Suasana kamar kos yang sederhana itu kini berubah jadi panas ketika sebuah telpon datang. Kinna— nama perempuan itu— masih mengenakan balutan bathrobe pink dan handuk menggelung menutupi rambut basahnya, mendengus kesal. Tahu siapa penelpon yang mengganggu hidupnya di pagi begini. Tentu saja tantenya, yang kini merangkap sebagai rentenir penagih hutang.
Kinna melirik jam yang menggantung di tembok. Hampir pukul setengah delapan pagi. Dan dia masih di sini terjebak bersama kerempongannya. Belum bersiap dengan blazernya untuk ke kantor. Mendengus, Kinna mengangkat telpon itu. Nyaris mengumpati adik dari wanita yang telah melahirkannya.
“Halo, iya?! Ada apa lagi, sih, Tan?! Ini masih pagi! Aku belum ke kantor!” kalau Kinna sudah tidak peduli pada sopan santun, dirinya pasti sudah mengumpat.
“Sssttt... Kalem! Jangan ngegas! Bisa?!” teriakan Sukma, si Tante yang mata duitan itu menyahut dari layar. “Heh, Kinnanthi! Kamu itu cewek! Barang dagangan! Pantes sampe hari ini kamu nggak laku-laku juga! Kamu belum apa-apa udah ngegas! Berandalan banget, sih! Jadi cewek yang anggun dikit, dong! Kayak nama kamu, kek!”
Kinna menahan napas, mengatur detak jantungnya yang siap berdentum kapan saja jika menyangkut Sukma. Suaranya naik beberapa oktaf. “Udah, bilang aja, Tante mau apa?!” belum beberapa detik, jeritannya terdengar lagi. “Apa?! Duit lagi?! Loh, bukannya kemarin aku udah transfer ke Tante? Buat modal bisnis online Tante?! Sekarang buat apalagi duitnya?”
Dan mendengar rentetan penjelasan Sukma dan alasan bualan lainnya, membuat Kinna tidak tahan lagi. Sukma selalu meminta sejumlah uang terus menerus. Tidak jelas untuk apa. Hari ini dia minta. Lusa minta lagi. Minggu depan pastinya lagi. Lagi dan lagi. Begitu terus berulang-ulang. Alasannya selalu saja ada.
Untuk bayar kontrakan, listrik, modal online, inilah, itulah. Sampai Kinna gila rasanya mendapat pemerasan semacam itu. Dia tidak sempat menabung, tidak sempat menikmati uangnya. Hasil jerih payahnya sendiri. Untuk shooping, untuk bersalon, kencan, liburan, dan segala macam tetek bengek kebahagiaan wanita karir sejenisnya. Tapi dia di sini, ditampar kenyataan yang menyebalkan. Dan Tante sialannya itu tidak membantu sama sekali. Hanya terus memerasnya yang menyedihkan tak berdaya. Memaksanya untuk merubah diri. Jadi cantik katanya? Lalu menjerat laki-laki kaya? Pakai modal apa? Uangnya saja tidak ada!
Akhirnya tanpa banyak kata, dibalasnya juga. “Maaf Tante, aku nggak bisa! Bulan ini uang aku udah mau abis! Dan aku masih ngutang uang kontrakan! Tante tahu sendiri, kan, di Jakarta aku harus bayar kos juga? Kalau nggak, aku bisa diusir dari sini! Jadi, Tante sabar dulu kalau butuh uang! Tunggu sampe bulan depan, oke?!”
Tapi Sukma tak juga menyerah.
“Apalagi, sih?” dengus Kinna tak tahan.
“Kamu ini gimana, sih, Ki?! Katanya kamu wanita karir di Jakarta sana?! Tapi apa?! Tante minta sejuta aja nggak ada! Kemarin yang kamu kasih, ya, udah abislah! Kamu cuma kasih lima ratus kemarin!”
“Iya, emang uang aku udah abis! Kok nggak percaya amat, sih?! Siapa yang abisin?! Yang morotin?! Tante!”
“Inilah kenapa Tante suruh kamu cari cowok kaya! CEO atau apa, kek! Cowok-cowok di kantor kamu emang nggak ada yang kaya? Siapa tuh sahabat kamu, anak pemilik perusahaan tempat kamu kerja! Pacarin, kek! Si Kalla-Kal—”
Tut. Dan jaringan terputus. Kinna menekan-nekan touch-nya kasar. Tidak mau melanjutkan pembicaraan itu. Memilih melempar ponselnya. Buru-buru berganti menggunakan blazer abu-abu kebesarannya. Memoles muka seadanya dengan lipgloss dan bedak. Tidak perlu cantik-cantik— karena toh percuma— dia ini dijuluki perempuan jadi-jadian.
