Raya dan Rona berjalan mendekat sambil membawa hasil masakannya. Berbeda dari hari sebelumnya, menu makan malam kami kali ini lebih banyak variannya. Beruntung siang tadi kami menyempatkan membeli beberapa kebutuhan logistik di Kosco Asian, Supermarket yang terletak di 19 Shotover Street di jalan utama Queenstown. Barang-barang yang ditawarkan di sana cukup lengkap. Tidak hanya menyediakan bahan makanan, tapi juga menyediakan alat-alat kebutuhan rumah tangga.
Hampir 80% barang yang kami butuhkan tersedia di sana. Termasuk beras dan bahan makanan utama lainnya. Di sana, kami pun bisa mendapatkan mie instan yang paling populer di Indonesia. Aku menyempatkan diri untuk membeli. Beberapa mie instan kesukaanku, rasa soto mie. Meski harganya lumayan mahal di sini, tapi tak apalah demi mengobati rindu makanan negeri sendiri.
Beberapa bahan makanan lainnya yang tidak kami dapatkan di Kosco Asian kami cari di tempat lain. Sebenarnya di sepanjang jalannya pun banyak sekali toko-toko yang menawarkan dagangan, tapi sayangnya kami tak menemukan barang yang kami butuhkan. Akhirnya, kami mencarinya di Alpine Supermarket yang merupakan waralaba dari Four Square. Jaraknya pun cukup dekat, sekitar 100 meter dari Kosco Asian Supermarket.
Hal paling penting belanja kali ini, kami tidak perlu merogoh kocek cukup dalam. Total uang yang kami keluarkan untuk berbelanja kebutuhahan hampir dua hari ke depan hanya NZ$ 7.88 dari budget yang kami anggarkan sebanyak NZ$ 10.
“Voila… makanan sudah siap,” ucap Raya sambil menaruh makanan di atas meja.
Menu makan malam kali ini sangat istimewa. Kali ini kami memakan steak salmon yang dimasak langsung oleh Raya. Masakan Raya memang selalu nikmat. Wajarlah usaha kulinernya di Bandung selalu ramai pengunjung. Selama perjalanan di sini kami mengandalkannya untuk memasak.
Setahuku baru kali ini Raya mengolah salmon. Namun, rasanya tak kalah dengan masakan yang sudah biasa dimasaknya. Olahan bumbu rahasia yang digunakan Raya menambah rasa menjadi luar biasa. Berlipat-lipat lezat. Pun yang tidak kalah penting adalah salmon yang menjadi bahan utamanya. Salmon segar yang kami beli saat singgah di Alpine Salmon Farm ketika dalam perjalanan dari Wanaka menuju Lake Tekapo.
Baru kali itu aku melihat langsung bagaimana salmon dibudidayakan. Peternakan salmon yang letaknya berada di hampir 2000 meter di atas permukaan laut itu menjadikannya sebagai lokasi peternakan salmon tertinggi di dunia. Berada di sana merupakan pengalaman yang sangat luar biasa. Aku sangat kagum ketika mengetahui konsep peternakanya. Alpine Salmon Farm dibangun di tepi jalur hydro canal di mana air dari kanalnya berfungsi untuk memproduksi listrik. Mereka mengoperasikannya menggunakan konsep eco-sustainability di mana mereka menggunakan energi tenaga surya. Selain itu, mereka juga mendaur ulang seluruh limbah yang dihasilkan.
Baru kali itu juga aku berani memakan ikan. Terlebih kali ini yang kumakan itu ikan mentah. Padahal aku sangat tidak menyukai ikan. Hampir bisa dipastikan aku tidak mengkonsumsi ikan. Bukan karena alergi. Bisa dibilang aku ini phobia. Ya, phobia dengan ikan. Bahkan makanan yang sudah tersentuh ikan pun tak mau kumakan. Mual mencium bau amisnya.
Awalnya bukan karena kemauanku tapi hasil dari keisengan Raya dan Rona. Mereka memaksaku memakan salmon segar saat kami singgah di Alpine Salmon Farm. Sebelumnya aku pernah memberanikan diri mencicipi salmon, tapi itu pun yang sudah dimasak. Namun, kali itu mereka memintaku memakan salmon mentah. What?
“Masa sudah jauh-jauh ke sini nggak nyobain?” ucap Raya saat itu.
“Ogah … lo aja sana yang makan.”
“Kalo lo berani makan ini," tantang Raya sambil menunjukkan irisan salmon ke wajahku, “bensin kali ini gue yang bayarin, bagaimana?”
Aku menghindar karena jijik. Sementara, Raya tersenyum bahagia melihatku yang menampilkan ekspresi muka mual menahan muntah.
“Berani nggak?” tantang Raya sekali lagi.
Rasa kompetisiku bangkit. Aku tak mau dianggap remeh. Aku tak mau terlihat lemah di mata siapa pun. Sambil berpikir sejenak dan menetralkan kembali rasa mual akhirnya aku menerima tantangan dari Raya.
“Oke. Lumayan hemat kantong buat beli bensin.”
Aku pun memberanikan diri mencoba tantangan Raya memakan salmon mentah. Raya memberikan seiris daging salmon mentah itu padaku. Aku mengambil irisannya dengan perasaan agak jijik. Aku menutup mata sambil menutup hidung dengan tangan kiri. Lalu, memasukkan salmon mentah itu ke dalam mulutku.
