Pelangi itu indah
Ia muncul usai hujan reda
Aku selalu ingin melihatnya
Ternyata dia muncul dari balik matamu yang jelita
Sayangnya, kali ini aku tak bisa melihatnya
Sebab, air mata belum juga sirna dari mata sang juita
Aku menggoda Uleng dengan puisi yang kubuat secara dadakan.
“Apaan sih, Kak, Uleng masih kesal sama Kakak,” ucap adikku kesal dengan suara manja.
“Tapi boleh kan Kakak melihat lagi pelangi itu?”
“Ahh … Kakak, adik sendiri malah digombalin.”
Kudengar isakan itu mulai berhenti. Suara pilu itu kini berganti dengan nada manja sambil menjawab pertanyaan yang dibilang gombal itu.
“Nah gitu doong. Senyum.”
“Tahu dari mana Uleng lagi senyum?”
“Wuiiih, jangan ditanya bagaimana caranya. Kakak ini punya mata sakti yang bisa melihat dari jarak sangat jauh.”
“Hahaha … mulai lagi deh ngaconya.”
Aku bersyukur, Allah telah melembutkan dan menyatukan hati kami kembali. Akhirnya, kami pun membahas panjang lebar tentang tradisi panai meski tak langsung berhadap-hadapan. Aku pun mencoba memberikan saran kepada Uleng terkait besaran uang panai sebagai bahan pertimbangan.
“Kakak memang belum pernah menikah. Belum pernah merasakan bagaimana rasanya memberikan panai ….”
“Tapi Kak, Uleng melihat tradisi panai ini seperti proses jual beli. Sang Pria ‘membeli’ sang wanita untuk dijadikan istri, ya kan?” tegas Uleng memotong ucapanku.
“Yaa, nggak seperti itu, Dik. Kakak tahu benar tentang tradisi ini dari tradisi turun temurun selama tinggal di Sengkang. Kakak juga tahu banyak hal tentang panai ini dari membaca beberapa artikel kebudayaan,” ucapku menjelaskan dan meluruskan tradisi ini pada Uleng, “Panai ini bukanlah transaksi jual beli. Tetapi panai ini merupakan bukti keseriusan seorang lelaki ketika ingin mempersunting seorang wanita yang ia cintai.”
“Hmmm … masuk akal juga sih, Kak”
“Iya, sebagai bukti bahwa sang laki-laki berjuang sekuat tenaga dalam mendapatkan gadis pujaannya. Selain itu, panai juga merupakan bentuk penghargaan kepada perempuan sebagai makhluk Tuhan yang sangat berharga. Sebagai bentuk penghargaan pria kepada gadis yang kelak menjadi istrinya.”
“Tapi Uleng ingin pernikahan yang sederhana, Kak. Tidak mau memberatkan pihak pria. Inginnya sih gak usah ada panai-panaian segala. Tapi banyak yang bilang tradisi itu harus dijaga.”
“Tradisi baik memang patut dijaga dan tentunya selama tradisi itu tidak memberatkan dan menyalahi aturan agama.”
“Iya, Kak. Apalagi panai adalah syarat yang secara adat wajib ditunaikan. Panai harus dibayarkan oleh pihak pengantin pria kepada pihak pengantin perempuan.”
Beberapa hari setelah acara lamaran berlangsung Uleng mengabarkan padaku bahwa akhirnya kedua keluarga menemukan kata sepakat terkait uang panai. Aku hanya bisa tersenyum takjub mendengar keputusan keluarga. Ada rasa tak percaya saat mendengar nilai uang panai yang diminta kepada keluarga calon pengantin pria.
Awalnya aku heran saat mendengar cerita Uleng ketika keluargaku yang saat itu diwakili oleh ibu memutuskan nilai panai Uleng jauh lebih rendah dari standar panai teman-teman Uleng yang sudah menikah. Lebih rendah dari tradisi uang panai yang biasa didapatkan bagi gadis bugis yang akan menikah.
