T H E Y O U T H C R I M E
13
BAGI MEREKA, mengikuti trend yang ada sebagai salah satu bukti bahwa mereka tidak ketinggalan zaman.
"Kiki, do you love me? Are you riding?
Say you'll never ever leave from beside me …."
Penggalan lirik dari lagu yang jadi trend di sepanjang tahun 2018 itu memang menggemparkan masyarakat dunia utamanya di Indonesia. Ketahuilah bahwa begitu banyak kalangan artis dan masyarakat Indonesia yang mengikuti trend menari bersama mobil yang berjalan. Kedengarannya unik dan lucu kan? Karena itulah mulai banyak para siswa berbondong-bondong menyebar, mengikuti tarian modern dengan penggalan lirik lagu dan tak lupa harus punya mobil pribadi. Kalau mau pakai kendaraan umum silakan saja tetapi keamanan tidak terjamin sebab pemiliknya akan marah. Haha!
Gissel berjalan santai memasuki gerbang sekolah sembari menggenakan headset yang baru dibelinya kemarin sore. Bisa dilihat dari kejauhan bahwa ia begitu mahir menari dengan mengikuti irama lagu yang sedang populer. Bukan Gisell namanya kalau tidak mengikuti trend hangat tiap harinya.
"Selamat pagi, Gissel. Bagaimana kabarmu?" tanya Adelia dengan senyum manisnya seperti biasa. Oh, jangan salah. Bagi Gissel, itu adalah senyuman iblis yang mematikan.
Gissel tampak risih disapa oleh Adelia, mengingat gadis berkulit hitam itu sempat cekcok dengan dirinya tempo hari. Apalagi di mata Gissel sendiri yang selalu menilai orang lewat peringkat kelas dari tinggi, menengah dan rendahan, gadis berkulit hitam itu termasuk kategori kelas rendahan. Itulah alasan mengapa ia selalu menghindar dari Adelia. Dengan percaya diri, ia menengok ke kanan dan balik bertanya. "Menurutmu?"
"Baik. Tapi aku ragu apa suasana hatimu baik juga?"
"Oh, kalau kau penasaran lebih baik kau tak usah bertanya padaku." Gissel buru-buru meninggalkan Adelia dengan perasaan jengkel.
Seperti biasa di hari Senin pagi, Mahendra sudah bersiap dengan buku dan catatan pelajaran yang perlu dibawa dan digunakan di kelas 11-A nanti. Sebelumnya dia meneguk kopi luwak panas sebentar sembari menghirup udara segar sebanyak mungkin agar suasana hatinya tidak berantakan, mengingat nanti ia akan dihadapkan pada anak-anak 11-A yang luar biasa aktif dan bar-bar. Pastinya Mahendra harus menyiapkan mental yang kuat dan sehat. Yah, sekalipun begitu ini sudah menjadi kewajibannya yang tak bisa disepelekan.
Setelah membuka pintu kelas 11-A yang terlebih dahulu disambut dengan keributan dan keriuhan aksi para siswa yang buru-buru mengerjakan tugas di sekolah. Bagi mereka ini adalah pemandangan biasa yang tak perlu dianggap aneh tetapi para guru memiliki standarnya sendiri yakni mengutamakan aturan sekolah yang ada maka dari itu siswa 11-A sudah sering jadi langganan guru BK tiap harinya. Takut? Tidak, justru malah makin berani. Mahendra pun tak pernah marah sebab emosi hanya akan membuat ketakutan sementara perkataan dengan hati akan selalu diingat oleh mereka. Kalau sudah begini ia lebih memilih untuk diam saja.
"Selamat pa … gi."
Ketika Mahendra mengucap salam dan meletakkan peralatan tulisnya di atas meja guru, anak-anak serentak mencari tempat duduknya masing-masing hingga memunculkan bunyi bangku yang berderit tiap kali mereka mengatur posisi duduk. Dari ketiga puluh siswa, hanya Aksan dan kaum perempuan tetap duduk dengan rapi seraya tersenyum puas. Ketahuan! Namun, mereka semua tahu bahwa Pak Mahendra tidak akan sampai emosi.
