Kalau ada satu hal yang bisa Kinna lakukan sekarang. Kalau dia diberi satu kesempatan saja. Sebelum akad ini berlangsung dalam hitungan satu jam lagi. Rasanya, Kinna hanya ingin menemui Kalla. Ingin mengatakan pada laki-laki itu, perihal cinta diam-diamnya selama sepuluh tahun terakhir. Bahwa selama ini, Kinna mencintainya— mencintai sahabatnya sendiri.
Thanks for everything, Kal. Batin Kinna saat melihat bingkai foto mereka masih terpasang di kamar rias pengantinnya. Tapi, Tuhan punya cerita berbeda untuknya. Bersama selama nyaris sepuluh tahun lebih hidupnya, tidaklah lantas membuat dirinya dan Kalla berjodoh. Dunia yang jauh membentang, telah menunjukkan bahwa mereka ‘berbeda’. Tidak bisa bersama.
Sekarang dia di sini, menanti akad nikah sirinya. Lalu Kinna harus apa? Kabur juga percuma. Mungkin dia akan pasrah sampai suatu hari nanti Jamal akan menceraikannya. Meskipun Kinna juga tidak yakin apa pernikahan siri itu bisa dicerai atu tidak. Dicatat di negara saja tidak. Ck, menyedihkan sekali hidupnya.
Kinna juga tidak bisa membayangkan jika suatu hari harus datang ke pernikahan Kalla dan Thalia dalam keadaan hamil. Menangis, Kinna nyaris menghancurkan riasan kondenya di rambut. Tidak, amit-amit, siapuh! Kinna akan melakukan apapun sampai Jamal akan melepaskannya! Cih, Kinna tidak sudi membayangkan hal itu terjadi! Lebih baik Kinna menghilang saja dari dunia ini!
Tapi, toh, pada akhirnya Kinna hanya bisa menangis. Membiarkan make-up tebalnya nyaris luntur tertimpa air mata.
“Nggak! Gue nggak mau!” isak Kinna tanpa sadar, menelungkupkan diri di kursinya, “Tuhaaan, kenapa nasib saya kayak gini, sih? Kenapa?”
Pernikahan itu hal yang diimpikan semua perempuan. Termasuk Kinna— yang berharap suatu hari ada pangeran dari negeri dongeng, yang mencintainya, dan menikahinya. Lalu membawanya pergi dari dunia yang mengerikan ini. Tapi nyatanya, dia di sini, dilahap habis realita bersama para lintah darat yang gila uang.
“Mbak—” rintih Rumi dari jauh, sudah cantik dengan kebaya kuning langsat dan bunga mawar di rambutnya yang panjang. Tapi terus menangis.
Kinna buru-buru tersenyum menghapus air matanya. “Hei, sayaaang?”
Rumi makin terisak. “Mbaaak... Kita pergi aja, ya?”
“Nggak, Rum! Semua baik-baik aja, oke? Kamu udah cantik gini.” Kinna membelai rambut Rumi, “Kang Jamal juga janji bakal kuliahin kamu, kan? Soalnya Mbak udah nggak punya uang, udah nggak kerja, jadi nggak bisa kuliahin kamu.”
“Tapi, Mbak—” isak Rumi lagi.
“Kamu mau kuliah, kan? Kamu mau jadi dokter? Iya, Rum? Bilang, iya!”
“Mbak—” melihat tangisan Kinna, membuat Rumi segera memeluknya. “Rumi janji! Kalau suatu hari nanti, Rumi jadi orang sukses, Rumi jadi dokter! Rumi bakal bawa Mbak pergi yang jauhhh! Kita pergi berdua, ya, Mbak?!”
“Iya, sayang! Iyaaa!”
Dan tawa Sukma muncul dari ujung pintu mencemooh. “Aduuuh, drama apa lagi, ini? Tante sampe pusing, deh. Rumi. Rumi, harusnya kamu tuh seneng! Bentar lagi Mbakmu ini jadi orang kaya! Jadi juragan! Kamu kok malah nangis, sih, dih! Udah sana, kamu ke depan! Biar Mbakmu siap-siap!” omel Sukma sambil merapikan konde Kinna yang berantakan. “Ck, ini lagi! Senyum, dong! Senyum! Malah nangis lagi! Awas ya kalau bikin malu!”
Mau tak mau Kinna mendecih.
Sukma langsung menjambak rambut Kinna emosi.
“Aww! Sakit, Tante! Sakiit!”
“Makanya kamu nurut jadi orang! Udah, benerin rambutnya! Satu jam lagi akadnya dimulai. Itu udah rame tetangga! Kamu jangan bikin malu Tante sama Akang, ya! Awas!”
