Agustus 2013
1
Pertama kali sampai di rumah Indra, kami disambut tiga capung berwarna kuning yang beterbangan di atas rumput gajah yang di potong rapi. Di halaman depan ini juga ada pohon mangga yang sudah besar tepatnya disamping kiri rumah dekat pagar.
Dari luar, rumah Indra terlihat biasa saja, bukan seperti istana ataupun hotel mewah meski cukup besar. Ada garasi yang digunakan untuk memarkir mobil pajero sport dakar hitamnya dan sebuah motor rx king hitam yang baru pertama kali kulihat.
“Motor kau ?” tanyaku
“Iya, Bunga. Kau bisa pakai kalo mau, bebas,”
Aku hanya mengangguk mengingat motor bebekku di tinggal di rumah Paman.
“Kalo mau mobil biar kubeli, Bunga, kamu mau ikut latihan mengemudi?”
“Enggak. Enggak usah,”
Indra memimpin jalan memasuki rumahnya, bisa kulihat warna kuning mendominasi dinding. Aku tersenyum.
“Aku tahu kamu suka kuning,” katanya
“Rumah in baru di bangun?”
“Enggak, ini rumah orangtuaku dulu sebelum meninggal, pas akhirnya aku mutusin menetap di Jakarta semua direnovasi sesuai warna kesukaan kamu, jadi aku enggak ngerasa sepi karena ingat kamu terus,”
“Apaan sih,” kupukul pelan lengannya merasa tergombali.
Dalam rumah Indra sangat bagus, aku tak heran karena dia adalah seorang calon arsitek, sulit untukku menceritakan isi rumah ini mengingat bentuk barang di sini tidak hanya bulat dan persegi, intinya dia bilang ini model klasik minimalis.
“Ayo naik,” indra menunjuk tangga
“Hm” mengangguk
Sampai di atas, Indra mengambil kunci di laci dan berniat membuka satu pintu.
“Ini kamarmu, Bunga, di sebelah kamarku,” menunjuk ke pintu sebelah kanan yang sejejer dengan pintu kamarku.
Ceklek..
Kudapati koper-koperku sudah tersusun rapi di pojok ruangan, Indra melangkah masuk duluan lalu kuikuti.
“Itu?” menunjuk ke sebelah kanan
“Hehe iya, itu boneka yang kubeli saat kau masih bekerja di toko Pakde Paijo,”
“Banyak sekali, ya?”
“Iya perjuangan hehe... Eh tapi yang boneka Paus Orca kuberikan ke teman sebagai oleh-oleh liburan. Tak apa ‘kan?”
“Iya,”
Kamarku cukup besar, di sebelah kiri pintu ada lemari yang sepertinya masih kosong karena barang-barang masih di koper, ada pintu menuju kamar mandi dan meja rias. Di sebelah kanan pintu ada ranjang yang dipenuhi boneka. Semua dinding kuning kecuali dinding yang diapit ranjang.
“Itu kaca hitam?”
“I-iya,”
“Bukannya itu pembatas antara kamarku dan kamarmu? Jadi kau bisa lihat apa yang kulakukan dari kamarmu?” aku mulai curiga.
“Ti-tidak, Bunga, semua di rumah ini sudah kuning dan seperti yang kau tahu aku suka hitam, tak ada cat ataupun wallpaper yang memberi hitam murni selain kaca hitam itu. Hanya itu yang kusuka bunga, aku tak bisa melihatmu dari sana kok,”
“Hm.. yaudah, kalo kau mau sekamar denganku juga enggak papa kok, sudah nikah juga,”
Aku mendekati tumpukan koper dan mulai menyusun baju-baju ke lemari.
“A-aku ke kamarku istirahat ya, Bunga?”
“Hm,” mengangguk tak peduli
“Pintunya kututup,”
“Iya, Indra, jangan lupa mandi dulu,” kataku mengedipkan mata ke arahnya
“Oke,”
***
2
Satu hari kepindahanku ke Jakarta, Indra jadi sangat sibuk. Indra adalah pemilik salah satu perusahaan properti yang cabangnya terbagi di setiap pelosok negeri, wajar jika dia sering pergi keluar kota untuk mengontrol, dia harus mengurus semua sendiri sejak orangtuanya meninggal. Mungkin itu juga yang jadi alasan dia mulai menetap di Jakarta mengingat kantor utama selalu terletak di Ibukota.
Sebenarnya Indra terlalu banyak memberiku kemudahan dengan menikah dengannya, rumah yang besar, kendaraan, uang.
“Bunga, aku meletakkan brangkas di ruang kerja. Jika kau perlu uang buat beli sesuatu ataupun jajan, ambil saja. Memang tak banyak karena aku biasanya menyimpan uang di bank tapi kuusahakan untuk mengisi brangkas terus untukmu,” kata Indra waktu itu yang kubalas anggukan.
Brangkas Indra berisi uang pecahan 100.000 yang totalnya lima jutaan, untukku jajan. Aku ragu saat dia bilang uang segitu tak banyak, mengingat jumlah segitu bisa jadi gajiku setengah tahun jika bekerja dengan rajin dan jarang cuti di toko boneka.
Selain itu ada satu hal yang memudahkanku lagi yaitu Mbah Kiyem, seorang wanita paruh baya yang datang untuk masak dan bersih-bersih setiap pagi.
Percayalah, aku mengetahui ini semua setelah pindah ke Jakarta, jadi ini tak bisa dikatakan sebagai alasan kenapa aku mau menikah dengan Indra Wijaya. Mungkin ini bisa dikatakan sebagai bonus yang tak pernah kuharapkan.
Aku menyukai Indra Wijaya (kedua kalinya kukatakan). Meski Indra sangat jauh di atas harapan karena dulunya kupikir aku akan bersama dengan lelaki berambut keriting, berbadan kurus hitam, berkacamata empat dan rada gila. Kurasa seharusnya hanya dengan ciri begitu yang kupikir mungkin akan menyukaiku.
***
3
Pagi kedua di Jakarta,
Indra mengatakan jika dia harus ke Kalimantan karena urusan pekerjaan, kuantarkan dia sampai depan pintu karena sudah ada taksi yanga akan mengantarnya ke Bandara.
“Aku pergi ya, Bunga,” mengintrupsiku untuk mencium punggung tangannya,
“Iya,” kujabat tangannya, dia tertawa melihatku yang tak menurut, tapi tak ada niat membahas.
“Hati-hati!” teriakku menemani langkahnya ke taksi,
“Iya, Bunga.”
Kututup pintu setelah taksinya tak terlihat lagi dan berjalan ke dapur mengganggu Mbah Kiyem.
“Eh-eh kecoak kecoak!”
“Aargghh.... mana?!” tanya Mbah Kiyem panik
“Itu yang lagi teriak,” menunjuknya
“Ih si Eneng mah,”
“Hahaha... merajuk?” mencolek pinggangnya
“Enggak, Neng,”
“Huhu.. merajuk tuh” memainkan sawi ala kapten cheerleaders,
“Neng, bahan masak enggak boleh dimainin!”
“Iya iya” menaruh sawi kembali ke meja “Mbah sudah lama kerja di sini?”
“Kok manggilnya samaan dengan si Aden?” Aden maksud Mbah Kiyem adalah Indra.
“Iya tadi Indra bilang Mbah Kiyem yang biasanya masak sama bersih-bersih di sini,”
“Oh si Aden udah ngenalin Mbah ternyata?”
“Iya, Mbah.”
“Udah lama, Neng, dari si Aden masih segini,” Mbah memegang lutunya “Neng tanggal 11 bulan ini si Aden ulang tahun loh,”
“Tau, Mbah, aku lihat di buku nikah kami,”
“Neng, mau ngasih apa?”
“Apa ya, Mbah? Kayaknya Indra udah punya segalanya,” menatap seisi ruangan
“Kalo di pilem-pilem ada cowok ulang tahun si ceweknya buatin kue,”
“Aku enggak bisa gitu,”
“Bisa!”
“Enggak, Mbah.”
“Nanti Mbah ajarin,”
“Yakin?”
