September 2013
Nyatanya meskipun kemarin terasa begitu manis, sekarang sudah jadi biasa saja. seperti cinderella yang tiba-tiba jadi cantik dan ditemani lelaki tampan lalu semua hal indah itu berakhir di pergantiaan hari, akupun sama hanya begitu.
Bukan menuding Indra tipe orang yang mau bersamaku ketika aku cantik saja, bukan. Dia tulang punggung rumah tangga ini, sibuk, berusaha menjamin kehidupan nyaman di masa tua kami nanti. Aku tahu betul dia sangat ingin bersamaku setiap waktu, dia sering bilang begitu saat kuingatkan sudah saatnya berangkat kerja.
‘Aku ingin sama Bunga terus’ katanya manja-manja
Tapi saat kujawab ‘Yaudah’ dia malah langsung memakai sepatunya.
‘Aku tak boleh malas-malas, aku ingin hidup bahagia dengan Bunga nantinya!’ teriaknya sebelum berangkat.
Indra sangat mencintaiku, itu yang kurasakan, jikapun Sinta(monyet cacatnya Ce’tia) bisa memanjat dan melihat bagaimana Indra memperlakukanku sepertinya Sinta akan merasa iri denganku dan menggentol di kakinya Ce’tia terus.
Ngomong-ngomong Ce’tia, aku mengiriminya pesan tadi pagi.
+Ce’tia cantik
+lebih cantik dari miss world
+paling cantik deh
+jangan ngambek Ce
+aku setia kok sama Ce’tia
-Bohong!!
-kau pembohooong dan kau pendusta!!
Setelah membaca pesan terakhir darinya, nomornya jadi tak bisa di hubungi. Dan mulai terdengar lirik lagu yang sama dengan pesannya sedang mengalun di rumah Ce’tia.
Ce’tia bersikap seperti wanita, dia menyetel lagu dia lelaki aku lelaki dari Imam S Arifin itu untuk menyindirku padahal semalam Ce’tia bersikap seperti lelaki, yaitu diam dan membuat wanita sepertiku merasa sangat bersalah.
Pelajaran yang bisa di ambil hari ini. jangan ingkar janji dengan banci karna dia tak tahu nantinya bagaimana harus bersikap.
Jadi disinilah aku sejak Indra berangkat kerja sampai lewat tengah hari, berdiri di depan pagar rumah Ce’tia. Dan berharap hormon wanita dalam tubuh Ce’tia kembali bekerja dan merasa iba kepadaku lalu kami bisa baikan.
Hari sangat panas, sinar ultraviolet bisa saja membuatku terkena kanker kulit tapi Ce’tia tak keluar sama sekali. Bayangkan aku harus begini hanya karna lupa menelponnya, ini sangat ironi.
“Kak Dea?”
Aku menoleh ke kiri dimana suara berasal, itu Agnes penjual batagor yang disukai Ce’tia tapi kali ini dia sedang tak membawa gerobaknya.
“Panggil Dea aja Mbak Agnes, kurasa kita seumuran” kataku
“Panggil agnes aja kalo gitu jangan pakek Mbak lagi Dea”
“Oke, Agnes”
“Dea ngapaian? Panas-panas gini di luar”
“Ada yang merajuk” moncongku mengarah ke rumah Ce’tia “Lagi berusaha minta maaf”
“Hahaha... Dea, Bang Bobby mana ya?”
“Bobby siapa? Babi kali, haha”
“Haha mirip, sih, tapi aku nanyanya Bobby”
“Aku enggak kenal dengan Bobby”
“Sudah datang, Nes?” sahut suara dari balik pagar tempatku bersandar
“Sudah Bang Bobby” Agnes tersenyum
Aku mengernyit bingung memasati wajah lelaki yang keluar dari pagar tempatku bersender dan di panggil Agnes, Bang Bobby, yang kutatap malah memasang wajah sinis dan mengingatkanku dengan seorang banci kaleng perajukkan. Ce’tia.
