Read More >>"> Call Kinna (BAB 3) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Call Kinna
MENU
About Us  

Berkali-kali mematut dirinya di cermin, Kinna meloloskan beberapa roll yang menggelung di rambutnya. Bagian depan poni, samping kiri, hingga samping kanan belakang. Sesekali ditatapnya lagi pantulan dirinya di cermin. Mukanya makin bulat saat rambutnya tergerai jatuh bak mangkuk. Bukannya makin indah sehabis di-roll, rambutnya malah jadi makin mengembang. Seperti kue yang diberi baking soda. Argh, Kinna mendengus kesal. Mengacak rambutnya frustasi. Kapan, sih, rambutnya terlihat bagus dan eye catchy?!

Menyerah, Kinna menarik karet dan mencepol rambutnya yang sudah super pendek itu. Kinna benci rambut panjang. Karena kalau dipanjangkan, rambutnya akan jadi seperti wewe. Belum lagi kulit tubuhnya yang kusam dan kumal. Kinna tidak pernah perawatan dan tidak tahu apa itu salon. Hidupnya yang membosankan dihabiskan untuk mencari uang.

Kinna menggigit bibir. Menjauhkan bayangan dirinya dari pantulan cermin. Tidak mau teringat masa lalu itu lagi. Tapi, kenangan itu selalu menggamparnya pelan-pelan. Selalu menyeretnya kembali. Dimas bukan ayahnya. Dimas adalah monster. Monster yang tidak sengaja menyumbangkan sperma ke rahim wanita yang telah melahirkannya dulu. Menjadikannya terlahir ke dunia yang menyedihkan ini. Kalau bisa Kinna memohon, Kinna tidak ingin dilahirkan.

Dan Kinna selalu berakhir dijambak. Rambutnya dipangkas secara kasar. Bahkan pernah dipukuli saat Dimas mabuk.

“Kinnanthi, kamu bener-bener kurang ajar! Kamu nggak berguna! Nggak pantas kamu lahir!”

“Ampun, Yah, ampun! Jangan pukul Kinna lagi! Jangan potong rambut Kinna! Ampuun, Yah! Sakit!”

Kinna menjambak rambutnya frustasi. Tiba-tiba mengingat Tarumi. Bagaimana kabar adiknya? Kinna berjanji, akan menguliahkan adiknya di sini. Supaya adiknya itu bisa segera lepas dari Sukma dan Dimas. Sukma selalu mengancam dengan membawa-bawa nama Rumi di dalamnya. Kinna tidak mau Rumi harus berakhir menyedikan seperti dirinya. Rumi harus punya masa depan cerah.

Perlahan Kinna meraih ponselnya dan menghubungi Rumi. Adiknya itu langsung mengangkat di dering pertama. “Assalamualaikum, Rum. Iya, ini Mbak Kinna.”

Dan jeritan riang Rumi di seberang sana membuat Kinna sedikit lega. “Gimana? Kamu udah jadi bayarin uang SPP gedung sekolah, kan? Hah?! Apa?! Maksudnya uang yang Mbak kirim kemarin diambil lagi sama Tante Sukma?! Bener-bener, ya—”

Kesabaran Kinna nyaris naik ke puncak ubun-ubun kalau suara lembut Rumi tidak menenangkan. Rumi dan dirinya memang berbeda. Rumi adalah kebalikannya. Rumi yang lemah lembut dan penurut. Berbanding terbalik dengan dirinya yang begajulan dan pembangkang. Tapi, itulah alasan mengapa Kinna menjadi kuat sampai sekarang. Di sisi lain, Kinna juga bersyukur karena sifat Rumi yang penurut membuatnya jarang mendapat perlakukan kasar. Biar Kinna saja yang menjadi samsak kebencian. Jangan Rumi.

“Alhamdulillah kalau kamu masih punya sisa tabungan, Rum. Tapi Mbak nggak bisa biarin Tante Sukma seenaknya terus-terusan. Sekarang gini, besok Mbak coba ambilin uang lagi, Mbak kirim ke kamu. Tapi jangan sampe ketahuan Tante, ya, oke? Ya udah, sekarang kamu lanjutin lagi belajarnya. Besok masih ujian, kan? See you.