“Iya.” menulis daftar di kertas “ini Eneng coba belanja dulu,”
“Mbah aja,”
“Enggak bisa, Neng. Mbah ‘kan lagi kerja, jam sembilan harus sudah selesai karna mau langsung pulang,”
Kulirik jam dinding menunjukkan pukul 07.36 WIB
“Iya deh, Mbah.”
Aku bergegas ke ruang kerja Indra untuk mengambil uang dan kunci motornya dan tak lama aku sudah berada di jalanan menuju Minimarket. Tak lama akhirnya sampai, memasukkan beberapa barang, bayar ke kasir lalu pulang.
“Mbah? di cek dulu,” kataku memanggil si Mbah ke ruang TV,
“Ini salah!” mengangkat belanjaan pertama, “ini salah!” mengangkat belanjaan kedua, “astagfirullah, Neng...”
“Kenapa, Mbah?”
“Ini soda api, Neng. Buat bersihin jamban!”
“Ah... enggak bisa gini, Mbah. Semua belanjaanku salah,”
“Enggak, Neng. Yang ini benar,” mengangkat tepung
“Cuman itu.”
“Namanya belajar, Neng.”
“Mbah aja yang beli, ya?”
“Mbah enggak sempat, Neng.”
Tiba-tiba aku merasa kesal dengan penolakan Mbah Kiyem dan pergi ke kamar setelah bilang ya udah, lama begitu mungkin sampai satu jam hanya berbaring di kamar. Sampai aku berpikir jika ini bukan Bunga Dea—generasi penerus kecantikkan cleopatra—enggak boleh perajukan.
Mbah Kiyem sudah izin pulang beberapa menit yang lalu, mengetuk-ngetuk pintu kamar tapi tak kugubris. Sekarang baru merasa bersalah jadinya.
Kuputuskan untuk kembali keluar rumah dengan motor RX King-nya Indra, kembali menuju Minimarket lagi. Sampai di sana karyawan Minimarket menatapku sinis, memandang celana lepis, baju polos dan jaket yang kukenakan dengan jeli. Aku tahu sekali pandangan macam apa itu tapi tak kutanggapi, berusaha jadi pihak yang cari aman.
Kupandangi beberapa foto di galeri ponsel, hasil download dari Mbah google berdasarkan daftar belanja yang ditulis Mbah Kiyem tadi. Setelah selesai memenuhi keranjang belanja, kubayar semua belanjaanku ke kasir yang sinis itu, di sana aku juga melebarkan jaket tanda tak ada barang yang kuseludupkan biar dia puas.
Diperjalanan pulang tanpa sengaja aku bertemu dengan Mbah Kiyem dan anak kecil berseragam putih merah menggenggam tangannya.
“Mbah?”
“Eh si Eneng?” kuberhentikan motor dan kami mengobrol di sana,
“Mbah, tadi maaf ya?”
“Enggak papa, Neng. Neng kenalin ini anak Mbah,” mengusap-usap kepala anak kecil di sampingnya,
Aku shock tentu saja, Mbah Kiyem sudah paruh baya, tapi masih memiliki anak sebegini kecilnya, topcer sekali.
“Oh namanya siapa?”
“Putri Ramadhani.” kata anak kecil itu masih sibuk memainkan pesawat kertas di tangan kirinya, aku tersenyum.
“Mbah, cek belanjaan aku dong!” pintaku
“Oh sini, Neng.”
Mbah masih sibuk mengubek-ubek kantong belanjaanku dan si Putri juga sudah beralih kesibukan dari pesawat kertasnya ke motor yang kukendarai.
“Benar semua, Neng. Besok kita bisa mulai buat kue!”
“Hehe... Oke” mengacungkan jempol kepada Mbah, “mau kuboncengi?” tanyaku ke Putri,
dia mengangguk.
“Enggak usah, Neng.” kata Mbah
“Enggak papa, Mbah. Biar aku antari pulang sesekali. Putri biar duduk di depan, Mbah duduk di ban,”
“Hah?”
“Enggak-enggak, duduk di belakangku—di jok motor juga.”
“Ngerepotin, Neng?”
“Enggak, Mbah.”
Di motor, Mbah Kiyem bercerita jika Putri adalah alasannya hanya bisa kerja sampai jam sembilan pagi. Mbah tak mau anaknya terlantar karena dia sibuk mencari uang belum lagi Mbah merasa sudah sangat tua dan hanya memiliki sedikit waktu dengan Putri. Mbah ingin Putri bahagia merasakan perhatian dari seorang ibu sejak dini.
“Aku ngerasa keren sekali sekarang, bisa boncengi Mbah, Putri dan pesawat.”
Putri menoleh kebelakang sadar jika aku sedang menyindir mainannya,
“Ih kak Neng nih!” katanya.
“Kak neng? Maksudnya?” aku bingung.
“Ibuk manggil Kakak Neng Neng dari tadi, jadinya aku manggil Kak Neng ‘kan?”
Mbah Kiyem tertawa, aku juga, Putri bingung.
“Nih anak masih perlu banyak belajar, Mbah.” kataku mengajak ngobrol Mbah Kiyem,
“Hehehe.. iya, Neng.”
“Putri panggil aku Kak Dea ya, karena namaku itu Dea bukannya Neng” kataku,
“Putri bingung, Kak.”
“Ya udah panggil Kak aja enggak papa”
“Oke.”
Putri mengelus-ngelus tutup tang bensin sesekali, meski coba kuabaikan tapi akhirnya aku merasa penasaran.
“Suka sama motor ini Putri?”
“Suka!”
“Mau?”
“Mau!”
“Haha... mangkanya nikah sama Indra Wijaya.”
“Oke.” Katanya.
“Hah? Oke-oke aja kau, ndak boleh ya nikah dengan Indra Wijaya!” aku merasa harus memperingatinya.
“Putri bingung, Kak.”
“Ya udah, lupaiin!”
Aku rasa pelajaran Putri di sekolah tadi cukup berat sampai otaknya jadi lelah untuk berpikir dan gampang bingung.
“Neng, berhenti! Rumah Mbah udah kelewatan.”
Aku menarik rem sigap.
“Yang mana?”
“Yang itu, dua rumah kebelakang. Mbah turun sini aja, Neng.”
“Enggak usah, biar aku putar balik.”
“Sampai!” kataku berteriak girang sebelum kembali menghentikan motor
Putri dan Mbah Kiyem turun perlahan.
“Makasih, Neng.” kata Mbah.
“Makasih, Kak Neng” kata Putri.
Aku tertawa, mencari sesuatu di kantong belanjaan.
“Aku punya coklat, enaknya buat siapa, ya?”
“Putri!” kata Putri.
“Haha.. boleh buat Putri tapi dari sekarang manggil akunya Kak Dea, ya?”
“Oke,”
“Ya udah, ini.”
“Mbah, aku pulang dulu.” kataku
Saat melaju, knalpot racing dari motor yang kukendarai ini mendominasi suara-suara di sekitarnya, tapi aku bisa dengar Mbah Kiyem berteriak ‘Neng, hati-hati!’, aku tak berniat kembali berteriak karena rasanya akan sia-sia, belum tentu Mbah Kiyem memiliki pendengaran sebagus diriku jadi aku berinisiatif mengangkat tangan kiri dan mengacungkan jempol. Semoga dia melihat Ibu jari kecilku yang imut-imut ini.
Sampai di rumah aku menonton drama Korea sampai larut dan tertidur di depan TV. Tak ada Indra, dia masih di Kalimantan karena pekerjaan.
***
4
Seharian berikutnya, Mbah Kiyem mengajariku membuat kue. Aku berusaha yang terbaik di hari pertama, berusaha menghindar dari dapur dan Mbah Kiyem—tentunya. Alasanku sederhana
“Mbah, aku mules!”
“Mbah, aku jemput Putri dulu ya!”
“Mbah, aku sesak kencing!” yang ini kupakai lebih dari delapan kali. Dan...
“Mbah, aku cari makan siang buat kita sama Putri dulu ya.”
Mbah kiyem orangnya sangat polos dan dia mengiyakan semua alasan yang kubuat-buat.
Karena seharian Mbah Kiyem sibuk membuat kue jadi tak ada lauk pauk sama sekali di rumah dan aku mulai lapar.