***
“Mampus!” jeritan Niko menggema.
Kalla yang sejak tadi melamun langsung tersentak kaget saat mobil yang dinaikinya berdecit kencang. “Kenapa, Nik?”
Niko berlarian keluar. “Jalannya rusak banget. Mobil gue mogok.”
Kalla hampir saja menyumpahi Niko. “Apa lo bilang? Mogok?! Bisa-bisanya, ya, Nik! Gue, kan, udah bilang! Pake mobil gue! Ngapain lo bawa mobil lo, sih?!”
“Ya, gue mana tahu kalau bakal mogok gini, anjeng!” ejek Niko tak kalah frustasi. “Ini desa jalannya rusak parah. Mana dikit-dikit nikung, dikit-dikit nanjak. Udah ngalah-ngalahin rumitnya idup gue, Kal.”
“Terus sekarang gimana?”
Kalla menatap jalan sepi di sekelilingnya. Hampir jarang sekali kendaraan yang lewat. Selain itu tanjakan-tanjakan nan terjal juga membuatnya kelimpungan mencari bantuan. Bisa pingsan di jalan kalau mereka memutuskan jalan kaki menyusuri lereng miring ini. Gila saja, jalannya rusak parah. Sulit dilalui kendaraan. Belum lagi desa-desa yang jaraknya sangat berjauhan.
Kalla melirik note kecil di tangannya putus asa. Menjatuhkan dirinya di badan mobil Niko yang berasap.
“What the fuck! Fuck!” umpatnya.
“Jangan nyalahin mobil gue! Sekarang kita telpon Dipta sama Eyon, ah, shit!” Niko memukul-mukulkan ponselnya ke udara, “Sinyal ilang, dude!”
Kalla boleh saja hilang harap. Tapi hatinya terus berteriak. Kinna. Kinna. Where its you? Di mana lo, Ndol? Di mana? Maafin gue nggak bisa jadi sahabat yang baik buat lo selama ini! Gue yang egois, gue yang seenaknya, gue yang nggak mau dengerin omongan lo, Ndol!
I’m sorry for everything, Ndol. Tangisnya hampir luruh kalau saja seorang warga di sekitaran desa dari lereng gunung itu, tidak datang menghampirinya menggunakan motor.
“Oh, desa yang kalian maksud itu deket sini, kok, Mas. Cuma beberapa kilo aja. Buru-buru ke sana? Biar saya antar.”
Dan Kalla diantarkan menerjang jalan-jalan setapak kecil yang benar-benar parah rusaknya. Tapi, perbukitan di sekelilingnya benar-benar hijau dan asri. Kinna tidak pernah bercerita bahwa desanya semenakjubkan ini. Kalau tahu, pasti Kalla akan sering-sering ikut Kinna untuk travelling di sini.
Tapi semua terlambat, kan? Kalla menyesal. Keegoisannya selama bertahun-tahun yang tidak mau peduli memang berujung fatal.
Sebuah desa dengan janur melengkung kuning berdiri kokoh dari jauh. Kalla hanya tertawa miris. Jadi, semua ini tidak bohong? Saat salah seorang warga di sana bercerita yang menikah benar-benar bernama Kinnathi, Kalla rasanya ingin membunuh dirinya sendiri. Bahkan dia diceritakan sampai detil terkecil tentang Kinna dan keluarganya yang selama ini tidak dia ketahui.
Kinnan itu ditinggal Ibunya sejak kecil, Nak. Ibunya pergi nikah lagi sama orang kaya. Ayahnya stres sejak kepergian ibunya. Makanya sampai sekarang ayahnya jadi tukang judi dan pemabuk. Kinnan sering sekali dipukuli dulu. Sampai akhirnya dia dipindahkan ke Jakarta tempat kenalan Tantenya, Sukma. Tantenya itu tukang utang. Utangnya nyebar dimana-mana sampai dililit rentenir. Sukma itu juga penipu. Sukma yang meras Kinna supaya ngasilin uang dari Jakarta untuk dijadikan ladang tipuan di sini. Sekarang Nak Kinnan itu mau dinikahkan dengan rentenir sekaligus juragan di sini, namanya Kang Jamal. Itu karena Sukma dan Dimas tidak bisa bayar utang yang menumpuk.
