Read More >>"> Call Kinna (BAB 6) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Call Kinna
MENU
About Us  

Suara gemericik air kolam renang terdengar mengusik lembut. Kalla memilih menghabiskan sore bersama Thalia di rumahnya. Thalia sangat menyukai taman belakang di rumah Kalla yang asri. Sebuah kolam renang panjang yang mengelilingi gazebo. Dengan ruang santai yang nyaman di sana. Dan sebuah taman bunga dengan air mancurnya di tengah.

 “Thal, you like it?” Kalla hanya tersenyum geli saat Thalia tak kunjung menjawab. Masih asyik melihat-lihat katalog dekor untuk acara pertunangan mereka. “Sayang?” panggilnya lagi, lebih lembut.

Thalia mendongak malu. “Eh, iya, Kal?” senyumnya langsung mengembang. “I’m sorry... I’m too excited for looking this...” diangkatnya katalog itu ke udara.

Akhirnya Kalla maju, menghampiri tempat Thalia duduk. Perlahan mengangkat tubuh mungilnya ke pangkuan. Tidak mau kalah, ikut menunjuk sebuah katalog di tangan. “How about this card? Kartu undangan ini bagus banget. Aku suka. How?”

Tentu saja Thalia mengernyit melihat pilihan Kalla. Warna maroon? Hah, yang benar saja. “No, it’s too dark, Kal.”

“So, how about navy?”

“Kal,” Thalia menangkup pipi Kalla gemas. “Kita nggak sedang memilih kaos untuk kamu,” senyumnya langsung berubah manis. “I like peach or golden.”

“Ah, kamu mah, sayang. Masak peach, sih, warnanya!” Kalla merengek.

Donna yang melihatnya ikut tertawa. Sibuk mengangkat sepiring cookies hangat dari dapur. “Ya ampun, milih undangan aja harus debat! Sini Mama yang pilih,” te  riakannya mengencang. “Pa, Papa, sini! Ayo bantu!”

Tomi tidak lama kemudian ikut turun ke ruang bersantai. “Ya, Ma?”

“Ini anakmu, masalah undangan aja debat!”

Tomi terkekeh. Kemudian duduk di damping Donna. Memperhatikan meja kaca yang berserakan penuh berbagai katalog. “Serahkan saja pada Thalia. Kalla itu nggak jago milih beginian. Bubar acara pertunangannya nanti, Ma.”

Kalla makin merengek. “Papa apaan, sih? Kan bagus gitu kalau warnanya macho. Thalia pilihnya pink-pink gini.”

Thalia jadi malu. “Ya udah, kamu maunya gimana?”

“Item, sayang. Terus ada panggung rock-nya di tengah gitu. Hehe, pasti seru. Tamunya nanti bisa disko.”

“Seru bagi kamu, Kal,” Thalia semakin gemas, mencubit lengan Kalla, membuat laki-laki itu mengaduh kegelian. “Itu namanya konser. Bukan pesta pertunangan.”

Thalia hanya geleng-geleng gemas. Kalla dan segala sifat uniknya yang seperti anak kecil. Doyan sekali main game, suka musik rock, kaos-kaos rebel, dan pecinta warna gelap. Malah tadi iseng ingin mengundang band rocker ke acara pertunangan mereka. Tentu Thalia langsung menolak mentah-mentah. Padahal tema engangement mereka adalah pesta kebun. Jadi, dilakukan secara outdoor di salah satu hotel kenamaan Jakarta.

Ah, Thalia tidak sabar menantikannya.

“Are you happy for this, sayang?” bisik Kalla lembut.

“Of course, Kal.”

***

Suara kasak-kusuk aneh terdengar dari sejak Kinna melangkah memasuki lobby kantor. Hingga kini dirinya nyaris sampai di pintu divisi, kasak-kusuk itu tak kunjung sirna juga. Kinna memilih tak acuh. Pasti sedang ada gosip baru sehingga para penghuni kantor sepagi ini sudah heboh sendiri. Tapi masa bodoh. Kinna tak mau ambil pusing. Masalah hidupnya sudah cukup banyak. Tidak perlu ditambah dengan menggosipkan hidup orang lain. Kinna tidak butuh itu. Jadi, Kinna memilih melenggang cantik, mengabaikan jeritan rekan-rekan di sekeliling.

