendadak berubah menjadi sosok asing yang dingin dan tidak terjamah. Hanya kenangan-kenangan manis di bawah rintik hujan yang menjadi tali penggantung harapannya--yang digenggamnya erat sampai tangannya terasa saki...
Unforgettable
517      359     0     
Short Story
Do you believe in love destiny? That separates yet unites. Though it is reunited in the different conditions, which is not same as before. However, they finally meet.
Nina and The Rivanos
9424      2252     12     
Romance
"Apa yang lebih indah dari cinta? Jawabannya cuma satu: persaudaraan." Di tahun kedua SMA-nya, Nina harus mencari kerja untuk membayar biaya sekolah. Ia sempat kesulitan. Tapi kemudian Raka -cowok yang menyukainya sejak masuk SMA- menyarankannya bekerja di Starlit, start-up yang bergerak di bidang penulisan. Mengikuti saran Raka, Nina pun melamar posisi sebagai penulis part-time. ...
Dalam Genggaman Doltar
1579      985     9     
Short Story
Kita menciptakan robot untuk dikendalikan. Lalu apa yang membuat kita yakin bahwa kita bukanlah robot ? Nyatanya kita semua mengangguk dan berbaris sesuai perintah.