Entah apakah karena saranku pada Uleng beberapa waktu lalu agar mempermudah dan tidak memberatkan urusan pernikahan? Aku menyarankan persis seperti apa yang pernah Raya beritahukan padaku. Raya pernah memberitahuku sebuah hadits yang membahas tentang pernikahan. Hadits tentang pernikahan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim itu menyebutkan supaya kita memudahkan prosesnya. Aku pun menyampaikan pesan itu pada Uleng sebagaimana sabda yang mulia baginda Nabi: Lakukanlah walimah walaupun dengan seekor kambing.
Selain itu jika mahar saja yang jelas-jelas menjadi syarat sah pernikahan tidak boleh memberatkan apalah lagi panai yang tidak ada sedikitpun disyaratkan oleh syariat. Jika dibanding panai teman-teman sebayanya yang sudah menikah dan yang memiliki kesetaraan pendidikan yang sama dengannya, nilai panai Uleng hanya bernilai sepertiganya saja. Namun yang jelas aku terharu dan bangga saat Uleng memberitahuku tentang alasannya.
“Kelak Kakaku akan menikah dengan sang wanita pujaan. Aku tak ingin hanya karena sebuah tradisi membuat cinta tak mampu dipertemukan,” ucap Uleng waktu itu.
***
“Ingat bulan depan pulang ya, Kak?”
“Siap, adikku sayang.”
“Jangan cuma ‘siap’ aja, Kak,” kesal Uleng, “Lebaran tahun kemarin katanya mau pulang, tapi mana?”
“Iya, adikku sayang.”
“Jangan cuma ’iya’ aja, Kak. Tiga bulan lalu saat aku lamaran katanya janji mau pulang, tapi mana?”
Aku menghela napas. Sejujurnya aku sedih dan tak tega dengan adikku. Aku tak pulang di saat momen berharga dalam hidupnya. Sejak mappese pese, yakni saat kekasih Uleng datang ke rumah untuk mengutarakan niat baiknya, Uleng sangat menginginkanku pulang. Dia ingin aku ada di sampingnya. Maklum saja, aku adalah kakak satu-satunya. Namun, aku tak bisa memenuhinya.
Bahkan pada saat momen melamar yang dalam tradisi bugis dikenal dengan massuro atau madduta pun aku masih urung untuk pulang. Hingga pada tahap mappenre doi[1] dan mappetu ada[2] pun aku masih tak kunjung pulang menyaksikan kebahagiaan adik kesayangannku itu.
“Pokoknya kalau sampai Kak Wellang nggak mau jadi waliku, aku nggak mau nikah.”
“Loh, kok ngancamnya begitu?”
Kali ini permintaannya sangat istimewa. Bukan hanya sekadar memintaku pulang tapi juga memintaku yang mewakili bapak menjadi walinya. Entah apa alasannya. Uleng tak mau menceritakan alasan sebenarnya. Ia hanya mengatakan kalau Bapak tak sanggup melakukannya. Atau ini hanya cara dia agar aku mau pulang? Entahlah. Sejujurnya aku pun merindukan wajahnya yang seteduh cahaya purnama. Tujuh tahun berlalu telah menumbukan benih rindu yang kini menjadi pohon lebat di hatiku.
Aku masih ingat bagaimana dia menangis terisak saat tahu aku akan merantau. Saat itu ia baru saja pulang sekolah, seragam biru putihnya masih lengkap dipakai. Di ruang tamu yang begitu sederhana, tangisnya pun pecah. Ia memukuliku berkali-kali karena tak rela jika harus berpisah. Aku hanya diam dan tak melawan. Aku pun tak menghindar dari tiap pukulan adik kesayangan.
Setelah amarahnya agak reda, kupeluk dia dengan lembut dan sayang. Dadaku basah dengan air matanya. Uleng sesegukan. Pelan-pelan kukatakan alasanku kepadanya bahwa aku diterima masuk di sebuah uneversitas negeri di Bandung. Dia pun tak terima. Katanya aku sudah tak sayang lagi padanya. Katanya aku tega membiarkan dia mengerjakan PR sendirian. Seribu “katanya” menyerangku dari pemilik wajah seteduh purnama. Namun, lagi-lagi rasa perih di hatiku belum pulih juga. Entah sampai kapan semua perasaan ini sembuh dan bisa menerima semuanya takdir-Nya dengan lapang dada.
***
[1] Mengantarkan uang pesta.
[2] Menentukan hari pernikahan.