“Ki! Ki! Lo udah tahu gosip panas pagi ini belum?!”

Belum usai teriakan Dina— salah satu pegawai di bagian front office— Kinna sudah memotong. “No! No! I don’t know anything, Din! Gue lagi nggak mood bergosip! Okay?!”

Dan Kinna buru-buru menyingkir. Malas mendengar bisikan yang semakin kencang di telinganya. Karena manusia-manusia di sekelilingnya kembali menggerombol. Sebenarnya ada gosip apa, sih, pagi ini? Heboh sekali keadaan kantor. Mirip kapal pecah.

Lagi-lagi langkah Kinna terhenti karena Royhan berlarian menghadang seperti setan.

“Kun! Kun! Gila, gila, lo pasti udah tahu, ya?! Pasti udah!”

Kinna hanya mengernyit. “What I know?”

“Ati-ati jangan main api, ntar lo kebakar!”

Jelita yang berdiri di sisi lain ikut terkejut. Secepat kilat bangkit dari kurisnya, menghadang Kinna. Sekuat mungkin menahannya. Muka Jelita jadi panik.

“Ada apa, sih?” Kinna semakin mengernyit melihat gelagat aneh Jelita. “Whats wrong, Je? Ini kenapa, sih, pada aneh gini? Emang ada gosip apa pagi ini?!” matanya berputar menemukan sesuatu keemasan di atas meja. “Eh, itu di meja gue ada apaan?!”

“Mmm... nggak... nggak ada apa-ap—” dan gerakan tangan Jelita yang bersiap menyembunyikan benda itu dari meja Kinna terhenti. Karena si empunya sudah berlari merebutnya. Sontak Jelita membeku.

Kinna hanya meringis. Kotak keemasan apa ini? Dan matanya menangkap setiap meja di divisi mereka juga mendapat kotak emas serupa. Kinna membukanya tak sabaran. Barulah detik selanjutnya, tubuh Kinna mematung, napasnya nyaris hilang. Tercekat dibacanya potongan kalimat di sana. Belum apa-apa, pandangan matanya sudah mengabur.

The Engagement Of:

Sakalla Hanggra Tanubradja & Thalia Adiswara Soeharisman

Kinna menutup kartu undangan itu. Secepat kilat mengembalikannya ke dalam boks. Tidak sanggup melanjutkan. Hatinya remuk redam. Jadi satu tak menentu. Tangisnya tertahan. Untung suasana masih sepi dalam divisi. Kalau tidak, Kinna pasti sudah jadi bulan-bulanan.

“Ki, jangan dibaca,” lirih Jelita menenangkan. “Please, Ki...”

“Gue ke toilet dulu.”

Dan Kinna tak peduli lagi pada keadaan sekelilingnya. Secara refleks berbalik, berlarian keluar divisi. Jelita berteriak memanggilnya. Tapi Kinna mengabaikan. Langkah kakinya berlarian menuju kamar mandi. Seberapa pun kuat Kinna menahan, tangisnya membanjir juga. Dipukulinya dada berulang kali. Rasanya sesak.

Why are you doing this to me, Kal? So sick. Sick.

I can’t life without you. You’re the only one that I have in this world. I don’t have anyone.

How I can survive without you, Kal? Don’t left me, Kal. Please... Don’t.

Tangisan Kinna menderas. Bahkan sebelum dirinya berhasil menjangkau pintu kamar mandi. Langkahnya malah menubruk Kalla yang berjalan dari arah berlawan. Sialan. Sialan, makinya dalam hati saat sadar tubuhnya kini terhempas di dada laki-laki itu. Bukannya kabur, tangisannya makin mengencang.

Tapi Kalla malah berteriak riang. “Surprise! Gimana, Ndol?! Lo udah dapet undangan gue, kan? Khusus buat lo, gue sendiri yang taruh di meja lo tadi. Kemarin sebenernya gue ke kos lo, tapi lo-nya malah nggak ada.”

