Juli 2013
2
Sepuluh hari pas pesanan boneka Teddy Bear memegang hati bertuliskan kesayangan Annisa akhirnya siap, aku sangat profesional dan memberikan boneka itu ke Devin tanpa ada sobek yang disengaja sama sekali.
Sorenya saat sudah tutup toko dan mau pulang, kulihat Devin dan Annisa di parkiran Minimarket. Devin menyembunyikan bonekanya di belakang punggung saat berbicara dengan Annisa seperti bilang ‘aku sayang kamu Nisa, mau jadi pacarku?’ lalu menunjukkan bonekanya ke Nisa.
Nisa loncat girang dan memeluk Devin sambil teriak ‘Iya aku mau, aku juga sayang kamu’. Aku buang muka dan cepat-cepat melajukan motor untuk segera pulang.
Sangat amat patah hati ternyata bisa membuatku begini, bertahan duduk di depan tv dengan siaran yang rusak terhitung sudah tiga jam. Seandainya saja aku tak mendengar percakapan Devin dan Nisa tadi, maka kata-kata sayang dari masing-masing bibir mereka tak perlu terulang-ulang bagai kaset rusak di kepalaku.
Rasanya sekarang aku ingin sekali mencari dukun paling ampuh, tapi uangku sudah sangat kritis. Tunggu jika nanti gajian.
Aku tak bisa begini, pemikiranku sudah hampir melenceng dari agama. Patah hatiku perlu tempat yang berisik. Kuambil kunci motor dan melajukannya ke arah jalan baru yaitu jalanan sepi yang baru di aspal pemerintah. Di sana aku tak berhenti malah tambah mengebut.
‘Sini kau!!’ kataku menunjuk jalanan depan yang sepi,
‘Kau pikir aku suka sama kau, hah? Cuihh!’ meludah kesamping motor,
‘Dasar ketoprak basi kau!’ menokok stang motor,
‘Devinn!!!’ jeritku.
Aku tak mau berhenti sekarang, meski hujan membuatku basah kuyup dan meski Bapak-bapak yang sedang main domino di pinggir jalan mengira aku sudah gila karena kecopetan. Aku tak peduli! Tetap melaju dengan motor dan melampiaskan patah hatiku.
***
5
Semua baik-baik saja setelah tiga hari aku cuti sakit ke Pakde Paijo dan minta supaya dia merahasiakan hal ini pada Paman dan Bibi (orangtua Lusi) dengan alasan aku tak ingin mereka khawatir.
Tentang patah hatiku semua sudah benar-benar selesai, aku takkan datang lagi ke Minimarket setiap hari karena tak ada lagi yang ingin kulihat di sana, mungkin sebulan sekali saja untuk belanja bulanan dan meyakinkan diriku tak ada dendam sama sekali ke Devin ataupun Annisa.
Aku berangkat kerja seperti biasa, sedikit kesiangan, motor kuparkir di teras toko dan berjalan perlahan ke pintu saat sadar ada lelaki yang duduk menenggelamkan wajahnya di antara lutut. Meski wajahnya disembunyikan, aku tahu itu adalah si aneh yang selalu beli boneka binatang, kutendang tulang keringnya pelan.
“Awas-awas orang mau buka ini!” kataku, dia berdiri cepat memandangku,
“Kau kemana saja?!” ucapnya memegang bahuku kasar,
“Apaan sih,” kutepis tangannya,
“Jangan pergi lagi,” suaranya lirih lalu menangis,
Aku sangat terkejut saat air matanya tiba-tiba jatuh, lebih terkejut daripada diteriakinya tadi. Lalu menggiring dia masuk ke toko karena tak mau jadi tontonan pengguna jalan.
“Hey tak apa, aku hanya cuti kemarin,”
“Jangan pergi lagi, Bunga,”
Degg... degg..
Bunga itu namaku, meski jarang sekali ada yang memanggil begitu, biasanya orang memanggilku Dea. Tapi dia siapa? Aku yang bingung menatapnya fasih. Benar-benar tak ingat sama sekali dengan wajahnya.
“Bunga aku menyukaimu,”
“Kau pikir aku bodoh? Kau itu hanya playboy ‘kan? gampang bagimu bilang suka ke orang yang baru dikenal, hah? Kau pikir kau siapa?”
“Biar kujelaskan semuanya,” katanya ringkas,
***
Malam ini aku sedang duduk di pendopo belakang rumah dan masih sangat bingung tentang si aneh, bukan karena ini pertama kalinya aku ditembak tapi semua hal yang dia katakan tadi seolah sangat nyata dan ada beberapa hal yang dapat kupetik:
Namanya Indra Wijaya
Dia mengenal dan menyukaiku sejak tiga tahun yang lalu
Saat aku duduk di kelas satu SMA dan akhirnya dikeluarkan karena berkelahi, dia mencari-cariku,
Dia tahu Lusi dan menyukaiku
Setelah menepuk paha kaki sendiri, kuputuskan menelpon ke pesantren tempat Lusi menimbah ilmu agama.
“Assalamualaikum?” ucap seseorang dari sudut telephone yang kusimpulkan sebagai Pihak pesantren.