Argh, otak Kinna mulai pening lagi. Nyaris kembali rebahan sambil menyalakan laptop dan menonton youtube, kalau matanya tidak menemukan sekumpulan paperbag dari Donna masih tergelatak rapi di atas meja belajar. Astaga, Kinna jadi ingat, dia belum sempat menemui Donna. Ini sudah lewat beberapa minggu. Ah, sepertinya Kinna harus ke rumah Kalla sekarang.

***

Pukul tujuh malam Kinna mendaratkan motor matic-nya memasuki pekarangan luas dan super megah milik keluarga Tanubradja. Sambil melepas helm merah yang dipakainya., lagi-lagi Kinna berdecak. Masih tidak habis pikir dengan betapa kayanya keluarga Kalla. Kinna sudah sangat sering main ke rumah Kalla sejak dulu. Tapi tidak pernah berhenti berdecak kagum setiap kali main ke sini. Mulutnya selalu melongo mengagumi rumah bertingkat-tingkat dengan nilai fantastis di hadapannya. Dengan pekarangan luas yang mengelilingi, mobil-mobil terparkir berderet, taman bunga, dan air mancur.

Sangat berbeda dengan rumahnya di kampung halamannya— Sukabumi. Hanyalah sebuah perkampungan kumuh dekat perkebunan dan persawahan. Sebuah rumah kontrakan kecil berhimpitan dengan rumah warga yang lain. Kinna tidak bisa membayangkan jika Kalla suatu hari tahu rumahnya yang di Sukabumi itu seperti apa. Kalla pasti jijik dan minta pulang. Untung sejauh ini tiap Kalla menawarkan diri untuk menemaninya mudik, atau bahkan merengek minta ikut ke Sukabumi, Kinna selalu melarang. Dengan dalih, Kalla tidak akan sudi menginjakkan kaki di kampungnya.

Lamunan Kinna terhenti saat suara deritan pintu yang dibuka terdengar. Bahkan Kinna belum sempat membunyikan bel. Tapi, syukurlah, Kinna segera meraih kantong plastik berisi bakmi Jawa yang sengaja dibelikannya untuk Donna, sebagai balasan atas oleh-oleh tempo hari.

Di hadapannya Kalla keluar dari pintu beraksen keemasan itu, Donna menyusul dari sana. Diikuti oleh sosok perempuan asing yang tidak dikenalnya. Asyik mengobrol sampai suara Kalla menyadarkannya.

“Loh, Ndol, lo ke sini?”

Kinna gelagapan, “Eh. I— iya, gue...” segera diangkatnya kantong plastik di tangan. “Mau bawain ini buat Tante. Gue, kan, kemarin janji mau main.”

“Ya elah, kok nggak bilang dulu, sih?! Ini gue mau pergi tahu.”

Kinna nyengir. “Mau... Mau ke mana, emang?”

Donna yang menyadari kedatangan Kinna, tentu langsung berlarian menghambur ke pelukannya. “Ya ampun, Kinna! Tante really... really... miss you! Ah, my beloved little daughter! Duh, kemana aja kamu? Kok baru muncul, sih. Tante kangen kamu banget!”

Kinna hanya terkekeh kegelian mendapati ciuman dari Donna di pipi kanan dan kirinya. “Hehehe... Iya, maaf, ya, Tan. Kinna baru sempet main sekarang. Makasih banyak, loh, Tante kemarin jadi repot bawain Kinna oleh-oleh dari Aussie segala.”

“Ih, Tante nggak repot sama sekali, tahu! Tante kan udah janji beliin kamu banyak coklat! Kamu suka?”

“Iya, suk—” dan Kalla menarik tangannya kasar, membuat Kinna menjerit. “Aduh, sakit apaan, sih?!”

Kalla setengah mendengus kesal. “Lo tuh yang apaan, Ndol?! Kok lo jadi ke sini sekarang?! Ganggu banget tahu, nggak?! Ini gue mau jalan sama Mama dan Thalia. Eh, lo malah dateng!”

