Rasa penasaranku tentang ke mana perginya Om Bira pun terjawab dengan informasi dari Runi saat dia menyerahkan bingkisan itu padaku. Runi menceritakan bahwa dia harus segera kembali ke Queenstown karena masih ada urusan pekerjaan yang masih harus diselesaikan. Aku sempat bertanya-tanya dalam hati bagaimana Om Bira bisa tahu kalau kami akan bertemu Runi di sini? Sementara aku, Raya dan Rona tak pernah memberitahukan padanya. Aku pun penasaran dan langsung menanyakannya pada Runi.
“Tadinya aku juga heran mengapa Om Bira bisa tahu kalau kalian ada di sini,” ucap Runi, “aku pikir kalian yang memberitahu.”
Aku menggeleng pelan menandakan bahwa kami tak pernah memberi tahu Om Bira tentang keberadaan kami.
“Katanya Om Bira sempat melihatmu di Queenstown Mall.”
“O ya?” Aku pura-pura tidak tahu.
“Cuma katanya tidak sempat ngobrol. Makanya dia ikut ke sini bersamaku untuk bertemu dengan kalian.”
Aku hanya mengangguk mendengar ucapan Runi .Benar dugaanku, ternyata Om Bira tahu kami akan bertemu setelah mengklarifikasi langsung pada Runi saat dia melihat kami di Queenstown Mall beberapa waktu lalu. Dia sengaja menyempatkan diri datang ke Christchurch meski dengan waktu yang sangat terbatas. Sekadar untuk bertemu denganku? Entahlah.
Sejenak aku teringat kembali kejadian beberapa waktu lalu saat kami berada di Queenstown, sebuah kota kecil yang dikelilingi pegunungan terletak di tepi danau Wakatipu. Usai menikmati keindahan Danau Wakatipu, kami menuju ke jalan utama untuk membeli kudapan sekaligus mengisi logistik. Jaraknya lumayan dekat. Hanya berbeda dua blok saja.
Tanpa sengaja aku melihat sosok yang mirip dengan seorang yang pernah hadir di masa laluku yang kelam. Aku melihat dia sedang berdiri di depan sebuah toko. Aku terus berusaha meyakinkan bahwa yang kulihat bukanlah dia. Semoga hanya orang yang mirip dengannya saja. Beberapa kali mata kami hampir beradu pandang. Aku berusaha menghindar agar dia tak melihatku.
Beberapa kali aku berhasil menghindar agar tak terlihat olehnya. Namun, aku tetap penasaran dan ingin memastikan apakah benar sosok itu adalah sosok yang sama di masa laluku atau hanya mirip saja. Malangnya, pertemuan itu tak bisa terhindarkan. Saat aku selesai membayar makanan di sebuah kedai kudapan khas Turki, Omar Kebab, lalu berbalik badan ternyata sosok itu sudah tepat berdiri di belakangku.
Aku kaget saat melihatnya dan dia pun sama terkejutnya. Aku hanya terdiam. Detak jantungku berdenyut lebih cepat dari biasanya. Sejujurnya aku pun enggan bertemu lagi dengannya. Dia menoleh ke sekitarnya seolah memastikan bersama siapa aku di sini.
“Ya Rabb, mengapa kau mempertemukanku lagi dengannya?” jerit batinku.
Pedestrian yang diatur sedemikian rupa dan ramai dengan para pejalan kaki itu tiba-tiba terasa hening. Burung-burung merpati bebas terbang dan berkerumun tak jauh dari tempat kami seolah menjadi saksi betapa gelisahnya hatiku saat itu. Kenangan indah selama perjalanan menyusuri Queenstown dengan kontur berbukit dan banyak ditumbuhi bunga-bunga liar di sepanjang jalan mendadak hilang saat mataku melihat sosoknya. Dunia seolah tak berwarna. Hatiku mendadak dingin seperti sisa-sisa salju masih betah menyelimuti pucuk-pucuk gunung meski musim mulai berganti memasuki musim panas.
Mungkin orang mengira ini adalah adegan sinetron dengan skenario receh dan mengada-ada. Namun, ini nyata adanya. Bukan sebuah adegan dalam skenario apalagi kisah-kisah dalam novel picisan. Semunya terjadi tanpa sengaja. Mengalir apa adanya. Entahlah ini pertanda apa. Aku yakin semua adalah sebuah skenario kehidupan yang sudah dirancang begitu teliti oleh Sang Pencipta.
Beruntungnya saat itu ponselku berbunyi. Aku segera mengambil ponselku dari saku celana, lalu mengangkat teleponnya. Ternyata Raya. Dia memintaku untuk segera kembali ke campervan. Kami tak sempat berbincang apalagi bertegur sapa. Matanya terus menatapku. Seolah dia pun sama denganku yang hendak memastikan apakah aku adalah sosok yang pernah dia kenal di masa lalu.
Jujur saja pertemuanku dengannya tanpa direncanakan itu sedikit mengingatkanku dengan kejadian pahit di masa lalu. Setelah bertahun-tahun berlalu semua masih terekam jelas diingatanku. Sungguh aku membencinya. Jika saja waktu bisa diputar, aku memohon agar tak pernah bertemu dengannya.
Aku belum sempat menceritakan peristiwa kelam itu pada Raya. Aku belum menemukan waktu yang tepat untuk menceritakannya. Mungkin kelak jika nanti pun harus mencertitakannya, aku hanya ingin membicarakannya berdua saja pada Raya. Entah kapan waktunya. Yang jelas aku tak ingin Runi mengetahuinya.
Bukan tanpa sebab aku menyembunyikannya. Aku berusaha menutupinya rapat-rapat dari hadapan manusia. Meski kadang terlintas ingin sekali meluapkannya dengan bercerita atau mengunggah tulisan di media. Berharap dengan itu bebanku menjadi lebih ringan. Namun, lagi-lagi aku urung melakukannya.
Aku tidak boleh gegabah. Sebab, ini menyangkut aibku di masa lalu. Entah apakah keputusanku tepat menceritakan semuanya pada Raya. Aku harus mempertimbangkan lebih dulu segala baik dan buruknya. Sebab, kadang orang di luar sana itu hanya ingin tahu kesusahan kita, bukan bermaksud ingin membantu menyelesaikan masalah.
***