“Hiks.. hiks.. bisa bicara dengan Lusi?”
“Ukhti, kenapa menangis?” (ukhti maksudnya adalah saudari dalam bahasa Arab)
“Ada berita kedukaan yang harus saya sampaikan ke Lusi anaknya Pak Samsul... hiks.. hiks..”
“Oh iya, tunggu ya, Ukhti, yang sabar. Dengan Ukhti siapa?”
“Bunga Dea, sepupunya,”
Langkah berlari terdengar dari seberang telpon dan aku hanya mendengarkan langkah itu menjauh dan kemudian mendekat
“Dea? Kangen...”
“Aku enggak,”
“Ah, Dea. Eh, tadi Buk ketua asrama kenapa sampai nangis?”
“Hah? Nangis dia? Aku cuma bilang mau nyampein berita kedukaan ke kau,”
“Hah? Kedukaan? Kamu lagi bohong ya, Dea? Atau kamu beneran bunuh si Toni karena enggak ada aku?”
“Rencana bagus tuh hahaha..”
“Iih, Dea! Jangan! Jadi kamu bohongi Buk ketua? Dosa loh nanti di akhirat lidahnya di potong,”
“Eh-eh enggak kok, aku enggak bohong! Jadi tadi pas sebelum nelpon kau, aku bunuh nyamuk dulu. Tuh bayangin, Lus! Harus ada satu nyawa melayang dulu baru kita bisa ngobrol, seharusnya kau doain tuh nyamuk yang mati tadi.”
“Innalillahi..”
“Hahaha... di sana ada yang jahat, Lus?”
“Enggak kok, Dea, semuanya baik-baik,”
“Ada cowok getek?” [Getek itu seperti kecentilan]
“Enggak tau, soalnya di sini aku aja enggak pernah ketemu sama cowok yang sepantaran ataupun yang bedanya setahun dua tahun dari aku, Dea.”
“Oh baguslah, eh aku mau nanya kau kenal dengan Indra Wijaya, Lus?”
“Kayak pernah dengar namanya,”
“Katanya dulu dia jadi kakak pembimbing Drumband pas kita kelas satu SMA, kau kan mayoret waktu itu,”
“Oh iya iya aku ingat, kakaknya baik,”
“Semuanya aja kau bilang baik, Lus, tapi kok aku enggak ingat ya?”
“Itu loh, Dea, yang waktu itu kamu lempar pake bola Volly pas dia ngajarin aku megang tongkat mayoret,”
“Serius, Lus?”
“Iya, kamu mah lupa kali, terlalu sering berkelahi jadinya gitu,”
“Oh, iya deh kalo gitu,”
“Emang kenapa dia?”
“Enggak ada, eh ini enggak papa lama-lama telponan?”
“Oh iya, udah dulu ya, Dea, aku harus baca Qur an di mushola,”
“Oke, doain aku ya,”
“Moga enteng jodoh...” katanya
“Aamiin...” kataku
Dia tertawa dan mengucapkan salam. Kumatikan sambungan telpon setelah menjawab salamnya, lalu berjalan ke kamar untuk tidur tak ingin menonton ataupun berjalan-jalan keluar, mungkin jika ada keinginanku satu-satunya malam ini adalah semoga pagi segera datang.
***
6
Pagi ini aku tak terlambat bekerja, kuharap Pakde Paijo bisa tahu hal ini supaya dia menganggap aku adalah pekerja yang kompeten.
Bersih-bersih sudah kuselesaikan, membalik tanda TUTUP jadi BUKA pun sudah. Sekarang sedang duduk di belakang meja kasir menatap ke pintu toko yang terbuat dari kaca, memerhatikan jalan yang sibuk.
Indra belum datang juga, rasanya sedikit geli menyebut namanya, mengingat selama ini aku sering menyebutnya si aneh. Aku tak menunggunya, mungkin ini hanya karena dia selalu datang ke toko setiap hari dan lama-lama jadi kebiasaan untuk menceritakannya.
Dia datang jam sembilan, masuk mendekat ke meja kasir tak seperti biasanya lalu duduk di kursi. Jatuhnya saat ini kami sedang tatap-tatapan.
“Mau beli boneka ?” tanyaku menggulung tangan dan bersender ke kursi,
“Yaa... kalo Bunga nyuruh aku beli boneka meskipun Bunga tahu alasan aku beli boneka selama ini cuma pengen lihat Bunga, yaa.. aku bakal tetap beli,” dia tersenyum,
“Cih! Tak usahlah,” Ucapku akhirnya “kau tahu? Setiap boneka yang kau beli aku hanya di beri keuntungan 1%. Jadi, setiap kau membeli boneka seharga 50.000 yang akan masuk ke kantongku hanya 500 rupiah, lebih baik kau belikan aku ketoprak pedas untuk sarapan,”
kugerak-gerakkan tangan seperti mengusir,
“Oke,”
Dia langsung berdiri dan bergegas keluar toko girang.
Beberapa saat kemudian aku sedang berdiri di teras bukan menunggunya hanya baru saja mengantar nenek-nenek yang baru beli boneka menyebrang jalan. Indra datang lagi. Mengangkat kantong plastik berisi dua bungkusan yang kurasa itu ketoprak.
