Read More >>"> Call Kinna (BAB 14) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Call Kinna
MENU
About Us  

 

“Nak Kalla, Nak Kalla, duh... Maafin Tante, ya, atuh!”

Jeritan Sukma langsung memenuhi rumah saat tahu menantu kesayangannya— yang digadang-gadang akan memberinya banyak uang itu— ternyata kedapatan makan mie instan. Tentu Sukma naik pitam. Siap membombardir Kinnanthi yang tidak pernah becus dalam segala hal.

“Heh, Kinnanthi! Kamu kasih makan apa tuh suamimu?! Nggak becus amat jadi istri!”

Kinna mendengus dari kegiatannya mencuci. Melirik sebentar pada Sukma yang berkacak pinggang. “Apaan, sih, Tante! Udah aku masakin mie juga!”

Sukma makin mencak-mencak. “Masakin mie?! Tante suruh kamu ke pasar buat beli sayuran, buah, sama ayam potong! Terus apa gunanya kamu beli itu semua kalau akhirnya kamu bikin mie instan, dodol?! Hih, gedek banget Tante sama kamu, tuh!”

“Terus Tante harapin aku masak apa?!”

“Ya, masak yang enaklah, oneng! Kamu gimana, sih?!” Sukma sedikit berbisik, “Kamu harus sering-sering nyenengin suami kaya kamu itu! Biar dia betah sama kamu, ngerti?! Tante nggak mau kehilangan ladang uang lagi!”

Kinna hanya tertawa miris mendengarnya. “Ha?! Lucu. Apa yang Tante harapin dari pernikahan aku?! Tante lupa, aku sama Kalla nggak bener-bener nikah! Pernikahan macem apa, sih? Nggak ada catetannya di hukum! Nggak ada buku nikahnya!”

“Tante nggak peduli, kamu nggak boleh ngelepasin si Kalla-Kalla itu! Kalau perlu, kamu buruan, deh, kasih momongan!”

“Aku nggak akan lakuin itu!” tegas Kinna sebelum akhirnya bangkit menyambar cuciannya pergi.

Meskipun jauh dalam hatinya, oh, Kinna sangat memimpikan itu semua. Menikahi Kalla, lalu menjadi istrinya, dan hidup bahagia bersama anak-anak mereka. Tapi sayang, Kinna di sini. Ditampar kenyataan. Bahwa Kalla hanya berusaha menolongnya. Menyelamatkannya dari Jamal. Kinna sudah cukup berhutang budi atas itu semua. Kinna harus tahu diri. Mana mungkin menuruti kegilaan Sukma untuk menjerat Kalla lebih dalam.

Meski, ya, omong kosong itu benar. Kalla sudah jadi suaminya. Meski hanya palsu. Secara sembunyi-sembunyi.

Jangan salah. Pernah mendengar laki-laki itu menyebut namanya dalam ijab kabul sudah membuat Kinna bahagia. Walau Kinna harus mengakhiri semuanya setelah ini. Karena Kalla punya dunianya sendiri, bukan bersamanya—melainkan Thalia. Tapi Kinna tetap merasa bahagia. Sebentar saja, boleh, kah? Astaga, dosakah?

Setelah selesai menjemur cucian, Kinna memutuskan kembali ke dalam rumah. Mencari-cari di mana suaminya itu berada. Keadaan ruang tengah sudah sepi. Tidak terdengar suara kasak-kusuk semut dari saluran TV jadul yang sejak pagi tadi dinyalakan Kalla.

“Kal, di mana lo?”

Kinna mendengus. Tidak menemukan Kalla di manapun. Barulah saat dia masuk ke kamar, bau sedap aroma bawang goreng langsung memenuhi penciumannya. Ternyata yang dicarinya di  sana. Asyik di pojokan kasur menyantap sepiring mie goreng dengan kipas angin menyala.

Diam-diam Kinna menahan senyum. Masih tidak percaya si kaleng itu ada di sini. Jantungnya berdesir tiap waktu. Detak demi detak. Dan Kalla tampak menggemaskan dalam posenya. Melahap mie itu seperti orang kelaparan. Suara gesekan kaca di piring terus terdengar.

“I’m still hungry, Ndol,” Kalla merengek tiba-tiba, membiarkan garpunya menggantung di mulut. “Can I get more? Atau ada makanan lagi nggak, sih?”

Kinna menggeleng pasrah.

“Terus gue makan apa?” Kalla mendumel, “Atau go food, kek.”

“Di sini susah go food. Terus warungnya Mbak Ijah lagi tutup. Nanti agak sorean gue cariin makan.”

Kalla melempar piring kotornya ke meja. Kembali tiduran, bermalas-malas ria. Lagipula apa yang bisa dia lakukan di kontrakan kecil ini. Mau main-main di luar sana? Astaga, panas juga ternyata di desa ini.

“Can I get AC? So hot. Hot. I would die anytime.”

Kinna menaikkan volume kipas angin di depan mereka. “Nih, AC. Atau lo mau AC alami, lo keluar sana. Deket air terjun.”

“Are you kidding me?”

Menghela napas pasrah, Kinna ikut mendudukkan diri di bagian kosong sebelah Kalla. Terus memperhatikan Kalla bolak-balik ke sana ke mari mengeluh kepanasan dan kelaparan. Tanpa sadar Kinna menangkup pipinya lembut.

“Lo boleh pergi dari sini, Kal.”

Kalla mendongak, “Kalau gue pergi, lo ikut?”

“Buat apa? Gue udah nggak punya apa-apa di Jakarta. Gue mau tinggal di sini sama Rumi.”

