Menjelang akhir tahun 2016 seorang perempuan—salah satu pembaca novel saya—menghubungi saya. Dia meminta saya untuk menuliskan novel tentang sakitnya, yaitu scleroderma. Meski belum tahu apa itu scleroderma, saya cukup tertarik karena ketidaktahuan itu. Saya bilang, sekitar sebulan atau dua bulan lagi akan mewawancarainya. Namun, seminggu kemudian dia meninggal dunia. Berangkat dari kejadian itu, akhirnya saya bertemu dengan temannya yang juga pasien scleroderma. Kemudian saya mulai bolak-balik ke RSUP Nasional Cipto Mangunkusumo di Jakarta untuk observasi atau riset dan mewawancarai beberapa pasien dan dokter.
Scleroderma begitu rumit. Di Indonesia masih banyak orang yang tidak tahu tentang penyakit ini. Scleroderma bukan hanya bisa mengubah fisik pasien, tapi juga hati dan pikirannya, serta pandangan orang-orang di sekitarnya. Selama menulis novel ini, perasaan saya sangat terlibat di dalamnya. Sebab, sebagian besar saya tulis dari sudut pandang batin atau hati si pasien. Kadang saya terhenti, merenung, bersyukur, dada mendadak sesak, dan kedua mata berkaca-kaca. Memang, sejak kehilangan salah satu pembaca novel saya itu, entah bagaimana menjadi penting buat saya untuk memberitahukan kepada banyak orang—terutama perempuan—tentang scleroderma melalui tulisan. Tentu agar sedini mungkin mengetahui scleroderma, sehingga semakin cepat pengobatan dimulai, semakin baik hasil yang diharapkan dan kian tinggi kualitas hidup orang yang sakit scleroderma.
Terima kasih kepada dokter Sumartini Dewi, dokter Ridho Adriansyah, dan dokter Anna Ariane atas dukungan dan informasi mengenai scleroderma. Terima kasih pula kepada almarhumah Patrisia Ayu, Sinta Otobi, Bunda Faiz, dan Mbak Yanci yang juga banyak bercerita dan memberi masukan. Dan kepada Sclero Warrior, banyak orang mengingatkan, setiap penyakit pasti ada obatnya. Karena itulah kita tidak boleh kehilangan harapan.
Bekasi, akhir 2016.
Salam,
Ari Keling.
Salam kenal kakak penulis, aku mulai membaca
Comment on chapter Prolog