“Ayo, masuk,” kataku, dia berjalan mengikuti
“Aku ambil piring dulu ke belakang,” dia mengangguk,
Kami berdua makan bersama pagi ini sambil bersilo di lantai toko dan seandainya saja kalian adalah penyimpan rahasia yang baik, aku akan bilang saat itu sebenarnya kubalik tanda BUKA jadi TUTUP yang digantung di pintu toko.
“Jika kau menyukaiku sejak tiga tahun yang lalu kenapa baru datang sekarang?” kataku,
“Aku mencari-carimu, Bunga. Jadi dulu, waktu Bunga masih kelas 1 SMA itu, aku berangkat ke Jakarta karena ada urusan sekitar seminggu, pas pulang, kamu udah enggak ada lagi di sekolah dan tata usaha cuman bilang kamu dikeluarin minggu lalu,”
“Oh, itu namanya nyari?”
“Aku sampe mohon-mohon ke Kepsek buat dapatin alamat rumah sama sekolah kamu yang baru, Bunga. Tapi katanya pihak sekolah enggak bisa ngasih tahu karena itu berkaitan dengan privasi, mengingat kamu adalah murid yang dikeluarin bukannya pindah”
“Oh, segitu doang?”
“Saat kamu pindah sekolah, karena beberapa hal, aku yang lagi duduk di semester dua kuliah juga harus pindah ke salah satu Universitas di Jakarta, Bunga. Jadi enggak bisa keliling kota ini buat nyari kamu. Tapi sejak tiga tahun yang lalu jika ada libur aku sempatin ke sini berharap bisa ketemu dengan kamu,”
Dia berhenti makan sepertinya dia merasa hal-hal ini sangat penting sampai sangat serius menjelaskannya denganku, kulirik dia sebentar dan kembali menatap piring.
“Habiskan makananmu, Indra. Aku suka ketoprak tapi tak suka yang bekasan orang,”
“Iya,” katanya kembali menyuap sesendok ketoprak ke mulut “kamu tak suka bekasan orang?” tanyanya,
“Kau suka?”
“Aku suka gadis, Bunga,”
Aku memikirkan arah pembicaraan ini lalu meliriknya dengan senyum menggoda,
“Enggak mau sama janda?” kataku
“Eng-enggak, Bunga,”
Aku tertawa terbahak dan wajahnya langsung merah, cukup lama dalam keadaan begitu sampai ada rasa bersalah yang membuatku mengalihkan momen memalukan baginya ini.
“Lalu akhirnya kamu ketemu aku di toko, tahu dari mana?”
“Aku sedang keliling-keliling aja, Bunga. Menurutku toko boneka ini cukup unik dari luar jadi rencananya waktu itu aku ingin minta izin ke pemilik untuk lihat-lihat dalamnya. Tau-tau ada kamu,”
“Oh, gitu. Sebentar,”
Aku berjalan ke dapur toko, mengambil dua gelas air putih lalu memberikan salah satunya ke Indra.
“Makasih, Bunga,”
“Hm,” kataku yang sedang meneguk air milikku,
Setelah air di gelas kami sama-sama habis dan piring sudah kosong, Indra menyusun semuanya dan berniat menaruh piring dan gelas itu ke dapur tapi berhenti di dekat meja kasir.
“Bunga ? Setelah ini aku pergi, ya?”
Aku mendekatinya perlahan dan mengambil bawaanya untuk ditaruh di dapur tapi sebelum sampai di tujuan aku bicara pelan,
“Pergi saja, kenapa harus minta izin padaku?” dia tertawa
“Iya, Bunga.” katanya dengan nada lembut. Aku tahu dia berjalan keluar dari pintu toko meski tak menatapnya.
Setelah sampai di dapur kucuci piring bekas makan beserta gelas dan sendok-sendoknya. Lalu kembali ke pintu membalik tanda TUTUP jadi BUKA lagi.
***
20
Aku dan Indra semakin akrab setelah dua pekan. Dia bahkan pernah mengantarku pulang karena motorku sedang di bengkel untuk di servis, meskipun hanya sampai teras. Dia juga sudah pernah ke rumah Paman.
Jadi waktu itu masih pagi, akupun belum sampai sejam di toko, Indra sedang mengantar sarapan gratis untukku saat Bibi menelpon
“Dea, pulang! Ada masalah.. tett” sambungan telponnya langsung terputus dan dengan gampangnya aku langsung panik.
Aku mengabaikan indra yang sedang duduk di depanku dan dengan tergesa-gesa mencari kunci untuk menutup toko, dia mengikutiku keluar. Kumasukkan kunci toko ke jaket dan lari ke motor, dia menarik lenganku dan bilang ‘Naik mobilku saja, Bunga, aku yang antar’ dan akupun menurut begitu saja.
Diperjalanan kuhubungi Pakde Paijo, meminta izin tak masuk hari ini lalu menyuruh Indra melajukan mobilnya dengan cepat, dia menurut.