“Oh.. jadi ini yang namanya Bob--by” dengan nada sok dan mengintimidasi “Katanya teman tapi masak aku didiamin aja diluar hampir lima jam panas-panas gini” memandang Agnes dari ujung kaki sampai ujung rambut “Memang pertemanan itu bisa berakhir karna pasangan ya, percuma aku bela-belain mau minta maaf, giliran dia datang kau langsung keluar”
“Dea marah sama Agnes ya?” tanya Agnes
“Enggak kok, aku pulang dulu ya Nes malas lihat muka enggak berperi kemanusiaan” melirik Ce’tia(Bobby) menghardik
“Ayo nonton di rumah Bang Bobby bareng” ajak Agnes, Ce’tia(Bobby) mulai menunduk seperti merasa bersalah
“Maleess, enggak sudi, bye”
Aku berjalan ke rumah dengan sangat sok dan sedikit lebay menghentakkan kaki seperti sedang berusaha membuat gempa bumi.
***
Sorenya, aku sedang duduk di sofa depan tv, menunggu Indra pulang kerja, belum mandi dan tak ada niatan untuk itu.
Jujur sedang sangat kesal dengan Ce’tia atau mungkin sekarang harus kusebut dengan Bobby. Bukannya aku tak senang dia mulai kembali jadi lelaki tulen dan tanpa make up.
Kurasa hormon lelaki di dalam tubuhku membuatnya minder dan lama kelamaan merasa di pancing untuk kembali jadi lelaki sesungguhnya. Entahlah, mungkin juga karna dia sedang ingin mendekati seorang wanita.
“Bungaaa?”
Aku terkejut mendapati Indra sedang berteriak di kupingku ‘I LOVE YOU’. lalu dia duduk di meja supaya bisa berhadapan denganku.
“Hmm?” aku tersenyum
“Dipanggilin dari tadi enggak nyaut”
“Lagi kesel”
“Kenapa?”
“Itu Ce’tia si banci sebelah rumah sekarang udah jadi lelaki tulen”
“Terus? Kamu suka”
“Enggak gitu, aku cuman suka padamu” seolah menembak
“Ah” memegang dadanya seolah kena tembak
“Jadi kan pas wisuda kemarin dia yang dandani dan ngantar aku, trus aku bilang bakalan telpon dan cerita tapi kita kan kencan jadi aku lupa” kugenggam kedua tangan Indra
Dia tersenyum
“Pas kita pulang ternyata dia di halaman rumahnya nungguin di tengah gerimis gitu, tatapan matanya sinis banget, paginya aku kirim pesan tapi dia masih marah jadi sejak kau berangkat kerja aku di berdiri di depan pagarnya 5 jam lebih enggak di bukain”
“Kasihan, tadi kan panas banget” mengusap-usap rambutku
“Iya, aku wanita yang lemah” jawabku mengangguk sedih
Indra tertawa
“Trus enggak lama datang cewek yang di sukai Ce’tia namanya Agnes penjual batagor yang sering lewat sini, langsung di bukain dan dia enggak jadi banci lagi, teman macam apa itu”
“Bunga kau lucu sekali”
“Lucu apa?”
“Hahaha.. diakan agak bersifat seperti wanita, kayaknya, dia itu grogi mau ketemu cewek yang dia suka, mungkin dia butuh kamu sebagai temannya kemarin tapi kamunya sama aku, kurasa dia marah bukan karna kamu enggak cerita tapi karna kamu enggak ada buat dia”
“Cuman laki-laki yang ngerti laki-laki” kataku mengangguk mendengar penjelasannya
“Yaudah aku mau mandi, ikut enggak?” tanyanya
“Ikuuuutt”
“Enggak boleh!”
Indra buru-buru lari ke kamar mandi terdekat, kukejar tapi pintunya langsung di kunci.
“Indra aku juga belum mandi”
“Enggak usah mandi bunga, Aku tetap sayang kok”
“Aku bakalan tunggu disini, kau belum ambil baju salin kan jadi nanti pas keluar cuman pakai handuk awhh kutarik”
Indra keluar dengan baju lengkap kurasa dia sempat mengguyur badannya sebelum kembali berpakaian. Diam menatapku perlahan bergeser dan berlari ke kamarnya.