“Thalia?” kening Kinna mengernyit samar. Secara refleks mengalihkan perhatian ke belakang. Perempuan itu berdiri tak jauh dari mereka, tengah melihat mereka. Oh, jadi namanya Thalia? Thalia langsung tersenyum sopan padanya. Mau tak mau Kinna balas tersenyum juga. Meski sedikit canggung.  Tapi ini hanya perasaannya saja, atau memang benar. Ekspresi Kalla terlihat berbeda. Tampak benar-benar bahagia saat menatap Thalia. Sangat berbeda dengan ekspresi Kalla bersama mantan-mantannya dulu.

Akhirnya Kalla menarik tangan Thalia mendekat. “Sini, Thal. Kenalin, ini sahabat aku, namanya Kinna,” dan ditatapnya Kinna lagi. “Ndol, ini Thalia,” suaranya penuh bisikan. “Doain, jadi calon istri gue.”

Kinna tahu ada sesak di hatinya. Rasanya seperti dihantam besi ribuan ton. Mengakibatkannya kesulitan berbicara. Ini pasti bohong, kan? Kalla tidak pernah serius. Tapi kenapa rasanya Thalia ini berbeda. “Oh... Gu... Gue Kinna. Salam kenal, ya.”

Thalia masih tersenyum. “Aku Thalia. Salam kenal juga, Kinna,” kemudian diliriknya Kalla lembut. “Sahabatmu?”

Kalla cengengesan. “Iya, dari SMP, Thal. Temen aku panjat tebing sama naik gunung. Pokoknya temen nantang adrenalin dan maut, deh,” tawanya mengacak rambut Kinna. “Ini anak bukan cewek, Thal, tapi cewek jadi-jadian. Nih, lihatin, deh. Tampilannya aja berandal banget, kan? Tomboy abis. Cariin gih, Tal, cowok yang mau sama sahabat aku ini. Biar nggak jomblo terus. Kasihan.”

Tentu saja Kinna kesal. Meski, ya, dia hanya memakai setelan jeans belel yang bagian lututnya robek. Ditambah jaket jeans yang juga kedodoran. Tapi Kalla tidak berhak mengejeknya begitu apalagi di hadapan Thalia yang— modis sekali ini. Membuatnya terbanting jatuh.

 “Apaan, sih?! Iya, iya, gue emang buluk di mata lo!”

Kinna hampir saja menangis. Kalau saja Thalia tidak membelanya. Dengan cara yang penuh pengertian dan dewasa.

“Kata siapa? Semua perempuan itu cantik dengan cara mereka.”

Mendengar penuturan Thalia, Kalla langsung meringis, “Oke, deh. Ya udah, yuk, berangkat sekarang. Thal, Ma?”

Donna merangkul Kinna, “Yuk, Ki, kamu ikutan juga, ya?”

Kinna tersentak kaget. “Loh... Kok... Kok Kinna jadi ikutan, sih, Tan? Kinna cuma mau mampir doang. Ini mau langsung balik kos.”

Tapi Thalia menarik tangannya. “Jangan. Ikut aja.”

Kalla menghela napas malas. “Ya udahlah, ikutan aja, Ndol! Tapi jangan berisik, ya! Males gue kalau lo berisik!”

***

Suatu kesalahan bagi Kinna malam ini—terjebak di dalam maserati milik Kalla. Karena yang dia dapatkan setengah jam kemudian hanyalah pengacangan. Kalla dan Thalia duduk di jok depan. Sementara dirinya dan Donna di jok belakang. Awalnya Kinna dan Donna mengobrol seru seputar liburan Donna di Aussie. Tapi, lama kemalaan semua berubah karena merembet pada Thalia.

Thalia yang kuliah di Canberra-lah, Thalia yang suka memasak di flat milik Auntie Giselle-lah, Thalia yang inilah, itulah. Jadi, pembahasan selanjutnya hanyalah seputar Thalia yang bisa segalanya. Thalia, si perempuan sempurna.

“Tante waktu di Aussie sering banget dimasakin Thalia, loh, Ki. Thalia ini pinter banget masak.”

Thalia hanya tersenyum tipis. Sesekali menoleh dari jok depan. “Itu nggak benar, Ki. Aku hanya bisa masak sedikit.”

Kalla dari setirnya menyambung. “Halah, nggak usah merendah untuk meroket, Sayang.”