Kalla ditampar berkali-kali. Bahkan menangis sepanjang jalan setapak yang dilaluinya. Mengapa dia baru tahu sekarang? Tentang Kinna dan kehidupannya yang sebenarnya. Tentang fakta yang disembunyikan perempuan itu. Mengapa dia terlalu egois untuk tahu segala hal tentang sahabatnya itu? Selama ini dia ke mana? Selama ini dia terlalu sibuk sendiri? Dengan game-nya, dengan pacar-pacarnya, sampai dia tidak tahu apapun tentang Kinna.
Kinna bahkan jauh mengetahui dirinya. Segalanya tentang Kalla. Bahkan di saat Kalla tidak tahu apapun. Saat mengapa Kalla tiba-tiba mendapatinya menjadi SPG di sebuah mall dan marah-marah besar, bahkan meludahinya saat diam-diam jadi wanita simpanan. Kinna pasti punya alasan. Kalla hanya tidak mau percaya.
Persetan, dengan semua itu. Ransel berat yang dijinjingnya sepanjang jalan kini jatuh saat sampai di depan janur kuning itu. Kakinya baru akan melangkah saat lengannya ditarik mundur dua orang preman yang berjaga.
“Cih, siapa lo?! Tamu?! Ada undangannya?!” seruan tinggi dari sang preman terdengar.
Kalla mengernyit gusar. “Gue temen Kinnanthi! Mau ketemu dia!”
“Ada undangannya?!”
Kalla hanya tertawa. Undangan apa? Oh, jadi pernikahan ini pakai undangan begitu? Sayang, dia tidak termasuk dalam daftar tamu. Jadi, dia tidak bisa masuk. Dia adalah tamu tak diundang.
“Hei, hei, enak aja! Mundur! Udah gue bilang, Bung, tamu tanpa udangan di nikahan Boss Jamal, dilarang masuk! Artinya lo penyusup!”
“Gue kenal Kinnanthi! Dan gue mau ketemu dia!” Kalla semakin ngotot.
“Neng Kinnan lagi prosesi akad sama Boss Jamal, nggak ada yang boleh ganggu! Pulang lo! Pulang!”
“Bangsat, gue nggak bakal pul—”
Dan yang didapati Kalla selanjutnya adalah hantaman-hantaman di pipinya. Tubuhnya didorong kasar ke tanah. Dipukuli, ditendangi, dan hampir diseret keluar area gang. Tapi Kalla tidak menyerah. Siapuh, meski tubuhnya nyaris remuk, mati rasa, bahkan lebam yang kini dirasa sekujur mukanya, juga pakaiannya yang sobek-sobek mulai tak berbentuk, dia tetap tidak menyerah. Terus berusaha menembus pertahanan dua preman penjaga itu. Sampai satu teriakan mengusik di antar kekacauan.
“Stop! Berhenti! Berhenti!” dan tangisan terdengar dari sana. “Siapa yang kalian pukuli?! Siapa, Bang?! Jangan main pukul sembarangan!”
Kalla mendongak dari sisa kesadarannya. Mencetak bayangan perempuan muda jelita di hadapannya. “Rum... Rumiii?” tebaknya.
Rumi berlarian sambil menjinjing rok kebayanya. Mukanya pucat dan panik. “Mas nggak apa-apa? Mas ini siapa, ya—” saat sadar, tangis Rumi nyaris pecah. “Jangan bilang... Mas yang namanya... Mas Kal... Mas Kalla?”
Mau tak mau Kalla tersenyum. “Iya... gue Kalla, Rumi— yang lo telpon itu.”
“Mas Kalla...” isakan Rumi mengencang. “Mas Kalla beneran dateng ke sini? Mas—”
“Hei, jangan nangis, Rum! Mana Mbak Kinna, Rum? Gue boleh ketemu? Bilangin sama Mbak Cendol, Kaleng-nya ada di sini—”
“Siapa, Rumi?!”
Jeritan Sukma melengking dari jauh. Datang tergopoh-gopoh menuju keributan. Di belakangnya Jamal mengikuti dengan bengis. Rumi tersentak ketakutan. Berusaha melindungi Kalla yang terkapar di belakangnya.
“Rum...” ringis Kalla kesakitan. Tapi, Sukma terlanjur menangkap basah dirinya.
“Heh, siapa kamu?! Berani-beraninya kamu masuk ke desa saya! Mengganggu acara pernikahan keponakan saya! Kamu nggak lihat? Sedang ada acara sakral di sini! Kamu bikin keributan! Akang, suruh anak buahmu usir laki-laki ini secepatnya!”
Jamal mendengus, memberi kode pada dua anak buahnya untuk memukuli Kalla lagi. Tapi Rumi menghalangi.
“Rumi minggir kamu!”
“Siapa lo?!” akhirnya Jamal bersuara. “Ada urusan apa mau ketemu Neng Kinnan, calon istri gue!”