“Aku mandi di kamarku saja!” teriaknya
“Ikuuutt!”
“Enggak Bunga” Indra mengunci kamarnya dari dalam
Entah apa yang membuatku tak beranjak dari pintu kamarnya Indra. diam sambil tersenyum geli mengingat tingkahnya tadi, terhayut dalam lamunan menggelitik beberapa saat, Indra sudah selesai mandi keluar dengan celana jeans pendek dan kaos putih dengan handuk yang digantung di leher untuk mengeringkan rambutnya.
“Bunga kamu enggak mandi”
“Enggak males” cetusku cuek
“Hahaha yaudah ayo cari makan keluar”
“Makan? kau ngajakin aku makan”
“Iya” Indra menggantungkan handuknya ke ganggang pintu kamar “Ayo” tangannya melingkar di pinggangku
“Hmm”
Aku menunggu di depan pagar saat Indra sedang mengeluarkan motor rx king dari garasi. Rumah Ce’tia sangat gelap padahal tidak sedang mati lampu, tapi persetanlah terserah dia jika mau gelap gelapan begitu.
“Ayo bunga” Indra memukul-mukul jok rx kingnya, aku naik.
***
Hal paling kusuka setelah menikah adalah begini, keluar malam dengan lelaki sampai larut tanpa harus khawatir apa kata tetangga nanti. mungkin jikapun Indra akan mengajakku pulang sebelum tengah malam itu karna angin malam yang jadi begitu terasa menghantam tubuh Indra dan aku di atas motor yang melaju, bisa masuk angin, dia tak suka aku sakit sepertinya.
“Ayo pulang, nanti kamu sakit” kata Indra setelah kami selesai makan dan nongkrong di monas.
Indra juga melajukan motor sangat pelan, sangking tak mau aku masuk angin atau mungkin nyaman dipeluk olehku dari belakang. Biasanya aku dan Indra akan banyak bicara jika berdua, tapi malam ini tidak, dia fokus mengendarai motor dan aku fokus memeluknya, aku bersikap agresif malam ini. Aku bisa lihat dia tersenyum dari spion sebelah kiri.
***
Tak lama seharusnya kami sampai di rumah jika saja Indra tak berhenti dan parkir di depan pagar Ce’tia.
“Ngapain?” tanyaku
“Rumahnya gelap dari tadi Bunga, sebagai tetangga kita harus ngecek, kalo dia kenapa-napa gimana?”
“Enggak usahlah”
“Ayo” Indra menggenggam tangan kananku
Dia mengetok pintu rumah beberapa kali tapi tak ada sahutan, si sombong itu, memang kurang di ajari ocehku dalam hati. kutarik ganggang pintu ke bawah dengan tangan kiri, pintunya terbuka.
“Ayo masuk” kataku
“Enggak papa ni, Bunga?”
“Enggak”
Aku menuntun Indra memasuki ruang demi ruang yang gelap karna aku sudah hapal seluk beluk rumah Ce’tia. Aku menuju ke arah saklar setiap ruangan untuk meghidupkan lampu. Ruangan terakhir berada di sudut belakang sebelah kiri, dari sana kami bisa dengar suara tv menyala.
Perlahan tapi pasti aku bisa lihat Ce’tia di depan tv, kutekan saklar supaya ruangan jadi lebih terang. Ce’tia sudah kembali jadi banci dan dia menangis. Bangkit dari duduknya dan berlari ke pelukkan Indra.
“Lepas!” kataku berusaha melepaskan Indra dari pelukkan gahar Ce’tia, sampai kupukul lengan Ce’tia beberapa kali baru bisa lepas.
Indra hanya tersenyum kikuk dan rada geli, itu perasaan alamiah, semua lelaki di dunia selalu geli lihat banci apalagi jika sampai dipeluk. Ce’tia berusaha memeluku tapi Indra mendorongnya sampai terduduk di sofa lalu melemparnya dengan bantal. Ce’tia menangis sejadi-jadinya memeluk bantal.