Bodohnya, Kinna terus terisak. “I— iya, udah... Thanks...”

How? Are you shocked? Are you happy for me?” Kalla mencubiti pipi Kinna gemas. “Cendolku Sayang, jadi udah jelas, kan, siapa yang bakal nikah lebih dulu? Itu gue! Ah, gue udah nggak sab—By the way, you are crying?! Why?!” pekiknya saat sadar tangisan Kinna.

Kinna menggeleng panik. “Nggak, nggak, gue kelilipan, Kal—”

“Itu bukan kelilipan, Ki!” muka Kalla berubah emosi. “Siapa yang bikin lo nangis sepagi ini?! Bilang ama gue! Biar gue kasih pelajaran! Apaan, sih, pagi-pagi udah nangis?!”

“Gue nggak—”

“Lo nangis!” putus Kalla emosi. “Masih mau ngelak?! Gue nggak bego, ya! Gue tahu lo, Ki! Lo nggak gampang nangis! Are you crying?! If you’re crying, it should be something that making you hurt. If you have problem, told me! Why always you act like nothings happen?! Like everything is okay!

Kinna hanya bisa menggeleng. “Because... I’m is okay...”

“So where are you last night? You’re not in the kos!”

“Gue pergi.”

With Jordan?!” tebak Kalla kemudian. “Jordan, kan, yang bikin lo nangis? Pasti si brengsek itu yang lo tangisin pagi ini?!”

Tapi itu lo, brengsek! Lo yang brengsek, Kal!

“Ki, bilang ama gue! Jangan bikin gue bingung gini!” Kalla menangkup pipi Kinna, menghapus kasar air matanya. “Please...”

“Congrats for your engagement, Kal.”

“I ask you! Don’t change the topic!”

Cause the topic is it! Jerit Kinna dalam hatinya. Memilih mundur, berlarian kecil membanting pintu kamar mandi.

Kalla meremas jemarinya penuh amarah. Menatap tubuh Kinna yang menghilang. Tampak rapuh belakangan ini. Seperti bukan Kinna yang dikenalnya. Pasti si brengsek itu pelakunya. Jordansyah Wijanarko!

***

Hingar bingar club malam yang didatangi Kinna semakin membara seiring bertambahnya malam. Musik diputar kencang oleh sang DJ. Dengan alunan menghentak-hentak yang memabukkan. Lalu orang-orang saling meliukkan badan di arena dance floor. Berbaur dengan aroma tajam alkohol yang menyesakkan.

Kinna duduk di salah satu meja bar. Nyaris menghabiskan gelas wine-nya yang kelima. Kepalanya pusing berat. Jatuh tersungkur di meja bar. Tapi tetap memaksakan diri bangun, menghabiskan sisa-sisa wine di sana. Bersama itu tangisnya terus meluncur.

“Gue hancur, Je! Hancur!” isaknya dalam mabuk.

Jelita di sampingnya berusaha menahan. “Ki, please, stop! Lo udah mabuk! Jangan diminum lagi, gue mohon!” direbutnya gelas itu, tapi Kinna menariknya kembali. “Please, jangan rusak diri lo sendiri, Ki! Cukup! Ini gelas terakhir!”

“Nggak! Balikin, Je! Balikin—”

You are drunk, Ki! Gue nggak akan biarin lo minum lagi! Kita pulang sekarang! Gue bisa gila temenin lo di sini lama-lama!”

Kinna mengerang frustasi, menjambaki rambutnya sendiri. Kembali meracau tak jelas. Tanpa sadar nyaris memecahkan beberapa gelas kosong di sana.

“Kinna, please!” Jelita nyaris menjerit. “I begged you. Kita pulang, ya? Gue anter lo ke kos.”

Tapi Kinna malah tertawa menuding muka Jelita. “Okay, just left me! Kalau lo nggak mau di sini, silahkan pergi, Je! Pergi! Pergi tinggalin gue sendiri! Gue mau sendiri! Gue nggak butuh siapa-siapa lagi!”