Kinnanthi Anggun Prameswari. Namanya saja yang anggun. Muka mah biasa saja. Manis sedikit, sih. Tapi kelakuan seperti laki-laki, tidak ada anggun-anggunnya sama sekali. Hobi memanjat gunung, naik flying fox, olahraga, basket, dan segala permainan penuh adrenalin plus tantangan lainnya. Galak. Sangar. Rekan-rekannya saja takut jika dia sudah marah. Lebih memilih mundur daripada harus berhadapan dengannya.
Hah, masa bodoh. Kinna mematut sebentar dirinya di ujung cermin. Menatap blazer kebesarannya yang nyaris melorot. Karena tubuhnya yang kecil dan pendek. Kata seseorang dia ini tepos seperti seluncuran. Huh, siapuh. Sekali lagi, dipatutnya diri di cermin. Menyisir sebentar rambutnya yang seperti mangkuk. Pendek sekali. Hanya sebatas di bawah telinga. Mirip kelapa katanya. Karena punya rambut panjang itu ribet dan melelahkan. Kinna tidak mau ambil pusing. Jadilah rambutnya yang jadul, hanya disisipi jepit biting super tipis.
Setelahnya dia meraih tas selempangnya dan mulai menjalankan matic. Melupakan semua omelan Sukma dan kembali pada realita. Tapi baru separuh jalan, macet mulai datang. Ini masih pagi. Astaga, Kinna bisa gila! Dan bunyi klakson mulai terdengar menyebalkan di belakangnya.
Sialan, gerutu Kinna pada diri sendiri. Sangat hapal pemilik suara klakson mahal itu. Kepalanya tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang menyusul di belakang. Kaca spionnya sudah menjelaskan semua. Terutama saat pantulan menyilaukan maserati grancabrio melaju mendekat menuju motor bebeknya. Lalu bekas sampah snack dilayangkan tidak tahu diri ke mukanya.
Kinna menahan umpatan.
Tapi si pengemudi maserati grancabrio itu malah tertawa puas penuh kemenangan. Sambil menyugar rambut cepaknya, tersenyum miring. “Hai, Ndol! Makanya ngantor pake mobil, dong! Bebek gitu lo ajak ngantor!” dan tawanya mengencang mengejek motor matic milik Kinna.
Lampu merah menyala. Kinna belum mau kalah. Menyerempetkan motornya dengan sengaja. Nyaris menggores badan maserati. “Sakalla Tanubradja!” sindirnya, “Why you always mocking me, huh?! This jokes not funny at all! We’re friend, right?!”
“Im not your friend anymore! I’m your Boss! Atasan lo di kantor! Sopan dikit! Panggil gue, Pak!”
“Ini di luar kantor! Siapuh, mau lo Boss gue atau bukan!” dan Kinna menghembuskan napas. “Seriously, jokes lo lama-lama nggak lucu banget, Kal!”
“Lo marah? Just kidding! Pagi gini muka lo bete banget, Ki!”
Kinna baru saja akan menjawab kalau tidak menyadari ada kepala lain yang menyembul di balik tubuh tinggi tegap di hadapannya itu. “Eh, Oh, lo— nggak sendiri, Kal?” lirihnya putus asa.
“Pacar guelah. Siapa lagi, Ki?”
Senyuman Sakalla Hanggra Tanubradja telah menjawab semuanya. Mati-matian Kinna menahan sesak. Luka yang diam-diam telah menghuni dalam hatinya. Juga perasaan yang tumbuh subur sejak bertahun-tahun silam. Berkali-kali nyaris terkubur. Kalau tidak dia pertahankan mati-matian.
Kalla adalah temannya bertumbuh dewasa. Dari jaman mereka masih lusuh dulu. Kinna lupa kapan— tapi mereka saling mengenal jaman MOS SMP. Berbagi permen dan es kopi bersama. Bahkan dihukum mengikat tali sepatu satu sama lain. Lalu memutari lapangan sambil bernyanyi seperti orang gila. Kalla jugalah satu-satunya orang yang pernah membelikannya pembalut saat pertama mens dulu. Bocor di hari penutupan MOS. Itu memalukan. Tapi, gara-gara itu mereka dekat dulu.