Indra mengajakku duduk di sofa depan Ce’tia.
“Ce, maaf ya aku enggak telpon kemarin, handphoneku mati, sepertinya daya baterainya di sedot plasi”
“Hiks hiks kamu pikir aku bego Dea, dimana-mana hiks hiks plasi itu nyedot energi manusia bukan energi baterai”
Aku tersenyum senang karna Ce’tia mau merespon candaanku
“Kenapa nangis... Ce” tanya Indra
“Agnes Indra Agnesss hiks hiks dia sudah punya pacar, mamang asongan di terminal, eke enggak mau lagi Indra. Eke mau suka sama lelaki aja”
Aku yang mendengar pernyataan Ce’tia sedikit shock, lalu berdiri mengajak Indra bertukar tempat duduk supaya Indra tak duduk pas di depan Ce’tia.
‘Jangan ngajak ngomong lagi, nanti dia suka kau Indra, orang kalo lagi patah hati gampang jatuh cinta dengan orang yang perhatian’ bisikku ke Indra yang di balas anggukkan
“Ce sudahlah, kalo nangis terus nanti dikutuk jadi batu menangis mau?” tanyaku
“Eng-gak”
“Ce masih marah sama aku?”
“Iya, eke itu bingung sekali pas Agnes lusa kemarin sore bilang mau berkunjung tapi eke enggak mungkin bilang ke kamu kemarin pagi, eke mikirin kamu, tau jika kemarin hari spesial karna kamu sampai berdandan, hiks hiks, tapi kamu enggak mikirin eke, argghh”
“Maaf Ce, tapikan aku datang pagi-pagi nunggu lama, 5 jam”
“Eke janjian sama Agnes pagi, dianya ngaret, eke persiapan dari tengah malam sendirii. Eke kesel sama kamu tadi mangkanya enggak mau bukain pintu, eke kesel sama Agnes dan pacarnya sekarang! Eke mau makan oraaaaang”
“Yaudah, kami pulang dulu ya, ini ada makanan dimakan Ce sebagai pengganjal sebelum ketemu orang yang mau di makan”
“Iya, hiks hiks hiks, aarrrggghhhh” kembali melanjutkan tangisannya.
Aku menaruh kresek berisi cemilan yang tadi di beli saat jalan dengan Indra ke atas meja. lalu buru-buru bergegas keluar, memberi pisang ke Sinta yang kudapat dari meja makan rumah Ce’tia dan pulang. bukannya tak peduli dengan Ce’tia, tapi aku sangat khawatir jika berlama-lama dengan Indra di rumahnya, takut jika Ce’tia suka dengan Indra, takut jika Ce’tia meminta Indra sebagai tumbal patah hatinya.
Meski banci, Ce’tia sangat amat menyukai dan juga menghormati wanita. Mungkin pernyataannya yang membuatku sedikit shock tadi hanyalah gurauan pasrah karena kebanyakan orang percaya jika banci sukanya dengan lelaki (akupun dulu juga berpikir demikian sebelum ketemu Ce’tia).
Semua polesan di wajahnya hanya profesionalitas belaka dan mungkin sekarang jadi totalitas. Dia pembuat baju perempuan dan menjadikan dirinya sebagai wajah dari perempuan itu sendiri. tapi aku tahu betul, selalu ada Bobby di dalam meski luarannya Ce’tia si banci, yang sekarang sedang terluka dan robek hatinya.
Get well soon, Ce’tia!
Get move on, Bobby!
***
18
Dua minggu lebih kemudian,
Mbah Kiyem sudah cuti beberapa hari karna Putri sedang sakit. Ce’tia sejak patah hati bersama Sinta tak tinggal di sebelah lagi, dia memilih pindah sementara ke kampung yang tenang dan tidak memberi tahu detail lokasinya. Dan Indra ke luar kota tiga hari terakhir.