Kalla tertawa sinis, berusaha bangkit dari tidurannya. Darah dari mulutnya mengucur hingga tas gunungnya basah. Tapi dia tidak peduli. Dikeluarkannya sesuatu dari balik tas itu.
Jamal mengernyit. “Bawa apaan lo?!”
“Dua... ratus... juta...” gumam Kalla sambil melemparkan kopor uang dari tasnya. “Cukup?”
Jamal hanya mendecih. Berbeda dengan Sukma yang berbinar tak karuan.
“Batalin pernikahan ini!” tekan Kalla tanpa bantahan.
“Hutangnya lunas! Tapi pernikahan ini tetap ndak bisa dibatalkan begitu saja! Karena Neng Kinnan tetep bakal jadi bini gue! Mau apa lo?!” tawa Jamal.
Brengsek. Kalla menyumpah, tidak menyerah, kembali mengeluarkan kopor kedua dari dalam tasnya. “Empat ratus juta...” matanya melirik Sukma. “Lima ratus juta... Gimana Tante Sukma?”
Sukma menganga tak percaya. “Lima ratus juta?!”
Kalla mengangguk yakin. “Dengan satu syarat! Saya yang berhak jadi pengantin laki-lakinya!”
***
Lima menit. Sepuluh menit. Waktu seperti berhitung mundur. Dan Kinna sudah diseret duduk di sini. Di hadapan para hadirin tamu dan penghulu di hadapannya. Memalukan bahwa dia berada di sini untuk dinikahkan dengan si Jamal sialan itu. Tentu jika Kinna punya kuasa, dia akan menghancurkan pernikahan ini tanpa sisa. Tapi dia di sini, bagai tak berdaya. Hanya tersenyum palsu dibalik kebaya putihnya yang suci. Sambil diam-diam menahan tangis.
Oh, di mana bedebah sialan itu? Tidak ada tanda-tanda kedatangannya. Pengantin wanita dibiarkan duduk sendirian di hadapan penghulu dan para tamu. Sedikit memalukan jika dia adalah pengantin normal. Sayangnya, Kinna malah sebaliknya. Justru bersyukur Jamal tidak kunjung datang juga. Lebih baik tidak usah datang saja. Kinna lebih suka menikahi dirinya sendiri atau menjadi perawan tua selamanya jika pilihannya hanya menikahi lintah semacam Jamal bedebah itu.
“Mana itu si Jamal?!” Dimas mendecih sebal. “Ini sudah jam berapa?! Bikin malu gua aja, ck!”
“Sabar, Pak Dimas!” tenang pak penghulu, “kita tunggu sampai setengah jam lagi. Baru kalau Pak Jamal benar-benar tidak hadir, kita mundurkan akad-nya. Lagipula tadi ada sedikit keributan di luar, kan?”
Kinna mendongak ke luar pintu masjid. Memang tadi katanya sempat ada penyusup ke desa. Entah itu maling atau apa. Tidak jelas siapa. Tapi diam-diam Kinna bersyukur. Karena hal itu akad jadi sedikit terganggu dan fokus orang-orang buyar di luar sana. Diam-diam Kinna terus berdoa. Tuhan, selamatkan dirinya setengah jam lagi. Jamal tidak boleh datang. Tidak boleh. Dan jemari Kinna terus mencengkram kain jariknya di bawah sana, membuat buku tangannya yang terlukis hena memutih hingga kukunya yang berkilauan. Bahkan bunga-bunga roncenya rontok satu per satu ke bawah. Tapi Kinna tak peduli, digigitinya bibir makin cemas. Sambil terus berdoa.
Dimas berdecak. “Kurang ajar keparat itu! Lihat aja, gua akan tangkap seret ke sini—”
“Pak Dimas, sabar!”
Dimas memberontak, baru akan bangkit keluar, saat tiba-tiba dari arah pintu Sukma muncul berlarian.
“Pak penghulu, pengantin laki-lakinya sudah datang! Ayo kita lanjutkan acara akad-nya!” tawa Sukma riang. “Maaf atas keterlambatannya, ya, Bapak, Ibu, semua. Ayo, Pak penghulu! Kita langsung mulai, ya!”
Tidak! Tidak! Semuanya sudah berakhir! Dan tangis Kinna meluncur saat itu juga. Pura-pura tidak mendengar keributan di sekelilingnya. Berharap dalam hatinya bahwa dia bisa mati kapan saja di sana. Lalu dirinya akan dikubur beberapa detik setelah sah nanti. Tapi, itu tidak juga terjadi, dirinya masih di sini. Menangis dan menunduk diam-diam.