Sampai di rumah Paman, kulihat Bibi sedang menyiram kembang dan si Paman pun sedang duduk santai minum kopi di teras. Aku langsung keluar dari mobil membanting keras pintu mobilnya, Indra melihat keadaan aman damai macam ini. Indra juga keluar perlahan
“Bunga! Ada masalahhh... hahahah” teriak bibi mengolok-olokku
“Bibi!! Bohong dosa!!” Indra dan Paman tertawa,
“Duduk, Dea,” kata Paman,
Aku berjalan mendekati Paman, membuang muka dari Bibi. Indra tetap di tempatnya, di samping mobil.
“Siapa, Dea?” tanya Paman
“Oh itu, sinii!” kuayunkan tangan menyuruh Indra mendekat,
“Indra Wijaya, Paman,” dia menyium tangan Paman
“Oh, duduk-duduk, Dea buat kopi untuk nak Indra,”
“Aku kesini cuman disuruh buat kopi?”
“Iya,” cetus Paman mengabaikanku,
Indra melirikku sesaat dan kembali mengobrol dengan Paman, aku menarik napas lelah dan berjalan ke dapur diikuti Bibi yang berlari kecil mendekat.
“Rasain!” kata Bibi
“Iih jangan dekat-dekat! Aku enggak mau ya sama orang yang gampang bohong, wekk..” menjulurkan lidah
“Dea, Bibi enggak bohong kok, emang ada masalah,”
“Masalah apa? Enggak ada tuh,” kusendok gula dan kopi ke gelas dan mencampurnya dengan air panas,
“Paman sama Bibi kangen kamu, Dea,”
“Yaa... kalo kangen tinggal bilang aja enggak usah bohong, Bi,” kataku sambil mengaduk-aduk kopi,
“Iya sangking kangennya tapi gengsi mau bilang, Paman sama Bibi jadi buat masalah” Bibi menggigit bibir bawahnya “kami nyatang genteng kamarmu sampai bocor,”
“Hah? Kamar aku ‘kan di lantai dua, Bi. Kalo ujan banjir sampai ke bawah dong?” aku sungguh kaget sebenarnya.
“Iya, Dea, itu masalahnya,”
“Ya allah..” dan akhirnya aku hanya bisa menyebut nama Tuhan.
Kuantar kopi Indra ke teras depan tempat dia duduk dengan Paman.
“Makasih, Bunga.” Katanya. Tiba-tiba Paman tertawa, kulirik Paman tajam dan menyeruput kopi dari gelas Paman
“Tangga di mana, Paman?” tanyaku
“Belakang,” kata Paman.
Aku berjalan ke belakang mengambil tangga dan membawanya ke lantai dua, di sana sudah ada Bibi yang menyiapkan beberapa genteng baru. Jadi aku yang manjat lalu Bibi yang ngoper genteng dari bawah.
Hanya beberapa jam di rumah paman kuputuskan untuk mengajak Indra pulang, takut jika ternyata dia sibuk tapi tak enak hati untuk pergi. Paman dan Bibi mencoba menahan-nahanku tapi akhirnya aku bisa pergi dengan alasan motor yang masih terparkir di depan toko Pakde Paijo.
“Kau senang sekali mengobrol dengan, Paman,” kataku saat diperjalanan kembali ke toko boneka
“Aku yatim piatu, Bunga. Paman dan Bibimu sangat ramah denganku dan itu membuatku merasa hangat seperti memiliki keluarga lagi,” katanya tersenyum,
“Ma-maaf aku tak bermaksud,”
“Enggak papa kok, Bunga juga sama kayak aku ‘kan?”
“Iya, dari lahir dan saat umur beberapa bulan,”
Sebenarnya aku sangat jarang membicarakan tentang orangtuaku apalagi tak ada memori tentang mereka sama sekali, tapi hari itu aku membicarakannya dengan Indra. Semua hal yang aku tahu tentang mereka dari Paman dan Bibi, bukan pembicaraan yang menyedihkan karena nyatanya aku tertawa lepas mengingat gambaran buram tentang mereka dan Indra pun juga demikian.
***
Hari ini Indra datang terlambat, jam sebelas pagi, tepatnya sudah lewat waktu sarapan. Wajahnya lelah sekali seperti tak tidur semalaman, tak tersenyum dan langsung duduk di depanku.
“Kenapa?” kataku
Dia geleng-geleng tak menatapku sama sekali, kami hanya diam begitu lama sampai aku merasa bosan dan bersender ke belakang kursi lalu memejamkan mata.
“Bunga, aku harus pergi” katanya pelan
“Pergilah,”
“Bunga, ini bukannya pulang, aku akan pergi dan tidak bisa kesini lagi,” kubuka mata pelan melihat wajahnya yang sedang menatapku serius,
“Kenapa?” tanyaku pelan
“Aku menetap di Jakarta, Bunga., Di sini hanya liburan dan sebentar lagi aku akan wisuda, otomatis tak ada lagi waktu libur. Aku akan sibuk mengurusi pekerjaan setelah ini,”
“Hm,” dengusku pelan tak tahu mau bilang apa, dia diam.
Sesaat waktu jadi canggung sekali, kami hanya menatap sembarang arah dan tak jarang hanya menunduk pasrah.