“Bunga maafkan aku harus pergi, ini mendesak sekali, jika ada yang memukulmu maka pukul balik, oke” wejangan, nasehat dan petuahnya sebelum pergi
Aku hanya mengangguk setuju saja. saat itu dia terlihat sangat merasa bersalah.
Jam delapan malam. Aku mengenakan celana jeans hitam dan kaos hitam polos yang terselimuti jaket jeans berwarna hijau tentara pemberian dari Indra sebelum dia keluar kota, rambutku tergerai lembab karna tadi sore kucuci.
Dengan kunci motor di tangan, aku berjalan ke garasi. Tak lama aku dan rx king sudah melaju meninggalkan rumah.
Hirup pikuk Jakarta tak terlalu berasa malam ini. Aku tak memakai helm sama sekali, rambutku tersapu angin dan kurasa mulai mengering.
Aku menatap mobil yang terhenti di depanku karna lampu lalu lintas sedang merah, bukan memerhatikan isi dan merk mobilnya tapi kaca belakang yang memantulkan diriku. Pakaian, motor bahkan rambut yang berantakan. Jika ada perekrutan preman pasar, kurasa aku bisa langsung diterima dengan posisi cukup tinggi meski tanpa orang dalam.
Lampu lalu lintas kembali hijau. Aku melaju.
Mbah Kiyem pernah cerita jika ada mie ayam super enak yang nangkring di kantor kejaksaan setiap malam, itulah tujuanku, membuktikan kata-kata Mbah Kiyem bisa di percaya atau tidak, mumpung lagi lapar.
Tak ada yang cari masalah denganku di perjalanan. Baguslah, karna aku juga sedang ingin hidup dengan baik.
Sampai di depan kantor kejaksaan, aku bisa lihat gerobak mie ayamnya, tapi belum bisa kupastikan enak atau tidak. sebelum membeli tentu saja aku harus memarkir motor dan pinggiran jalan Jakarta bukan tempat yang tepat untuk itu.
Pagar kantor terbuka sebelah, aku merasa sangat beruntung sekali dan menuntun motorku ke parkiran kantor.
Sebenarnya aku tak ada niatan apa-apa, tiba-tiba berjalan di sekitaran kantor, mungkin rasa penasaran tentang bagaimana keadaan kantor saat malam. Kiri kanan depan belakang kosong dan harusnya memang seperti itu.
Aku memutuskan untuk kembali ke tujuan awalku. Berjalan perlahan tapi ada dua bayangan di antara sela dua gedung, tempat yang redup, hanya diterangi lampu lima watt. Kurasa manusiawi jika aku mengendap-endap mendekat lalu bersender di salah satu dinding gedung. Mengintip.
Mereka berpelukan---- itu Indra dan Airin.
Aku kembali bersender ke dinding, mematung, merasa berbeda seketika. Kulangkahkan kaki menjauh, menuju ke motor.
Aku tak ingat lagi jika ingin beli mie ayam. aku tak ingat lagi jika belum makan dan sedang kelaparan. semua bagian di jantungku dari bilik sampai serambi terasa sakit sekali. darah terasa berhenti mengalir. Dan kakiku gemetaran.
Tempat ini tak baik. aku harus segera pergi. kunci motor kemana?. hilang?. Aku harus segera pergi meskipun begitu.
Kudorong motor sekuat tenaga, secepat-cepatnya. Aku sangat tak karuan sampai menabrak pagar yang tertutup tapi tetap tak berhenti. Terus berlari. Terus mendorong. Terus bergerak. Terus menjauh.
Mungkin sudah lebih dari lima meter begini. Langit sudah gerimis karna sepember memang bulan penuh hujan. Aku terjatuh di pinggir jalan dengan motor yang kugiring. Kakiku sakit. aku tertunduk menahan lalu menemukan kunci motor jatuh dari saku jaket.
Aku mengambil kunci dan menegakkan motor cepat-cepat. gerimis mulai berganti hujan. Kulajukan motor tak tentu arah. Setiap di batas penglihatanku, entah itu mobil orang, pohon, bahkan rambu lalu lintas. Aku hanya melihat bayangan Indra memeluk Airin.