“Heh, suamimu sudah datang, tuh!” bisik Sukma tertawa puas. “Cepat langsungkan pernikahannya, biar Tante cepat kaya,” bisiknya.
Kinna ingin menyumpah. Menahan tangis, ditatapnya arah yang ditunjuk Sukma. Dan saat itulah tubuhnya mematung. Seluruh sel di tubuhnya mati mendadak. Menolak bayangan yang terbentuk di sana. Dengan langkah kaki terseret-seret, muka babak belur, dan beskap yang terpasang seadanya. Bukan Jamal. Bukan.
Tapi kali ini tangis Kinna benar-benar luruh. Tidak!
Dan Kalla berdiri di sana, mengaitkan beskapnya secepat kilat. Lalu berlarian menyerobot duduk di sampingnya. Membuat tangis Kinna menderas. Bisikannya lirih, “Did I come late? Are you okay now?”
Saat itulah isakan Kinna mengencang. Ini Kalla. Kalla sungguhan. Di sampingnya. Di pelaminan yang sama. Duduk berdua dengannya. Tapi bukan ini yang dia mau sekarang. Bukan.
“Why?!” isak Kinna tidak tahan. “Why are you here?! Why?!” sentaknya marah.
“Im coming, to pick you up!”
Kinna menahan tangis. “But, why?!”
Tapi Kalla tidak peduli. Membalas jabatan tangan Dimas di hadapannya. Kinna berusaha menghalanginya. Berusaha melepas tautan keduanya sekuat mungkin. Tapi tidak berhasil.
“No, please! No, Kal! Don’t do that! Are you crazy?! Ngapain lo dateng ke sini tiba-tiba dan ngehancurin acara pernikahan gue?” bisik Kinna mengerang frustasi. Nyaris menangis. “Gue mohon, jangan lakuin ini! It’s too much! Kal—” isaknya, “Please, Kal...”
Dan Kinna hanya bisa pasrah saat kain veil akhirnya dipasangkan ke atas kepalanya dan Kalla.
“Sakalla Hanggra Tanubradja?”
“Saya!”
Suara Dimas seperti angin lalu bagi Kinna yang menangis dalam diamnya. Tapi dia mendengar semuanya, mengingat-ingat semuanya dalam memorinya.
“Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri kandung saya Kinnanthi Anggun Prameswari binti Dimas Harjo Lukito dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas seberat dua ratus gram dibayar tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya Kinnanthi Anggun Prameswari binti Dimas Harjo Lukito dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”
“Bagaimana para saksi? Sah?”
“Sah!”
“Alhamdulillah.”
Tangis Kinna semakin mengencang. Tidak. Bukan ini yang dia inginkan. Ini semua jauh di luar rencananya. Dadanya sesak saat menyadari jemari Kalla kini kosong. Tidak ada cincin pertunangannya dan Thalia. Bodoh. Kinna ingin memarahinya. Si Kaleng bodoh ini! Tapi yang dilakukan Kinna malah terus menangis.
“Put it on my finger,” Kalla menunjuk sepasang cincin berkilauan di hadapannya.
Mau tak mau Kinna melakukannya juga. Masih sambil menangis, memasangkan cincin itu ke jemari manis Kalla. Bergantian dengan Kalla yang memasangnya juga di jari manis Kinna. Hingga Kinna mengakhiri dengan kecupan di punggung tangan Kalla, acara akad sederhana itu mulai berakhir.
Niko datang saat semuanya sudah hampir berakhir. Mukanya penuh pelototan tak percaya melihat carut-marut di sekelilingnya. Penuh kefrustasian, dia menjerit, “Are you two going crazy, dude?! Jadi, kalian berdua udah nikah?! Kapan?! Tadi?!” Kalla hanya mengangguk pasrah. “Astaga, dude! Demi Mommy gue yang lagi nyalon! Bunuh gue sekarang, Kal! Bunuh!”
Kalau Niko bisa pingsan, Niko pasti sudah pingsan sekarang. Tapi Kalla buru-buru menyeretnya menuju tenda tamu mengambil makan. Nasi sambal krecek dan kreni. Untung Niko doyan. Karena dia memang kelaparan sepanjang jalan di gunung tadi. Akhirnya dia habiskan secara tandas makanan itu.
“Heol, gue bisa gila di sini lama-lama!” tangis Niko sambil terus melahap rakus nasi krecek di hadapannya, “Astaga, ini pernikahan paling miskin sepanjang sejarah gue hidup di dunia,” tangisnya lagi.
“Bacot!”
“Minum! Minum!” ringis Niko frustasi.