“Ki,” lirih Jelita.

“Lo boleh pergi juga, Je! Lo, Kalla, semuanya! Kalian boleh pergi! Silahkan!”

Jelita hanya terdiam membisu.

Kinna terisak putus asa. “Gue kehilangan Kalla, Je. Gue nggak punya siapa-siapa lagi! Huhu... gue sendirian, Je.... Gue takuut...”

“No, you have me, Ki! You have Royhan, and Jordan too! Also remember, you have your little sister, Tarumi... Tarumi will be sad if she know what you do now...”

“ But, I lost Kalla. It means I lost everything.”

“No, Ki! Don’t talk this shit, please!”

“I love Kalla more than my self, Je.”

Kinna menangis meraung-raung. Merasakan dirinya bebas, tapi tidak dengan lukanya. Masa kecilnya, hidupnya. Kalla satu-satunya yang dia miliki. Hidup tanpa Kalla di sisinya adalah omong kosong. Kalla adalah rumahnya, tempatnya bersandar, punggung yang menopangnya.

“Nyokap gue pergi nikah lagi, Je. Tinggalin gue dan Rumi. Bokap gue dan keluarganya benci gue. Mereka cuma meras gue. When I think that I don’t have family. I meet Kalla and his family. Tante Donna dan Om Tomi yang sayang gue kayak anaknya sendiri, Reval yang nganggep gue kayak kakaknya. Saat bokap gue nggak bisa ambilin rapot gue dulu, nggak bisa beliin alat tulis sekolah, mereka yang lakuin itu. They like my parents—”

“You are drunk, Ki! Please—”

Raungan Kinna terhenti saat tangannya ditarik paksa. Jordan berdiri tiba-tiba di sana. Rautnya panik dan cemas. Berusaha secepat mungkin menggendongnya.

“Jordan, you’re here?! Why?” sentak Kinna emosi, matanya langsung memelototi Jelita. “Pasti lo pelakunya, ya, Je?! Lo yang ngadu ke Jordan kalau gue di sini! Iya, kan?!”

Jelita meringis, memohon pada Jordan. “Ayo Jor, bantu gue! Bawa Kinna pulang! She is drunk!”

Tapi Kinna terus meraung. “Ternyata bener! Pengkhianat lo, Je!”

Dan Jordan berteriak. “Nggak penting siapa yang nyuruh gue ke sini, Kinnanthi! Yang jelas lo harus pulang! Back to your home!”

“No! No way!” makian Kinna mengencang. “I don’t want to go home! I don’t want, Jor! I don’t want alone! I’m afraid! Huhu... I’m alone, Jor,” isaknya frustasi. “I don’t have anyone!”

“You have me!” putus Jordan, setengah berteriak. Tanpa pikir panjang menyentak Kinna dalam gendongannya. Tepat di punggungnya. Kinna memberontak di sana. Tapi Jordan tak peduli. Tetep membawa Kinna keluar club. Menulusuri area parkir menuju mobilnya.

Jordan baru akan membuka pintu mobilnya, mendudukkan Kinna di sana, sebelum akhirnya tangan lain menahannya.

“Lepasin Kinna!”

Jordan tersentak kaget. Baru menyadari orang itu Kalla. “Pak Kalla?!”

***

Acara makan malam bersama keluarga Thalia berjalan mulus. Thalia sangat cantik malam ini. Menggunakan blouse satin berwarna putih gading. Bersama Kalla duduk bersebelahan mendengarkan celotehan kedua orang tua mereka. Sesekali Thalia akan tersenyum mendengar betapa hebohnya Donna dan Winda— mamanya— membahas acara pertunangan mereka lusa besok. Ditambah Tomi dan Aji— papanya— yang tidak kalah membahas masalah pekerjaan. Sementara dirinya dan Kalla tersenyum-senyum seperti pengantin baru. Menikmati makan malam dengan mesra.