“Bunga, aku sangat menyukaimu, mungkin ini terdengar tabuh bagimu dan mendadak, tapi aku sudah begini sejak tiga tahun yang lalu,”
“Iya,”
“Bunga, menikahlah denganku..”
Suaranya pelan terdengar sendu, terlihat dia sangat mengontrol napas yang sepertinya sesak. Kupandangi dia, tatapan matanya sangat lemah penuh ketakutan.
“Ya sudah, ayo menikah,” kupalingkan wajah kembali menatap lantai, benar-benar tak suka dengan wajahnya yang begitu,
“Bunga, aku serius, jangan main-main!”
“Aku juga, kau temuilah Pamanku dulu sebagai wali dari pihak keluarga”
Kuangkat lagi kepalaku dan menemui wajahnya yang sedang menahan senyum lalu ada suara lega keluar dari kerongkongannya dan tertawa pelan.
“Lain kali kalo mau ngelamar itu bawa bunga, biar romantis,”
“I-iya” katanya tertawa lagi “aku ke rumah Paman dulu ya, Bunga,”
Dia menyodorkan tangan mau salam sepertinya, aneh, baru pertama kali, tapi kuturuti saja mungkin dia sangat senang sekarang karena lamarannya kuterima. Kuulurkan tangan menggapai lengannya yang gemetar, salaman ala canggung ini berubah ketika Indra menararuh punggung tanganku di dahinya.
“Eh.. emang aku lebih tua apa?” kataku
“Enggak papa sekali aja, nanti setelah nikah kamu bakal cium tanganku terus,”
“Ngarep,”
“Hahaha... dadah, Bunga,” ucapnya melambaikan tangan sebelum keluar dari pintu.
Ketika menerima lamaran Indra, kunyatakan aku dalam keadaan sadar bukannya kena pelet, mungkin kelihatannya seperti mustahil mengingat kami baru dekat belum sampai sebulan. Tapi aku percaya jika dia benar menyukaiku sejak dahulu, saat aku masih duduk di kelas satu SMA dari banyaknya hal yang dia sudah kenali dariku sebelum kukenalkan, apa yang kusuka, apa yang tak kusuka dan bagaimananya aku, dia tahu.
Sebenarnya jika kalian berpikir alasan penerimaan lamaran Indra ini hanya karena kasihan, itu adalah pemikiran yang jahat tentangku. Aku menyukainya dan itu adalah perasaan yang sulit dijelaskan, aku tahu ini beberapa hari yang lalu dan ini pertama kalinya bagiku.
***
28
Aku sedang di mobil bersama Paman dan Bibi menuju ke KUA, hari ini aku akan menikah dengan Indra Wijaya.
Tak ada persiapan yang membuatku hampir mati karena kelelahan, mungkin kesal ada. Hari di mana Indra melamarku, dia ke rumah Paman dan Bibi meminta restu. Dia bilang ingin menikah denganku dan Paman hanya bertanya ‘Deanya mau?’ lalu indra mengangguk ‘Ya udah nanti Paman nikahkan’ katanya.
Mendengar cerita ini dari Indra, rasanya ingin kukutuk Paman Samsul, bagaimana mungkin ada Paman macam dia, seharusnya dia menginterogasi Indra terlebih dahulu bukannya hanya sekedar yaudah-yaudah saja. tapi mau bagaimana lagi, aku tak bisa sembarang mengganti Paman karna pegadaian tak pernah menerima makhluk bernyawa.
Kami bertiga sampai di KUA, Indra menunggu di parkirannya. kami berjalan bersama menuju ruang di mana Pak penghulu berada. Aku ingat sekali bagian saya terima nikahnya Bunga Dea binti Nandito Wijaksono... satu kalimat yang membuatku keringatan.
Dia sukses mengucap ijab kabul dalam sekali napas, setelah itu aku, Indra, Paman, Bibi, penghulu beserta saksi-saksi yang disiapkan KUA makan bersama di ruangan itu.
Aku dan Indra akhirnya menikah di KUA itu adalah hasil dari perdebatan yang panjang, Indra sempat protes ketika sedang mengajakku mencari gedung dan aku bilang hanya ingin menikah di kantor urusan agama saja.
“Bunga malu jika orang tahu kamu menikah denganku?”
“Bukan begitu, Lusi sedang menimba ilmu agama di Jawa. Jika kau ingin kita menikah sekarang ayo menikah, tapi aku ingin di pesta pernikahamku ada lusi di sana” kataku, dia hanya menghela napas panjang.
“Tahun depan resepsinya?”
“Iya yayayahh..” kataku membuat wajah memelas
“Iya,” katanya meski terlihat dongkol,
Selesai makan, aku pulang naik mobil Indra, Paman dan Bibi berdua di mobil Paman. Awalnya kami beriringan, tapi saat di pertigaan dan sadar kami akan pisah arah Paman membunyikan klakson dan membuka kaca mobil ‘Duluan..’ kata Paman, Indra membalas membunyikan klakson dan mengangguk ‘Hati-hati paman’ kata Indra.
Aku sedang sibuk memerhatikan buku nikah kami saat kudengar Indra bersiul menggodaku bunyinya seperti swiit swiit.
“Kenapa?”