Hujan berhenti. tak lama aku sampai di halaman rumah. sepertinya aku lupa cara memakai standar, hanya menjatuhkan motor perlahan di garasi.
Aku berlari kencang ke tempat penglihatanku tak berbatas. Balkon atap rumah, tempat paling jarang kukunjungi. Aku berbaring menghadap ke langit luas. Memegangi dada yang sesak, mengatur napas perlahan.
Indra di Jakarta. Dia bersama Airin. Airin sarjana hukum berarti kantor kejaksaan bisa jadi tempat kerjanya sekarang. Indra yang menghampiri Airin.
Semua pemikiran bertubi-tubi menyerang kepalaku. Semuanya pemikiran menyakitkan. Pernahkah sekali dalam hidup, kalian merasa seperti ditusuk dengan pisau kecil berkali-kali sampai berharap mati lebih baik tapi nyatanya tak bisa? Itu yang kurasakan sekarang.
*****
Berjam-jam di balkon. Aku masih kacau sekali. aku masih menenangkan diri yang berantakan. Tapi bagaimana bisa di jam tidur begini ada orkes dangdut keliling yang mengamen di jalanan sepi depan rumah. aku berdiri di pinggir balkon memerhatikan wanita jadi-jadian yang memegang microphone menyanyi dengan sangat centil lagu Tuti Wibowo-Hamil duluan.
Secara logis mana bisa banci seperti dia hamil. Mau diapainpun pasti tak bisa. Tapi aku tak ingin meneriakinya dengan semua pemikiran itu, takut-takut jika terjadi pertumpahan darah nantinya. kulangkahkan kaki ke dapur mengambil kaleng bekas minuman soda dan lem lalu kembali ke balkon.
Kurogoh kantong mendapati selembar 50.000 dan menempelnya di luar kaleng dengan lem. Kumasukkan beberapa kerikil supaya lebih berat dan mudah dilempar. Lalu berjalan ke pinggiran balkon lagi.
Tak apa bila harus pergi..
tak apa bila tak kembali
meski hati ini.. kurasakan perih tanpa kau disini
biar sudah kutelan sendiri
kenyataan yang kini terjadi
kau memilih dia
untuk bersamanya jalani hidupmu...
Dua bait lantunan lagu di nyanyikan dengan sangat lembut oleh banci itu membuatku diam sesaat, lagu Luka terindah-Asbak band seharusnya memasuki reff tapi seketika gendang berbunyi dan tak senada, pertukaran lagu sepertinya. Reff Tuti Wibowo-Hamil duluan dinyanyikan kembali.
Kulempar kaleng di tangan ke arah orkes dangdut, untung tak kena satu kepalapun, hanya kena aspal. Sang banci sigap mengambil dan melihat ke arah pelempar, aku.
“Makasihhh ciiin!” teriaknya
Aku hanya mengacungkan jempol lalu menunjuk-nunjuk pergelangan dan merapatkan kedua tangan ke kuping, membuat gerakan seperti sudah larut dan ini waktunya tidur. Sepertinya mereka mengerti dan pergi setelah mengangguk. aku kembali ke tengah balkon, berbaring seperti semula.
Katanya sesuatu yang dilihat dari awal tidak akan terlihat jelas perbedaannya. Tapi semakin larut aku sadar langit jadi makin dekat, bintang-bintang jadi makin jelas, angin jadi makin kencang. Seperi melihat sesuatu yang indah di waktu tak tepat.
Ting tong....Satu pesan masuk di ponselku. Sekarang jam 02.49
Indra Wijaya
Bunga sudah tidur? Begadang ya? Nonton? Jika memang belum tidur dan baca pesanku, langsung tidur ya Bunga. Aku pulang besok pagiii J
Aku mendesah pelan, kembali memasukkan ponsel ke saku dan berjalan ke kamar untuk segera tidur.
