Janggal saja rasanya, pada film tersebut digambarkan ada seorang Nyai tidak mencontoh dari Sang Nabi. Entah, apa maksud di balik semua ini. Aku kaget saat kali pertama mendengar dialog itu meluncur dari mulut Sang Nyai. Dialog yang mengingatkanku pada salah satu cerita dalam Injil Yohanes saat Yesus dihadapkan pada salah satu wanita yang dituduh telah berzina.
"Barang siapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.[1]"
Kisah yang terdapat dalam Injil Yohanes sebelas ayat pertama di pasal 8 itu menuai kontroversi. Bukan hanya polemik ceritanya yang menuai banyak pertanyaan. Mulai dari Yesus yang dianggap berdosa karena tidak menghukum si wanita pezina. Hingga anggapan bahwa Yesus tidak menegakkan hukum Taurat Musa terhadap si wanita pezina.
Namun, menurut Alkitab resmi tertua yang dibuat pada tahun 345 Masehi Codex Sinaiticus ayat tersebut adalah ayat tambahan. Dalam naskah codex sinaiticus. Injil Yohanes Pasal 8 di mulai dari ayat ke-12[2].
“Aaah … aku baru ingat cerita itu,” ucap Felix, “Akhirnya tidak ada seorang pun yang menghukum perempuan pezina itu. Yesus pun tidak.”
"Menarik. Hanya yang tidak berdosa saja yang boleh melemparkan si perempuan pezina itu dengan batu. Tidak seorang pun menghukum si perempuan pezina itu. Yesus pun begitu. Ia tidak menghukumnya. Dari ucapannya, apakah itu berarti Yesus pernah berbuat dosa?” tanya Fritz.
“Tentu saja tidak demikian, Fritz. Di dunia ini hanya satu orang yang tidak pernah berbuat dosa sejak lahir dan orang itu adalah Yesus?” ucap Felix.
“Lalu, apa maksud dari pernyataannya itu?” tanya Fritz.
“Yesus datang untuk menghapus hukum Taurat,” ucap Felix.
“Menghapus hukum Taurat?” heranku menanggapi pernyataan Felix.
Felix mengangguk.
“Bukankah Yesus Kristus dalam Alkitab tidak pernah membiarkan begitu saja terhadap pelanggaran dosa?” ucapku balik bertanya, “Bukankah tercatat dalam Alkitab ketika Yesus mencela Para Rabi Yahudi karena tidak menegakkan hukum Allah seperti yang tercatat dalam Taurat Musa?”
“O, ya?” Felix tak percaya.
Aku menceritakan kepadanya cerita dalam Injil Matius tentang kemarahan Yesus kepada Rabi Yahudi. Pada Pasal yang ke-15 dikisahkan bahwa Yesus marah karena mereka enggan melakukan hukum rajam dan lebih mengutamaan adat istiadat. Lalu aku membacakan kutipan ayatnya.
Tetapi jawab Yesus kepada mereka: “Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu? Sebab Allah berfirman: Hormatilah ayahmu dan ibumu; dan lagi: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya pasti dihukum mati.[3]
“Jika Yesus tidak menghapus hukum Taurat, lalu mengapa Yesus tidak menerapkan saja hukuman rajam pada wanita pezina itu?” tanya Eva, “Atau apakah itu berarti Yesus tidak menegakkan hukum Taurat?”
“Justru sebaliknya, Va,” ucapku menjawab Eva, “Ini adalah bukti bahwa sebenarnya Yesus itu sangat taat kepada hukum Taurat.”
“Loh kenapa bisa begitu?” tanya Eva sekali lagi.
“Anggaplah si perempuan itu memang bersalah, tetapi ketentuan menerapkan hukum mati bagi pezina itu ada prosedur hukumnya. Aku yakin Yesus paham benar dengan syarat-syarat yang harus terpenuhi ketika akan menjatuhi hukuman mati seperti ditetapkan dalam hukum Taurat.”
Aku menjelaskan lagi beberapa ayat yang aku ingat dalam Perjanjian Lama terkait hukuman mati bagi pezina.
“Tidak adanya saksi mata. Padahal ini sangat penting sebagai bukti telah terjadi kejahatan. Sementara dalam kasus ini tidak ada satupun di antara penuduh yang berani maju untuk menjadi saksi,” ucapku menjelaskan, lalu mengutipkan ayat dalam Alkitab tentang perlunya saksi.
“… maka engkau harus membawa laki-laki atau perempuan yang telah melakukan perbuatan jahat itu ke luar ke pintu gerbang, kemudian laki-laki atau perempuan itu harus kaulempari dengan batu sampai mati. Atas keterangan dua atau tiga orang saksi haruslah mati dibunuh orang yang dihukum mati; atas keterangan satu orang saksi saja janganlah ia dihukum mati.”[4]
“Bila seorang laki-laki berzinah dengan isteri orang lain, yakni berzinah dengan isteri sesamanya manusia, pastilah keduanya dihukum mati, baik laki-laki maupun perempuan yang berzinah itu.”[5]
***
“Jadi menurut hukum Taurat, perempuan yang berzina itu tidak boleh dihukum mati karena tidak terpenuhinya syarat-syarat menurut hukum Taurat,” ucapku.
“Seperti juga dalam Islam kan, Fyan,” ucap Zahra menambahkan, “diperlukan setidaknya kesaksian minimal empat orang laki-laki untuk menerapkan hukum rajam.