“Kalau gue nggak salah, wifey itu bakal ngikut ke manapun hubby-nya pergi.”

Kinna tertawa geli mendengar celotehan Kalla. “But, we are not that real, Kal. Don’t jokes.”

 “Oh gitu, ya?” Kalla tertawa miris mendengarnya.

“You will married Thalia isn’it?”

Tapi memang begitu, sih. Bukannya Kalla sudah bertunangan dengan Thalia? Satu bulan lalu. Bekas cincinnya dan Thalia bahkan masih hangat di tangan. Kalla hanya menyimpannya dalam gulungan tisu yang kemudian dia selipkan ke bagian bawah tas gunungnya.  

Seharusnya begitu. Seharusnya Kalla bersama Thalia sekarang. Seperti yang dikatakan Donna. Seharusnya sekarang dia menyusul Thalia ke Aussie. Tapi, Kalla ditampar kenyataan. Sekarang dia di sini. Baru saja menikahi sahabatnya. Meski bohongan, Kalla merasa harus bertanggung jawab atas kegilaan yang telah dia lakukan secara sadar itu.

“Promise me no regrets?” lirih Kinna sesak.

“Me? For what?” Kalla tertawa sumbang, “siapa yang seharusnya nyesel sama hal bodoh ini? Gue... atau lo—” suaranya menggantung.

Kinna menggeleng. Dirinya menyesal? Tidak. Kinna tidak pernah merasa menyesal menyerahkan diri pada Kalla. Bukankah itu yang dia harapkan? Bukankah dia memang menginginkan Sakalla Tanubradja?

“I’ve never regret it. This is what I want,” begitulah Kinna secara gamblang, meski air matanya nyaris jatuh juga. “And I don’t need to pretend again. Cause you already know the facts. Jadi, gue nggak harus pura-pura lagi selama belasan tahun, kan? Lo sekarang udah tahu.

“That’s fool,” dengus Kalla, “baru gue tahu sekarang, lo segoblok ini.”

Tapi Kinna tak peduli, mengabaikan rasa malunya, menangkup pipi Kalla ringkih. “I love you, Kal. I love—”

Tawa Kalla sumbang, “gue juga sayang lo, Ndol.  Cause you’re—”

“I know, Kal. I know. We are best friend, right?”

“No, you more than this. You like my sister. My twins from another mom.”

“But, I love you. Im sorry. I love you.” Kinna hanya tersenyum pasrah menerima. Sesekali meremas lembut helaian rambut Kalla. “Can you just act like a real husband? And I be your wife? Even just for a while. Bentar aja?

  Mau tak mau Kalla mendongak mendengar permohonan Kinna. “It’s okay for you?”

“It’s okay,” lirih Kinna mengecup bibir Kalla.

Kalla tidak tahu lagi di mana harus menyembunyikan rasa malunya jika akhirnya semua orang tahu. Bahwa Kalla dan Kinna berakhir menikah di sini. Dan artikel-artikel yang sering dibacanya ternyata seratus persen nyata. Kalla percaya, juga mengakuinya. Tidak ada persahabatan antara perempuan dan laki-laki yang benar-benar murni.

***

“Dude, are you crazy?! Lo sadar nggak apa yang udah lo lakuin?

Kalla hanya meringis. Tahu arah pembicaraan Niko. “Everything just happened.

“What? Tapi dude, lo itu udah punya tunangan. Bukan cowok single lagi. Ada hati yang harus lo jaga.”

“Iya, gue tahu!” Kalla nyaris menjawab dengan jeritan frustasi, “bukan mau gue kayak gini, Nik! Lo pikir gue mau terjebak ini semua?!”

Niko menahan tangis. “Ya, kenapa lo lakuin?!”

Everything just happened! Iya, gue khilaf. Gue akui itu.”

“Udahlah, jujur sama Nyokap lo! Biar Tante Dona tahu, kalau lo sama Kinna udah—”

Kalla tentu panik. Kinna sudah seperti anak angkat di keluarganya. Dona dan Tomi menganggap Kinna seperti anak sendiri. Sebagai adik sekaligus kembarannya tentu saja. Dan di mata orang tuanya, hubungan Kalla dan Kinna sebagai sahabat. Apa jadinya kalau mereka tahu apa yang diperbuatnya dan Kinna di sini? Tidak. Kalla tidak bisa membayangkannya. Dirinya dan Kinna akan dibunuh.

 “Please, Nik.”

Niko menghela napas panjang. “I think, you loved her. You loved Kinna. Not Thalia.

     ***

Sayup-sayup lirih terdengar dari layar TV jadul yang diputar di ruang tengah itu. Sambil menyesap kopi panasnya, Kalla diam-diam melirik Kinna yang asyik rebahan di sampingnya. Sesekali tertawa kecil mendengar hiburan dari layar kresek-kresek TV itu— yang ampun, deh, sudah memunculkan semut-semut kecil di sana. Bagaimana bisa Kalla menikmatinya?

Menghela napas panjang, tatapan Kalla teralih pada Sukma yang asyik menjahit. Sementara Rumi yang sangat rajin itu sibuk melipat baju hasil jemuran. Semakin lama mengenal Rumi, Kalla jadi semakin yakin apa yang dikatakan Kinna memang benar. Lihat saja kakak beradik itu memang sangat berbeda. Rumi yang anggun dan lemah lembut. Sedangkan Kinna? Jangan tanya!

“Nak Kalla! Nak Kalla! Gimana? Kamu betah di sini?!” suara Sukma menggema riang.