Bagi Kalla, Kinna adalah teman satu frekuensi. Suatu bentuk kenyamanan yang tidak Kalla temukan dari teman laki-lakinya yang lain. Mungkin karena Kinna sudah seperti laki-laki dari orok. Mungkin juga karena Kinna suka naik gunung sepertinya. Atau karena Kinna selalu punya topik yang nyambung dengannya. Dan mereka punya banyak kesamaan. Selera humor yang sama, olahraga, game favorit, hobi, atau bahkan hal-hal sesepele film. Kinna suka baku hantam dan bertengkar. Kalla juga. Sesederhana itu.
Kinna itu kopiannya dalam versi perempuan. Jadi, Kalla selalu bilang padanya. Kalau bersama Kinna semua aman. Karena fans-fansnya di luaran sana tidak akan cemburu. Bersama Kinna, semua aman. Lagipula siapa yang akan jatuh cinta pada Kinna si cewek jadi-jadian? Kinna toh juga tidak akan tertarik padanya. Lagipula Kinna sudah tahu segala keburukan dan keborokannya. Mulai dari gonta-ganti cewek sampai ke kebiasannya yang malas mandi.
“Kenapa harus gue lagi, sih?” dan itu respon Kinna tiap kali dijadikan teman kondangan dadakan.
“Ya, karena gue cuma punya lo aja di dunia ini, Ki! Mau ngajakin siapa lagi, sih?!”
“What?! Cuma gue yang lo punya di dunia ini? Cih! Siapa percaya, Kal?!”
Kalla hanya tertawa tiap kali Kinna mulai mendumel seperti itu. “Siapa yang percaya? Ya, gue! Cause you’re the only woman who can’t fall in love with me. Karena lo satu-satunya cewek yang nggak mungkin jatuh cinta sama gue! Jadi, sama lo semua aman! Beres! Gue bisa lakuin apa aja tanpa beban!”
“Cih! Jadi, selain gue semua bakal jatuh cinta sama lo gitu? Ewh!”
Kinna ingat, tawa Kalla makin kencang saat di kondangan hari itu. Kondangan selanjutnya, ke pernikahan teman SMA mereka. Lagi-lagi mereka datang bersama. Satu angkatan SMA akhirnya menyumpahi mereka duduk di pelaminan berdua. Kalla langsung menolak mati-matian. Katanya, lebih baik jadi homo daripadi menikahi Kinna.
Tapi, apa kabar Kinna dan hatinya? Bagaimana jika laki-laki itu tahu bahwa semuanya salah? Bahwa apa yang dikatakannya... Salah besar. Bahwa dirinya di sini, nyatanya, sangat mencintai laki-laki itu. Diam-diam mengaminkan doa atau malah kutukan dari teman-teman satu angkatan SMA mereka. Kinna tidak menampik, Kalla adalah satu-satunya laki-laki di mana dia ingin memasrahkan hidup. Karena bersama Kalla, Kinna menemukan alasan mengapa dia ingin hidup. Saat dia tidak punya alasan lain lagi.
Dan bunyi klakson panjang terdengar. Melempar Kinna kembali pada realita. Melihat laki-laki itu, pemilik hatinya, malah sibuk menciumi pipi perempuan asing yang dia akui sebagai pacar baru. Sialan, batin Kinna meronta. Sambil melambai, Kalla menyalakan gas lagi.
“Ndol, gue duluan, ya! Anter cewek gue kuliah!”
“Dasar pedo!” Kinna melirik perempuan berambut pirang itu, dan tersenyum sok manis. “Aduh, Dek, jangan mau sama Om-Om pedo! Belajar dulu yang bener atuh!”
Bukannya kesal, Kalla malah tertawa puas. Menampilkan muka sombong andalannya. Iri bilang, Boss! Seketika lampu merah menyala, mobil itu melaju meninggalkannya. Kinna tahu ini konyol. Tapi dirasakan matanya basah. Kabur penuh jejak air mata. Sialan, sialan, batin Kinna semakin meronta. Sampai kapan dia akan berada di posisi seperti ini?
Ini salah. Tapi, bisakah, sekali saja Kinna berada di posisi perempuan itu? Sekali saja. Menjadi salah satu pacar simpanan Sakalla Tanubradja. Sekali saja. Bisakah Kalla memandangnya sebagai perempuan juga? Perempuan yang sebenarnya. Bukan hanya sahabat jadi-jadian yang dia ajak ngopi sampai pagi.
***