Ketika ikrar telah menggema
Kita laksana tinta dan pena
Saling setia
Menuliskan episode di atas lembar cinta-Nya
Kita akan menerjemahkan warna
Bersama menjadi satu kata
Dalam kitab cinta-Nya
Seorang gadis bermata biru keluar dari balik pintu sambil tertunduk malu. Ia melangkah anggun bak putri raja dengan gaun putih yang begitu indah. Kain panjang berwarna senada menutup aurat dengan sempurna aurat. Tak tampak lagi rambut cokelat, sebagaimana biasa dia biarkan terurai panjang sebahu sebelum hidayah menyapa hatinya. Ujung jilbab sebelah kanannya tersemat di bahu kiri menggunakan bros mutiara. Cantik. Bahkan lebih cantik dari Masha Alalykina seorang mantan top model Rusia. Kulihat, raut wajah begitu gembira di sana. Tergambar senyum di wajahnya. Sesekali tatapan gadis pemilik darah campuran Aceh Rusia itu mengarahkan tepat ke mataku. Aku yang tengah duduk berhadapan dengan Paman Daud, wali nikahnya, tertunduk malu.
Hari ini begitu istimewa. Sebuah sejarah besar dalam hidupku segera bermula. Sebuah peristiwa sakral yang begitu berat pertanggungjawabannya bagi seorang pria di hadapan manusia pun Rabbnya. Inilah hari yang ditunggu-tunggu sepasang insan yang saling mencinta karena cinta-Nya. Sebuah hari permulaan ibadah paling panjang dalam kehidupan manusia. Callista Kiara Filothei, sosok gadis jelita bermata indah itu sebentar lagi akan melepas masa lajang. Sebentar lagi ia akan menjadi belahan jiwa lelaki sederhana dari sebuah kampung dari negeri seberang.
Dekorasi pesta dibuat sederhana. Dominasi warna putih dengan hiasan bunga dan pita-pita warna ungu muda kesukaan Kiara. Ruang tamu rumah Paman Gamaliel menjadi tempat berlangsungnya acara. Pun sebagai saksi bisu dari kesucian cinta dalam sebuah akad nikah.
Tepat di hadapanku tergeletak sebuah kotak warna ungu berisi mahar sederhana. Sebuah cincin lima gram telah kupersiapkan. Aku membayangkan beberapa waktu ke depan akan memakaikan cincin itu ke jari manis usai untuk menghalalkannya. Saat itulah, aku akan menyentuh tangannya untuk kali pertama. Aku yakin tangannya begitu halus dan lembut seperti sutra. Terbayang pula saat ia akan mencium tanganku sebagai bentuk penghormatannya sebagai istri di hari pertama.
Aku canggung. Keringat dingin pun bercucuran dari pelipis, lalu menganak sungai di pipiku. Tanganku gemetar. Jantungku berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Sangat kencang. Kiara tersenyum melihat keadaanku seperti itu. Kulihat, teman-temanku. Ternyata mereka pun sama saja. Mereka tersenyum, lalu tertawa kecil melihatku yang tengah gugup salah tingkah.
“Bisa kita mulai?” tanya Paman Daud.
Kulihat Om Thimoty dan Tante Anna yang duduk mengapit putri semata wayangnya mengangguk tanda setuju. Beberapa detik ke depan prosesi akad nikah segera dimulai. Tanganku menjabat tangan Paman Daud sebagai walinya. Aku membayangkan seisi ruangan akan riuh dengan doa “Barakallahulaka ….” usai kuucapkan qabul atas ijab yang diucapkan Paman Daud dan disahkan oleh para saksi yang ada.
“Rabb … diakah wanita yang akan mendampingi hidup hingga tarikan napas terakhirku? Jujur aku mencintainya, tapi aku lebih mencintai-Mu dan Rasul-Mu. Dan Engkau pun tahu janji yang selalu kulantunkan di rakaat salatku: aku hanya ingin Hidup dan Mati dalam nama-Mu, dalam cinta-MU.”
Kejadian hari ini sejatinya telah tertulis di lauh mahfuz menjadi takdirku. Paman Daud mengucapkan lafaz ijab dengan tegas dan mantap.
