Ada luka menganga begitu besar di hati. Ada rindu yang tak mungkin terobati. Ada benarnya juga tentang sebuah penelitian terhadap anak-anak yang tidak merasakan ketidakhadiran ayah secara psikologis. Aku merasakan benar efek semua itu. Ketidakhadiran sosok ayah secara psikologis dalam kehidupanku membuatku 'lapar ayah’. Notes cokelat tua inilah saksi atas ‘kelaparan’ itu di masa lalu. Sebuah peristiwa kelam yang sejujurnya enggan kukenang. Lalu mendadak kenanganku mundur ke belakang.
Tujuh tahun silam, tepatnya di awal-awal semeseter kuliah. Bermula saat pertemuanku dengan seorang lelaki paruh baya. Saat itu aku bekerja paruh waktu menjadi seorang pelayan pada sebuah restoran di dekat kampus. Dari perangainya tampak aku merasakan dia orang baik-baik. Tutur bahasanya pun menandakan bahwa dia bukan orang yang santun.
Beliau sering kali mampir ke restoran tempatku bekerja. Sering kali saat aku yang melayaninya, dia memberikanku uang tips lumayan besar. Uang yang terkumpul kugunakan untuk membiayai kuliahku di tahun-tahun pertama. Pun untuk membayar kost dan untuk kebutuhan harian lainnya. Maklum biaya hidup yang semakin besar. Sementara, gajiku sebagai pelayan di restoran tak cukup untuk menutupi semuanya.
Makin lama kami makin akrab akhirnya aku mengenalnya lebih dekat. Lelaki berdarah sunda, asli Cirebon itu sangat ramah. Beberapa kali kami bertemu di luar jam kerja restoran dan kadang mengajakku menemaninya nonton, minum kopi atau sekadar jalan-jalan. Aku merasakan dia juga sangat perhatian. Dia membuatku nyaman. Aku mendapati dia selayaknya sosok ayah, mungkin karena usianya tak jauh berbeda dengan usia bapakku.
Entah bagaimana mulanya akhirnya kami berbincang santai. Entah bagaimana akhirnya tiba-tiba aku bisa menceritakan kegundahanku padanya. Aku masih ingat saat itu bulan keenam aku kost dan sedang tak ada uang. Sudah dua bulan aku tak bisa membayar sebab sebagian besar gaji kukirim untuk ibuku yang sedang sakit di Sengkang. Besok adalah hari terakhir batas toleransi aku harus membayar. Jika tidak maka dengan terpaksa aku harus mengangkat barang-barangku keluar.
Tiba-tiba dia mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya. Aku kaget. Aku berusaha menolaknya. Namun,, dia terus memaksa. Lalu, akhirnya dengan berat hati aku menerimanya. Mataku mengembun. Aku cium tangannya sebagi tanda terima kasih.
Tadinya aku ingin meminjam uang pada Enre, tapi aku malu karena uang yang sebelumnya kupinjam saja belum sempat kukembalikan. Meski aku tahu Enre akan selalu membuka tangannya untukku kapan saja. Aku sudah coba meminjam uang dengan teman-teman tetangga kost, tapi mereka juga sedang tidak memiliki kelebihan uang. Aku juga sudah mencoba meminjam uang kepada pemilik restoran tempatku bekerja, tapi sayangnya dia menolak dengan alasannya kasbon yang kemarin sudah cukup banyak.
Makin lama hubunganku dengannya makin akrab. Ia sering memberiku uang. Beberapa kali juga membelikanku barang-barang mahal. Saat aku menceritakan kesulitan karena harus membayar ujian semester, dia dengan sangat senang hati memberikan uang dan dia selalu marah jika aku menolak pemberiannya.
Lambat laun aku mulai merasa nyaman di dekatnya. Aku seperti menemukan sosok ayah yang kurindukan. Aku seperti mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang tak pernah kudapatkan selama ini. Kerinduanku terhadap sosok seorang ayah seolah terjawab dengan kehadirannya. Aku sama sekali tak curiga dengan segala perhatiannya. Semua berjalan apa adanya dan aku merasakan seperti hal yang wajar.
Tak hanya itu, dia juga sangat loyal kepadaku. Memanjakanku dengan barang-barang mewah. Mengubah. Bahkan dia rela mengeluarkan banyak uang untuk melakukan perubahan penampilanku. Merawat wajah dan kulitku di klinik. Hingga membiayai liburan ke luar negeri.
Namun, benar “tak ada makan siang gratis”. Hampir setahun aku mengenalnya telah banyak kejadian yang tak diinginkan pun terjadi. Ternyata kebaikannya selama ini hanya untuk memanfaatkanku untuk kepentingannya. Dia memanfaatkan keadaanku yang saat itu terdesak. Aku membutuhkan uang untuk membayar kuliah.
Aku seolah tak kuasa menolak saat dia meminta sesuatu yang paling berharga dalam hidupku. Kebaikan-kebaikannya dalam memenuhi kebutuhan materi untuk hidupku membuat hatiku akhirnya luluh. Selama hamper setahun aku menjadi “kucing” untuknya. Istilah yang digunakan untuk menjuluki simpanan seorang yang lelaki.
Aku pun kaget ketika pada satu hari menemukan banyak sekali benda-benda haram di rumahnya. Aku mencurigainya sebagai bandar narkoba. Ternyata benar. Hingga pada satu kesempatan dia membujukku untuk melakukan hal yang sangat keji yang lain di hadapan Tuhan. Memaksaku mengkonsumsi narkoba. Lebih dari itu, dia juga menjadikanku sebagai kurir narkoba.
***
Air mataku tumpah. Kutahan sekuat tenaga agar tangisku tak pecah. Dada pun terasa sesak karena teringat masa lalu yang kelam. Aku selalu berusaha meredam hasrat itu dan sekuat tenaga memendamnya dalam-dalam. Namun, rasa ‘lapar ayah’ ini membuatku tersiksa. Ada perasaan yang sulit dijelaskan. Seperti sebuah kerinduan terhadap suatu yang begitu diharapkan. Rasa rindu ini ibarat ruh yang tak memiliki raga. Ia hanya melayang-layang di udara tanpa tahu kemana ia mesti menjejakkan kakinya.
***