Thalia tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Kepribadiannya yang selalu tertutup, perlahan lebih terbuka sejak mengenal Kalla. Dan malam ini, saat keluarga mereka berkumpul menyambut pertunangan sebentar lagi, kebahagiaan Thalia semakin bertambah berkali-kali lipat. Mata cantiknya melirik Kalla yang makan dengan lahap.

“Enak, Kal?”

“Iya, sayang, enak banget hmmpph—”

“Pelan-pelan makannya,” Thalia meringis geli, meraih sekotak tisu. “Awas, itu mulutmu kotor. Aku bersihkan dulu,” tapi gerakan jemarinya terhenti saat terdengar suara getar dari ponsel milik. “Eh, Kal, ponselmu bunyi.”

“Biarin aja, sayang,” gumam Kalla cuek.

“Tapi barangkali penting.”

Menyerah, Kalla meletakkan garpunya, lalu menyambar ponsel. Tapi keburu mati. Malas diliriknya bagian kontak. Oh, ternyata Jelita, temannya si Cendol. Huh, tidak penting sekali. Sangat mengganggu makan malamnya.

Tapi tunggu, Jelita menghubunginya? Untuk apa? Jarang sekali Jelita menghubunginya. Jelita juga bukan tipe cewek genit yang akan menghubunginya diam-diam. Kalau pun iya, itu pasti ada hubungannya dengan pekerjaan di kantor ataupun... Kinna.

Mau tak mau Kalla membuka sebuah chat yang juga dikirim Jelita di WhatsApp-nya.

Jelita Div Keuangan: Selamat mlm, Pak Kalla. Maaf sy ganggu Bpk. Tp gawat, Pak. Kinna mabuk di kelab. Sy bnr2 bingung hrs gmn. Tolong saya.

Kalla tersentak kaget. Nyaris meluncur ponselnya dari genggaman. Jantungnya berdebar seketika. Oh, shit! Kinna adalah manusia waras. Jarang sekali membuang uang untuk kelab malam dan mabuk. Terakhir Kalla ingat, mereka mabuk berdua waktu kelulusan kuliah dulu. Sudah lama sekali. Dan Kinna tidak berminat mengulangnya. Meski Kalla pernah mengajaknya sekali dan akan mentraktirnya. Tapi Kinna tetap menolak. Jadi, Kalla lebih sering main ke club bersama gengnya. Sekarang mendengar Kinna mabuk, rasanya pasti ada yang tidak beres! Kinna tidak akan mabuk jika tidak sedang stres atau banyak tekanan!

Sialan, Kalla masih mengumpat dalam hati. Pikirannya langsung tertuju pada Jordan. Pasalnya laki-laki brengsek itulah yang belakangan ini dekat dengan sahabatnya. Kalla mengamati dari jauh. Betapa dekatnya mereka berdua sekarang. Meski cuek begini, diam-diam dia sangat menyayangi Kinna. Sahabatnya adalah segalanya. Kinna akan tetap menjadi satu-satunya perempuan yang akan dia jaga sampai ada laki-laki yang pantas menggantikannya. Karena Kinna sangat tidak becus menjaga dirinya sendiri. Kinna selalu membutuhkannya.

Kalla bangkit dari duduknya kesetanan. Tepat saat jemari lentik Thalia menahan. “Why? Mau ke mana?”

“Sayang... aku pergi dulu bentar, ya?”

“Iya, tapi ke mana?”

“Jemput Kinna! Kinna mabuk di club! Aku khawatir banget! Aku takut dia kenapa-kenapa!”

Raut cemas di wajah Thalia pudar. “Ki— Kinna?”   

Kalla mengangguk. Segera bangkit dari dudukannya. Mengundang perhatian Tomi dan Donna. “Ma, Pa, aku pamit bentar.”

Tentu saja Tomi melotot. “Loh, loh, mau ke mana?! Acara makan malamnya belum selesei, Kal!”

Kalla menggeleng frustasi. “Tapi bentar, Pa, gawat! Kinna depressed! Aku mau jemput dia dulu! Aku takut dia kenapa-kenapa,” diliriknya Winda dan Aji penuh permohonan, “Om, Tante, saya pergi dulu sebentar, ya? Nanti saya ke sini lagi.”