“Hari ini Bunga cantik,” dia tersenyum
“Jadi kemarin-kemarin enggak?”
“Cantik dong, tapi hari ini lebih cantik karena udah jadi nyonya Indra Wijaya,” aku tersenyum,
Sampai di rumah, aku membuka pintu perlahan mengajak Indra masuk. Dia berhenti di depan foto Desi dan Nandito yang sangat besar itu, aku hanya membiarkannya saja dan buru-buru ke kamarku untuk mandi karena merasa gerah.
Sebenarnya Indra memiliki rumah juga di kota ini. tapi dia hanya membiarkan saja rumah lamanya itu diurus oleh tukang kebunnya yang bernama Mang Urip. “Meski punya rumah di sini (maksudnya kota ini), aku lebih memilih menginap saja di hotel. Aku mendengar kabar pertama kali tentang kematian orangtuaku di sana” kata Indra sewaktu pendekatan dulu.
Jadi daripada dia memboyongku ke hotel, lebih baik kami tinggal di rumahku dulu saja.
***
Malam hari, aku dan Indra sedang duduk berhadapan di ruang tamu. Tangannya gemetaran dan dia berkeringat. Aku rada takut saat ini, mengingat hantu KUA yang sedang ngehits digosipan para pegawai yang tadi berkumpul di parkiran kantor.
Yang kudengar, hantu KUA itu dulunya mau menikah tapi meninggal kena serangan jantung dan suka mengganggu pengantin baru. Sempat terpikir apakah Indra sedang diganggu oleh roh halus macam itu.
“Bu-bunga,” suaranya gemetar, ketika dia mengangkat wajah aku bisa lihat mukanya yang pucat,
“I-iya?” suaraku juga gemetar entah kenapa,
“Kita jangan tidur sekamar dulu ya,”
Dahiku mengernyit bingung, memikirkan kata-katanya ini
“Kenapa?” kataku membuat ekspresi panik
“Bu-bukan, Bunga,” dia seperti ingin menyentuhku tapi tak jadi “a-a-aku ...”
“Kenapa?!”bentakku dengan suara masih gemetar, dipikiranku penuh dengan hantu KUA yang mungkin sudah menempeli Indra,
“Bibi bilang sebaiknya kita tak sekamar dulu sebelum resepsi supaya auramu tak hilang,”
“Oh,” aku menunduk pelan
Bibi yang dibilang Indra tentu saja adalah Bibiku(mamanya Lusi), aku berusaha menahan segala ocehan yang ingin kutujukan ke Bibi. Entah si Bibi tau dari mana tahayul macam itu. Tapi aku tetap berusaha diam dan mengiyakan apa yang disampaikan Indra saja karena akulah pihak yang meminta pengunduran waktu resepsi.
“Indra, aku lapar,” kataku asal bicara untuk menghilangkan hening
“Oh ayo, cari makan,” dia bermaksud mengambil kunci mobil ketika aku menarik lengannya
“Pakai motor aja ya” kataku menyodorkan kunci motor, Indra mengangguk,
Malam ini aku boncengan naik motor dengan Indra melewati jalan yang lenggang, dihiasi dengan pohon-pohon rimbun dan lampu jalan berwarna orange.
Suasananya jadi sangat romantis apalagi ditambah dengan obrolan tak jelas yang setiap akhir kalimat diselingi tertawa khas pasangan kasmaran. Dan kujamin kami lebih bahagia daripada dua muda-mudi yang naik motor ninja empat taq di samping.
***
29
Kabut di luar sangat tebal itu berarti nanti siang akan terik, aku tahu itu dari Paman. Tapi persetan dengan nanti siang, pagi ini masih sangat dingin dan seharusnya aku bisa tetap tidur nyenyak. Sayangnya di luar sangat berisik dan aku harus meringkuk keluar dari selimut untuk memeriksa.
Semalam aku tidur di salah satu kamar di lantai dua, kusuruh Indra tidur di kamarku—di lantai satu. Kuturuni anak tangga satu persatu, biasanya dua-dua tapi arwahku belum terkumpul semua takut nanti jatuh.
Aku menghela napas melihat Indra sedang sibuk bersih-bersih, berasa seperti dia sedang menyindirku yang membiarkan rumah sendiri sekotor ini.
“Tak perlu repot-repot,” kataku
“Kita ‘kan besok mau pindah, Bunga, setidaknya rumah harus bersih sebelum ditinggalkan.”
“Tak ada yang akan tinggal di sini juga,” cetusku
“Ini rumah mertuaku, Bunga.”
Kulirik dia sambil tersenyum lalu duduk di sofa
“Oh jadi rajin gini karena sedang lagi di rumah mertua,”
“Hehe.. tau aja” katanya lalu membungkuk ke foto besar Nandito dan Desi seperti meminta maaf.
“Hahaha.. Indra, aku lapar,”
“Ada bahan masak di belakang, Bunga?”
“Ada, tapi aku maunya ketoprak,”
“Oh ya udah, aku beli dulu ya,”
Dia bergegas meninggalkan pekerjaan rumah dan mengambil kunci mobil, tak perlu waktu lama dia sudah hilang saja dari rumah ini.