"Berdiri! Beri hormat!"
Seusai acara penyambutan yang singkat, Mahendra mengambil spidol lantas menuliskan rangkuman bab bahasa Indonesia dari semester satu sampai semester dua. Tidak lama lagi siswa-siswi kelas 11 akan menghadapi serangkaian ulangan harian untuk persiapan Penilaian Akhir Semester.
"Anak-anak, mengingat PAS tinggal menghitung hari itu artinya kalian harus belajar lebih rajin dari minggu kemarin. Bapak harap kalian bisa mengerjakan soal-soal dengan baik. Berikut adalah rangkuman bab yang bisa kalian catat." Mahendra berdiri disebelah papan tulis seraya mengatur rambutnya yang sedikit berantakan. Sorot matanya sejenak mengarah pada beberapa siswa yang tampak diam saja tanpa menggerakkan alat tulisnya, salah satunya Aksan.
"Aksan? Kamu tidak mencatat?"
"Maaf, Pak. Saya sudah mengerti dengan semua rangkuman itu. Sangat mudah."
"Kalau begitu bisa kamu jelaskan di depan kelas?"
"Tentu saja. Bab berapa Pak? Satu? Dua?"
"Semuanya. Bapak yakin teman-teman kamu paham kalau kamu yang beri penjelasan."
Aksan memang anak jenius. Bukannya pilih kasih atau bagaimana, dari segi potensi laki-laki itu amat mencolok. Ia tipe orang to the point yang tidak suka basa-basi, selalu fokus ke inti dan tidak mengandalkan intuisi. Segalanya harus sesuai dengan logika dan bisa dicerna. Oh, satu lagi. Adelia. Gadis dari wilayah Indonesia Timur itu ialah tipe orang ambisius, memiliki bakat yang begitu menonjol terutama di bidang musik. Dari penuturan guru-guru mata pelajaran lainnya, kedua anak itu memang sama-sama bersaing untuk jadi yang terbaik.
"Pak, saya juga mau menjelaskan!" Adelia menyeletuk sembari mengangkat tangan. Mahendra memberi aplaus dan gadis itu berjalan dengan mantap.
Aksan menjelaskan empat bab, sisanya dilanjutkan oleh Adelia. Bahasa Indonesia kelihatannya memang tidak susah-susah amat, palingan yang cukup krusial itu ialah bahasa baku. Cukup banyak siswa yang asing dengan istilah umum dan baku bahasa Indonesia, selain karena faktor lingkungan sekitar memengaruhi penggunaan bahasa gaul juga kebiasaan membaca buku yang masih amat rendah. Mahendra sempat geleng-geleng kepala ketika ada siswa yang bertanya apa arti dari kata ini dan itu. Namun, ini tidak masalah. Selama mereka mau bertanya dan aktif, Mahendra akan bersedia menjawab.
"Pak, kenapa Bapak tidak marah sama kami? Kami penasaran lho! Padahal kami sudah mencoreng nama baik 11-A."
Mahendra tersenyum. Bukan sekali atau dua kali ditanya begini, justru sudah berkali-kali dia terus dihujani dengan pertanyaan yang sama. "Bapak tahu, kalian bisa berubah. Bapak juga tahu, kalian semua masih anak-anak yang di mana butuh kesenangan daripada keseriusan belajar. Tapi ... marah tidak ada gunanya kalau kalian bertindak tidak benar. Intinya, Bapak hanya ingin kalian sadar diri dan tahu bagaimana perasaan seorang guru."