Winda ikut bingung melirik Donna. “Jeng, memang Kinna itu siapa? Harus banget dijemput Nak Kalla, ya?”

Donna hanya memaksakan tawa santai. “Oh, itu... Iya, begitulah, Jeng. Kinna itu dari kecil sudah kami anggap anak sendiri. Karena nggak ada yang mengurus, orang tuanya juga menelantarkannya. Jadi, dari kecil seperti saudara kembarnya Kalla. Tapi versi perempuaan.”

“Oh, semacam anak angkat kalian begitu, ya, Jeng?”

“Ya, kurang lebih begitu, Jeng. Saya dan Mas Tomi juga seneng-seneng aja karena kita nggak punya anak cewek,” kemudian Donna melirik Kalla. “Ya sudah sana, kamu temui Kinna dulu. Biar Thalia yang di sini. Kalau udah selesei, balik lagi, Kal.”

“Iya, Ma, aku pergi, ya? Duluan ya, sayang?”

Kalla mengecup kening Thalia yang mendadak dingin. Kalla meringis tidak enak melihat senyuman kecut Thalia. Tapi, dia tidak bisa membiarkan Kinna begitu saja. Akhirnya Kalla tetap berlarian keluar dari restoran hotel menuju mobil. Diam-diam terus mengumpat selama menyetir.

Goblok Cendol! Goblok! Ngapain juga lo ke club?!

Dan Kalla merasakan jantungnya memburu khawatir. Amat sangat takut akan terjadi sesuatu yang buruk. Kinna jarang terlihat depresi. Sekalinya terjadi, bisa jauh di luar perkiraan. Beruntung jalanan tidak ramai. Kalla bisa segera sampai di muka pintu club yang dikatakan Jelita. Benar Kinna di sana. Bersama Jordan di gendongannya. Brengsek. Kalla tidak akan membiarkan. Segera ditahannya pintu mobil Jordan.

“Lepasin Kinna!”

“Pak Kalla?!”

“Iya, itu gue! Kasih Kinna ke gue, biar gue yang urus dia!”

“Untuk apa lagi Anda mencari-cari Kinna?!” mau tak mau emosi Jordan meninggi. “No, I don’t!”

“Lepasin, atau lo akan mendapat masalah besok di kantor!” suara Kalla penuh penekanan.

“Why you always teased lower people?! But, so sorry, I’m not afraid with you, Mr. Kalla. You better take care of your fiance. And just left Kinna, she doesn’t need you again!”

“Kinna sahabat gue! Lepas! Biar gue yang antar pulang!”

Jelita meringis ketakutan melihat perdebatan antara Jordan dan Kalla. Diam-diam hanya bisa menatap memohon pada Jordan. “I... iya, Jor, udah, biar Pak Kalla yang anter Kinna. Pak Kalla knows what Kina’s need.

“No, Jelita! No!”

Tatapan Kalla teralih pada Jelita. “Okay, Jelita, you too. Meet me tomorrow at the office. Kalian berdua menemui saya besok pagi.

“A... Ampun, Pak. Jangan pecat saya. Jor, please...” Jelita semakin ketakutan. “Udah, kita pulang aja. Kinna biar diurus Pak Kalla.”

Jordan mengumpat kasar, menendang ban mobilnya sendiri. Mau tak mau memindahkan Kinna dari gendongannya ke gendongan Kalla. Setelah itu, Kalla berlarian pergi menggendong Kinna menuju mobilnya sendiri.

“What the fucking you do, Kinnanthi?” umpatnya begitu berhasil membanting pintu mobil. Perlahan mendudukkan Kinna di kursi sampingnya. “You’re drunk! Are you crazy?! You know what you do?!”

Tapi Kinna malah tertawa dalam mabuknya. Menatap Kalla dengan mata menyipit. Perlahan mengangkat jemarinya mengelus pipi Kalla. “Jor—” lirihnya, “Jordan! Katanya... hik... Ayo pulang, Jor...”

“Brengsek! Gue udah suruh dia pulang!” sembur Kalla. “Gue bukan Jordan, Kinnanthi!”