***
“Bungaa”
Tok tok
Sekarang jam delapan pagi, aku sedang di dapur karna merasa haus baru bangun tidur. Bisa kupastikan yang teriak di luar adalah Indra yang minta di bukakan pintu. Kutinggalkan gelas yang baru berisi air di meja dan menghampirinya.
“Surpriseee” teriak Indra dengan sekuntum mawar merah manutupi sebagian wajahnya
Aku tersenyum kecut
“Bunga untuk Bungaa”
“Makasih” mengambil mawarnya
Kami berjalan beriringan masuk ke rumah.
“Bunga, kemarin om-nya Airin meninggal dunia”
Aku menghentikan langkah berbalik menatap Indra terkejut.
Berarti semalam Airin sedang dalam kedukaan, mungkin pelukan Indra semalam hanyalah sebagai dukungan. Mereka berteman, tentu saja harus begitu. Jika Ce’tia dalam kedukaan, aku pasti akan melakukan hal yang sama seperti Indra ke Airin. Seketika aku merasa bersalah untuk segala pemikiran buruk tentang Indra semalam.
“Ah? innalillahi” kataku
“Bunga kau pucat” Indra memegangi pipi, kening bahkan leherku “Kau demam Bunga”
“Tak apa nanti juga sembuh”
Indra merangkulku entah karna apa, dia menggiringku kembali ke kamar padahal ini masih pagi.
“Bunga tak usah mandi tapi ganti baju dulu lalu berbaring di ranjang, aku keluar sebentar beli bubur” Indra langsung berjalan cepat meninggalkanku.
Aku sakit. mungkin karna kena hujan dan tak ganti baju semalam. Mungkin juga karna angin malam di balkon. Kututup pintu kamar dan mengganti bajuku atas permintaan Indra tadi. Aku bisa dengar jika suara knalpot rx king menderu di luar.
Mbah kiyem hari ini masih cuti. Kuharap anaknya Mbah si Putri bisa segera sembuh.
Tak lama Indra kembali, tergesa-gesa. Aku sudah mengganti baju dan berbaring di ranjang.
“Duduk Bunga, biar kusuapi” kata Indra
“Ayo turun kita makan di meja makan saja, aku bosan di kamar”
“Bungaa...”
Belum selesai Indra bicara, aku sudah turun dari ranjang dengan senyum yang kuusahakan semanis mungkin. dia menghela napas tanda menyerah dan mengikuti berjalan ke dapur. Saat di tangga dia memegang lenganku, seolah takut aku jatuh tergelincir. Indra sibuk sekali, memegangiku dan juga memegangi piring penuh bubur di tangan kanannya.
Aku duduk dengan Indra yang juga duduk di sebelahku. Dia menarik kursiku seolah menyerong ke arahnya seperti kursinya yang seolah menyerong ke arahku. piring berisi bubur diletakkan di meja tepatnya diantara kami.
“Aku yang suap” kata Indra
“Tak usah”
“Buburnya cuman sepiring jika kau suap sendiri nanti aku tak kebagian”
aku tertawa
Sembari dia menyuapiku dia juga menyuapi dirinya sendiri
“Nanti kau tertular”
“Enggak papa nanti kamu sakit aku sakit, kita bisa jadi pasangan serasi”
“Apaansih” kupukul bahu kanan Indra pelan “jadi om-nya Airin meninggal karna apa?”
“Aku juga enggak terlalu tau, semalam aku sampai di Jakarta, orangtuanya Airin nelpon minta aku temani Airin karna mereka sudah ke rumah duka di Makasar”
“Orangtuanya nelpon?”
“Iya, orangtuanya Airin teman orantuanya aku. Mangkanya aku sama airin bisa temanan dari kecil juga”
“Jadi semalam kamu sampai di Jakarta dan tidur....”
