Oleh Dr. dr. Sumartini Dewi, Sp.PD-KR, M.Kes
Skleroderma digunakan sebagai nama lain dari sklerosis sistemik, merupakan salah satu jenis penyakit autoimun (sistim imun tubuh mengalami perubahan, menjadi hiperaktif dan menyerang sel tubuh sendiri), dan bersifat sistemik, artinya dapat mengenai jaringan ikat di seluruh tubuh.
Skleroderma berasal dari kata sclera, artinya keras/kaku, derma artinya kulit, karena penyakit ini terutama mengenai kulit manusia. Gejala yang timbul berupa proses fibrosis/kekakuan jaringan yang luas, mengenai kulit dan organ tubuh lainnya (saluran pencernaan, paru-paru, jantung, ginjal) serta dinding pembuluh darah. Karakteristik penyakit berupa perubahan pembuluh darah kecil dan kelainan aktivitas sistem imun, peradangan kronis, penumpukan jaringan kolagen yang kaku dan penyangga jaringan yang berlebihan pada jaringan ikat kulit dan organ tubuh. Penjelasan lengkap mengenai penyakit skleroderma ini dipublikasi pertama kali oleh Curzio di Naple pada tahun 1753, baru setelah seratus tahun kemudian, Gintrac mengenalkan istilah skleroderma, dengan kulit sebagai jaringan tubuh yang paling sering terlibat. Keterlibatan organ tubuh yang luas di luar kulit baru dikenal pada pertengahan abad ke-20. Hingga saat ini, penyebab skleroderma belum diketahui dengan pasti, diduga terdapat faktor kerentanan secara genetik, faktor lingkungan seperti adanya toksin/racun yang terpapar dalam jangka panjang, debu silika, dan infeksi virus merupakan faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya skleroderma.
Perjalanan klinis penyakit sulit diduga, dapat terjadi kekakuan jaringan tubuh yang luas dan progresif. Proporsi pada perempuan dan lelaki bervariasi, dengan perbandingan 3−8 : 1. Distribusi usia awal penyakit antara 40−50 tahun. Di Indonesia, belum ditemukan data insidens dan prevalensi penyakit sklerodema, tetapi jumlah tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun dan memiliki potensi menjadi penyakit jaringan ikat yang berat dan mengancam jiwa.
Penyebab kematian pada pasien skleroderma terutama karena kekakuan jaringan pada organ paru dan peningkatan tekanan pada pembuluh darah paru. Angka harapan hidup 10 tahun pasien skleroderma sebesar 67% pada tahun 1990-an. Angka tersebut masih rendah bila dibandingkan penyakit autoimun lain seperti SLE (Systemic Lupus Erythematosus) yang mencapai 92−93%. Berdasarkan luas kelainan kulit dan keterlibatan jaringan organ tubuh, skleroderma terbagi atas dua tipe, yaitu tipe limited (terbatas) dan tipe difus (kelainan kulit yang luas). Manifestasi klinis terbanyak yaitu skleroderma tipe difus sebesar 65%, tipe terbatas sebesar 28%, sindrom tipe campuran (overlap) sebesar 5%, dan tipe lain adalah sklerosis sistemik yang mengenai organ dalam tubuh, tetapi tanpa adanya kelainan kulit/Systemic Sclerosis Sine Scleroderma sebesar 2%. Keterlibatan jaringan organ tubuh pada skleroderma meliputi 28% kelainan paru-paru, 26% kelainan saluran pencernaan, 23% kelainan jantung, dan 2% kelainan ginjal.
Kelainan utama yang ditemukan pada skleroderma adalah proses peradangan, aktivitas sistim imun yang berlebihan, kelainan pembuluh darah dan penumpukan jaringan kolagen dan kekakuan/pengerasan jaringan tubuh (fibrosis). Fibrosis jaringan dapat terjadi secara progresif, artinya memburuk dengan cepat, menjadi penyebab utama munculnya penyakit dan kematian pada penyakit ini, karena terjadi kegagalan fungsi organ seperti paru dan ginjal. Penyebab skleroderma belum diketahui dengan pasti, berbagai teori mengenai bagaimana terjadinya skleroderma masih terus berkembang. Akhir-akhir ini diduga adanya stres oksidatif memegang peran besar pada kejadian penyakit skleroderma, hingga dikembangkan berbagai penelitian dengan tujuan mencari target terapi baru yang dapat menghambat proses peradangan, stres oksidatif, menekan aktivasi sistem imun dan menghambat proses fibrosis.
Penyakit skleroderma diawali dengan adanya kerusakan sel endotel pembuluh darah yang dapat disebabkan oleh adanya radikal bebas atau agen pencetus yang menyebabkan peradangan kronis pada tubuh seseorang. Peradangan yang terjadi merangsang aktivitas sel-sel tentara dalam tubuh seperti sel makrofag, sel limfosit T dan juga sel limfosit B yang diketahui dapat menghasilkan autoantibodi. Produk-produk yang dilepaskan oleh sel-sel radang ini dapat menyebabkan aktivitas sel fibroblas, suatu sel yang menghasilkan produk kolagen, menyebabkan penumpukan jaringan kolagen dan pembentukan jaringan penyangga lainnya, hingga terjadi fibrosis jaringan. Hingga saat ini belum jelas proses mana yang mengawali terjadinya penyakit, faktor mana yang paling penting atau bagaimana mereka saling terkait selama perkembangan dan laju perburukan penyakit.
Peran stres oksidatif pada skleroderma diduga kuat memengaruhi kejadian penyakit dan komplikasinya. Stres oksidatif (baik lokal maupun sistemik) merupakan salah satu penyebab utama perubahan di dalam sel dan merangsang terjadinya kekakuan jaringan (fibrogenesis) pada kulit dan organ dalam tubuh. Pemahaman mekanisme perubahan tingkat molekul pada proses oksidatif ini memberikan informasi baru tentang penyakit skleroderma ini. Sintesis ROS (reactive oxygen species) pada skleroderma dapat memediasi proses oksidatif baik di dalam maupun di luar sel, dapat memengaruhi sel endotel dan sel fibroblas.
***
Salam kenal kakak penulis, aku mulai membaca
Comment on chapter Prolog