Adelia menggenggam segelas es cokelat dengan membawa sebuah komik bergenre aksi yang baru dibelinya seminggu lalu. Ia merapikan rambutnya yang beterbangan akibat tertiup angin sepoi sembari duduk di bawah pohon pulai yang terletak disebelah lapangan basket. Kebetulan area itu cukup sepi tanpa kehadiran para buaya darat yang kerap memadu cinta dan kasih bersama jodoh yang hanya berumur seminggu atau sebulan setelah itu putus lagi. Ah, kisah cinta yang sungguh mainstream. Omong-omong Adelia sudah lama ingin melepas statusnya sebagai gadis jomblo, tetap saja ia tak ingin disakiti oleh buaya. Maka dari itu pilihannya kali ini sangat tepat, mencintai laki-laki fiksi lewat komik. Adelia tertawa dan senyum-senyum sendiri tiap kali membaca kisah komik fiksi itu Astaga. Ia tak sadar bahwa kelakuannya yang memalukan diketahui oleh dua orang laki-laki yang mengintipnya dengan kamera.
Vincent dan Baskara melempar senyum jahil kepadanya dengan mengarahkan kamera polaroid. Sebelum sempat memberi klarifikasi untuk mencegah salah paham diantara mereka, Adelia lebih dulu memberi serangan bogem yang sangat mematikan. Oh, pasti sadar kalau tamparan seorang gadis sangatlah sakit, bagaimana dengan pukulannya?
"Aduduh! Nona manis kenapa sangat kasar?"
Kedua fotografer itu masing-masing mendapat satu pukulan di bagian paha sampai meninggalkan bercak merah. Karena gadis ambisius itu belum bisa memaafkan mereka berdua maka ia memukul lagi tetapi kali ini ditahan oleh Baskara dan segera memberi tahu apa yang terjadi.
"Kami tidak memotret yang aneh-aneh kok! Sumpah! Justru kamu kelihatan cantik lho, Adel!" terang Vincent dengan sorot mata berkaca-kaca, sayangnya api emosi masih membakar hati Adelia
Baskara memberitahu hasil potret yang sudah diambil. "Kalau kamu nggak percaya, nih!"
Seketika hati Adelia yang terbakar padam dan ia rupanya begitu cantik. Dengan bantuan angin dan sinar matahari yang muncul dari rimbunnya dedaunan pohon pulai makin menampakkan wujudnya yang memesona. Kulit hitamnya menampakkan keindahan dari seorang gadis Maluku yang natural dan rambut ikal mengalirkan aura keramahan yang kuat. Hanya dengan satu potret itu bisa menghasilkan kata-kata mutiara yang indah. Adelia segera membungkuk, meminta maaf berulang kali dan berjanji akan mentraktir mereka sebagai bentuk minta maaf.
"Ah, tidak usah repot-repot begitu Adel. Seharusnya kami yang mentraktir kamu, jarang-jarang ada cewek hitam di sekolah ini."
"Hah?! Jadi aku ini cewek hitam yang aneh begitu?!"
"Nggak! Kamu unik, cantik dan epik!"
"Daripada mentraktir segala, bagaimana kalau kalian menjadi budakku? Ah, mungkin itu terlalu kasar … asisten!"
"Asisten? Apa gunanya?"
"Gunanya? Hm … aku tahu kalian berdua adalah orang yang ambisius. Memotret orang dengan mencari hasil yang terbaik … ya, aku adalah idola kalian! Daripada kalian memotretku sembunyi-sembunyi seperti tadi, mulai sekarang ayo kita jadi trio!"
"Ya, ide bagus! Kamu adalah idola kami!"
Mulai detik itulah, mereka bertiga saling membagi nomor kontak satu sama lain dan membentuk sebuah trio kecil. Meski kelihatannya kecil dan tidak ada harganya tetapi mereka adalah tiga orang ambisius untuk menjadi bagian dari Ten Angels. Tidak ada yang tidak mungkin, semua mungkin untuk dilakukan.