“Enggaklah, aku enggak tidur sama Airin. Aku cuman jemput dia di kantor trus ngurusin tiket dan barang yang harus di bawak ke rumah duka lalu ngantar dia jam lima pagi ke Bandara” Indra geleng-geleng “Aku terjaga sepanjang malam”
Kuusap kening Indra, menghapus keringat yang bercucur disana
“Belum lagi punya istri yang ngerepotin” kataku
“Enggak, kamu enggak boleh ngomongin istri aku gitu ya” Indra menunjuk-nunjukku seolah menegur wanita yang ngatai istrinya padahal aku kan istrinya
“Hahaha”
“Jangan ketawa kamu...”
“Hahaha”
“Tak boleh ketawain istri saya”
“Wahahahahahahahahahahahhaha”
Indra terus berperan seperti suami yang sedang membela istrinya di depanku, lucu, seperti sedang latihan, dan menunjukkan dia bisa membelaku jika nanti ada wanita yang mulutnya nyinyir.
“Bunga kau membuatku trauma”
“Kenapa?”
“Setiap aku bilang surprise kau pasti tak dalam keadaan baik-baik saja” Indra mengangguk-angguk “Aku trauma bilang surprise” lanjutnya
“Maaf ya” kugenggam tangan kiri Indra dengan kedua tanganku
Indra nampak syok melihat reaksiku padahal aku dan dia tahu betul jika perkataannya hanya candaan bukan bermaksud benar-benar menyalahkanku. Dia menatapku dalam, akupun sama menatap matanya dan menemukan hanya diriku disana.
“Bunga kau tambah pucat, aku ambil obat dulu ya” Indra berjalan ke lemari di ruang tengah tempat penyimpanan kotak P3K
“Maaf ya Indra semalam aku ragu” kataku dalam hati
Selesai makan, minum air dan minum obat. Indra mengantarku kembali ke kamar. Dia tak berangkat kerja hari ini. untuk merawatku.
*****
Esoknya, aku sudah sembuh dan Mbah Kiyem sudah tak cuti lagi karna Putri alhamdulillah akhirnya sembuh juga. aku dan Indra bisa menikmati sarapan lezat masakan Mbah Kiyem. Senang sekali.
“Indra kau kerja hari ini?” tanyaku di meja makan
“Iya Bungaa.. maaf ya”
“Oh.. iya baguslah” kataku sambil mengangguk
Selesai sarapan aku mengantarkan Indra keluar, dia berjalan menuju mobilnya yang terparkir di halaman. Sebelum membuka pintu dia teriak kencang sekali ‘Bungaa... aku sayang padamuu...’ menunjukku seraya menjentikan jari dahulu. Aku hanya geleng-geleng merasa kesini-sini indra semakin tak benar.
“Pergi sana” kataku “Kerja”
Dia malah hormat dan langsung masuk ke mobil dengan senyum yang merekah. Lalu melaju meninggalkan halaman rumah dan melewati pagar yang terbuka lebar. Aku masuk.
“Ciee eneng” goda si Mbah
“Apaan sih Mbah”
“Anak muda” Mbah geleng-geleng sambil senyum “Eh neng sebenarnya Mbah mau minta tolong nanti bisa jemput Putri?”
“Kenapa emang Mbah?”
“Dia pingin dijemput pakai motor si aden katanya”
“Oh jadi nanti jam sembilan aku bonceng mbah ke sekolah Putri trus kita boti (bonceng tiga) ke rumah Mbah kayak dulu?”
“Enggak neng, jemputin Putri ke sekolah aja, Mbah tunggu disini, dari sini biar Putri sama Mbah pulang berdua, mau mampir ke suatu tempat dulu”
“Okee”
Jujur aku tak keberatan jemput dan membawa Putri jam sembilan pagi ke rumah, pokoknya tak keberatan asal tak ada Indra. Putri itu meski masih kecil harus di waspadai, apalagi dia pernah bilang ‘oke’ saat kubilang kalo ‘mau punya motor ini? nikah dulu dengan Indra Wijaya’. Jadi aku akan melarang keras segala bentuk pendekatan yang mungkin akan Putri lakukan ke Indra. Terutama pertemuan-pertemuan tak terduga. Selain itu ya tak papa.
***