Refleks Kalla hanya nyengir. “Lumayan, Tan!” padahal dalam hati, mah. Beuh, betah apanya?! Kalla bisa mati digigiti nyamuk di sini. Tapi... diliriknya Kinna. Kalau istrinya itu jadi lebih penurut, bisa dibicarakan baik-baik.

Kinna buru-buru menunduk menyadari tatapan Kalla. Sejak kepergok Niko pagi tadi, Kinna jadi malu sendiri. Astaga, entah apa yang dipikirkan Niko sekarang. Jadi, Kinna memutuskan sedikit menjaga jarak dari Kalla.

“Kenapa lo?” lirik Kalla menyadari Kinna yang terus bergeser darinya.

Kinna menggeleng kaku. “Kenapa emang?”

“Diem aja dari pagi,” Kalla mulai kesal, “berasa hidup sama patung.”

 “Ha?”

Rumi yang kebetulan melihat kakaknya salah tingkah hanya tersenyum geli. Masih sambil melipat baju-baju, dirayunya Kalla.

“Mas Kalla pernah ke pasar malem belum?”

Kalla mengernyit. “Pasar malem? Yang ada komedi puternya gitu?”

Rumi mengangguk antusias. “Iya, Mas. Di sini lagi ada pasar malem, loh. Kecil, sih. Tapi nggak kalah bagus sama yang di kota-kota gitu. Mau lihat nggak?”

“Mau!”

Kinna yang mendengar jeritan Kalla jadi meringis. “Apaan, sih?! Pasar malem jelek aja diliat.”

“Ih, Mbak Ki kok gitu, sih, bilangnya? Emang Mbak udah ke pernah ke sana lagi? Belum, kan? Terakhir Mbak Ki ke pasar malem pas masih SMA. Sekarang udah makin bagus, Mbak. Liat aja kalau nggak percaya.”

Kinna tetap mengelak omongan Rumi. “Ya, paling nggak ada beda. Mau dibagusin apanya, sih?”

“Ah, Mbak Ki, mah, nggak mau liat kemajuan kampung sendiri!”

“Gue mau ke sana! Titik!” putus Kalla seenaknya, bangkit dari dulu. “Ayolah, Ndol, please. Masak gue di sini mau lihat TV jadul lo ini mulu?!”

Kinna memasang wajah cemberut. Malas sekali ke pasar malam. Mau apa coba di sana? Seperti bocah saja. 

Sukma yang curi dengar, tentu ikutan kompor. Kinna ingin meledak rasanya. “Apa?! Nak Kalla mau ke pasar malem?! Sok atuh, sana pergi! Biar Tante sama Rumi yang jaga rumah! Hehe, sana cepet pergi! Atau kamu nggak dapet jatah makan sebulan!”

“Ih,” Kinna nyengir. Mau tak mau bangkit juga menuruti perintah Sukma.

Hanya butuh lima menit, Kinna sudah rapi dengan setelan celana dan jaket jeans panjang andalannya. Kalla yang baru memakai sepatu mendongak melihat tampilan Kinna yang baru dia sadari— berubah lagi seperti dulu. Tanpa sadar Kalla tersenyum.

“Ndol?”

“Apa?” 

Tawa Kalla penuh sindiran. “Balik lagi lo?”

Kinna menatap pantulan dirinya di cermin. Muka tanpa polesan make up. Rambut pendek dikuncir berantakan. Jeans kumal yang jarang dicucinya. Oh, Kinna lupa bahwa dia sempat jadi princess dadakan. Tapi sekarang Kinna sudah melupakannya.

“Loh, gue, kan, emang gini. Salah, ya?”

Kalla mengedikkan bahu santai. “Gue belum pernah bilang, ya?”

Kinna mengernyit.

“Yang namanya Anggun cantik juga.”

Tahu-tahu pipi Kinna memerah juga. Meski begitu, pura-pura tidak peduli. Segera meninggalkan Kalla di belakangnya. Di ruang tengah lagi-lagi berpapasan dengan Rumi. Pelototan adiknya itu langsung membuat Kinna jengkel.

“Mbak Ki apaan, sih? Kok pakek kayak gini?” Rumi berdecak, “Ini baru aku ambilin dress punya Mbak yang nyelip di lemariku,” cengirannya muncul, “Hehe, maaf ya, Mas, dress-nya Mbak Kinna itu cuma satu. Jadi, maaf kalau jelek. Nggak sesuai seleranya Mas Kalla.”

 Kalau dalam keadaan normal, Kalla pasti sudah tertawa mengejek Kinna. Ya, iyalah cuma satu. Secara Kinna itu tomboy abis. Kalla juga tahu semua koleksi bajunya hitam mirip rocker. Kalaupun Kinna punya dress, itu pasti bukan dia sendiri yang minta. Pasti ada orang yang membelikannya. Sekarang Kalla tahu, itu pasti Rumi.

Dan sindiran Rumi kencang. “Mbak, ganti, dong! Masa perginya pake baju preman, sih? Ntar pengunjung lain pada takut, loh!”

Kinna naik pitam. “Jadi menurut lo gue ini kayak preman, Rum?”

“Ya masa—” Rumi melirik Kalla gemas, “mau kencan sama suaminya nggak cakep, sih, Mbak? Mas Kalla-nya udah wangi gini.”

Sontak Kinna jadi malu. “Apaan, sih?” kepalanya menunduk, “lagian gue... emang sering begini di depan dia, tuh!”

