Nasihat dari Puang Bahar saat kelulusan SMA beberapa tahun lalu masih terekam jelas diingatanku. Nasihat yang sama juga pernah keluar dari mulut Raya saat kami berpisah di Changi Airport Singapore beberapa waktu lalu. Pesan yang terdengar sangat mudah. Namun begitu sulit untuk kutunaikan sebab hati ini sudah terlanjur patah. Sangat terluka. Bagaimana bisa aku berbakti pada orang yang sudah menghancurkan hidupku sedemikian rupa? Mereka tak tahu bagaimana sakitnya hati yang bertahun-tahun dilanda duka. Meskipun tak bisa dipungkiri bahwa darah yang mengalir di tubuhku ini mengikatkan nasabku kepadanya. Jika aku bersalah di hadapan Tuhan sebab tak menjalankan bakti padanya maka aku juga akan menuntut pertanggungjawaban dia kelak di mahkamah-Nya. Begitulah kira-kira jalan pemikiranku jika kelak Tuhan mempertanyakan segala sikap dan baktiku kepada bapak.
Enre memacu mobilnya dengan cepat. Perjalanan kali ini memakan waktu sekitar empat hingga lima jam menuju rumah di Sengkang. Sepanjang perjalanan Puang Bahar banyak bercerita betapa rindunya dia tak berjumpa denganku bertahun-tahun lamanya. Klakson mobil yang berbunyi saat di bandara tadi ternyata tanda yang dibunyikan dari Puang Bahar. Ia membunyikannya untuk memberitahuku tapi aku tak menyadarinya dan tak menghiraukannya. Aku tak habis pikir kalau ternyata mereka menjemputku sebab tak ada balasan dari pesan yang kukirim pada Enre sebelumnya.
“Dari mana kau tahu aku pulang?” tanyaku bingung pada Enre sambil melihat pesanku untuknya di WhatsApp, “ini pesannya masih belum terkirim, ceklis satu.”
“Itu sih gampang, aku kan bisa lihat update instastory-mu. Aku kan follower-mu Lang, hehehe.”
Enre memberitahuku kalau ponselnya baru saja hilang beberapa waktu lalu. Ia belum sempat mengurus lagi kartu yang hilang itu ke provider-nya. Ia sengaja tak berkomentar di update instastory karena ingin memberikan kejutan untukku. Enre pun bercerita hanya mengandalkan update instastory untuk mengetahui keberadaanku. Parahnya ia tak mengenaliku sampai ia bedebat dengan Puang Bahar dan akhirnya Puang Bahar membunyikan klakson mobil untuk memberikanku tanda.
“Aku pangling, hampir-hampir tak mengenalimu yang tampan seperti pangeran, Lang,” ucap Enre sambil tertawa malu lalu ia menceritakan perubahan fisikku, “ternyata aslinya lebih tampan dibanding foto-fotomu di Instagram.”
Tidak Raya tidak juga Enre, mereka menyebutku seperti pangeran. Entah meledek atau sungguhan. Kalau kuperhatikan foto-foto saat masih sekolah dan foto saat ini memang banyak perubahan. Banyak orang yang bilang bahwa kondisi fisikku saat ini ibarat ulat yang bermetamorfasa menjadi kupu-kupu yang indah. Sayangnya mereka tak tahu kondisi sebenarnya dalam hatiku yang masih menyimpan dendam tak berkesudahan. Entah kapan hatiku akan berubah bermetamorfosa menjadi hati yang indah.
“Pangeran kodok maksudmu? Hahaha…,” ucapku tertawa disambut tawa Enre dan Puang Bahar.
“Padahal dulu kau hitam, gendut, sekarang kenapa bisa berubah jadi begini?”
“Olahraga Re, supaya nggak terus membuncit seperti perutmu hehehe….”
“Terus kok kulitmu bisa bagus begitu? Aku juga mau, Lang, biar nggak kusam gini.”
“Air di sini dengan air di sana beda, Re.”
“Ah, serius kau Lang? Terus?” tanya Enre makin penasaran.
“Hahaha… Enre… Enre… polos banget sih, ya nggak lah. Tampan itu cuma ada dua cara. Semua orang itu tampan dari sananya atau tampan kalau ada dananya hehehe….”
“Pasti kamu yang kedua nih, tampan kalau ada dananya kan? Hehehe….”
“Namunimaga barobana ananak'e, tomatoanna tette'i naisseng anak'na[1],” ucap Puang Bahar yang membuatku berhenti tertawa seketika.
“Ya, aku yakin setiap orang tua pasti akan mengenali anaknya, kecuali bapakku,” mirisku dalam hati.
Aku mengalihkan pandanganku ke jendela. Enre berusaha membuat bahan obrolan baru saat melihat perubahan ekspresi di wajahku. Aku tak yakin dengan ucapan Puang Bahar bahwa orang tua akan selalu mengenali anaknya. Miris rasanya dengan apa yang kualami sebagai seorang anak. Percaya atau tidak sampai usiaku dewasa bahkan nama lengkapku saja bapak tidak pernah tahu. Sudah cukup bersukur jika dia memanggilku dengan sebutan “Lang”. Selebihnya hanya dua pilihan bapak memanggilku dengan “hei” atau memanggil dengan nama-nama kasar atau binatang.