“Bagaimana?” tanya Rona.
Aku masih menutup mata sambil mengunyah irisan salmon yang memenuhi mulutku. Perlahan kugigit salmon itu dengan ragu. Aku membuka mata dan kulihat Rona dan Raya tertawa kecil melihat ekspresi wajahku. Aku gigit lagi tanpa ragu sisa salmon yang masih ada di dalam mulutku. Aku kaget dengan rasa yang menjalar di lidah. Sungguh di luar dugaan. Rasanya sama sekali tak seperti ikan. Terasa sangat segar, manis dan lezat saat dikunyah.
***
“Bagaimana rasa steak-nya?” tanya Raya.
“Nyumiiiiii … lezaaaatttt banget, Honey,” jawab Rona.
“Lezat apa lapar?” ledekku.
“Iiishhh …,” kesal Rona.
Makan malam kami kali ini sungguh sempurna. Hidangan lezat buatan Raya ditemani langit cerah di Lake Tekapo berhias simfoni warna-warna alami menjadikan makan malam kali ini sangat istimewa. Langit malam yang begitu indah menjadikan makan malam kali ini menjadi pengalaman yang tak mungkin terlupakan. Southern Lights atau disebut juga dengan Aurora Australis yang menghiasi angkasa membuatnya langit malam terlihat begitu cantik.
Rencananya kami ingin melihat sajian alam yang begitu indah itu di Mount John Observatory. Menurut review para traveler yang sudah pernah ke sana, kita dapat menikmati pagelaran cahaya alami spektakuler ini lebih nyata. Lebih memesona. Namun, berhubung waktu kami yang tak memungkinkan untuk pergi ke sana, maka terpaksa rencana itu pun kami urungkan. Walaupun demikian, kami sangat puas menyaksikan maha karya indah di langit malam meski hanya dengan mata telanjang.
“Kalian tahu kenapa salmon di sini rasanya sangat segar?” tanya Raya di sela-sela santap malam kami.
“Kenapa, Cinta?” jawab Rona manja.
“Coba tebak,” pinta Raya.
“Hmmm … apa yaaa …,” Rona tampak bingung.
“Karena salmon-salmon di peternakan hidup di air sangat murni, seperti air mineral yang biasa kita konsumsi dalam kemasan?” tebakku.
“Yup, tepat,” jawab Raya.
“Satu lagi,” ucapku.
“Apa?” tanya Rona.
“Karena salmon-salmon di sana hidup bahagia.”
“Ngaco,” ucap Rona tak terima.
“Peternaknya yang bilang kaya gitu kan?” tegasku.
“Yaa guyon kali. Lagi pula bagaimana kita bisa tahu salmon-salmon itu hidup bahagia?” tanya Rona, “bagaimana si peternak itu tahu kalau ikan-ikan yang mereka ternaki itu hidup bahagia dan tidak stress?”
“Iya juga ya?” bingung Raya.
“Meski mereka tidak mengerti bahasa ikan, mungkin saja mereka dapat membedakan ikan yang baik dengan yang tidak baik dari rasa dan kualitas daging ikannya,” jawabku.
“Bener juga. Sama seperti manusia, jika hidupnya bahagia pasti deh semuanya akan sehat, sebaliknya kalau hidupnya stress, bentar-bentar sakit, lemes,” jawab Raya.
***
Aku bangkit membawa piring bekas makanku lalu mencucinya. Raya dan Rona masih belum menyelesaikan makan malamnya. Wajarlah dari tadi mereka lebih banyak bercanda dari pada memakan makanannya. Entah, apa enaknya makanan yang tadinya hangat lalu disantap saat sudah menjadi dingin? Apa mungkin karena cinta, semua akan tetap terasa nikmat? Ah, rumit memang saat hati dilanda cinta. Banyak hal yang tak masuk logika. Usai mencuci piring, aku kembali lagi ke meja piknik
“Besok jadikan kita janjian bertemu dengan Runi?” tanya Rona.
Mendadak jantungku berdetak lebih kencang. Mendengar nama Runi, membangkitkan memori ke beberapa tahun silam. Gadis cantik yang pernah menjadi salah satu finalis Mojang Bandung itu pernah mengisi hidupku. Dia pernah menjadi bagian dari hari-hariku. Salah satu sosok perempuan yang sempat mengisi rasa rinduku. Dia juga yang sempat mewarnai sunyinya hatiku.
“Iyya de' naullei u alupai,[1]” batinku, “Alena canring rioloku.[2]”
Dia adalah bagian dari sejarah masa lalu. Sejarah pahit dan kelam yang sangat tak layak diceritakan. Sungguh perbuatan keji yang tak sepatutnya kami lakukan. Sejarah yang tak perlu diingat dan menjadikan kami berusaha terus memohon agar Allah selalu mencurahkan rahmat dan ampunan. Entahlah jika benar akan ada pertemuan dengan Runi, apakah besok aku masih punya muka untuk bertemu dengannya dan menjalani hari seperti biasanya.
***
[1] Aku tak bisa melupakannya
[2] Dia adalah cinta pertamaku