Tapi Kalla tak peduli, dirinya sudah jatuh hati pada dress yang dibawa Rumi. Dress biasa yang sederhana. Terbuat dari kain katun warna putih gading. Tampak manis dengan pita di bagian leher dan rumbai di sekitar lengan. Tanpa sadar diambilnya dress itu.

Diam-diam tertawa miris. Kalla jadi ingat setumpuk kaos hitam dan celana jeans yang sering dikadokannya pada Kinna saat ulang tahun. Baru sadar jika selama ini dia keterlaluan. Karena hanya pernah membelikan perempuan itu baju-baju khas cowok. Tanpa pernah memikirkan bahwa Kinna tetaplah perempuan. Sekarang Kalla baru sadar keinginan bodohnya. Kalla ingin melihat Kinna memakainya.

Tanpa sadar diserahkannya dress itu ke Kinna. “Pake, Ndol.”

Bola mata Kinna membulat.

Kalla mengedikkan bahu. “I just want....

Kinna ingin memusuh saja. Terutama saat Rumi bersorak bahagia. Dan binar di mata Kalla bicara hal sama. Kinna tidak pernah melihat Kalla menatapnya begitu ingin. Seolah benar-benar berharap Kinna melakukannya.

Lalu di sinilah dia berada, mengganti jeans di tubuhnya dengan dress manis itu. Meski setengah hatinya mual saja. Ingin mengubur ‘Anggun’ yang murahan itu secara mengenaskan. Tapi sekarang dia melakukannya untuk Kalla. ‘Suaminya sendiri’. Bukan untuk mencari cuan haram.

Beberapa menit kemudian, barulah Kinna memberanikan diri kembali ke hadapan Kalla.

Kalla— yang baru duduk menunggu di teras depan jadi tersentak kaget. Melihat Kinna berdiri di hadapannya. Kali ini sudah rapi dengan dress yang diambilkan Rumi tadi. Sangat pas di tubuhnya yang mungil. Semakin imut saat sebuah pita merah kecil terikat di rambut belakangnya.

Mati-matian Kalla menahan senyum. Dirinya yang memang bodoh atau apa? Baru menyadari kecantikan Kinna— yang dalam balutan dress anggun ini, tampak begitu manis. Kemana dia selama ini? Mengapa Kalla baru menyadarinya? Bahwa Kinna tidak kalah cantik dengan pacar-pacarnya— termasuk Thalia— walau hanya dalam balutan dress sederhan dan polesan lipgloss tipis.

“Apa, sih? Aneh ya gue?” dumel Kinna tidak suka.

Tapi Kalla tersenyum lagi. Pura-pura sibuk membersihkan helm usang milik Dimas di tangannya. “Nggak perlu dandan mahal-mahal  kalau gini aja udah cukup. Iya, nggak?”

“Maksud—”

“You are so cute,” Kalla menyahut cepat membuat Kinna mematung seketika.

Dimas menyusul sambil berceramah kesal. “Heh, anak kota!”

Sukma menyambar dari belakang. “Anak kota! Anak kota! Namanya itu Kalla, Dim! Menantu elo! Gimana, sih?! Panggil menantu aja nggak becus, dih!” cengirannya muncul, “Ehehe, maaf, ya, Nak Kalla! Bapak mertuamu itu ya ndeso!

Dimas buru-buru meralat. “Ya udah, iye! Eh, Kal, itu motor gua, ya! Mahal! Jangan lu rusakin! Gua kagak bisa beli lagi, ngerti?!” ancamnya.

“Halah, rusakin aja, Nak Kalla, ya! Tapi kamu nanti bakal beliin lagi yang baru dan lebih canggih, kan?”

“Tante!” Kinna semakin kesal pada tantenya itu.

Tapi Kalla tak peduli. Dengan cuek naik ke atas motor honda keluaran lama yang sudah sangat jadul di depannya. Milik Dimas. Katanya, mau dijual sayang. Karena pasti Dimas tidak punya uang lagi untuk membeli yang baru. Kalla baru akan menyalakan gas, tapi motor itu sudah mengeluarkan kepulan asap tebal dari knalpotnya yang berisik.

“Kal, serius?pekik Kinna ragu.

Kalla malah tertawa mengaitkan tali helm mangkuk yang dipakainya. “It’s okay, Ndol. Buruan naik,dan Kinna baru akan menaikkan sebelah kakinya, tapi ditahan lagi oleh Kalla. “Are you crazy?!”

“Kenapa?”

Kalla memukul jidat Kinna gemas. “Ya kali, lo mau ngangkang boncengnya? Miring dong, Ndol! Kasihan dress lo! Udah cantik-cantik juga.”

“Apa lo bilang?!” pipi Kinna memerah.

Sontak Kinna meremas helm di tangannya. Kalla juga pura-pura sibuk dengan gas motor. Hening beberapa saat di antara mereka. Sampai Kinna sadar Kalla terus berusaha mencuri pandang padanya. Dan Kinna benar-benar malu rasanya. Ada yang aneh rasanya dalam ‘persahabatan’ mereka sekarang. Setiap kali bertatapan, baik dirinya ataupun Kalla akan berujung salah tingkah satu sama lain.

Mau tak mau Kinna akan mengingat semuanya. Malam-malam yang mereka lalui. Terus bertanya pada diri sendiri. Apa sahabat pantas melakukan ini? Sahabat, katanya? Tapi mereka habiskan malam bersama?

Kalla berdeham. “Udah belum, Ndol? Lama, deh, kebiasaan.”

“Iya, iya, ini gue—” Kinna meringis. “Gue miring. Bener, nggak berat?”

