Perubahan tampilan yang terlihat secara kasat mata ini hanyalah cara untuk mengingatkan untuk lebih dekat kepada-Nya. Pun sebagai cara menumbuhkan rasa malu agar tak terjerumus dalam dosa. Semua berjalan tak sesempurna seperti yang orang lain lihat.
Mulanya hijrah ini setengah hati. Lalu, dengan ilmu dan sahabat yang saleh semua berproses mencari setengahnya lagi. Sambil terus memohon agar Allah melimpahkan kesabaran dan menguatkan langkah sepenuh hati. Lalu, istiqomah hingga mati.
Pada kesempatan itu aku pun kembali mengungkapkan rasa penyesalan padanya. Aku tertunduk malu dan meminta maaf lagi sedalam-dalamnya atas perbuatanku waktu itu. Runi merasa tak nyaman saat aku mengukit kembali cerita masa lalu. Aku kembali meminta maaf dan berjanji tak akan pernah mengungkitnya. Kesalahan masa lalu adalah pelajaran berharga untuk melangkah dan sejarah yang tak perlu terulang.
Runi hanya berpesan padaku untuk fokus berubah menjadi hamba yang selalu taat dan mulia di hadapan Allah dan manusia. Sebab, setiap manusia tentu pernah berbuat salah dan sebaik-baiknya mereka yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertaubat.
Beberapa menit saja kami berbincang Runi sudah memberikan banyak pencerahan untukku. Bukan seperti sebuah nasihat yang berat. Kata-katanya berpetuah dan yang paling terpenting aku sebagai pendengarnya tak merasa seperti hamba di hadapan tuannya. Dia menyampaikannya dengan bahasa ringan tapi menembus sukma.
Lalu, aku mengajaknya untuk berkumpul dengan Rona dan Raya. Tak jauh dari kami kulihat Raya sedang asik memotret Rona dengan berbagai gaya dengan kemegahan Canterbury Museum sebagai latar belakangnya. Kami beranjak dan berjalan makin dekat. Mataku menyisir area sekitar karena merasakan adanya keganjilan.
“Ke mana perginya lelaki itu?” batinku.
***
Sekitar setengah jam setelah museum beroperasional kami masuk ke Canterbury Museum yang letaknya berdampingan dengan Christchurch Botanical Garden di sebelah barat pusat kota. Kami masuk ke Museum secara gratis. Pengunjung hanya dikenakan biaya tiket yang nantinya digunakan untuk donasi dan itu pun sifatnya opsional.
Aku dan Raya berjalan di belakang Runi dan Rona yang terlihat begitu akrab berbincang hangat melepas rindu. Sejak tadi aku penasaran ke mana Om Bira pergi. Namun aku hanya bisa bertanya-tanya sebatas dalam hati. Aku tak mengungkapkan atau bertanya langsung pada Runi. Mataku mencari-cari ke setiap sudut tapi tak berhasil kutemukan sosoknya.
Tak banyak waktu yang bisa kami habiskan di museum berlantai dua ini dengan arsitektur bangunan khas nan cantik. Kami memanfaatkan waktu yang sangat terbatas dengan menikmati sajian museum yang menampilkan replika pusat kota Christchurch di abad ke-19.
Rona dan Raya terlihat asik berfoto-foto di beberapa sudut museum. Sementara aku dan Runi cukup puas mengamati mereka. Sesekali kulihat Runi tertawa kecil melihat tingkah Rona yang bergaya-gaya lucu saat Raya memotretnya.
Aku berjalan menuju sebuah sudut yang menampilan budaya dan kerajinan bangsa Maori dalam bentuk diorama. Tak berapa lama Runi menghampiriku lalu mengeluarkan bungkusan kecil dari tas selempangnya. Ada dua bungkusan kecil sebagai hadiah yang dia berikan padaku. Salah satunya adalah pemberian dari pamannya yang dibungkus dengan kertas polos warna biru muda.
Runi menyerahkan kado dari pamannya itu kepadaku karena kami tadi tak sempat bertemu. Ini bukan pemberian yang ekslusif meski ada tertulis namaku di bungkusannya sebab Rona dan Raya pun menerima kado yang sama.
Aku menerima kedua kado itu dari Runi sambil mengucapkan terima kasih padanya. Aku pun meminta dia menyampaikan terima kasih sekaligus permohonan maafku karena tak sempat bertemu dengan pamannya. Namun, mengapa harus diberikan nama? Entahlah.
Apakah isi kado buatku ini spesial agar tidak tertukar dengan punya Rona dan Raya? Padahal warna bungkusannya pun sudah dibedakan. Kado untuk Rona dibungkus dengan kertas polos berwarna pink, sementara untuk Raya berwarna kuning.
***