Juni 2013
5
Seminggu berlalu sejak KMB 2 versi ngada-ngada, aku sendirian mengantarkan Lusi ke Bandara karna Paman sibuk menyiapkan soal ujian dan Bibi sibuk arisan. Kami berdua naik taksi mengingat banyaknya barang yang dibawa Lusi.
Lusi menggandengku terus selama di mobil sambil senyum-senyum memandang kaca, seperti dia merasa akan sangat bebas nantinya. Aku tak mengajaknya mengobrol, hanya membiarkannya menikmati suasana kepergian dengan cerita yang tersusun di otaknya pada setiap sudut kota ini.
Sampai di Bandara aku membantunya menurunkan barang dan menemaninya masuk.
“Kau yakin bisa hidup tanpaku ?” kataku
“Ragu sih,” Lusi ketawa
“Aku tak yakin,” dia memelukku
“Aku enggak bakal pulang sebelum satu tahun, Dea” ada jeda di sana “jaga mama papa, ya?”
“Hem,” kutepuk punggungnya pelan
“Yaudah, aku pergi.”
Lusi berlari kencang, aku hanya melihatnya masih di tempat yang sama. Dia berbalik
“Aku janji, Dea” katanya,
“Iya, pergi sana,” dia ketawa lagi.
Aku tau dia akan menangis mangkanya lari, setelah satu helai rambutnya tak terlihat lagi baru kuputuskan kembali masuk ke taksi.
“Dasar miskin! Sok-sok-an nyuruh aku nunggu lama-lama,” kata Pak Sopir, aku hanya menatapnya sesaat.
“Apaan si, Pak?!”
“Kalian berdua itu miskin kan? Sok-sok-an nyuruh nunggu, nanti dak mampu bayar!”
aku keluar dari mobil membanting keras pintunya.
“Orangtua aja kau, Pak!” kusodorkan dua lembar seratus ribuan yang sudah terhitung 4x lipat dari kargo pembayaran yang terpasang di mobilnya. Dia diam, aku pergi memutuskan naik ojek saja.
Jujur rasanya aku teramat sangat benci dengan orang yang menilai orang lain lebih rendah dari dirinya, tapi karena dia jauh lebih tua dariku mangkanya masih kubiarkan.
Lain dari sopir taksi, ojek yang kunaiki sangat baik dan kurasa ia—saat sekolah dulu—sering mengikuti seminar pelopor keselamatan berlalu lintas.
“Terobos saja lampu merahnya, Pak!” kataku, dia marah dan bilang
“Dak boleh nyerobot jalan orang, Dek. Bukan cuma kita yang punya tujuan, merekapun sama, malah mungkin mereka lebih mendesak. Nanti juga lampunya bakalan hijau, kita tunggu aja dulu.”
Kata-katanya membuatku bungkam dan merasa seperti orang paling berdosa di dunia ini. Benar kata Pak Ustadz, di dunia ini masih banyak orang baik, contohnya tukang ojek yang mengantarku pulang.
Dua atau tiga kilometer dari Bandara, kutatap sebuah rumah takut-takut. Hawanya tak enak dan itu adalah rumahku. Tempat yang sebentar lagi akan kutinggali sendirian. Setelah tak tampak lagi kupalingkan wajah ke punggung tukang ojek dengan napas yang tiba-tiba terasa sesak.
Aku sampai di rumah Paman satu jam kemudian karena macet.
*****
6
Seharusnya aku pindah saat Lusi pergi kemarin tapi barang-barangku belum siap dikemas, terkadang aku menemukan kaos kaki hanya sebelah kanannya saja dan kadang baju tidur hanya celananya saja. kejadian seperti itu berlaku untuk semua barang berpasangan yang ingin kubawa.
Sore ini aku sedang berbaring di kamarku yang sangat berantakan ketika Paman menggedor pintu.
“Dea?” kata Paman
“Hem?”
“Jalan-jalan sore, yuk?”
“Malas, Paman.”
“Sebentar saja,”
Aku keluar dari kamar dengan jaket dan jepit merah besar. “Yaudah, ayo?” kataku menyerah.
Paman memimpin jalan keluar untuk mengambil motornya. Kami hanya diam di perjalanan. Tak tau Paman ingin kemana sore ini.