Mahendra sedang berisitirahat di ruang guru, menikmati makanan yang sudah dibelinya di kantin. Melalui kaca besar yang berhubung langsung dengan pemandangan lapangan basket dan taman sekolah, Mahendra dengan leluasa melihat-lihat apa yang dilakukan oleh para siswa-siswi yang sedang berkelana di bawah matahari siang. Ada satu pemandangan yang menarik perhatiannya.
"Aksan? Apa yang dia lakukan di sana?"
Terlihat samar-samar seorang laki-laki mengeluarkan amplop putih dari saku bajunya dan menyerahkannya kepada seorang gadis. Entah apa maksudnya tetapi Mahendra yakin bahwa amplop itu berisikan uang dengan nominal fantastis. Kenapa dia bisa beranggapan begitu? Sebab warnanya ada merah dan biru.
Mahendra mendengar desas-desus yang beredar di Kepolisian Sektor Kota (Polsekta) Jakarta Selatan perihal kedatangan polisi wanita baru yang akan menjabat di divisi yang sama dengan Mahendra saat ini yakni Penyidik Anak.
"Halo, Mahendra. Sekarang divisi Penyidik Anak akan bertambah satu. Kenalkan, Rayna Prameswari." Kapolsekta Jakarta Selatan, Teguh Arimbawa mengantar seorang wanita bertubuh tinggi yang menyamai tinggi Mahendra dengan senyum manis tapi tajam. Mereka berdua berjabat tangan dan sempat bertukar pandang.
"Kau … Mahendra?!"
"Rayna?!"
Layaknya dua sahabat yang tak pernah bertemu dalam waktu yang lama, Mahendra berpelukan dengan Rayna. Wanita itu rupanya pernah bekerja dalam kantor kepolisian yang sama sewaktu bertugas di Bali. Kalau tidak salah sih delapan tahun yang lalu. Ya, sudah banyak yang berubah semenjak itu. Bukan hanya dunia dan lingkungan yang tidak sama lagi, manusia pun demikian.
"Kau tambah tampan saja, Hendra!"
"Ah, biasa saja. Omong-omong selama ini kamu bertugas di mana?"
"Di area Jakarta Pusat dan aku sudah menikah. Sekarang aku jadi seorang ibu dari satu anak perempuan."
"Yang benar saja?! Selamat ya!"
Melihat keakraban yang terjadi didepan mata sejenak membuat pandangan Teguh sedikit risih. Ia tersenyum. "Baiklah. Semoga kalian berdua bisa membuat kenangan yang baik selama di sini. Selamat bertugas."
"Siap, Pak!"
****
"PAK! ADA KASUS BARU!"
Reyhan membawa beberapa berkas yang baru saja dicetak dari mesin printer dan meletakkannya di atas meja kerja. Mahendra sibuk membaca berkas yang berisikan kasus-kasus anak terhangat yang terjadi dan dicatat setelah waktu kejadian berlangsung entah sepuluh menit lalu, tiga puluh menit lalu atau satu jam tergantung dari cepat dan lambatnya pelaporan yang diberikan oleh masyarakat atau dari pihak berwajib yang melihat langsung.
"Beberapa pemuda di area jalan raya Jakarta Selatan diketahui sedang melakukan balap liar. Salah satu dari mereka membawa anak kecil yang dimana ini justru sangat berbahaya. Dari beberapa saksi yang sudah diminta keterangannya, diketahui bahwa mereka adalah siswa SMANJA yang salah satunya bernama Aksan."
Mahendra membaca berkas itu dalam hati hingga tertahan saat membaca nama seorang siswa.
"Tunggu, Aksan?"
Di balik jendela ruang penyidik yang begitu sunyi dan hampa dengan langit malam bergradasi abu-abu tanpa rembulan, anak-anak seolah tak pernah menjadikan malam sebagai waktu untuk tidur. Malah kalau malam sudah tiba disitulah waktunya untuk berulah dengan gaya.