Jam 20.13 WIB, kuputuskan untuk keluar mencari makan sambil berjalan kaki karena langit sedang cerah dan aku malas mengeluarkan motor dari garasi.
Aku mengenakan celana jeans, topi hitam milik Indra dan kaos polos yang tertutup jaket kebanggaan yang di dada kirinya terdapat gambar Bunga dan daun tembakau Deli (simbol dari klub bola PSMS medan) sebagai bukti aku seorang Kompak FC sejati.
Jalanan sangat sepi, motor yang lewatpun jarang-jarang. Untung saja ada mamang gerobak nasi goreng yang sedang melayani pelanggan di depan. Aku memesan satu porsi nasi goreng untuk di bawa pulang mengingat malam semakin larut.
Aku melewati jalan yang sama ketika pulang hanya saja jalanan sudah tak sesepi tadi, setelah setengah jalan pulang aku menemukan tiga orang lelaki yang sedang nongkrong di seberang, asik merokok dan mengobrol.
Tangan kananku menggenggam plastik berisi makanan dan yang kiri kumasukkan ke saku jaket, mereka menatapku tapi aku berusaha membuat gestur yang biasa saja. Setelah melewati mereka sekitar dua atau tiga langkah salah satu dari mereka berteriak.
“Lo, Kompak FC?!”
“Masalah?” kataku dengan keras karena terkejut,
“Tahi nih! Kompak FC enggak diterima di sini!”
Salah satu orang itu melempar rokoknya ke tanah dan mengajak dua temannya yang lain mendekat, aku bisa saja lari tapi kuusahakan kakiku untuk tak bergerak. Meski jalanan ini sangat gelap aku tahu ada dua bocah tak jauh di belakangku dan jika saja aku meninggalkan tiga pria ini dalam keadaan emosi bisa jadi nanti kedua bocah yang tak tahu apa-apa itu malah jadi bulan-bulanan mereka.
“Jangan songong lo di sini!” kata pria pertama mendorong bahuku.
Lalu memukul perut dan mukaku berkali-kali, kuusahakan untuk tetap berdiri memerhatikan dua bocah yang semakin mendekat.
“Dek, langsung nyebrang dan lari!” pekikku ke arah dua bocah, untung saja kedua bocah itu mendengar dan menurut.
“Sok baik kau ya?!” kata pria kedua memukul keras punggungku, nasi goreng sudah melanting entah kemana.
Lalu sepertinya pria ketiga menendang belakang lututku sampai aku terjatuh. Setelah itu yang kutahu sekarang hanya bisa mengatur napas menerima tendangan dan tijakan di sekujur tubuh. Aku hampir hilang kesadaran saat salah satu dari mereka menginjak kepalaku dan membuat topi yang kukenakan terlepas.
Aku sadar jika si penginjak adalah pria pertama yang menarik dua temannya yang lain.
“Udah! Ini cewek, Bro!” kata pria pertama
“Cewek aja lo ya!” kata pria ketiga
Satu tendangan mendarat lagi di perutku sebelum mereka benar-benar pergi.
Lama sepertinya aku terbaring di jalanan, bulanpun sudah berada tepat di tengah langit. Kuusahakan berdiri berkali-kali dan berjalan pulang terpincang-pincang. Mungkin ini perjalanan terjauh bagiku, tapi aku tak menyerah dan mentekadkan diri untuk terus berjalan sampai ke rumah.
Soal pengeroyokan antar supporter bola, itu hal yang cukup lumrah (meski tak kudukung). Mungkin jika mereka berada di daerah klub bola lain dengan mulut sesembarang itu. Aku tak yakin mereka bisa hidup baik lima menit sesudahnya.
Dan. Aku tengah sedikit shock. Bukan karena babak belur, tapi.... apakah aku tak terlihat seperti wanita? Padahal rambutku cukup panjang! Oh, oke. Banyak lelaki gondrong tapi apa badanku tak ada yang terlihat menonjol? Ah sialan sekali.
Sampai di depan pagar rumah aku baru sadar jika lampu teras belum kunyalakan, semuanya gelap sekali tapi aku tak buta, mobil Indra sudah terparkir di depan garasi dan si pemiliknya duduk di tangga teras.
“Surprise! Aku pulang, Bunga!”
Indra berlari kecil mendekat dan memegang bahuku, aku hanya menatapnya menahan rasa sakit karena sentuhannya yang mendadak.
“Bunga, rindu aku ya sampai pakek topiku segala?”
Indra memindahkan topi yang kukenakan ke kepalanya, dan saat dia melakukan itu sebuah mobil melintasi jalan dengan lambat. Lampu depan mobil mengarah pas ke wajahku dan dengan tatapan yang sama aku masih memandangi Indra yang terkejut.
“Bunga?”
Aku yakin ada cairan yang menetes di wajahku dan itu adalah darah, entah dari bagian wajah yang mana. Semuanya terasa sakit.
“Indra, aku dikeroyok tiga pria karena ini,” kataku menunjuk gambar bunga dan daun tembakau deli di dada kiriku yang kotor.
“Masuk ke mobil, Bunga!”
Tak beberapa lama mobil ini sudah melaju kencang, awalnya kupikir Indra akan membawaku ke rumah sakit ataupun kantor polisi tapi ternyata Indra menanyakan jalan yang tadi kulewati dan kami berputar-putar di sana.
Anehnya ketiga pria tadi masih ada, tak jauh dari tempat pengeroyokan tanpa rasa bersalah, ketawa-ketawa. Indra melihat perubahan ekspresiku yang jadi penuh kebencian menghentikan mobilnya pas di depan tiga pria itu.
Indra keluar dan membanting keras pintu mobil, dan aku menyaksikan semuanya, Indra memukuli mereka bertiga habis-habisan. Ini pertama kalinya aku melihat Indra berkelahi.
Jika kalian berpikir Indra adalah lelaki yang lemah dan kerjanya hanya berkutik dengan buku-buku berarti kita sama, tapi ternyata dia tak begitu. Caranya memukul orang terlihat sangat laki meskipun aku bisa melihat dia menekan dirinya supaya tak sampai kelewat batas.
Lampu depan mobil sengaja tak dimatikan supaya mereka tak bisa melihat plat kendaraan dan memberi dendam baru. Tak ada rasa senang dalam diriku melihat tiga pria yang memukuliku tadi babak belur begini, tapi dengan egois kukatakan ini perlu, untuk memberi pelajaran dan kuharap rasa jera bagi mereka.
“Indra, sudah! Ayo jalan!” kukeluarkan kepalaku dari jendela
Indra menuju mobil dengan paksa, kurasa dia belum puas berkelahi. Mobil melaju tak tentu arah dan dalam kecepatan cukup tinggi.
“Bagaimana kau bisa terluka separah ini sedangkan mereka tak memiliki satu lukapun!!” Indra memukul setir mobil dengan tangannya.
Kurasa ini biasa, aku sering mengalami juga, emosi membludak sehabis berkelahi yang dialami Indra sekarang.
“Kau bilang aku tak boleh berkelahi lagi.” kataku pelan
“Bunga, kau lihat dirimu, semua tubuh terluka, kau masih bisa hidup sekarangpun karena keberuntungan! Seharusnya kau melawan!”
Aku pasrah, sepertinya aku akan mendengar makian Indra semalaman jika aku terus menjawab ocehannya. Jadi kutundukan kepala menyanggahnya dengan tangan yang bertumpuh ke lutut.
“Bunga, kenapa?” tanya Indra pelan, laju mobil juga melambat dan berhenti perlahan
“Aku berusaha keras memegang janjiku padamu Indra sampai badanku sakit, tubuhku terluka parah, dan sekarang aku sangat lapar. Kau malah marah terus!”
Indra mengangkat kepalaku pelan mengarahkan untuk melihatnya.
“Bunga, maafkan aku, aku khawatir sekali melihatmu begini tadi.” Katanya memperbaiki rambutku.
“Aku tahu, tapi aku tak mau mengerti, aku ingin kau mengerti aku sekarang Indra, aku sakit.”
Indra memelukku pelan dan dengan lirih bilang “Iya, Bunga. Maaf.” aku hanya berdehem tanda iya.
“Kita ke rumah sakit dulu ya lalu cari makan,” sarannya
“Ke klinik aja, aku enggak mau nginap di rumah sakit.”