“Adanya teh, doang!”
“Soda atau apa gitu? Nggak ada?”
Kalla melirik jamuan di sekelilingnya hopeless. Hanya makanan sederhana. Nothing. Tidak ada apapun yang enak selain nasi krecek mungkin. Setidaknya masih bisa dimakan untuk mengganjal perut. Sisanya makanan-makanan tradisional yang dibuntel daun pisang.
Niko benar-benar ingin menangis. “Kal, Tante Donna nangis liat anaknya nikah di pedaleman kayak gini!”
“Ya, jangan sampe Mama tahu, Nik!”
“Dude, lo bener-bener crazy!” Niko hanya bisa menangis pasrah sambil melahap sisa kreceknya.
***
“Nak Kalla, ini kamar kamu dan Kinna, ya. Hihi. Tante anterin sampe sini, okay?” Sukma tersenyum-senyum riang, “Kalau butuh apa-apa bilang, ya? Tante siapkan semua untuk kamu!”
Kalla hanya meringis. Dalam hati mengejek. Dasar mata duitan. Keponakan sendiri bahkan dijualnya. Ck, gila. Masih ingat dalam otaknya tadi bagaimana si Sukma itu tiba-tiba berbalik menyetujui tawarannya. Tentu karena uang. Kalau Kalla tidak menambah kelipatan uangnya, mana mungkin Sukma tiba-tiba berbalik seratus delapan puluh derajat begini. Ck, ck, bagaimana Kinna dan Rumi hidup bersama manusia bedebah macam ini? Kalla benar-benar miris membayangkannya.
“Saya nggak perlu apa-apa. Saya cuma mau istirahat aja, Tan. Capek.”
“Oh, gitu,” tawa Sukma menggoda, “Tuh, istri kamu! Kamu bebas apain dia! Kan, udah jadi punya kamu!”
Kalla hanya menahan tawa saja dalam hati. Diam-diam melirik cincin yang baru dipakainya tadi. Astaga, Kalla bahkan hampir lupa dimana cincinnya dan Thalia berada. Meringis, Kalla memutuskan mengetuk pintu kamar di hadapannya. Lalu masuk pelan-pelan.
Dan Kinna, tersentak di sana. Tepat di hadapan cermin. Masih cantik dengan kebaya putihnya. Panik menyadari kehadiran Kalla. Riasan di rambutnya nyaris jatuh kalau tidak buru-buru dipegang.
“Sorry,” bisik Kalla penuh sesal. “Gue bisa tidur sama Niko di pondok depan itu, kalau lo terganggu.”
Kinna menggigit bibir. Mau tak mau bangkit menahan tangan Kalla yang akan pergi. “Kal!”
Kalla berbalik tak percaya. “Hm?”
Kinna tidak menjawab. Hanya mendongak menatap Kalla. Matanya nyaris basah lagi. Menyadari kehadiran laki-laki itu di sana. Kalla nyata di hadapannya. Bukan bayangan ilusinya. Kinna bahkan bisa menyentuh tangannya tadi.
“You can go now.”
Kalla mengernyit. “Lo ngusir gue?”
Kinna menunduk menahan tangis. Meski begitu tersenyum manis. “No I just... Thanks. Makasih, karena lo...” suaranya nyaris tercekat, “Selalu jadi pahlawan hidup gue... Gue selalu berhutang budi sama lo.. Dari dulu, Kal... Bahkan sampe sekarang... Gue janji, bakal ganti semuanya. Sekarang udah selesai, rentenir itu udah pergi. Lo juga boleh, pergi—”
“It’s still about the money?” lirih Kalla penuh luka. “Gue dateng jauh-jauh ke sini, dan lo masih nganggep ini semua butuh bales budi, Ki?”
“Kal...” lirih Kinna.
“I miss you, Ndol... I miss—” rintih Kall sesak. “Can I—”
Kinna menahan tangis.
“I just miss you... My Cendol... Can you back?” tapi Kalla hanya tertawa miris, “But, it’s okay, if you want me go from here, I will go.”
Kalla baru akan menarik tasnya menjauh, saat tiba-tiba seruan Kinna membalas lirih dari belakang.
“I miss you too.”
Dan Kalla tahu, detik itu dia berbalik, membuka tangannya lebar-lebar. Menerima pelukan Kinna yang berlari menerjangnya. Perempuan itu terisak dalam pelukannya. Meronta-ronta kepedihan sekaligus kesakitan.