“Jordan, why?!” tawa Kinna malah mengencang lagi. Kembali meraba muka Kalla. “Tapi omong-omong muka lo... hik... Kok berubah jadi— hik...”

“You’re drunk, Ki!”

 Kinna semakin tertawa. “Mirip Kaleng! Ahahah... Gue pasti berhalusinasi lihat Kalla di sini! Mana mungkin, ya, Jor?! Hihi!”

“Sinting lo, Ki! Sinting!” teriakan Kalla makin kencang. “Lo mabuk berat, Ki! Lo nggak sadar?!”

“Ahaha... Kalla! Kaleng Busuk! Hihi... Sayang! Muah!” Kinna masih terus tertawa saat sadar pandangan matanya semakin buram. Tapi tidak bisa mengelak bayangan Kalla semakin kuat di sana. “Kalla? Its you, really?!

Kalla menangkup pipi Kinna mendekat ke arahnya. “Look at me! Look! It’s me!”

Tapi yang tidak Kalla sangka, Kinna malah mendorongnya ketakutan. “No way! Jor, bangunin gue! Jordaaan! Gue takuuut! Jangan tinggalin gue, Jor! Gue nggak mau! Huhuu... Jordaaan!”

“Why?! Kinnanthi! Tenang, please, gue mohon... Ini gue, Kalla!”

Dan tangis Kinna kembali pecah, meraba pipi Kalla. “Sayaaang...” lirihnya. “Sayaaang... It’s you? Really? I miss you...”

Kalla menjambak rambutnya frustasi. Ingin rasanya menjedorkan kepalanya ke kaca. Pasti Kinna mengira dirinya Jordan. Berangan-angan bahwa Jordan masih di sini. Padahal nyatanya Jordan sudah pergi sejak tadi. Sialan. Kalla malah terjebak di sini bersama sahabatnya yang sinting itu. Membiarkan jemari kasar Kinna meraba  seluruh mukanya. Untuk ukuran perempuan, jemari Kinna terlalu kasar. Tidak terawat. Kebanyakan berkutat untuk menggosok cucian.

“Sakit, anjir! Ki, sadar! Ini gue!”

Tapi Kinna tak peduli. Terus mengiba, berusaha bangun dari duduknya, merangkak tersedu-sedu ke atas pangkuan Kalla di sampingnya. “Sayaaang...” isaknya. “You left me alone?! Why?! I can’t life without you—” tangisnya, terus meraba pipi Kalla.

“Sumpah, Ki! Takut gue liat lo gini! Turun nggak, lo! Turun! Gue bukan Jor—” bahkan sebelum Kalla selesai bersuara, bibirnya sudah disumpal.

Kalla merasakannya, bibir Kinna yang membekapnya. Menyumpal mulutnya tiba-tiba. Sambil memanggil-manggil sayang dengan penuh kelembutan dan memelas. Memutus pasukan oksigen Kalla perlahan.

“Ki, gue mohon—” erangan Kalla tertahan.

Kalla masih ingat rasanya. Merasa berdosa pernah mencium Kinna diam-diam saat SMP dulu. Saat masih mengenakan seragam biru putih. Ini sebuah rahasia. Kinna adalah ciuman pertamanya. Tempatnya menumpahkan rasa penasaran saat remaja dulu. Karena Kalla hanyalah seorang remaja yang tengah bertumbuh dewasa. Ingin tahu apa itu ciuman, bagaimana rasanya? Kinna satu-satunya perempuan yang bersamanya. Maka, pulang sekolah, setelah mereka bermain basket, saat Kinna tertidur kelelehan di dekat lapangan. Kalla meraup bibirnya diam-diam.

Itu sebelum Kalla sadar, bahwa ketika beranjak SMA, banyak perempuan yang jauh lebih menarik. Banyak ciuman panas yang lebih oke dengan mantan-mantannya. Kalla menjadi idola sekolah, playboy yang dikagumi. Semua perempuan di SMA bertekuk lutut padanya.