Kita akan menjadi satu
Layaknya rangkaian tubuh
Selalu padu
Kita berjanji setia
Berjalan dalam aliran darah yang sama
Mesra tak mendua
Hingga ke surga
Sungguh akan ada masa
Ketika denyut nadi tak seirama
Maka tundukan hati pada-Nya
Biar CINTA merekah
Bak kisah CINTA SANG NABI dan Khadijah
Yang setia hingga melepas nyawa
“Saya nikahkan …,” ucap Paman Daud tegas dan lantang, “dengan maskawin tersebut tunai.”
Entah mengapa lidahku kelu saat hendak mengucapkan qabulnya. Padahal aku sudah menghafalkan sejak beberapa waktu sebelumnya. Berkali-kali aku mencoba menggerakkan lidah, namun terasa begitu berat. Aku menatap Paman Daud sambil berusaha mengatur napas. Jantungku berdetak tak keruan. Paman Daud tersenyum seolah menguatkanku.
“Are you, ok?” tanya Paman Daud.
Aku mengangguk. Namun, tiba-tiba terdengar suara keras dari arah pintu.
“No, i’m not.”
Suara teriakan itu membuat semua mata tertuju pada sosok lelaki berbadan tegap tinggi berkulit putih berdiri di depan pintu. Ioassaf Hezron Efharisto, sepupu sekaligus bekas calon tunangan Kiara itu seperti tidak terima dengan takdirnya.
“Hezron ….” Kiara terlihat panik dengan kehadirannya.
Jabatan tanganku terlepas dari tangan Paman Daud. Lelaki berambut coklat itu berjalan mendekat sambil membuka kaca mata hitam, lalu diselipkan di saku kemeja flanelnya. Hezron menatapku tajam. Gerahamnya gemeretak menahan marah. Entah, apa yang akan dilakukan Hezron di acara sakral kami hari ini. Akankah ia menunaikan janjinya tempo hari? Hezron akan melakukan segala cara agar aku tak pernah bersatu dengan Kiara. Ia sangat marah dan kecewa sebab rencana pertunangannya dengan Kiara berujung pilu. Tak bisa bersatu lantaran keyakinan tak lagi padu.
Hezron berhenti tepat beberapa senti di hadapanku. Kami berhadap-hadapan. Saling memandang tanpa sesuatu pun yang terucap dari lidah kami. Kulihat, pancaran matanya menyiratkan kekecewaan.
“Pemuda ini telah membuat pertunanganku dengan Kiara batal.”
Suara Hezron meninggi sambil menunjuk wajahku. Emosinya makin memuncak tanpa mempedulikan para tamu yang menatap aneh kepadanya. Hezron tak peduli dengan itu semua. Hezron mengambil sesuatu dari saku celananya. Lalu membuka sebuah kotak kecil berwarna ungu, entah apa isinya.
“klik…”
Mata semua orang tertuju pada Hezron dan sebuah kotak berisi sebuah cincin bertahta berlian. Aku yakin pasti sangat mahal harganya. Mungkin bisa puluhan atau mungkin ratusan juta. Bentuknya sederhana namun begitu indah. Elegan dan sepertinya cincin itu dipesan secara khusus karena di sana tertulis sebuah nama, KIARA. Hezron memandangi cincin itu dengan sejuta harapan yang pernah ia rencanakan.
“Sudah lama aku mempersiapkannya. Kupersiapkan untuk seorang gadis. Menurut rencana manusia ia akan menjadi sosok yang mendampingiku. Dialah Kiara. Kau yang telah membuat semuanya berantakan, Fyan!”
Hezron menatap bengis, lalu menarik keras kerah leherku. Paman Daud berdiri, lalu memegang Hezron berusaha melerai.
“Jaga sikapmu, Hezron. Paman tak ingin ada keributan lagi di sini,” tegur Paman Daud.
Kiara pun beranjak dari tempatnya, lalu berjalan mendekat.
“Aku mohon jangan kau kacaukan acara hari ini, Zron,” ucap kiara memohon sambil memelas, “Please ….”
Cengkeramannya makin kuat mengikat leherku. Aku hampir tak bisa bernapas. Namun, tak ada seorang pun yang berani menyingkirkan tangan Hezron dari leherku. Aku kehabisan napas. Lalu mendadak semua gelap.
***