“I miss you... I miss you...” isak Kinna tidak tahan lagi, “Where are you?! Gue takut, Kal. Gue takut. Gue sendirian. Gue nggak punya siapa-siapa. Gue hampir gila rasanya. Gue nggak tahu harus gimana. Gue selalu nyari-nyari lo! But, you’re not here. Jordan too. You all are gone. And Im alone. Gue takut sendirian.”
Dan isakan Kinna terus mengencang. Kalla membalas pelukannya kuat-kuat. “Im here, Ki. Gue di sini. Gue di sini sekarang. Sorry for everything that I do. Making you always hurt. Leaving you alone. I’m so useless. Sorry. Sorry,” rintihnya berkali-kali.
“No, it’s not your fault!”
Kalla menangkup pipi Kinna yang basah. Mau tak mau tersenyum menatapnya. “Did I tell you before? If you look so beautiful today?”
Kinna hanya memaksakan tawa di tengah tangisnya. “You prank me?!”
Kalla menahan senyuman. Diam-diam menatap Kinna yang tampak cantik malam ini. Jarang sekali perempuan itu terlihat anggun seperti namanya. Tapi sekarang, Kalla melihatnya, dan memuji dalam hati. Bahwa Kinna telah membuktikannya sendiri. Kebaya putih itu pas sekali di tubuh Kinna.
“Can I kiss you?” dan Kalla tidak tahu ada dorongan gila apa lagi dalam dirinya. Sehingga dia berani mengatakan itu. Bahwa diam-diam bibirnya ingin mencium Kinna.
Tentu Kinna gelagapan. “What?”
“Kiss you?” lirih Kalla ragu.
“Kiss me?”
Kalla mengangguk.
Kinna bahkan belum menjawab saat tahu-tahu bibir Kalla datang mengecupnya. Lalu yang dirasakannya adalah bibir hangat laki-laki itu yang menjelajahinya. Dan napas mereka saling beradu. Kinna pikir, dia bermimpi karena merasakan bibir Kalla— yang diam-diam pernah dimimpikannya dulu. Sekarang mengecupnya.
Kalla tersenyum sendu, “I kissed you at junior high school, when you’re sleeping. Dan rasanya masih sama kayak dulu. Your lips is sweet. And I like it.”
Dan fakta itu mengejutkan bagi Kinna. Jordan bukanlah ciuman pertamanya. Tapi, ternyata laki-laki ini... Bahkan hingga mereka selesai mandi dan berganti pakaian dengan piyama masing-masing. Baik Kinna maupun Kalla masih terbuai.
“Kamar lo kecil,” ejek Kalla tak kuasa menahan tawanya.
Tentu Kinna sebal sendiri. “Yes, it’s so small! Dan sekarang lo ada di sini, makin-makin aja sempitnya!”
Mau tak mau Kalla menahan senyuman. Berbalik menghadap Kinna, menumpukan kepalanya menatap perempuan itu. “Just sleep. Im here. Not going anywhere.”
Masih memaksakan diri membuka mata, Kinna nyengir. “Are you sure?”
Kalla mengangguk. Kinna membalasnya dengan senyum. Mencoba tidur tenang. Karena belakangan ini Kinna bahkan tidak bisa tidur. Dimakan ketakutannya sendiri. Terus menangis dalam setiap malamnya. Sekarang, dia sedikit lega. Ada yang menjaganya malam ini. Kinna tidak perlu takut lagi. Tidak perlu susah lagi. Seakan dia takut terbangun menatap hari esok. Tapi bodohnya, air matanya malah mengalir saat mencoba terpejam.
Kinna tertawa masam. Tapi percuma mau membohongi dirinya. Ditatapnya Kalla di sampingnya. Lagi-lagi masih sangat nyata. “I think... It just a dream, seeing you here.”
“But, yes, I’m really here. Why?”
Kinna menggeleng. Terus tersenyum meski pipinya basah. “Thanks,” bisiknya berulang kali. Tanpa sadar jemarinya bangkit menyentuh muka Kalla, merabanya pelan-pelan dengan lembut. “Thanks, for coming here.”
“Can I kiss you again?”
Kinna menahan senyuman malu. “You’ve kissed me so many times. Don’t you. If you dont like it, please just stop me, Ki! Just stop....”
Tapi bodohnya Kinna tidak ingin menghentikannya sama sekali.
***
Hanya hangat sinar mentari yang dirasakan Kalla saat membuka mata. Tubuhnya hanya terbalut sebuah selimut. Kepalanya pening mendadak. Sekujur tubuhnya dingin sekali. Ada di desa mana dia? Dataran tinggi bagian mana? Kalla bahkan lupa. Senyum nyerinya menguar mendapati keadaan kamar kecil di sekelilingnya berantakan.