Sekarang, mengingat hal menjijikkan itu, membuat Kalla jadi malu sendiri.

“Lo bener-bener gila, Ki! Sadar, ini gue, woy! Bukan sayang lo si Jontor itu! Ck, gue anter lo ke kos!”

Hingga satu jam kemudian maserati yang dikendarai Kalla berhasil parkir di depan gang kos. Hati-hati Kalla menggendong Kinna masuk lewat pintu belakang karena keadaan kos Kinna sudah terlalu sepi. Tanpa menimbulkan suara, dibawanya Kinna masuk ke dalam kamar kosnya yang tidak seberapa luas itu. Setelahnya Kalla berbalik pergi. Harus menenangkan otaknya.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Last tears
666      384     0     
Romance
Berita kematian Rama di group whatsap alumni SMP 3 membuka semua masa lalu dari Tania. Laki- laki yang pernah di cintainya, namun laki- laki yang juga membawa derai air mata di sepanjang hidupnya.. Tania dan Rama adalah sepasang kekasih yang tidak pernah terpisahkan sejak mereka di bangku SMP. Namun kehidupan mengubahkan mereka, ketika Tania di nyatakan hamil dan Rama pindah sekolah bahkan...
SERENA (Terbit)
16972      2971     14     
Inspirational
Lahir dalam sebuah keluarga kaya raya tidak menjamin kebahagiaan. Hidup dalam lika-liku perebutan kekuasaan tidak selalu menyenangkan. Tuntutan untuk menjadi sosok sempurna luar dalam adalah suatu keharusan. Namun, ketika kau tak diinginkan. Segala kemewahan akan menghilang. Yang menunggu hanyalah penderitaan yang datang menghadang. Akankah serena bisa memutar roda kehidupan untuk beranjak keatas...
BELVANYA
306      207     1     
Romance
Vanya belum pernah merasakan jatuh cinta, semenjak ada Belva kehidupan Vanya berubah. Vanya sayang Belva, Belva sayang Vanya karna bisa membuatnya move on. Tapi terjadi suatu hal yang membuat Belva mengurungkan niatnya untuk menembak Vanya.
Horses For Courses
10865      2175     18     
Romance
Temen-temen gue bilang gue songong, abang gue bahkan semakin ngatur-ngatur gue. Salahkah kalo gue nyari pelarian? Lalu kenapa gue yang dihukum? Nggak ada salahnya kan kalo gue teriak, "Horses For Courses"?.
Berawal Dari Sosmed
553      399     3     
Short Story
Followback yang merubah semuanya
Heliofili
1894      951     2     
Romance
Hidup yang sedang kami jalani ini hanyalah kumpulan berkas yang pernah kami tandatangani di kehidupan sebelumnya— dari Sastra Purnama
You be Me
507      333     0     
Short Story
Bagaimana rasa nya bertukar raga dengan suami? Itulah yang kini di alami oleh Aktari dan Rio. Berawal dari pertengkaran hebat, kini kedua nya harus menghadapi kondisi yang sulit.
The Secret
365      243     1     
Short Story
Aku senang bisa masuk ke asrama bintang, menyusul Dylan, dan menghabiskan waktu bersama di taman. Kupikir semua akan indah, namun kenyataannya lain. Tragedi bunuh diri seorang siswi mencurigai Dylan terlibat di dalam kasus tersebut. Kemudian Sarah, teman sekamarku, mengungkap sebuah rahasia besar Dylan. Aku dihadapkan oleh dua pilihan, membunuh kekasihku atau mengabaikan kematian para penghuni as...
Bulan
710      413     5     
Short Story
Ketika Bulan mengejar Bintangnya kembali
Reaksi Kimia (update)
5195      1327     7     
Romance
》Ketika Kesempurnaan Mengaggumi Kesederhanaan《 "Dua orang bersama itu seperti reaksi kimia. Jika kamu menggabungkan dua hal yang identik, tidak ada reaksi kimia yang di lihat. Lain halnya dengan dua hal yang berbeda disatukan, pasti dapat menghasilkan percikan yang tidak terduga" ~Alvaro Marcello Anindito~