Sebenarnya aku tak sedang lapar, hanya mencari alasan untuk mengusirnya dari rumah. Jujur, aku sedang sedikit melow. Aku baru saja pindah ke rumah ini dan besok akan pindah lagi ke rumah Indra yang bukan hanya berbeda kota tapi berbeda pulau. Dulu saat masih tinggal di rumah Paman, aku sering mencari alasan supaya bisa lewat di depan rumah ini ketika rindu, besok memikirkan rumah ini saja aku takkan berani.
Kutelusuri lagi rumah ini sama seperti pertama kali aku datang dahulu, mengamati setiap detail dari ruangan dan isinya lalu duduk di pendopo belakang.
“Bunga?” sapa Indra
“Hm,” aku membuka ketoprak yang di beli Indra, kami makan berdua di pendopo
“Besok kau berangkatnya pakai pesawat ya dengan barang-barang kita,”
“Lalu kau?”
“Aku sepertinya akan menyetir dari sini ke Jakarta, mobilku tak mungkin ditinggal di sini. Aku juga rada cemas jika membawa barang-barang di mobil,”
“Dua hari dua malam dari sini ke Jakarta, bukan?”
“Iya, Bunga,”
“Lebih baik barang-barang kita saja dipaketin, aku sama kau naik mobil tapi harus sewa sopir ya, aku enggak mau nanti kau capek,” dia tersenyum melirikku
“Nanti kamu yang capek, Bunga, dua hari dua malam di mobil akan melelahkan,”
“Enggak-enggak... uhuk” kataku,
Indra tertawa mendengarku keselek karena bicara sambil makan dan memberi minum,
“Bunga, setahuku anoreksia itu enggak suka makan ‘kan? Kok kamu lapar terus ya?”
“Anoreksia? Enak aja! Biarpun kurus gini dalam diri aku ada cinta yang besar!”
Indra mengernyit bingung dengan penjelasanku yang mengada-ada,
“Buat aku?” ucapnya menaik-turunkan alisnya,
“Buat MAKAN” kukedipkan mata dan membuat jari dengan gaya pistol ‘kena kau’ kataku dalam hati.
Indra tertawa malu, aku tertawa menang
***
30
Esoknya jam 23.04
Aku dan indra sudah berada di perjalanan menuju Jakarta, sesuai dengan keinginanku dia menyewa sopir dan sesuai keinginannya dia memasang gordeng pembatas antara kursi tengah dan depan, katanya supaya aku bisa nyaman ketika tidur padahal aku tau betul dia tak suka ada lelaki lain yang memperhatikanku.
Sopir yang disewa indra sangat seram, wajahnya sangat cocok untuk direkrut sebagai dept collektor ataupun eksekutor leasing. Tapi itu tak masalah, aku tak takut dengannya sama sekali.
Hujan di luar sedang sangat deras dan si sopir tak menghentikan mobilnya untuk istirahat tidur padahal sudah hampir tengah malam.
“Pak, kok kita tak berhenti?” kubuka gordeng menyapanya,
“Saya belum ngantuk, Mbak. Baru minum-minuman berenergi,” mengangkat botol minuman yang ditaruh di pintu mobil,
“Oh oke” kututup lagi gordengnya,
Benar ‘kan aku tak takut? Aku berani mengajaknya mengobrol duluan,
Di mana indra? Indra duduk di sebelahku—dikursi tengah, meski satu tempat tapi kami duduknya bagai orang musuhan, dia bersender di kaca mobil sebelah kanan dan aku sebaliknya.
Meski sudah malam dan di luar sedang hujan, entah mengapa aku tak bisa tidur dan lama-lama merasa bosan memandang keluar, iseng, aku berpikir untuk mengganggu Indra. Kutarik lengan bajunya sebelah kiri, dia diam, kuulangi berkali-kali yang terakhir cukup kuat.
Brukk...
Untung saja kepalanya jatuh ke pangkuanku, aku berinisiatif mengecek nadinya dan terasa masih berdenyut, dia hanya tidur. Kusandarkan badanku ke belakang kursi dan memegang bahu indra supaya nanti jika ada lubang dia tak malah jatuh ke bawah kaki.
Aku memejamkan mata berusaha tidur, jika kalian ada di depan kami berdua sekarang dan tiba-tiba Indra bangun, jangan bilang ke Indra aku sedang tersenyum kegirangan memangkunya ya.
***
31
Seberapa cepat sopir mengendarai mobil? Apa dia terjaga sepanjang malam? Entahlah, aku tertidur pulas semalam dan pagi ini kami sudah sampai di terbanggi besar, tepatnya di salah satu pom bensin.
Sebenarnya kami sudah sarapan tadi dan alasan sampai berhenti sekarang adalah karena aku ingin ke kamar mandi, sekalian mengisi bensin yang mulai menipis. Indra mengikutiku dari belakang dan menyerahkan tugas menunggu mobil ke sopir.
“Mau ikut?” tanyaku dengan gaya menggoda
“Enggak, aku mau ke Minimarket beli cemilan, Bunga,”
“Oh yaudah,” aku berjalan cepat ke kamar mandi
Selesai dengan urusan, aku keluar dari WC dengan lega. Bisa kulihat Indra sedang memilih cemilan lewat pintu kaca di Minimarket. Kuputuskan untuk tak menyusulnya dan kembali ke mobil.