Kinna terlonjak kaget mendengar panggilan itu. Begitu juga dengan Donna. Bahkan Thalia yang mendengarnya jadi malu sendiri dan salah tingkah. Sebaliknya, Kalla malah tertawa bersiul-siul.

“Sayang?” ulang Donna setengah mengejek.

Kalla pura-pura mengibaskan kaosnya, “Sayang udaranya panas banget.”

Donna menggoda. “Panas gimana, sih, Kal? Orang ini dingin banget! Kamu itu halu!” tatapannya teralih pada Kinna, “Kalau mau bilang sayang, ya bilang aja, ya, Ki? Kan, nggak ada yang ngelarang!”

Kinna memaksakan tawa. Hatinya mungkin terluka. Tapi mukanya tidak boleh menampakkan luka itu. “Eh, i— iya, Tan.”

“Janganlah, nanti Kinna cemburu, Ma!” ejek Kalla ikut tertawa. “Iya, cemburu karena jomblo! Nggak punya pasangan!”

“Makanya, Ki, kamu buruan cari cowok juga, dong! Tante pengen banget lihat kamu punya gandengan. Terus kenalin ke Tante, ya? Bawa ke Tante. Biar Tante tes dulu, pantes atau nggak buat kamu. Janji, lho.”

Kinna masih pura-pura tersenyum. Tapi, astaga, andai saja Donna tahu bahwa Kinna mencintai anak laki-lakinya itu. Andai saja Donna tahu, laki-laki yang sangat ingin dia jadikan gandengan adalah... anaknya. Apakah Donna akan mengizinkan?

“Kalau Kalla sama Thalia menurutmu gimana, Ki? Setuju, nggak?! Setuju, dong!”

Tante Dona, jangan. Tante! Oh, shit. Batin Kinna berteriak. Tapi suaranya tidak muncul ke udara. Hanya senyum palsunya.

“I— iya, cocok, Tante.”

Thalia memprotes malu-malu. “Tante!”

“Loh, memang iya, kan, Ki?! Cocok banget malah!” Dona lagi-lagi tertawa riang. “Pokoknya Kinna juga harus cepet dapet pacar biar nggak kalah sama Kalla, ya, sayang?! Kamu, sih, nggak mau Tante kenalin sama anak-anaknya temen arisan Tante dulu.”

“Iya, Tante. Belum ada yang cocok aja. Kalau ada, pasti Kinna kenalin ke Tante.”

Tapi dengan kurang ajarnya Kalla malah menyindir. Lagi dan lagi. Air mata Kinna rasanya seperti bisa merembes kapan saja. Kalau menyerang tidak dilarang, Kinna sudah ingin memotong mulutnya sejak tadi.

“Belum ada yang cocok, atau emang nggak laku?! Beda konteks, loh, Ndol!”

 “Hush... Mulut kamu itu, Kal!”

“Ya, kan, gitu, Ma! Siapa sih yang mau sama cewek macem Cendol? Belum apa-apa udah di­-smackdown! Huh, takut! Hi!”

***

Keadaan hingar bingar keramaian mall membuat Kinna sedikit terhibur. Setidaknya dia cukup senang terbebas dari kursi panas di dalam mobil Kalla tadi— yang hampir seluruhnya hanya memojokkannya terus menurus. Sekarang langkah kaki Kinna menyusul Donna memasuki gerai tas gucci yang mewah. Tapi matanya tak bisa lepas dari belakang sana. Tepatnya ke arah Kalla dan Thalia yang asyik tertawa mengobrol sambil memakan es krim. Nyaris saja Kinna tersandung saking bengongnya.

“Kinna sayang!” panggilan Donna membuyarkan lamunan Kinna. “Sini, deh. Bantu Tante pilihin tas. Kira-kira bagus yang model mana, ya, Ki? Clutch atau sling bag? Tante bingung, deh.”

Kinna menatap dua tas di tangan Donna. Model clutch terlalu mewah karena berwarna keemasan dan penuh gliter. Sedangkan yang sling lebih sederhana berwarna hitam dan tidak neko-neko. Tentu saja Kinna memilih yang hitam.

“Kalau menurut Kinna lebih lebih bagus yang item, Tan.”