“Nggak, kok. Miring aja. Iya, gitu.”

Lalu yang dirasakan Kinna adalah dirinya yang bergerak seperti patung. Mematuhi setiap perintah Kalla. Duduk di belakang boncengan laki-laki itu dalam posisi miring. Kemudian angin dingin pegunungan berhembus seiring dengan motor yang perlahan melaju. Dari yang lambat seperti siput sampai secepat roket. Kinna bisa merasakan tubuhnya nyaris oleng ke sana-ke mari. Bahkan hampir terjerembab jatuh kalau tidak buru-buru menarik jaket Kalla.

Astaga, maki Kinna dalam hati saat akhirnya pasrah. Kalla tertawa puas merasakan pegangan Kinna di pinggangnya. Dan sekelilingnya hitam pekat nan gelap. Pohon-pohon menjulang tinggi. Jalan berkelak-kelok sepi. Hanya sedikit lampu yang menyala. Jaraknya nyaris beberapa km satu sama lain. Tapi Kalla menikmati betapa serunya perjalanan malam mereka.

“Serem juga desa lo malem gini!

Kinna berteriak mengalahkan angin dan pepohonan. “Makanya gue bilang, jangan ngebut, anjir! Samping gue jurang! Lo mau lempar gue ke sana, Kal, iya?!”

Tapi Kalla malah tertawa. “You like it?!”

“What?! Jatoh ke jurang?! Sinting, lo!”

“Jatohnya bareng gue?” ralat Kalla. “Mau?”

Kinna meringis malu di belakangnya. Senyuman Kalla tertahan. Seumur hidupnya, baru Kalla menyadari, Kinna bisa tersipu juga. Pipinya akan memerah lucu. Ditambah tampilannya yang tampak imut dengan dress dan pitanya. Hari ini Kalla merasakan sendiri bagaimana dia menatap Kinna dengan cara berbeda.

“Ih, gue tabok, nih, kalau lo masih ngebut!”

Okay, okay, Ndol.”

Tawa Kalla mengudara. Tanpa sadar meraih tangan Kinna dari pinggangnya dan meremasnya kuat-kuat. Membuat Kinna jadi mematung tanpa suara. Lalu dikirimkannya kecupan-kecupan ringan ke punggung tangan Kinna.

“Kal... you wanna die?” bisik Kinna gugup.

Tapi Kalla tidak peduli. Terus menciumi tangan Kinna. Yang Kinna rasakan selanjutnya adalah, dirinya yang ikut memeluk punggung laki-laki itu kuat. Menyenderkan kepalanya di sana. Menikmati angin sepoi-sepoi dalam pelukannya. Dan Kalla juga sama, tidak melepaskan tangan Kinna sama sekali. Kinna merasa beban hidupnya terangkat seketika bersama Kalla.

Malam ini semesta mendapati, baik dirinya atau Kalla seperti terlahir kembali, untuk saling jatuh cinta.

***  

Bagi Kinna, tidak ada yang berkesan sama sekali dengan pasar malam ini. Kata Rumi, ada banyak peningkatan dan perombakan. Tapi toh, tidak ada beda bagi Kinna— yang sudah merasakan hidup sepuluh tahun lebih di Jakarta. Pasar malam ini kalah jauuuh dengan wahana seru di Dufan dan Ancol.

Ya, jelaslah! Secara ini hanya pasar malam kecil biasa. Malah lebih bagus pasar di Alun-Alun Jogja tempat budenya dulu. Tapi, Kinna harus menghargai suatu kemajuan di desanya. Dan setelah dia amati, ada satu tambahan wahana di sini. Dulu tidak ada bianglala, sekarang ada. Permainan lainnya seperti komedi putar, ombak banyu, tong setan, dan kora-kora masih eksis.

Not bad. Buat ukuran desa di gunung, ini bagus juga pasar malemnya, Ndol. Tahu gitu, kita ajak Niko. Demen pasti tuh anak.”

Kinna mencibir. “Nyindir lo?”

Kalla menggeleng geli. “Kenapa setiap gue muji, lo selalu bilang ini sarkasme dan sindiran. Why My Cendol? Your  tiny mouth is…”

Kinna baru akan menabok Kalla saat dia sadar, tangannya masih berada dalam gandengan erat laki-laki itu. Kalla juga tidak ingin melepasnya sama sekali.

“Nanti lo ilang, rame banget, Ndol.”

“Ih, emang gue anak kecil,” tapi, pipi Kinna memerah. Kalla mencubitnya gemas. “Argh, sakit! Anjir, lo mau gue lempar, iya?!”

Kalla malah menyeretnya menuju kerumunan. “Ayo naik kora-kora, Ndol!”

Kinna memekik. “What?! No way! Gue maunya bianglala!”

Sayangnya, Kinna benar-benar berakhir di sini. Di atas kora-kora yang melaju kencang. Bergoyang dari kanan ke kiri super kencang. Dan tawanya melengking puas. Berbanding terbalik dengan si pengajak yang malah tepar di tengah permainan.

“Ndol, gue takuuut!” dan jeritan Kalla terdengar sepanjang laju kora-kora, terus memeluk lengannya dan bersembunyi di ketek Kinna.

“Apaan, sih?! Gini aja takut!” tawa Kinna mengejek. “Kal! Kal! Seru bangettt, tahu! Ih, apaan, sih?! Jangan pegang-pegang gue! Enjoy, dong!”

Enjoy! Enjoy! Pala lu enjoy!”