Kalla memegangi kepalanya. Mendadak mengingat semalaman yang terjadi. Menyesal tentu saja. Menangis dan memarahi Kinna sudah dia lakukan. Tapi perempuan itu...
Dan suara keritan pintu kamar mandi terdengar. Kinna melangkah pelan dari sana. Sudah mengenakan setelan kaos pendek dan celana santai. Dengan rambut basah tergelung. Mendapati Kalla yang sudah terbangun, Kinna jadi mematung. Sedikit salah tingkah.
What are they doing last night? To be young bride, eh? Batin Kalla nyaris frustrasi.
“Biar gue yang beresin,” kikuk, Kinna menyambar baju-baju mereka yang masih berhamburan. “Gue mau cuci baju. Biar sekalian aja.”
“Ndol,” ejeknya tak tahan. “I ask you before. Emang lo bisa cuci baju? Ck, udah sini gue bawa pulang aja celananya.”
Tentu Kinna jadi kesal. “Ya, bisalah! Lo nyindir gue?”
Kalla hanya tertawa santai. Merasa lebih rileks kembali. His Cendol is back.
“Gue pengen liburan di sini dulu, deh. Kayaknya seru. Boleh, kan?”
Kinna meringis, perlahan mengulurkan handuknya pada Kalla. “Mandi. Airnya udah gue isi lagi.”
Kalla masih tertawa geli. Mau tak mau bangkit menerimanya. “Tutorial jadi istri yang baik, eh?”
Kinna menggigit bibir, menahan tangan Kalla. “Can you just forget it?”
“But, I never forget. Just enjoyed it like a real couple?”
Mau tak mau Kinna mengangguk meski malu.
***
Setelah selesai mandi, keadaan kamar kosong. Kalla harus bolak-balik ke luar rumah untuk mencari Kinna. Dih, mana, sih, si Cendol itu? Perutnya sudah merengek kelaparan. Tapi sahabat sekaligus istrinya itu malah menghilang entah ke mana. Niko juga menghilang dari pondokan. Sekarang dia ditinggalkan di rumah kontrakan kecil ini sendirian. Bersama beberapa kandang ayam di pekarangan belakang rumah.
Kalla mendengus, memutuskan masuk ke area dapur. Ewh, berantakan sekali dan sedikit jorok. Sangat kecil dan peralatan masaknya sudah lapuk. Kalla tak habis pikir. Apa ada makanan yang aman untuk dimakan dari dapur ini? Bahkan, eww, kulkasnya juga buluk. Kalla membukanya perlahan. Dan bau tidak menyedapkan menguar dari sana. Pasti kulkas ini sudah hampir rusak, tidak dingin lagi, tapi dipaksa dipakai. Sampai baunya apek sekali.
“Ngapain lo di dapur?”
Ha? Kalla melirik sebal. Pertanyaan lucu. “Im hungry, Ndol! Kenapa lo biarin suami lo kelaperan kayak gini? Istri macem apa lo? Ha?!”
Kinna yang baru menurunkan kantung belanjaan di tangannya langsung meringis. “Sorry, ini juga gue baru balik dari pasar. Gue masak dulu.”
“Masak?” tanpa sadar Kalla tertawa meledek, “makanan apa yang bisa lo masak? Racun?”
Diam-diam Kalla terharu juga saat mendengarnya. Baru ini Kinna akan memasak sesuatu untuknya. Rasanya hati Kalla melebur. Akhirnya dia putuskan menunggu di ruang tengah sambil mengotak-atik TV jadul keluarga Kinna— yang salurannya rata-rata sudah diganggu para semut. Gambarnya tidak jelas. Tapi semua pertanyaannya terjawab sudah saat Kinna kembali satu jam kemudian.
“Ini makan lo. Ambil minum sendiri di kendi.”
Bola mata Kalla nyaris melotot saat sadar sarapan apa yang dihidangkan Kinna di sana. Sepiring mie goreng instan yang belum diaduk.
“Aduk sendiri, ya. Gue mau nyuci, Kal.”
Kalla menahan emosi dan umpatan. “What the— Gue nungguin lo berjam-jam, dan lo cuma bikinin gue mie?! Are you serious, Ndol?”
Dan emosi Kalla masih bermunculan. Asapnya mengepul sudah saat sadar mie itu ternyata lupa diberi bumbu. Disuruh mengaduk tapi bumbunya tidak ada. Malah sambal kecapnya saja. Menahan emosi, Kalla berlarian kembali ke dapur mencari kendi minum yang dimaksud Kinna.
“Kinnanthi, lo bener-bener!”
***