Tapi sebelum Donna membalas, Thalia lebih dulu bersuara. “Yang golden bagus juga, Tante. Katanya, Tante beli untuk ke pesta.”

Ditambah suara Kalla. “Iya, Ma, pilihan Thalia pasti oke punya.”

“Okay, Mama ambil yang golden. Makasih, ya, Thalia sayang.”

Bagus, Kinna tidak akan berguna di sini. Untuk apa keberadaannya sekarang? Kinna sudah menduga. Hal ini akan terjadi seterusnya. Seperti ini contohnya...

“Thal, lihat, deh, blush on-nya bagus yang merk apa, ya?”

Lalu Thalia akan menjawab. “Make over bagus, Tante. Coba layers-nya yang red light itu, Tan. Atau peach. Mama saya juga pakai yang itu,” dan keduanya akan asyik sendiri mengotak-atik berbagai jenis make up.

Setelahnya Donna masih menyeret Thalia ke gerai lainnya. Gerai baju, perhiasan, dan hampir semua gerai di dalam mall. Membuatnya tertinggal terus menerus.

“Kalau selendang yang ini bagus nggak, Thal?”

“Mending yang merah atau biru ini, ya, Thal?”

“Thal, Tante kok, pengen gelang yang baru, ya?!”

Jadi, untuk apa keberadaan Kinna sekarang?  Sepertinya dia tidak dibutuhkan lagi. Kinna jadi menyesali kenapa dia harus terjebak di sini. Seharusnya tadi dia pulang saja daripada harus ikut jalan-jalan ke mall ini. Lagipula banyak hal yang harus dikerjakannya. Dia bisa melanjutkan pekerjaannya sebagai SPG di mall sebelah. Tidak perlu makan hati begini.

“Eh, kita ke Golden Swan, ya, Thal? Itu salon langganan Tante. Di dalem mall ini ada gerainya, kok. Tante pengen spa, nih. Mau, ya?”

“Boleh, Tante. Kinna ikut juga, ya?” suara Thalia mengagetkan lamunan Kinna.

Donna mengangguk setuju. “Iya, ayuk, Ki. Kamu nggak pernah mau, kan, temenin Tante nyalon? Duh, Tante sampe lupa kamu ikutan dari tadi. Kamu, sih, jalannya belakangan terus.”

Haha. Kalau boleh Kinna tertawa, Kinna ingin tertawa sepuasnya. Bagaimana Donna bisa sadar jika berjam-jam setelahnya, Donna asyik sendiri menggeret Thalia ke sana-ke mari. Seumur-umur, baru kali ini Donna mengabaikan dan melupakan kehadirannya. Biasanya Donna akan selalu menggandengnya tiap jalan-jalan. Tapi, semua berbeda sejak ada Thalia di sini.

“Kinna nggak usah, Tan. Kalian berdua, aja.”

Why?” protes Thalia. “Ikut saja.”

“Gue... Gue nggak pernah nyalon, Thal.”

Dan tawa Kalla menyembul dari belakang, merangkul bahu Kinna. “Iya, nggak usah repot-repot! Ngapain ngajak Kinna nyalon segala?! Nggak bakal maulah! Kecuali kalau kamu ngajakin dia nguli, Thal! Pasti langsung mau, deh!”

Sialan. Kinna membatin dalam hati.

“Udah, gih. Kalian nyalon aja. Aku sama Cendol nunggu luar.”

“Sialan lo, Kal!”

Kinna benar-benar mengumpat saat Thalia dan Donna akhirnya masuk ke dalam salon. Sedang mengantri bersama pengunjung lainnya. Kalla tak mau ambil pusing. Langsung menyeret Kinna memasuki butik yang berseberangan dengan salon. Sibuk mencari-cari kaos.

“Ndol?”

“Apa?!”

“Lo lihat, kan, tadi? Thalia sama Mama langsung akrab banget. Gue seneng, deh, mereka cocok gini.”

“Hmm.”

“Biarin mereka spent time waktu berdua. Biar makin deket mertua sama calon menantunya. Kita di sini aja, ya?” Kalla berdecak karena tak mendapat respon dari Kinna. “Heh, malah ngelamun lagi! Bantuin gue pilih kaos, kek! Lo juga ambil, gih.”