Kalla ingin menyumpah saja rasanya. Beruntung setelah beberapa kali putaran, kora-kora itu berhenti juga. Meski naas, harus mendapati dirinya limbung dan lemas seperti jelly. Memuntahkan seluruh isi perutnya. Dan Kinna tidak menyerah, terlanjur kepalang, excited pada pasar malam kecil ini. Lumayan juga, pikirnya. Wahana selanjutnya mereka naiki komedi putar.

“Kal! Kal, nengok bentar—” Kalla menoleh, dan Kinna buru-buru mengarahkan ponselnya, Nah, cute!”

Sontak Kalla melotot, “Anjir, lo poto gue, Ndol?! Bilang, dong! Gue kan bisa pose dulu!”

Tapi Kinna malah tertawa puas. Melihat hasil jepretan di ponselnya. Mata Kalla yang membelo bundar dan asyik makan arum manis. Ya ampun, lucu sekali. Seperti bocah saja. Ah, tapi kan mereka memang di pasar malam. Kinna sampai lupa.

Turun dari komedi putar, Kalla memusatkan perhatian pada lapak-lapak penjual di sana. Ramai penuh sesak oleh pengunjung. Ada yang berjualan sandal dan sepatu, ember, peralatan dapur segala macam. Bahkan berbagai jenis makanan seperti martabak dan bolang-baling. Tapi satu yang paling menarik Kalla, melihat lapak aksesoris dan pernak-pernik lucu khas perempuan di salah satu sudut.

“Lucu,” gumamnya tanpa sadar menarik perhatian Kinna.

Kinna yang sekarang sibuk memakan es potong jadul mendongak bingung. Cemong bekas coklat di sekitar bibirnya. “Apa?”

Kalla tertawa ngakak, “noh, muka lo kek badut!”

“Ih, nggak!”

“Iya, itu, tuh! Coklat di muka lo, Ndol! Buset, kek bocah aja!”

“Ih! Bawel lo!”

Kinna menggerutu sebal, baru akan mencari tisu, saat tahu-tahu jemari Kalla mengusap bibirnya lembut. Bantu membersihkan sisa coklat di sana. “Tuh, udah.”

“Kal?”

“Hmm?” tapi Kalla tidak peduli, malah menyeret Kinna menuju lapak aksesoris yang diamatinya sejak tadi itu. “Wait...”

Kalla juga tidak tahu mengapa tiba-tiba dia ingin. Jemarinya sibuk memilih beberapa jepitan lucu dari kotak. Lalu menemukan sepasang jepitan berpita manis dari sana, menunjukkannya pada si penjual.

“Berapa harganya, Mbak?”

“Lima ribu, Mas.”

“Oh, beli dua, deh.”

 Kinna masih mematung saat Kalla membayar jepitan itu, mengulurkan selembar sepuluh ribuan pada si penjual. 

“Hei, Ndol,” bisiknya lirih, “buat lo,” diulurkan dua pasang jepitan itu pada Kinna.

“Buat gue? Je— jepet?” tanya Kinna menahan haru tak percaya. Ya Tuhan, ini jepet rambut sungguhan? Benda untuk perempuan? Kalla membelikan untuknya. Kinna nyaris saja menangis. Apa ini mimpi?

Dan tawa Kalla mengejek. “Ya, iyalah jepitan! Lo pikir tamiya?!”

Kinna menghapus embun di matanya jengkel. Tapi kemudian tertawa. “Apaan, sih?! Jauh banget jepitan ama tamiya! Nggak nyambung lo!”

“Lama, deh, sini gue pakein,” dan Kinna hanya pasrah saat Kalla merebut jepitan itu kembali. Mulai merapikan rambut Kinna, menyisirinya ke belakang dengan jemarinya. Lalu memasangkan jepitan pita itu di sana. Senyum Kalla puas, “so cute.”

Dan Kinna hanya bisa mematung. “Nggak... Nggak salah lo?” suaranya gemetaran, meraba pita itu. “Gue aneh, nggak?”

“Cantik.”

Tidak sampai di situ, Kalla bahkan menyeretnya menuju sebuah lapak pakaian. Asyik memilah-milah sekumpulan dress sederhana bergambar bunga-bunga dari keranjang penjual. Kinna tidak bisa lagi menahan harunya saat Kalla menempelkan dress itu ke tubuhnya. Sibuk mencari-cari yang pas untuknya. Satu tidak cocok, dia ganti lagi yang baru.

“Suka yang mana?” dilemparnya sebuah dress pada Kinna, lalu kembali mengobrak-abrik isi keranjang.

“For me?!”

Muka Kalla berubah galak. “Iyalah! Masak buat gue? Lo mau gue jadi banci?!”

Kinna hanya tersenyum malu sebelum akhirnya menunjuk salah satu dress. “I want this, Kal...” lirihnya, “But, the other one is cute.”

Kalla berdecak, mengambil kesimpulan sendiri. “So you like it all?” mau tak mau Kinna mengangguk pelan. Takut kalau Kalla hanya mengerjainya saja. Lalu merebut dress-nya dan menyerahkan kembali pada si penjual. Dan suami sirinya itu akan tertawa puas karena merasa berhasil mengerjainya yang polos dan bodoh.

Tapi menit-menit berlalu. Kinna masih terus memeluk bungkusan berharga itu di tangannya. Kalla bahkan tidak berniat merebutnya kembali. Asyik membeli sosis bakar di salah satu stand. Tangis haru Kinna runtuh juga menatapnya.

“You’re crying?! But, why?!” ledek Kalla sambil melahap sosisnya.