“Iya, Bunga.”
***
5
Hasil pemeriksaan menunjukkan tak ada luka serius yang merusak organ dalam tubuh jadi dokter hanya memberi resep berupa salep, obat dan pembersih luka yang langsung ditebus Indra ke Apotek. Dari sana kami mampir di rumah makan dan memesan dua porsi nasi padang untuk dibawa pulang.
Saat sudah di rumah, aku dan Indra hanya diam menghabiskan nasi padang masing-masing. Sesekali dia mengopor ayam gulainya ke piringku dan kukembalikan lagi, aku tahu dia tak nafsu makan tapi berusaha tetap menghabiskan porsinya karena tadi aku mengancam tak mau makan jika dia tidak ikut makan.
Selesai makan, Indra membereskan semuanya. Aku masih duduk di lantai dan menemukan jam dinding sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Indra menghampiri lagi membawa obat yang tadi dia tebus.
Indra membersihkan lukaku dengan fasih, tentu saja karena ini bukan pertama kalinya dia merawat lukaku.
“Ini semua karena aku, ya, Bunga?” tanyanya pelan
“Iya!”
Indra menunduk berpura-pura mencari salep padahal salep itu sudah berada di tangannya.
“Karena kau pergi-pergi terus, lihat aku jadi dijamah lelaki-lelaki lain!” menunjuk wajahku yang memar.
Dia tersenyum kembali mengobati lukaku, mengintrupsi supaya membuka jaket. Dia mengoles lenganku dengan cukup keras, aku tahu dia sengaja.
“Aawh.. sakiit!” refleks kupukul lengannya
“Giliran sama aku aja langsung mukul” sindirnya
“Eh? Ma-maaf”
“Enggak papa, Bunga. Harusnya kalo boleh ngembaliin waktu lebih baik aku aja yang luka-luka gini.”
“Udah ah ngerasa bersalahnya, ini biasa kok.”
“Karena kamu sudah biasa kayak gini mangkanya aku lebih ngerasa bersalah.”
“Udah ah,”
“Iya,”
“Udah malam nih, tidur sana!”
Indra melirik ke arah jam dinding,
“Sudah subuh, Bunga.”
“Iya tidur gih!”
“Ayo aku antar kamu dulu ke kamar, baru aku tidur,” aku hanya mengangguk
***
6
Setelah insiden pengeroyokan semalam Indra bilang tak akan keluar kota lagi kecuali ada urusan yang sangat mendesak. Dia menyerahkan semua cabang perusahan propertinya ke tangan-tangan kanannya di daerah masing-masing. Aneh memang, Indra memiliki banyak tangan kanan di mana-mana sedangkan aku hanya punya satu, melekat di tubuh, tak bisa dilepas dan tak boleh dicopot paksa.
Mendengar keputusan Indra aku sangat senang, kecuali satu hal kecil yang membuatku sedikit galau yaitu Mbah Kiyem harus memasak dan bersih-bersih setiap hari dan tak bisa membantuku membuat kue.
Jika saja aku meminta izin Indra untuk membebas tugaskan pekerjaan Mbah Kiyem kurasa Indra mau-mau saja tapi aku tak bisa. Bagaimana jika Indra menanya alasannya? Tak mungkin kujawab untuk mengajariku membuat kue sebagai surprise ulang tahunmu, bisa mati kutu aku.
Ini sudah dua hari Mbah Kiyem diliburkan Indra dan selama dua hari ini Indra lah yang merawatku, mungkin merasa bersalah atau mungkin tak mau Mbah Kiyem mengira aku sebagai korban KDRT yang dilakukan Indra.
Hari ketiga aku bersikeras menyuruh Indra kembali bekerja, muak melihatnya menyalahkan diri terus menerus setiap melihat mukaku. Mbah kiyem datang seperti biasa, pagi-pagi. Aku yang membuka pintu dan dia terlihat shock dengan wajahku yang memar di mana-mana.
Kuceritakan semu tentang pengeroyokan dan Mbak Kiyem terlihat mengerti lalu memasang muka shock lagi melihat Indra.
“Mbah?” sapa Indra
“Iya, Den. Tumben di rumah?”
“Aku bakalan di rumah terus sekarang, Mbah. Kan udah ada istri.”
Indra tersenyum, aku dan Mbah Kiyem juga tapi dengan maksud yang beda seperti senyum khawatir yang disembunyikan.
2 jam lebih kemudian...
Mbah kiyem sudah melakukan semua tugasnya jam delapan lewat lima puluh ketika Indra pamit berangkat kerja. Sepuluh menit yang tersisa antara aku dan mbah kiyem, kami hanya saling bertatap sedih.
Mbah kiyem membereskan barang-barangnya dan membuka pintu depan, menatap kearahku dengan tatapan su’udzhon. Dengan berat hati itu juga tatapan yang pasti akan kugunakan jika melihat diri di cermin sekarang.
***
11
Aku berlatih terus menerus meski kadang kuenya bantat, gosong, tak mengembang dan krimnya manis tapi terasa berpasir. Soal krim, Lusi bilang itu karena aku menggunakan gula dapur bukannya gula halus yang biasa digunakan untuk membuat kue. Benar, aku menelpon Lusi sesekali, tak sering karena ada rasa bersalah terus-menerus menipu ketua asrama tempat Lusi menimba ilmu agama.
Bagaimanapun cerita perjuanganku sekarang sudah berakhir, malam ini hari ulang tahun Indra, tepatnya tanggal 11-8-13. Dan kue coklat munyilku selesai, dengan topping dua buah cherry diatas krimnya, terlihat manis, kutaruh di atas meja ruang TV.
Di ruang TV ada tiga buah sofa, dua sofa pendek di depan dan di sebelah kiri TV lalu satu sofa panjang di sebelah kanan TV. Biasanya sofa panjang jarang digunakan, karena aku jadi geli sendiri ketika Indra memaksakan duduk di sebelahku dengan tangan yang gemetaran (Aku tak ingin memaksakan pendekatan, dan jika memang dia sedang senang atau manja pasti akan menghampiriku sendiri nanti, bisa sekedar bersebelahan duduk ataupun pelukkan, Aamiin.. semoga-semoga).
Aku duduk manis di sofa pendek di sebelah kiri TV, memandangi kue yang juga terlihat manis di depanku. Meski memar wajah belum juga hilang, tapi aku yakin rautku menunjukkan betapa bahagianya aku hari ini.
Tok-tok..
Dengan langkah yang kuusahakan diperlambat, aku berjalan ke pintu dan membukanya dengan tenang dan senyum yang lebar.
Ceklek...
“Hai adik sepupunya Indra, ya?”
Seorang wanita tinggi dengan rok biru sebetis dan kemeja putih serta kalung bunga-bunga sebesar gembok koper tersenyum kearahku, dia sangat cantik bahkan lebih cantik dari Lusi. Aku hanya diam mendengar sapaannya dan dia melewatiku saja langsung masuk ke rumah.
Dia mengenal Indra mungkin itu alasan yang tepat kenapa dia sangat hapal seluk beluk rumah ini. Aku hanya berjalan di belakangnya, yang menuntunku kembali ke ruang TV.
Dia duduk di sofa panjang dan aku kembali duduk di sofa pendek sebelah kiri, jatuhnya kami saling berhadapan.
“Kamu udah siapin kue ?” tanyanya
“I-iya”
“Oh lupa, kenalin aku Airin, kamu bisa panggil aku Kak Airin, ya, Dek..?”
“Bunga Dea,”
“Dek Dea aja ya Kakak panggilnya,”
Aku mengangguk.
“Kakak juga udah siapin kue,” menganggkat kotak bertulis cheesh cake(kue keju) “Indra itu alergi sama coklat” kata Airin.
“Oh?” aku sedikit terkejut “ya udah aku nebeng kue Kakak aja, ya?” membawa kue coklatku ke belakang tepatnya kusimpan di dalam kulkas, aku sangat lesu merasa kerja kerasku jatuhnya hanya sia-sia.