Kinna hanya menatap deretan kaos berwarna gelap yang kebesaran di dalam etalase. Pandangannya kosong. Sebenarnya dia suka. Tapi sekarang dia tidak mood belanja.

“Yang ini bagus buat lo, Ndol!” Kalla memasangkan sebuah kaos hitam ala rocker ke badannya. “Coba sana, gih. Gue beliin.”

“Gue udah punya. Semua dari lo! Lo ngado gue begituan terus. Gue bosen!”

“Terus lo mau apa, Ndol? Lo mau gue kado dress lucu, gitu?” tawa Kalla mengejek.

Iya, gue mau dikasih dress yang lucu-lucu. Atau flatshoes yang ada pitanya. Atau parfum yang wanginya rose, Kal. Bukan kaos rocker, sneakers, atau parfum menthol massculin for men. Sialan, bangsat! Kapan lo sadar, sih?

“Tar juga nggak lo pake. Dah, kalau nggak mau ya udah. Gue mau pilih boxer dulu.”

Akhirnya Kalla pergi menyusuri area pakaian dalam. Kinna memilih melihat-lihat pakaian berbahan jeans. Bagaimana pun, jeans adalah favoritnya. Pakaian wajibnya yang tidak boleh absen dalam kesehariannya. Dan melihat aneka jeans di sekitarnya, membuat Kinna oleng. Ah, tapi mahal sekali. Dibolak-baliknya lagi label harga. Tetap sama. Mahal. Tidak berubah sama sekali. Menyerah, Kinna menghampiri Kalla yang sudah berada di kasir. Tangan laki-laki itu sudah penuh barang belanjaan.

“Nih, gue beliin buat lo juga, Ndol! Kebetulan pas gue milih boxer, gue nemu ini!”

Kinna mengernyit curiga menerima paperbag dari Kalla. “Apaan?!” mukanya langsung memerah malu. “Be—be... ha?”

Tawa Kalla melengking puas mengerjainya. “Hahaha! Ya nggaklah, Cendolku Sayang! Mana mungkin, lo aja nggak punya dada! Alias papan seluncuran tanpa bukit! You think?! Udah, lo buka aja sendiri nanti!

Kalla baru akan beranjak. Masih dengan tawa puasnya seperti biasa—setelah mengerjai Kinna. Tapi Kinna buru-buru menahan kasar. Mukanya sudah berapi-api membuat Kalla mengangkat sebelah alis bingung.

“Lama-lama lo itu kelewatan ya, Kal! Lo bilang apa?! Gue nggak punya dada?! Enak aja! Gue punya, ya! Lo pikir gue apa selama ini?! Cewek jadi-jadian?!”

Kalla tahu-tahu jadi pucat. “Whats wrong with you, Ki? Just kidding.”

Dan Kinna merobek paperbag di tangannya. Isinya beberapa setel mini set remaja. “Terus ini bercanda juga?! Otak lo di mana, Kal?! Gue ini wanita dewasa!”

Okay... Okay...” Kalla menghela napas gusar. Tidak tahu kalau reaksi Kinna begini menakutkan.  “Im so sorry. Kalau lo nggak mau, kasih ke Rumi. Kenapa, sih, lo belakangan ini jadi sensian, Ki? Gue biasanya juga bercandain lo, lo nggak apa-apa. Sekarang jadi masalah?”

“Dan Rumi juga bukan bocah, ya! Rumi udah gede! Lo nggak pernah ketemu Rumi, jadi nggak usah sok tahu! Lo nggak kenal keluarga gue!”

Mau tak mau Kalla emosi juga. “Dan lo pikir, lo pernah berusaha temuin gue sama Rumi?! Kenalin gue sama Rumi dan keluarga lo?! Biar gue tahu mereka?!”