Kinna nyengir malu. “Ya, nggaklah! Kelilipan. Anjir, anginnya gede banget, ya, Kal?”

“Masak, sih?”

Kinna mengangguk-angguk. Coba menggosok matanya yang merah dan basah. Tapi tidak kering juga. “Why you giving me this dress? You always told, that dress doesn’t suit me. Cause Im really like a man. But, now...”

Kalla mendengarnya. Diam-diam merasa tertampar. Sosis yang nyaris dilahapnya jadi dingin. Mengapa? Kalla tidak tahu. Kalla hanya— tiba-tiba ingin— membelikan perempuan itu pakaian yang layak. Pakaian yang setidaknya sesuai dengan garisnya sebagai perempuan. Dan Kalla diam-diam menyesalinya juga. Dirinya yang dulu, tidak berminat membelikan Kinna kado seperti pacar-pacarnya.

Dress-dress cantik, boneka-boneka lucu, atau aksesoris dan flatshoes manis berpita. Kalla hanya tertawa getir, terus menyesalinya sekarang.

“Im sorry...” sesalnya melihat binar bahagia di mata Kinna saat menerima dress itu, “I just... don’t know, if you like that. Im sorry, Ndol...” karena Kalla tidak pernah tahu bahwa Kinna akan sesenang ini mendapat dress pertamanya dari Kalla.

Dan Kinna hanya menunduk terus meremas kantong dress itu.

“You like it?goda Kalla, ikut bahagia juga, membuat senyum Kinna makin lebar, “Gue beliin dress buat istri gue. Nggak salah, kan? Istri gue cewek soalnya. Masak cowok? Homo, dong!”

Sekarang tawa Kinna melengking puas. Jengkel dan kesal jadi satu. “Ih, apaan, sih? Maksa banget lawakan lo! Garing tahu, Kal! Garing!”   

“Tapi lo suka, kan?!”

Mau tak mau Kinna mengangguk riang. “I like it! Really really like it!”

Suara Kalla berubah menjadi bisikan. “I will do everything for my wife’s happiness.”

Meski dia hanya istri bohongan? Kinna bertanya dalam hati. Tapi hatinya tidak sampai. Dan dirinya... terlalu bahagia untuk merusaknya. Jadi, untuk apa?

“So kiss me?” pinta Kalla sedikit menunduk menyamai tubuh Kinna yang pendek, “kiss your hubby?”

Kinna meringis malu. Ah, laki-laki ini. Tapi segera mengecup bibir Kalla di hadapannya. “Thank you.”

Kalla mengangguk. Balas mencium bibir Kinna dengan sedikit lumatan. “So promise me?”

“For what?”

“For wearing this beautiful dress tomorrow?” Kalla tertawa geli mendengar permintaan konyolnya, “cause I want to see my wife wearing the dress I gave. And...”

“And?” tanya Kinna ikut geli sendiri.

“Be ‘Anggun’... just for me?  Gue mau lo jadi ‘Anggun’ cuma buat gue, Ki. Bisa?

Ah, bodoh. Kalla memaki dirinya sendiri dalam hati. Menyadari ekspresi kaget Kinna saat mendengar permintaan konyolnya. Tanpa sadar membuat Kalla jadi malu sendiri. Ah, sialan. Sialan. Makinya terus-menerus. Tapi terlanjur kepalang, Kinna mendengar semuanya. Dan malah tersenyum.

“Of course. I will do everything for my hubby.”

Akhirnya Kalla tersenyum juga. Baru menyadari obrolan mereka sekarang jadi sedikit berbeda. Bukan lagi ejek mengejek seperti dulu. Bukan lagi Kalla yang menebar peperangan, lalu Kinna yang balas mengajak baku hantam. Bukan lagi Kalla yang mengejek Kinna tidak laku, lalu Kinna akan menyumpahi pacar-pacar Kalla. Bukan lagi Kalla yang mengejek Kinna es cendol, lalu Kinna balas memanggilnya kaleng busuk.

Melainkan, obrolan dua orang dewasa yang mungkin saja sedang jatuh cinta.

***

Suara debur ombak terdengar makin keras saat langkah kaki Kalla mulai memasuki bibir sebuah pantai. Pulang dari pasar malam tadi, Kinna langsung ambruk. Terbang tinggi ke alam mimpi begitu menyentuh kasur. Mumpung Kalla punya pinjaman motor— milik Dimas tentu saja— akhirnya dia pergi sendiri.

Sekarang di sinilah Kalla berada. Sendirian di tepi pantai. Oh, tidak juga, sih. Ada beberapa tenda perkemahan di sekelilingnya dengan api unggun yang menyala. Tapi Kalla memilih mengambil jarak agak jauh. Ingin tenang sendirian. Dirinya pun duduk di atas bebatuan. Mulai menyalakan sepuntung rokok dan asyik merenung. Diam-diam mengagumi keindahan alam di sekelilingnya. Meski gelap sekali, Kalla tahu pantai ini memang benar-benar bagus. Mungkin Kalla harus sering-sering meminjam motor Dimas untuk menjelajahi desa. Biar dia tidak mati kebosanan di sini.

Bosan? Ah, sebenarnya tidak juga. Justru Kalla merasa— entahlah— beberapa hari ini, dirinya lebih hidup. Tanpa sadar senyumnya terbit. Sebenarnya apa yang dilakukannya di sini. Apa? Menikmati pemandangan cantik Kinna mengenakan dress manisnya, begitu?