Kami berhenti di toko boneka dan turun di sana, aku mencolek lengan Paman jail.
“Paman ingin membelikan Bibi boneka ya?” godaku
“Hush! Kau ini, Dea, Bibimu itu mana suka boneka, dia lebih suka kuali”
“Jadi ngapain kesini ?”
“Tunggu aja,”
Paman mengambil HP dan menelpon seseorang, tak lama keluar Bapak-bapak gendut dari toko. Mereka cukup akrab dan banyak bicara seperti sudah lama tak bertemu.
“Ini, Dea?” tanya Bapak gemuk tadi, aku mengangguk, “Panggil saja aku Pakde Paijo” katanya lagi,
“Dia ini guru matematik di tempat Paman mengajar, Dea” kata Paman, aku menyeringai sambil mengangguk-angguk.
Setelah itu aku terperangkap dalam percakapan Pakde-Paman itu, hanya tersenyum sesekali lalu mengangguk.
“Paman, kok kalian kayak sudah lama enggak ketemu padahal tempat kerjanya sama? Ngobrol terus?” tanyaku di perjalanan pulang,
“Nanti kalo kamu sudah nikah, Dea. Pasti bakalan banyak ngomong kayak gitu,”
“Belum tentu, jangan nyama-nyamain aku dengan Paman deh,” Paman ketawa,
“Terus kenapa harus ngajak aku kalo cuman pengen jadiin aku penonton obrolan kalian?”
“Paman sengaja ngajak kamu, Dea. Kamu bilang mau kerja dulu jadi Paman cariin. Di toko boneka kerjanya juga enggak berat cuman bungkus boneka dan jam kerjanya hanya dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore, minggu depan kamu udah bisa kerja di sana,”
Aku diam, tak menyangka jika Paman memikirkanku sebegitunya.
“Dea, nanti kalo terasa sangat berat tinggal sendiri, jangan segan buat main-main ke rumah paman, ya? ” ada nada parau menemani percakapan ini
“Iya, Paman. Makasih,” kataku pelan
Kupegang jaket Paman dari belakang meski kecepatan motor tak terlalu kencang, rasanya aku ingin lama-lama begini. Mencium aroma Paman yang tersapu angin.
***
11
Lima hari berselang, aku akan segera pindah meski kaos kaki sebelah kiriku tak ketemu ataupun baju tidurnya hanya celana saja. Suasana di rumah Paman—sejak Lusi pergi—jadi tak enak, setiap aku mengemas barang, si Paman dan Bibi bertingkah seperti dunia akan berakhir di hari minggu.
Pokoknya aku akan pindah besok. Dan malam ini aku akan tidur cepat supaya bangun pagi-pagi sekali.
****
12
“Dea?”
Cahaya menembus gorden kamarku, kulihat jam menunjukkan pukul 08.49 WIB. Aku yang baru bangun langsung duduk di atas ranjang. Mengamati sekitar kamar yang sudah kutinggali selama 17 tahun lebih.
Ventilasi yang berdebu dan tulisan dea <3 samsul yang kutulis saat kelas 3 SD tiba-tiba kembali terlihat di dekat lemari baju dan sukses membuatku tertawa pelan. Samsul adalah Pamanku, Ayahnya Lusi, sekaligus suami si Bibi. Dulu aku sangat nge-fans dengannya.
“Dea? Turun!” suara lelaki agak berat, itu... Paman!
Deru mobil pick up terdengar di luar rumah, kuambil jaket dan aksesoris rambut berwarna hijau lumut lalu mengenakannya.
“Iya, sebentar,”
Kuangkat koperku yang berat sendirian keluar dan memberikannya ke sopir mobil pick up itu, Paman sedang ngopi di teras dan bibi sedang di dapur.
“Sudah mandi, Dea?” tanya Paman,
“Belum,”
“Kau jangan mentang-mentang dak ada yang ngawasin lagi malah enggak mandi-mandi nanti ya!”
“Wah, ide bagus tuh!” aku menyeringai dan pergi ke dapur
“Bi?”
“Kamu enggak sarapan dulu, Dea?”