“Lo nggak perlu tahu! Itu nggak penting!” dan decakan panjang Kinna mengakhiri malam itu. Segera dipesannya gojek, “Gue pamit. Sampein ke Tante Donna dan Thalia kesayangan lo itu. Bye. I’ve should go. Thanks.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Ojek
795      544     1     
Short Story
Hanya cerita klise antara dua orang yang telah lama kenal. Terikat benang merah tak kasat mata, Gilang dihadapkan lagi pada dua pilihan sulit, tetap seperti dulu (terus mengikuti si gadis) atau memulai langkah baru (berdiri pada pilihannya).
AUNTUMN GARDENIA
128      112     1     
Romance
Tahun ini, dia tidak datang lagi. Apa yang sedang dia lakukan? Apa yang sedang dia pikirkan? Apakah dia sedang kesulitan? Sweater hangat berwarna coklat muda bermotif rusa putih yang Eliza Vjeshte kenakan tidak mampu menahan dinginnya sore hari ini. Dengan tampang putus asa ia mengeluarkan kamera polaroid yang ada di dalam tasnya, kemudian menaiki jembatan Triste di atas kolam ikan berukura...
Putaran Waktu
693      468     6     
Horror
Saga adalah ketua panitia "MAKRAB", sedangkan Uniq merupakan mahasiswa baru di Universitas Ganesha. Saat jam menunjuk angka 23.59 malam, secara tiba-tiba keduanya melintasi ruang dan waktu ke tahun 2023. Peristiwa ini terjadi saat mereka mengadakan acara makrab di sebuah penginapan. Tempat itu bernama "Rumah Putih" yang ternyata sebuah rumah untuk anak-anak "spesial". Keanehan terjadi saat Saga b...
Rumah Arwah
1003      538     5     
Short Story
Sejak pulang dari rumah sakit akibat kecelakaan, aku merasa rumah ini penuh teror. Kecelakaan mobil yang aku alami sepertinya tidak beres dan menyisakan misteri. Apalagi, luka-luka di tubuhku bertambah setiap bangun tidur. Lalu, siapa sosok perempuan mengerikan di kamarku?
Secuil Senyum Gadis Kampung Belakang
419      318     0     
Short Story
Senyumnya begitu indah dan tak terganti. Begitu indahnya hingga tak bisa hilang dalam memoriku. Sayang aku belum bernai menemuinya dan bertanya siapa namanya.
Premium
GUGUR
3848      1783     9     
Romance
Ketika harapan, keinginan, dan penantian yang harus terpaksa gugur karena takdir semesta. Dipertemukan oleh Kamal adalah suatu hal yang Eira syukuri, lantaran ia tak pernah mendapat peran ayah di kehidupannya. Eira dan Kamal jatuh dua kali; cinta, dan suatu kebenaran yang menentang takdir mereka untuk bersatu. 2023 © Hawa Eve
For Cello
2667      925     3     
Romance
Adiba jatuh cinta pada seseorang yang hanya mampu ia gapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang ia sanggup menikmati bayangan dan tidak pernah bisa ia miliki. Seseorang yang hadir bagai bintang jatuh, sekelebat kemudian menghilang, sebelum tangannya sanggup untuk menggapainya. "Cello, nggak usah bimbang. Cukup kamu terus bersama dia, dan biarkan aku tetap seperti ini. Di sampingmu!&qu...
My Universe 1
3706      1240     3     
Romance
Ini adalah kisah tentang dua sejoli Bintang dan Senja versiku.... Bintang, gadis polos yang hadir dalam kehidupan Senja, lelaki yang trauma akan sebuah hubungan dan menutup hatinya. Senja juga bermasalah dengan Embun, adik tiri yang begitu mencintainya.. Happy Reading :)
"Mereka" adalah Sebelah Sayap
434      310     1     
Short Story
Cinta adalah bahasan yang sangat luas dan kompleks, apakah itu pula yang menyebabkan sangat sulit untuk menemukanmu ? Tidak kah sekali saja kau berpihak kepadaku ?
Manuskrip Tanda Tanya
4335      1443     1     
Romance
Setelah berhasil menerbitkan karya terbaru dari Bara Adiguna yang melejit di pasaran, Katya merasa dirinya berada di atas angin; kebanggaan tersendiri yang mampu membawa kesuksesan seorang pengarang melalui karya yang diasuh sedemikian rupa agar menjadi sempurna. Sayangnya, rasa gembira itu mendadak berubah menjadi serba salah ketika Bu Maya menugaskan Katya untuk mengurus tulisan pengarang t...