Kuhela napas sebelum kembali ke ruang TV, rasanya tak enak sekali atas kesalahpahaman Airin tentang statusku dan Indra. Aku Istrinya kok dibilang Adik sepupu. Baru kembali duduk dan ingin menjelaskan semuanya ke Airin ada bunyi ketokkan pintu lagi dan sepertinya itu Indra.
Tok tok...
“Biar aku aja yang buka, ya, Dek Dea?” kata Airin kembali berlalu sebelum aku bicara.
Suara Indra dan Airin terdengar beradu mendekat ke arahku. Benar berarti Indra yang datang, mereka berjalan beriringan sambil mengobrol. Airin menggiring Indra untuk duduk bersamannya di sofa panjang, Indra menurut. Mereka duduk berdua tepat di depanku.
Aaaaahhhh!!
Saat ini ada perasaan aneh dalam dadaku, sakit dan sesak. Tiba-tiba saja indera pendengaranku jadi hilang, tak dapat mendengar apa saja yang Airin dan Indra bicarakan sambil tertawa girang.
Indra menaruh masing-masing satu potong kue keju di dua piring. Piring pertama di genggamnya sendiri, menyuapiku sesekali, dan piring kedua untuk Airin. Beberapa kali sepertinya mereka mengajakku bicara, jujur aku tak dengar apa-apa dan hanya mengangguk-angguk.
Penglihatanku jadi sangat jeli sekarang. Airin seperti izin pulang dan Indra mengantarkannya ke pintu depan, aku merapikan kue dan piring-piring kotor ke dapur.
Pendengaranku kembali saat di dapur, aku bisa dengar mereka masih mengobrol di pintu dan kuputuskan untuk menyuci piring bekas kue.
“Bunga?” teriak Indra
“Dapur!”
Indra berjalan girang lalu bersender di dekat wastafel tempat aku menyuci piring.
“Bunga, aku ulang tahun.” kata Indra lalu tertawa.
“Tahu kok, cuci muka dulu banyak krim di mukamu.” krim yang dicolek Airin,
Indra menurut.
“Airin repot-repot beli kue segala”
“Hah? Hahaha Bunga cemburu?”
“Enggak,”
“Bunga, aku dan Airin hanya teman biasa”
“Iya, tadi kok Airin bilang aku Adek sepupu kau, ya?” kataku.
“Oh.. itu aku yang bilang, Bunga. Jadi dia nelpon sebelum ke rumah takutnya aku sedang di luar kota kubilang enggak soalnya ada Adek sepupu di rumah,” mengelap mukanya
“Kok bilang gitu?”
“Aku cuman enggak mau nanti dia mikir macam-macam tentang kamu, Bunga. Airin itu agak aneh, kalo aku bilang ke dia kita udah nikah tapi enggak ngundang dia nanti dia mikir kamu hamil di luar nikah gimana?”
“Hamil-hamil, tidur sekamar aja enggak!”
“Emang mau?” Indra tertawa dan berjalan pergi
“Mau kemana?” tanyaku
“Ambil minum, Bunga.”
Aku kembali mencuci piring.
“Bunga, ini kue siapa?” mengangkat kue coklat buatanku “kamu yang beli?”
“Beli-beli! Itu aku yag buat untuk kau Indra sampai terbakar tanganku, sampai capek-capek aku belajar buatnya, sayang aja kau alergi coklat!”
Nada suaraku meninggi. mungkin karena kesal, cemburu dan... Entahlah!
Indra berjalan dengan kue coklat milikku ke meja makan, dia lupa tujuannya tadi ke kulkas untuk mengambil minum sepertinya. Kubersihkan tangan dan mengambil minuman sebelum menghampiri Indra yang memasukkan sesuap demi sesuap kue coklat itu ke mulut.
Kutaruh minuman di meja makan dan duduk di sebelah kirinya Indra.
“Indra, maaf ya marah tadi, enggak usah dimakan kuenya, nanti kau sakit,” kataku.
“Enggak,” Indra menggenggam tangaku dan menaruh genggaman ini keatas paha sebelah kirinya.
“Indra?”
“Aku enggak alergi coklat, Bunga. Mamaku dulu suka banget coklat jadi sejak Mama meninggal kubilang saja aku alergi coklat supaya enggak ingat Mama, waktu itu aku masih sangat muda banget,”
“Ya udah, besok-besok aku enggak ngasih kau yang berbau coklat lagi deh.”
“Jangan! Sekarang udah enggak papa kan ada kamu, Bunga. Bagiku cuman ada dua perempuan yang sangat berarti. Satu mama, satu kamu. Mama udah enggak ada jadi tinggal kamu,”
Indra menatapku dalam seperti pertama kalinya dia datang ke toko boneka dulu “Aku janji enggak bakal buat kamu susah, Bunga.” Lanjutnya.
Aku mengernyitkan dahi, bingung bagaimana menanggapi hal beginian dan matanya tetap menanti jawaban.
“Iya-iya” kataku.
“Bunga janji ya bakalan cuman suka sama aku?”
“Kalo aku mau emang bakalan dikasih apa?”
“Bunga maunya apa? Aku bakalan kasih semua,”
“Kau juga harus janji bakalan cuman suka sama aku aja,” aku menaikkan alisku menggodanya.
“Oke” Indra mengedipkan mata kirinya.
Kami tertawa, sesekali dia menyuapi kue ke mulutku.
“Mana hadiah buat aku?” tanya Indra.
“Aku berusaha nyari tapi kau kan sudah punya segalanya. Jadi aku putuskan aku bakalan kasih apa yang kau inginkan, minta aja!”
“Nanti ya, aku harus pikirin matang-matang karena ini bakalan masuk agenda hidup aku dengan judul hadiah ulang tahun pertama setelah menikah!”
“Oke-oke.”
Kami kembali ke kamar masing-masing setelah agak larut. Malam ini terasa sangat singkat padahal setelah itu aku hanya berbaring di ranjang dan tak tidur sampai pagi.
***
Besoknya Indra berangkat kerja seperti biasa, mbah kiyem datang dan pergi sesuai jam biasanya juga. aku sedang dalam keadaan yang aneh, entah karna apa merasa begini. Lauk pauk yang di masak mbah kiyem belum juga kumakan dan sekarang aku duduk di teras depan rumah.
Pohon mangga yang bertengger di depanku, pagar baja di depannya, garasi yang terbuka lebar, dan tembok putih pembatas antara rumah ini dengan rumah tetangga, semuanya seperti menghilang sesekali. Hal ini terjadi sejak semalam setiap aku duduk diam.
Aku kembali ke dalam rumah mencari kesibukkan, kuputuskan untuk membawa tangga di belakang ke teras depan, tepatnya di samping kiri rumah dekat tembok pembatas dengan rumah tetangga.
Awalnya kupanjat tangga, karna merasa masih kurang tinggi aku jadinya berdiri di atas tembok pembatas rumah. kuamati pohon mangga yang rimbun, memastikan pohonnya sudah berbunga atau belum. Sebenarnya ini bisa di kategorikan kurang kerjaan sekali.
Ketika mau turun dan berbalik, seekor monyet terlihat berada di bawah tepatnya di halaman rumah tetangga. Jujur sampai sekarang aku belum bercengkrama dengan tetangga sama sekali. monyet itu menatapku waspada dengan pita pink baby di ujung kepalanya. Aku bahkan sampai jongkok memastikan pita itu.
“Kau ini kurang kemonyetan nyet” kataku menyindirnya dan dia hanya diam
“Rrrrrrrrrrrrrr” kataku
Monyet itu langsung panik dan berusaha menyerang tapi apa mau di kata, aku berada di atas dan dia sepertinya tak punya keahlian memanjat. Monyet manja. Untuk kalian ketahui saja, monyet paling tidak suka dengan huruf (R) berenten pasti akan ngamuk jika kalian coba-coba menyebut huruf itu begitu, dia seperti merasa ditantang, aku tahu ini dari paman.
“Sinta!! Kenapa berisik?”
Aku yang sedang jongkok merasa terkejut lalu jatuh tepat saat tuan rumah keluar. Si monyet lari ke tuannya karna terkejut saat aku jatuh.
“Awh” isakku berusaha berdiri
“Apose Sinta, itu ada orang jatuh bukannya di tolong” kata tuan rumah mendekat “Enggak papa dek ?”