Entah setelah tujuh tahun berpisah apakah bapak masih belum tahu siapa namaku sebenarnya atau bahkan ia sudah menghapusnya dalam ingatan. Jika nama lengkapku saja tidak ia ketahui maka wajar rasanya jika ia pun tidak mengasihi aku sebagai anaknya. Itu pula yang membuatku enggan menyebut nama bapakku saat di tanya “aku anak siapa?” Setiap kali pertanyaan itu datang maka aku selalu menjawabnya dengan menyebutkan nama ibuku dengan penuh rasa bangga. Sebab perkara itulah pada saat sekolah harus berhadapan dengan guru BP untuk mempertanggungjawabkan alasannya.
***
Mendadak kenangan sepuluh tahun lalu itu muncul kembali di benakku. Saat itu aku masih kelas 1 di SMA Negeri 3 Wajo. Tiba-tiba seorang Guru BP memanggilku ke ruangannya. Bu Warinih, namanya. Aku masih sangat ingat wajahnya yang teduh. Tutur bahasanya lembut penuh kasih sayang dan tulus layaknya seorang ibu pada anaknya. Aku bingung mengapa beliau memanggilku. Rasanya tidak ada kesalahan yang kulakukan di sekolah.
Dengan langkah pasti aku beranikan diri menuju ruangannya. Aku mengetuk pintu sesaat tiba di depan ruangan Bu Warinih. Aku membuka pintu lalu masuk sambil mengucapkan salam kepada Bu Warinih yang sedang duduk di kursinya. Beliau menjawab salam dengan senyumnya yang bersahabat lalu mempersilakanku duduk. Aku mendekat dengan langkah ragu-ragu. Sejenak aku mematung. Entah mengapa dadaku berdegup kencang tak karuan. Padahal aku sangat yakin tak melakukan kesalahan.
“Duduk, Lang…,” ucap beliau mempersilakanku duduk.
Kulihat beliau seperti mencari sesuatu di lemari yang terletak tepat di belakang tempat duduknya. Setelah beberapa saat mencari akhirnya beliau mendapatkannya. Ternyata ia mencari buku raport lalu meletakkannya di atas meja. Kulihat ada namaku di sana. Aku bingung dan penasaran apa sebenarnya kesalahan yang sudah kulakukan. Apalagi beliau menyodorkan buku raportku. Aku yakin ini bukan masalah nilai. Ujian semester awal pun masih sangat jauh. Sekolah baru saja dimulai. Masa orientasi siswa baru saja selesai seminggu yang lalu.
Bu Warinih menarik kursinya lalu duduk di sebelahku. Jantungku makin berdegup tak karuan. Aku hanya menunduk dan tak berani menatap wajahnya. Aku memainkan jari-jariku untuk menghilangkan rasa gugup yang mendera. Sepertinya ada hal sangat serius yang ingin disampaikan. Beliau membuka raportku tepat di lembar halaman informasi data siswa. Aku makin bingung. Rasanya tidak ada yang salah dengan dataku. Aku melihat lembar halaman itu dengan seksama dan kuperhatikan setiap kolom sudah kuisi dengan informasi yang valid. Hingga akhirnya Bu Warinih bertanya padaku tentang suatu hal yang membuatku sangat berat untuk menjelaskan padanya.
“Kenapa kamu tidak mengisi ini, Wellang?” tanya beliau pelan sambil menunjuk salah satu kolom di sana.
Aku hanya terdiam. Mataku tertuju pada kolom itu. Aku tahu beliau melihat ada yang janggal di sana. Aku tak mengisi lengkap pada kolom isian berisi data orang tua atau wali siswa. Aku tak mengisi nama bapak hanya menuliskan nama ibu saja. Sepertinya itulah penyebabnya sampai beliau memanggilku ke ruangannya.
“Kenapa kamu tidak menuliskan nama ayahmu, Wellang?” tanya beliau lagi.
“Nggak usah bu,” jawabku berusaha santai.
“Loh ... kenapa begitu?” Tanya Bu Warinih makin penasaran.
“Nggak apa-apa, Bu.”
Mulutku terkatup. Gerahamku gemeretak. Napasku memburu hebat. Ada yang bergemuruh di dada. Lalu air mata tumpah dan makin lama makin menderas tak sanggup lagi aku menahannya. Wajahku makin menunduk hampir menyentuh tepi meja di hadapanku.
“Wellang …,” ucap Bu Warinih pelan sambil menepuk-nepuk lembut punggungku.
Aku berusaha menenangkan diri. Aku tegakkan tubuhku. Bu Warinih memberikan tisu yang berada di atas meja. Kuusap air mataku. Bu Warinih berusaha menenangkanku. Aku masih terisak menahan tangis. Rasanya segala perasaan yang bertahun-tahun kupendam sudah terjawab jelas dengan linangan air mata. Setelah beberapa saat aku sudah mulai bisa mengatur emosi dan tangisku pun sudah reda. Bu Warinih mendesakku untuk menjawab pertanyaannya. Dengan hati yang masih penuh rasa sakit akhirnya aku menceritakan kondisi keluargaku terutama tentang perlakuan yang kuterima dari bapak. Lagi-lagi aku tak dapat menampung air di kelopak mata. Pipiku basah dan tangisku pun kembali pecah.
***
[1] Tapi bagaimana pun perubahan seorang anak, orang tua pasti akan mengenali anaknya.