Bagaimana Kalla mengatakannya? Bahwa dia mulai menyukai itu. Menyukai Kinna dan segala feminisme yang tersembunyi dalam dirinya. Bahkan ingin melihatnya berdandan setiap hari untuknya seorang. Dan mulai marah jika laki-laki lain mencuri perhatian pada si Cendol, seperti saat di pasar malam tadi.

 Astaga, ada apa dengan dirinya? Kalla mulai tidak waras. Ponselnya berdering tiba-tiba. Menyampaikan chat dari Niko yang bilang dia sudah on the way ke sini. Dan satu pesan lainnya...

My Thal

Where are you?

Why reject my call?

Are you ok?

Status: Online. One minutes ago

Kalla buru-buru mematikan ponselnya. Menyimpannya kembali dalam saku. Hembusan napasnya panjang. Perlahan direbahkannya tubuhnya di atas bebatuan itu. Sambil memejamkan matanya. Tuhan, betapa gobloknya dia sebagai lelaki dan manusia.

Im sorry, Thal. Im sorry.

Kalla menatap jemarinya yang sudah kosong. Entah ke mana cincin pertunangannya itu berada sekarang. Kalla lupa diselipkan di bagian tasnya yang mana. Kemarin dia obrak-abrik dan tidak ketemu juga.

“Oy, dude!”                   

Dan jeritan Niko membangunkan Kalla. “Bikin kaget aja lo!” matanya berputar menemukan motor yang dipakai Niko, “motor siapa, tuh?!”

Niko malah cengar-cengir.

“Gue tanya! Di mana lo seharian ini? Dari kemarin ilang mulu. Tiap gue ke pondokan, lo mesti nggak ada,” sindir Kalla, “mulai betah lo jadi warga sini?”

“Hehe… gue jalan sama Rumi.”

***    

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kala Senja
32474      4669     8     
Romance
Tasya menyukai Davi, tapi ia selalu memendam semua rasanya sendirian. Banyak alasan yang membuatnya urung untuk mengungkapkan apa yang selama ini ia rasakan. Sehingga, senja ingin mengatur setiap pertemuan Tasya dengan Davi meski hanya sesaat. "Kamu itu ajaib, selalu muncul ketika senja tiba. Kok bisa ya?" "Kamu itu cuma sesaat, tapi selalu buat aku merindu selamanya. Kok bisa ya...
To The Girl I Love Next
369      258     0     
Romance
Cinta pertamamu mungkin luar biasa dan tidak akan terlupakan, tetapi orang selanjutnya yang membuatmu jatuh cinta jauh lebih hebat dan perlu kamu beri tepuk tangan. Karena ia bisa membuatmu percaya lagi pada yang namanya cinta, dan menghapus semua luka yang kamu pikir tidak akan pulih selamanya.
KETIKA SENYUM BERBUAH PERTEMANAN
509      357     3     
Short Story
Pertemanan ini bermula saat kampus membuka penerimaan mahasiswa baru dan mereka bertemu dari sebuah senyum Karin yang membuat Nestria mengagumi senyum manis itu.
Tetesan Air langit di Gunung Palung
410      281     0     
Short Story
Semoga kelak yang tertimpa reruntuhan hujan rindu adalah dia, biarlah segores saja dia rasakan, beginilah aku sejujurnya yang merasakan ketika hujan membasahi
Mistress
2147      1146     1     
Romance
Pernahkah kau terpikir untuk menjadi seorang istri diusiamu yang baru menginjak 18 tahun? Terkadang memang sulit untuk dicerna, dua orang remaja yang sama-sama masih berseragam abu-abu harus terikat dalam hubungan tak semestinya, karena perjodohan yang tak masuk akal. Inilah kisah perjalanan Keyra Egy Pillanatra dan Mohamed Atlas AlFateh yang terpaksa harus hidup satu rumah sebagai sepasang su...
Untold
1236      538     4     
Science Fiction
Tujuh tahun lalu. Tanpa belas kasih, pun tanpa rasa kemanusiaan yang terlampir, sukses membuat seorang dokter melakukan percobaan gila. Obsesinya pada syaraf manusia, menjadikannya seseorang yang berani melakukan transplantasi kepala pada bocah berumur sembilan tahun. Transplantasi dinyatakan berhasil. Namun insiden kecil menghantamnya, membuatnya kemudian menyesali keputusan yang ia lakukan. Imp...
Teman
1294      597     2     
Romance
Cinta itu tidak bisa ditebak kepada siapa dia akan datang, kapan dan dimana. Lalu mungkinkah cinta itu juga bisa datang dalam sebuah pertemanan?? Lalu apa yang akan terjadi jika teman berubah menjadi cinta?
Ada Cinta Dalam Sepotong Kue
5331      1731     1     
Inspirational
Ada begitu banyak hal yang seharusnya tidak terjadi kalau saja Nana tidak membuka kotak pandora sialan itu. Mungkin dia akan terus hidup bahagia berdua saja dengan Bundanya tercinta. Mungkin dia akan bekerja di toko roti impian bersama chef pastri idolanya. Dan mungkin, dia akan berakhir di pelaminan dengan pujaan yang diam-diam dia kagumi? Semua hanya mungkin! Masalahnya, semua sudah terlamba...
Dua Puluh Dua
410      219     2     
Short Story
Kehidupan Rion berubah total di umurnya yang ke dua puluh dua. Dia mulai bisa melihat hal-hal yang mengerikan. Kehadiran Krea di hidupnya membuat Rion jauh lebih baik. Tapi Rion harus menyelesaikan misi agar dirinya selamat.
Why Him?
570      304     2     
Short Story
Is he the answer?