Langkahku terhenti di samping mobil sebelah kiri karena pintunya terkunci, bisa kudengar jika si sopir sedang menelpon di depan mobil dan kuputuskan untuk menunggu.
Tak ada niat sama sekali menguping pembicaraannya, mungkin jika terdengarpun itu karena suara si sopir yang terlalu keras.
“Aku membawa muda-mudi sekarang” jeda “tidak, mereka tak membawa barang bawaan, kita tak bisa merampok. Sejam lagi kuusahakan kami sampai di bandar lampung, buntuti kami dari sana lalu jika ada tempat sepi kita habisi saja mereka dan bawa mobil ke Roy, berapa dapatnya nanti kita bagi rata” jeda “nomor platnya...”
Brukk..
Handphone sopir jatuh ke aspal karena kupukul tangannya dengan sigap.
“Ngapain kau?” kuinjak handphonenya sampai pecah lalu melempar alat komunikasi itu ke semak-semak sebelah pom.
“Kurang ajar!”
Dia memukulku dengan genggamannya yang besar, pelipis sebelah kiriku pecah.
“Kau yang mulai,” kataku pelan
Aku membalas pukulannya beberapa kali di kepala dan di perut, dia jatuh tiba-tiba karena hilang keseimbangan dan aku tak bisa berhenti menendangnya. Semua pegawai pom sudah mengerumuni kami, tapi tak ada satupun yang berusaha menghentikan sampai ada yang menarik tanganku menjauh.
“Bunga, berhenti!”
Tatapan yang tadinya kosong mulai berisi meski buram, aku tahu itu Indra yang mengalihkan perhatianku dari si sopir sialan yang langsung berdiri sekaligus memberitahu jika aku belum menghajarnya cukup parah.
Para pegawai sudah kembali di posisinya masing-masing untuk bekerja karena antrian sudah mulai panjang. Mereka pikir ini hanya perkelahian dalam keluarga dan mengira semua baik-baik saja setelah ada Indra yang menarikku kembali ke samping mobil.
Aku menjelaskan pada Indra semua yang sudah direncanakan sopir sialan itu dengan emosi dan dibalas dengan tatapan tajam dari Indra.
“Masuk ke mobil!” katanya padaku.
Indra memecat sopir itu langsung dan memberi setengah dari gaji yang dijanjikan sebagai ongkos pulang dan mengganti handphonenya yang kurusak tadi. Dari sana indra-lah yang menyopir dan kami tak bicara sepatah katapun.
Di bandar lampung ada beberapa mobil polisi yang mengawal dari belakang, mengiringi kami sampai di pelabuhan merak. Aku tak tahu itu ada sangkut pautnya atau tidak dengan SMS yang dikirim Indra sebelum kami berangkat dari terbanggi besar, dia tak bicara, akupun tak berani.
Sebelum masuk kapal, Indra turun sebentar dari mobil, menyalami dua polisi yang mengiringi dari tadi seperti menyapa dan berterimakasih.
Setelah masuk kapal dan memarkirkan mobil, kami sama-sama keluar. Indra pergi begitu saja dan kuputuskan untuk naik ke atas melihat laut. Senja sudah hampir usai, ombak mulai naik tetapi lumba-lumba masih setia berenang di pinggir kapal.
Kepalaku terasa pusing dan tanganku tanpa sadar menggosok kening perlahan. Darah. Aku lupa pelipisku pecah.
“Awh,” isakku
Indra menjauhkan tangan yang kugunakan untuk menyentuh pelipis yang luka sambil geleng-geleng, di tangan kirinya sudah ada kotak P3K dan air mineral yang tak tahu dapat darimana.
“Duduk dan minumlah dulu, Bunga,”
Aku menurut meski entah mengapa merasa kesal, dia mengeluarkan alkohol dan kapas untuk membersihkan lukaku. Kami berhadapan.
“Kamu tak perlu berkelahi, Bunga,”
“Aku tak bisa diam saja ketika tahu ada orang yang ingin menyakitiku ataupun kau Indra!” nada suaraku membesar,
“Kan ada aku, Bunga, kamu bisa bilang padaku dulu, aku suamimu sekarang.”
Kutatap indra lirih, diapun menatapku demikian.
“Aku suka semua hal yang ada di Bunga dea, semuanya, dahulu, ternyata aku temukan satu yang tidak sekarang. Aku tak suka kau berkelahi, Bunga” nada kecewa tergambar jelas dari setiap tarikkan napasnya,
“Demi aku, mulai dari sekarang jangan berkelahi lagi, berjanjilah” kata Indra pelan
“Aku janji.”
Suaraku sangat berat saat ini. Mungkin ada rasa sedih karena sudah membuat Indra kecewa. Dia selesai mengobati lukaku dan dengan sigap menarik tanganku untuk kembali berdiri. Tangannya langsung melingkar di pinggangku seperti dia tahu jika aku pusing dan bisa saja jatuh.
Kami kembali ke mobil bersama beberapa saat kemudian
***