“Iya enggak papa” kataku
Ketika menatap tuan rumah si monyet, aku hampir tertawa untung saja bisa ditahan. Sang tuan rumah adalah lelaki berumur 30-an, botak dengan make up penuh di wajah. ini pertama kalinya aku bertemu banci.
“Kamu tetangga sebelah ya ?” tanyanya
“Iya Bang, eh, Mbak”
“Hahaha panggil aja eke Cece”
Aku mengernyitkan kening, karna biasanya panggilan Cece digunakan untuk etnis keturunan tionghoa sedangkan dia terlihat keturunan indonesia asli.
“Eke biasanya dipanggil Cece, nama eke Tia” katanya lagi
‘Cece+tia, jadi aku bakalan manggil dia ce tia (setia) gitu’ pikirku dan langsung tertawa.
“Kamu kok ketawa, oh ayo kita masuk kerumah. Eke jarang loh nerima tamu tetangga”
“Iya Ce tia” ada penekanan nada manja saat menyebut nama dan panggilannya “Aku, Dea, Ce”
Ce’tia tersenyum kepadaku
“Rumah eke berantakan sekali maaf ya?” kata Ce’tia
“Iya Ce, emang Cece jarang di rumah ya ?”
“Iya eke sibuk, jarang pulang”
“Kerja apa, Ce?”
“Eke desainer bok tapi multitalent juga bisa make up -in orang juga, ayo keruang kerja eke”
Ce’tia menuntunku ke sebuah ruangan di tengah, disana ada bekas-bekas bahan kain yang berserakan memenuhi lantai, ada sofa disisi kiri ruangan, ada meja yang sangat berantakan dan juga beberapa patung.
“Baju-bajunya bagus, Ce” kataku
“Makasih, ayo duduk dulu” menepuk-nepuk sofa tempatnya duduk, aku mendekat dan duduk di sampingnya “Capek banget tahu” lanjutnya
“Iya kayaknya capek banget”
“Sangking sibuknya aku enggak sempat main tahu, sebel”
“Hahaha main sama aku aja”
“Ide bagus, dari sekarang kita sering-sering main bareng yuk. Kalo aku di rumah kamu main kesini aja atau nanti aku yang main ke rumah kamu”
“Oke”
“Eh dulu kukira tetanggaku laki-laki loh taunya cewek kayak aku”
“Hahaha ada lelaki juga kok di rumah, suami aku”
“Astaga kamu udah nikah? Aku aja belum, padahal kamu tipe aku bingitz”
“Hahaha telat Ce’tia”
“Sebel, eh aku punya desain baru ni rencanaya mau di pasarin untuk yang seumuran kamu” Ce’tia berdiri mendekati pating-patungnya dan mengambil salah satu dari belakang sekali “Bagus enggak?”
Sebuah gaun ¾ tanpa lengan berwarna merah maroon melekat di patung dengan indah, simple dan juga elegan.
“Bagus banget Ce’tia” kataku terpesona
“Kamu suka?”
“Suka, Ce”
“Yaudah buat kamu aja”
“Beneran?”
“Eh tapi kamu coba aja dulu kalo ukurannya enggak pas biar Cece baikin”
“Enggak papa ni, Ce?”
“Iya coba aja dulu di ruangan itu”
Aku menurut dan mengenakan gaun itu hati-hati dan keluar menemui Ce’tia yang menunggu di luar.
“Gimana?”
“Bagus tapi kayaknya agak kebesaran deh, kita ukur badan kamu dulu ya, Dea”
“Oh, iya”
“Kamu ada acara formal dekat-dekat tanggal ini ya?”
“Palingan akhir bulan Ce wisuda suami”
“Oh kamu harus pakai baju ini ya, eke bakalan buat serapi mungkin”
“Ngerepotin, Ce?”
“Enggak kita kan tetangga, cuman kamu tetangga yang main ke rumah eke, nanti kalo ada perang antar tetangga kita sekutuan bareng ya?”
“Hah?”
“Jaga-jaga aja”
“Oh oke”
Sejak tak sengaja jatuh di halaman Ce’tia itu. Kami jadi sangat dekat, ngobrol, bahkan aku pernah main ke tempat kerjanya.
Ce’tia ceritain tentan Sinta(monyet peliharaannya) yang cacat dari kecil dan enggak bisa manjat cuman bisa jalan-jalan doang, ceritain tentang cewek yang sedang dia taksir juga kalo enggak salah seorang penjual batagor keliling. Meskipun banci, Ce’tia masih naksir sama cewek.
Kadang Ce’tia juga main ke rumah pas Indra sedang ke kantor, jujur meski Ce’tia bilang dia banci yang masih naksir sama cewek, aku tetap aja rada waspada dan tak mengenalkannya dengan Indra. Kadang kalo sudah bosan dengan rumah masing-masing aku dan Ce’tia duduk di pinggir jalan.
“Ce orang-orang jakarta biasanya hang out di cafe kan?” tanyaku
“Mereka itu mayoritas(pasaran itu), kita ini harus jadi yang minoritas(langkah dan unik gitu). hang out-nya di pinggir jalan”
Kami berdua mengangguk bengis dan Ce’tia memutar lagu minority dari greenday yang sangat dia gemari. Menghentak-hentakkan kaki ala rocker dan mengangguk-ngangguk, untung saja jalanan ini sangat sepi. Lagunya tiba-tiba mati.
“Kenapa, Ce?” tanyaku
Ce’tia diam saja menunduk, kuperhatikan ke segala arah dan mendapati gerobak batagor mendekat
“Cie cie, Ce” godaku
“Hush hush”
“Batagor, Kak?” tawar si penjual
“Boleh dua piring ya” kataku, Ce’tia masih menunduk
“Makan disini, Kak?”
Aku mengangguk “Mbak sering lewat sini ya?” tanyaku
“iya kak emang sering keliling disini”
“Kami tinggal disini, Mbak” menunjuk rumah Indra dan rumah Ce’tia yang pas berada di belakang kami “Boleh dong tau namanya mbak tau bisa langganankan? hehe” lanjutku
“Boleh, Kak” menyerahkan dua piring batagor dan duduk di sampingku “Saya Acnes”
Aku tertawa mendengar namanya, dia bingung
“Acne itu artinya jerawat ditambah s jadinya jerawat lebih dari satu gitu hahahah”
Ce’tia menjelit kearahku dan si Acnes menunduk. Sepertinya guyonanku payah.
“A-G-N-E-S pakek G kak bukannya C” jelasnya
“Oh maaf, becanda doang”
“Hehehe aku juga becanda doang sedihnya hahaha”
Ce’tia yang tadi menahan napas terlihat tampak lega, kurasa aku dan Agnes memiliki selera humor yang hampir mirip. Sepertinya kami bisa jadi teman dekat.
***
Indra baru pulang kerja seperi biasanya jam lima sore, menghampiriku di dapur yang sedang mengambil minuman dingin.
“Istriku?” sapa Indra
“Bukan”
“Jadi ini siapa?”
“Calon bidadari surga” membuat tanda ceklis pas di bawah dagu
“Hahaha amin amin” mencubit daguku pelan “Bunga cari makan diluar yuk, jalan-jalan”
“Kau baru pulang Indra, tak capek?”
“Capek sih”
“Istirahat aja dulu”
“Tapi aku pengen bonceng kamu, Bunga”
“Hah, pasangan mana lagi yang kau lihat boncengan di jalan?”
“Anak sd tadi, Bunga”
Indra sangat amat cemburu jika melihat ada pasangan berduaan di depannya, pasti akan mengajakku ke tempat ataupun adegan yang sama seperti yang dia lihat. Kadang memang berlebihan, dan sekarang dengan anak sd pun dia cemburu.
“Yaudah nanti malam aja keluar, kamu istirahat aja dulu”
Indra mengangguk sok imut
“Ihh” bersikap seolah bulu kudukku merinding
“Hahaha Bunga Bunga”
“Bunga cantik, manis, wangi, imut-imut”
“Istrinya Indra”
“Bukan”
“Lah terus?”
“Selingkuhannya Indra”
“Istri”
“Istrinya Indra kan kerjaannya yang numpuk terus”
“Ck ”
Indra sepertinya beneran capek sampai malas meladeni guyonanku dan berbalik ingin pergi dari dapur ini
“Indra?”