“Benar. Harus ada minimal empat orang saksi laki-laki. Tidak boleh kurang. Jika tidak terpenuhi maka persaksian ditolak. Bahkan sang penuduh akan dikenakan hukum cambuk sebanyak 80 kali karena telah menuduh tanpa bukti yang kuat,” ucapku menambahkan Zahra terkait syarat minimal saksi dalam perkara rajam. Lalu aku mengutip sebuah terjemahan ayat Al-Qur’an ayat ke empat surat An-Nur dan membacakan terjemahannya di hadapan mereka.
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali cambukan, dan janganlah kamu terima kesaksian yang mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”
“Dan termasuk dosa besar juga kan, Fyan,” ucap Zahra menambahkan.
“Benar.”
Lalu aku mengutip sebuah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam Shahih Bukhari dan Muslim.
“Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah itu?” Beliau menjawab, “Syirik kepada Allah; sihir; membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan haq; memakan riba; memakan harta anak yatim; berpaling dari perang yang berkecamuk; menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina.”
***
“Bahkan seorang suami pun tidak bisa mengadukan perbuatan zina istrinya sendiri tanpa tiga saksi yang lain?” tanya Felix.
“Benar. Sebagaimana hal ini pun pernah dirasakan oleh salah seorang sahabat Nabi. Kala itu Hilal bin Umayyah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri saat istrinya tengah berzina dengan seorang lelaki. Lalu ia pun mengadukan hal itu kepada Nabi.”
“Meski sang suami sudah memergokinya dengan mata kepala sendiri?” tanya Fritz mempertegas.
Aku mengangguk. Fritz terus menyimak penjelasanku sambil memegangi janggut tipis di dagunya.
“Yup, benar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap meminta empat orang saksi laki-laki.”
Aku teringat kembali kisah Hilal bin Umayyah sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits yang pernah kubaca dalam kitab shahih Bukhari. Sahabat Nabi itu memergoki istrinya tengah berzina dengan Syarik bin Sahma. Hilal bin Umayyah pun menanyakan tentang hukum kepada Sang Nabi perihal kelakuan istrinya. Lalu ia pun menanyakan kepada Nabi, apakah ia mesti mencari saksi? Sang Nabi pun menjawab Hilal, bahwa ia tetap mengharuskan adanya saksi sebagaimana sabdanya: “(Ada) bukti atau had (hukuman cambuk bagi penuduh zina) akan menimpa punggungmu?”
***
Perkara hukum rajam memang sangat berat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerapkan empat kali hukum rajam semasa hidupnya. Dari semuanya itu, tidak ada satu kasus pun yang dibuktikan melalui kesaksian minimal empat orang laki-laki. Semua kasus rajam yang terjadi merupakan pengakuan dari para pelakunya sendiri kepada Nabi. Dari semua kasus itu pun, Nabi tidak mencari-cari kesalahan mereka untuk dikenakan hukum rajam.
Sebagaimana Maiz Ibn Malik yang mengaku telah berzina dengan seorang budak Hazzal bernama Fatimah. Namun, Nabi berkali-kali mengacuhkan pengakuannya. Pun terhadap wanita dari Bani Ghamidiyah. Nabi telah berkali-kali memberikan kesempatan kepadanya untuk bertaubat saja. Namun, keteguhan hati dan ketakutan mereka terhadap azab Allah membuat mereka lebih memilih untuk dirajam demi menebus dosa mereka.
“O, jadi tidak sesederhana seperti yang kebanyakan orang bayangkan: ada saksi, lalu rajam,” ucap Fritz, “mesti ada minimal empat orang saksi.”
“Tentu saja tidak semudah itu dalam perkara besar yang menyangkut nyawa manusia. Hukuman rajam sangat berat. Tidak hanya dari sisi penerapan hukumannya kepada sang pezina, tetapi juga bagi para saksinya jika mereka berdusta,” jawabku menjelaskan, “Bahkan sangat sulit rasanya mencari empat orang saksi yang benar-benar mengetahui secara pasti bahwa telah terjadi perzinaan dengan menyaksikannya secara jelas. Sebab saksi tersebut harus benar-benar memastikan apakah benar-benar perzinaan telah terjadi?”
“Tak cukup hanya memergokinya saja?” tanya Fritz.
“Tidak cukup hanya sekadar telah terjadi sentuhan kulit saja. Dalam sebuah riwayat diumpamakan, seperti melihat masuknya ember ke dalam sumur atau batang celak masuk ke wadah celak mata.”
Aku teringat sebuah hadits sebagaimana pertanyaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Maiz yang telah mengaku berzina.
“Barangkali kami hanya memegang atau hanya melihat?” Maiz menjawab, “Tidak hanya itu ya Rasulullah”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi secara detail, “Seperti masuknya almurud[6] ke dalam mikhalah[7]? Dan seperti masuknya ember ke dalam sumur?" Maiz menjawab dengan mantap, “Benar!”
***
[1] Yoh 8:7
[2] http://www.codexsinaiticus.org/en/manuscript.aspx?book=36&chapter=8&lid=en&side=r&zoomSlider=0
[3] Mat 15:3-4
[4] Ulangan 17:2-6
[5] Imamat 20:10
[6] Semacam batang yang bisa masuk ke dalam mikhalah
[7] Wadah tempat menyimpan celak