“Kenapa?” melihatku malas
“Selamat istirahat...aku sayang kamu” memasang senyuman paling manis dan menyatukan kedua tangan membentuk hati
“Ha? Apa Bunga?” Indra berjalan mendekat
“Aku suka kamu Indra Wijaya”
Indra ketawa cengengesan dan memelukku entah kenapa.
“Jangan terlalu maksain diri buat kerja terus-terusan, aku tahu pas kau bilang oke mau istirahat pasti malah bakalan pergi ke ruang kerja kan?”
Ya, aku mengetahui itu beberapa hari terakhir. Saat sudah larut malam dan dia bilang mengantuk mau tidur. Taunya dia malah pergi ke ruang kerja bukannya ke kamar. Indra masih diam memelukku makin erat.
“Sekarang kau hidup bukan cuma untuk dirimu sendiri lagi, sekarang ada aku, istrimu, kalo nanti kau jatuh sakit akunya gimana” kataku mengusap pelan punggung Indra
“Makasih udah perhatian Bunga” melepaskan pelukan dan memegang kedua bahuku “Gimana jadinya aku kalo enggak ada kamu, kamu pasti bakalan baik-baik aja kalo tanpa aku”
“Jangan bilang gitu ah”
“Iya” kembali memelukku lagi “Aku sayang banget dengan kamu Bunga”
“Hm”
“Aku pengen bisa hidup selamanya dengan kamu Bunga”
“Iya”
Kurasa saat di kantor, Indra mengangkat lemari tiga meter sendirian sampai secapek dan manja begini. Tapi aku suka ketika dia memelukku erat, seperti merasa dibutuhkan olehnya.
***
Hari wisuda Indra.
Indra sudah berangkat duluan, menggunakan setelan seperti biasanya. Dia memang orang yang simple sekali. aku tadi bertengkar melihatnya mengenakan levis dan baju kaos polos berwarna merah saja.
“Setidaknya pakai jas Indra” kataku
“Tak usah, Bunga”
“Kalo tak mau pakai jas, aku tak mau datang nanti kau foto sendirian”
“Iya iya”
Indra pergi dengan jas dijenjeng di tangannya. Aku mandi dan bergegas ke rumah Ce’tia. Sebenarnya aku bukan tipe pengatur, tapi aku takut jika mertuaku di surga marah dan bilang aku tak mengurusi anaknya di hari wisuda. Dan sebelum aku menemui mertuaku di surga untuk menjelaskan, orangtuaku sudah musuhan dengan mertuaku karna berencana memarahi anaknya yang cantik,manis dan imut-imut ini.
“Bunga akhirnya kamu datang juga, eke kira kamu lupa loh” kata Ce’tia membuka pintu
“Enggak dong, Ce”
“Ayo tes bajunya, tapi rambutmu yang basah itu di jepit dulu ya, nih” menyodorkan jepit
“Oh, oke”
Tak berapa lama aku keluar dengan gaun maroon ¾ tanpa lengan yang sangat simple dan elegan.
“Jejeng” membuka lebar kedua tanganku
“Oh, oke, bajunya pas buat kamu, ayo duduk dulu biar Cece blow rambut kamu”
“Oke”
Sebenarnya aku tak tahu arti blow, tapi aku memercayai Ce’tia karna dia ahli dalam bidang seperti ini. apapun yang dilakukannya kepadaku sekarang pasti sudah dia pikirkan jauh-jauh hari. Dan aku hanya tinggal duduk manis.
“Oke blow-nya siap”
“Ih.. aku cantik ya, Ce”
“Enggak kamu itu manis jadi harus sering senyum, kamu bawak perhiasan enggak?”
Aku menunjuk ke arah sudut ruangan dengan memonyongkan bibirku, Ce’tia mengangguk. perhiasan itu beserta sepatu highheels yang indah merupakan hantaran pernikahan dari Indra untukku dulu.
“Eke rias dikit ya?” kata Ce’tia
“Aku enggak mau terkesan banci, Ce”
Ce’tia memandangku sinis, aku menepuk jidat seolah lupa jika dia adalah banci
“Dikit, bedaknya juga sama kayak warna kulit kamu supaya lebih glowing ajah, enggak menor kok, kamu juga masih muda”
“Oke”
Selama di make up aku disuruh mejam, tapi sesekali aku membuka salah satu kelopak mataku penasaran. Awalnya kubuka mata kanan lalu mejam lagi lalu membuka mata kiri lalu...
“Bunga merem yang betul”
“Oke, Ce”
“Teng teng selesai”
Ketika membuka mata aku langsung tersenyum ke arah cermin, sepertinya aku memang penerus kecantikkan Cleopatra dengan warna kulitku yang eksotis ini. kubuat jari seolah tembakan dan menembak bayangan diriku di cermin.
“Udah-udah alay” kata Ce’tia
“Cewek cantik nih” mengedip ke Ce’tia
“Agnes mah kalo didandani pasti lebih cantik dari kamu” memuji tukang batagor yang dia suka “Udah berdiri ayo kita lihat sepatu dan perhiasan kamu” lanjut Ce’tia
Kami berdua jongkok membuka kotak-kotak yang berdebu tak terawat milikku, Ce’tia geleng-geleng.
“Aku sibuk, Ce, buat bersih-bersih” kataku
“Sibuk terus, punya barang itu dirawat”
“Iya, Ce”
“Sepatu kamu bagus banget Bunga, ini merk mahal tau”
“Aku enggak terlalu tahu sih, Indra yang beli”
“Perhiasan kamu juga mahal ini”
“Bagiku bukan masalah mahalnya Ce tapi siapa yang ngasihnya, kalo Indra ngasih aku gelang dari lidipun pasti aku terima”
“Jangan bodoh jadi cewek, ayo berdiri pakai higheels-nya, bisa kan”
Aku mengacungkan jempol karna sebenarnya aku sangat ahli menggunakan sepatu tinggi begini.
“Eke pinginnya semua orang tertarik dengan wajahmu yang manis itu, jadi cukup pakai anting panjang ini dan gelang aja sebagai perhiasan, kalung kayaknya enggak perlu”
“Sip” memandang jam dinding “Ce kayaknya aku harus berangkat sekarang”
“Oh, oke oke” mengambil weeg “Ayo”
“Cece mau kemana?”
“Ngantarin kamu lah”
“Jangan masuk nanti ya?”
“Iya iya lets go”
Ce’tia menyupir mobil sangat ugal-ugalan, aku bersumpah tak mau jika dia menawarkan untuk mengantarkanku lagi kemanapun selama dia yang jadi sopirnya. Belum lagi setiap ada yang tidak betul di jalanan pasti soundtrack khas bancinya keluar. Dan dia selalu mengganggu mamang yang jual koran di lampu merah. Ce’tia benar-benar banci sekali.
Aku menyempatkan membeli bunga mawar merah di perjalanan, alasannya mungkin karna Indra suka merah dan aku tak tahu bunga lain selain mawar. Ce’tia minta dibelikan satu tapi maunya yang warna pink, kuturuti hitung-hitung karna kami adalah teman.
Sampai di tujuan, aku mengusir Ce’tia supaya cepat pulang. Dia sepertinya tersinggung dan menatapku bengis, kuisyaratkan jika nanti aku akan menelpon dan cerita semuanya. Jones seperti Ce’tia memang begitu suka dengar cerita cintanya orang lain. ‘Telpon nanti ya Dea, aku mau minta tolong sore nanti’ katanya sebelum pergi. aku hanya mengangguk tak peduli.
“Hey cantik” sapa seorang pria berambut kribo dan berkacamata
Aku tersenyum mengangguk berusaha ramah “Iya kak”
“Aduh pliss dong jangan panggil kakak, kakak-adikkan itu enggak enak cantik”
Aku mengernyit jijik tapi masih coba tersenyum
“Dasar bangsat! Di tinggal sebentar ke kamar mandi langsung godain cewek lain, ini cewek kesebelas yang kau goda di wisuda kan!” kata seorang wanita dari jauh melepas sepatunya mendekat
“Aku pergi dulu cantik” kata si pria
Dengan sigap pria itu berlari tak tentu arah sambil teriak ‘Ampuun, enggak kuulangi lagi, Sayaaang’ aku tertawa cekikikan merasa lucu.
Kulangkahkan kaki perlahan menuju gedung pelaksanaan wisuda, semua mata menatapku. Aku merasa sangat cantik sekali dan membuat gestur wajah seperti perempuan baik-baik, kalem, anteng dan polos.
Ruangan sudah cukup ramai dan aku masih berdiri di ambang pintu mendapati Indra sudah duduk sambil memalingkan wajahnya ke segala arah. Kutarik napas dalam dan berdiri tegap, memegang mawar merah yang di bungkus kain polisterin putih dengan kedua tangan sambil tersenyum ke arah Indra.
Degg..... tatapan mata kami bertemu. Aku tersenyum manis menatapnya dan dia membalasnya dengan muka datar, kurasa dia terkesima. Kukedipkan mata kananku, dia tersenyum, kukedipkan mata kiriku, dia tertawa.
Acara di mulai, meski tak duduk bersebelahan dan aku duduk di antara orangtua-orangtua wisudawan. Hatiku tetap senang dan mengikuti acara dengan khidmat. Apalagi Indra sesekali memalingkan wajah ke belakang untuk melihatku.
Selesai acara dan semua manusia yang tadinya duduk rapi mulai berpencar ke segala arah, aku berada sangat dekat dengan Indra yang dikerumuni teman-temannya. Dia seperti mengisyaratkan untuk menunggunya sebentar berfoto dengan teman-temannya itu.
“Dea?” sapa Airin
“Kak Airin, diwisuda juga hari ni Kak?”
“Iya aku sekarang sarjana hukum”
“Selamat ya, Kak”
“Makasih, jadi kamu ke Jakarta memang buat datang ke wisudanya Indra ya? Jadi setelah ini pulang”
“Eh? anu” menggaruk-garuk belakang leherku “Mungkin” kataku
“Oh iya deh, Kakak ke sana dulu, ya, nyamperin orangtua kakak, dadah” melambaikan tangannya
Indra masih sibuk foto-foto, aku senang melihatnya tertawa. Tiba-tiba dari kerumunan itu keluar si kribo yang menggodaku di parkiran, mendekat dan akhirnya sampai di depanku.
“Eh ketemu si cantik lagi, kenalan dulu dong namaku Ridho” mengulurkan tangannya
Aku tersenyum bingung dan Indra datang menarikku ke belakangnya, dia berdiri di antara aku dan lelaki bernama Ridho ini.
“Kawan jadi dia kesini karna kau, kenalkanlah dengan aku” kata Ridho
“Taniaaa!” Indra berteriak ke arah kerumunan
Wanita yang tadi mengejar Ridho di parkiran langsung melihat ke arah kami, sepertinya dia Tania yang di maksud Indra.
“Tega kau kawan tega” kata Ridho mulai berlari
Tania sudah mengangkat rok span bermotif batik yang dikenakannya setinggi lutut dan mencopot sendalnya lagi. Indra tertawa, akupun juga sama.
“Lengah dikit aku, kau pasti sudah goda cewek lain Ridhooo!” teriak Tania
“Ampuun! Idak lagi, Sayang”
“Berhenti kau!”
“Maaaff, Sayaaang”
“Do re mi fa sol la si, Doooooooo! Berhenti!”
Mereka tetap saja berkejar-kejaran dan menarik perhatian seisi ruangan. Meski semua manusia di sini sedang menertawakan dan memerhatikan mereka, tak ada satupun dari kami yang berniat melerai mereka satu sama lain. Anggap saja sebagai hiburan.
Saat mataku mengikuti kejar-kejarannya si Ridho dan Tania, kulihat Airin dan kedua orangtuanya melihat ke arahku dan Indra, lalu kudengar airin memanggil Indra untuk mendekat.
Aku yang semula ada di belakang Indra langsung bergeser ke sampingnya dan menggenggam erat tangan kanannya, sambil menunduk. Indra langsung melirik ke arahku yang tak mau menoleh kepadanya. Ini pertama kali aku menyentuh Indra duluan, wajar jika dia sedikit kaget.
Airin memanggil lagi dan aku tetap tak mau melepaskan tangan Indra.”Rin aku buru-buru, maaf ya” teriak Indra menuntunku keluar dan seketika wajah Airin berubah sendu.
Aku dan Indra berjalan bersama menuju parkiran. Entah mengapa ada rasa bersalah menahan Indra seperti tadi, dan aku masih saja menunduk meski Indra sangat sumringah di sampingku.
“Bunganya buat aku, Bunga?” tanya Indra
“Oh iya ini” memberikan bunga mawar merah di tangan kananku ke dia
“Bunga cantik banget hari ini”
Aku tersenyum senang, mungkin karna hanya dia yang kuharap memujiku dari tadi “Makasih”
“Aku senang kok dijagain sama kamu dari wanita lain.”
“Tapi tadi kayaknya aku terlalu berlebihan, dia kan teman kau ya”
“Enggak kok” Indra melepaskan genggaman tangan kami dan merangkulku sambil tersenyum
“Aku sayang sama kamu bukannya Airin, jangan ngerasa yang enggak-enggak, deh” lanjutnya yang kubalas dengan tersenyum lega.
Memang ada rasa khawatir, apalagi Indra dan Airin sangat dekat. Aku takut membuat Indra merasa di kekang olehku tapi di satu sisi aku cemburu melihat mereka bersama.
“Aku senang melihatmu memakai mahar yang kuberikan, Bunga” kata Indra
“Cocok enggak?”
“Mempesona sekali, tapi aku bilang kamu cantik itu bukan karna gaun, make up ataupun perhiasan yang kau kenakan Bunga”
“Terus?”
“Jujur enggak semua wanita di dunia ini cantik (kamu masuk bagian yang manis), tapi pasti lelaki bakalan bilang wanitanya cantik ketika berdandan”
“Kenapa?”
“Karena lelaki tahu wanitanya berusaha keras buat bikin dia terpesona, dan itu membuat lelaki merasa dispesialkan”
“Hmm, benar aku berusaha keras banget biar membuatmu terpesona, seharusnya aku dapat imbalan”
“Hahahah, oke, ayo kita kencan. Kamu kesini enggak pakek rx king kan?”
“Enggak kok tadi aku diantar Ce’tia” meski indra dan ce’tia belum pernah bertemu tapi aku sering menceritakan Ce’tia ke Indra
“Oke berarti kita bisa berduan di mobil” menjentikkan jarinya “Ayo buru-buru ke parkiran” mengajakku berjalan cepat.
Jumlah mawar merah yang kuberikan ke Indra sama dengan tanggal pernikahan kami, aku membelinya dengan uangku sendiri dari gaji menjaga toko saat masih gadis. Spesial buat Indra tanpa ada niat pamer dan ingin dipuji jadi rahasia ini kusimpan sendiri.
***
Malamnya dengan hujan rintik-rintik aku dan Indra baru sampai di rumah, bisa juga dibilang agak larut. Tadi kami makan malam di salah satu mall dan nonton film romantis di bioskop, Indra tak melepaskan tanganku sama sekali kecuali saat aku izin ke kamar mandi.
Indra sangat kasmaran begitupun aku, rasanya semua di dunia mendukung perasaan ini kecuali satu hal, Ce’tia berdiri di belakang pagarnya menatapku sinis. Dia menunggu di tengah rintik hujan tak tahu dari kapan, aku lupa menelpon ataupun kirim pesan padanya tentang respon Indra melihatku setelah di permak.
Aku melihatnya dari kaca mobil yang terbuka sambil memasang wajah memelas. Aku berani bersumpah jika tatapan Ce’tia malam ini lebih serem daripada tatapan kuntilanak di film-film horor.
Mobil sudah terparkir di garasi, Indra membukakan pintunya untukku dan meminta tanganku untuk kembali digenggam. Aku tersenyum simpul dan mengikuti maunya.
Hari terakhir di bulan agustus 2013 kuharap takkan kulupakan seumur hidup, dengan rasa kejut dan bahagia yang tak ingin kubagi untuk kalian dan diriku di masa depan yang bisa jadi tua dan mungkin pikun.