“Enggak ah, Bi,”
“Yaudah, ini sudah Bibi bungkusin,”
Kulihat banyaknya rantang yang sudah tersusun rapi di atas meja, sebenarnya aku tak keberatan menghabisi semuanya tapi masakan Bibi berbau santan semua dan takkan bertahan lama malah jika kubawa nanti akan jadi basi dan sia-sia.
“Jangan banyak-banyak, Bi, satu aja,” kuambil satu rantang dan berjalan keluar diikuti Bibi,
“Tak perlu diantar, Dea?” tanya Paman,
“Enggak usahlah, dak muat, Paman,” menunjuk jok depan yang akan diisi sopir dan aku.
“Ini uang buat bertahan hidup, Dea” Bibi memberikan amplop padaku,
“Berasa baru hajatan aja dibungkusin makan dan dikasih amplop” Paman dan Bibi tertawa,
“Yaudah aku pergi, ya?”
Aku berjalan perlahan dan membuka pintu mobil sebelah kiri lalu masuk, tak lama sopir sudah melajukan mobil menjauh dari rumah Paman. Kulambaikan tangan dan mengeluarkan kepala dari kaca mobil. Paman dan Bibi tak beranjak dari teras sama sekali sampai mobil yang membawaku leyap dari lorong.
Pak sopir tidak terlalu banyak bicara, tapi dia memerhatikan rantang yang kutaruh di tengah-tengah kami terus-menerus, mungkin dia lapar, tapi hanya inilah makanan rumah terakhir yang mungkin akan kucicipi mengingat aku tak bisa masak sama sekali, kugeser rantangnya perlahan ke tangan kiriku, dekat pintu mobil, diapun sepertinya sadar dan kembali fokus ke jalan.
Jam 10.02 kami sampai dirumahku, Pak sopir mobil pick up langsung pergi saja setelah menurunkan barang di halaman. Mungkin dia buru-buru mau cari makan di jalan ataupun di rumahnya.
Kulangkahi koper yang tergeletak dan mengambil kunci dari saku, membuka pintu rumah perlahan. ‘aku pulang’ batinku
Saat pintu terbuka ada foto Nandito dan Desi berukuran sangat besar menyambutku, sepertinya foto itu diambil saat mereka masih pacaran karna di sana mereka sedang saling rangkul dengan seragam khas anak sekolah. Kuangkati koper masuk kedalam rumah satu persatu.
Sebenarnya kepindahanku tak serepot pindah rumahnya orang lain, tak ada ranjang ataupun lemari yang harus dibawa. Hanya baju dan perlengkapan pribadi saja. Si Bibi yang mengatur semuanya terutama warna kuning kesukaanku yang dominan di setiap ruangan, kurasa dia ingin aku betah di sini dan tidak mengganggu bulan madu keduanya dengan Paman.
Kukunci pintu dari dalam lalu berkumpul dengan barang-barang yang tergeletak diruangan pertama. Aku belum tahu kemana saja barang ini akan diletakkan jadi aku memilih makan terlebih dahulu, hanya beberapa saat semua makanan yang berbau santan habis ludes menyisakan rantang kotor yang sengaja kutaruh di sudut ruangan.
Merasa sudah kenyang aku berdiri dan mulai menelusuri rumah ini perlahan.
Dilantai dua ada dua kamar tidur, satu kamar mandi terpisah dan satu ruang keluarga. Dilantai satu ada satu ruang tamu dan satu ruang TV yang kemungkinan besar akan sering kutempati untuk menonton melodrama korea di DVD ataupun laptop, satu kamar tidur yang menyatu dengan satu kamar mandi sekaligus dan mengarah ke belakang, ada dapur dan kamar mandi tamu.
Saat berada di belakang, aku berdiri tepat didepan sebuah pintu, sulit sekali membukanya tapi akhirnya berhasil juga terbuka. Pintu itu mengarah langsung ke halaman belakang. Ukurannya sekitar 4x6 meter dibatasi dengan pagar kayu keliling, ditumbuhi rumput jepang yang tajam dan di tengahnya ada pohon besar dan pendopo tanpa atap dibawahnya.
Itu pohon Mahoni biasanya tumbuh di pinggir jalan sebagai penghias kota dan buahnya mampu mengobati malaria, Paman yang memberi tahuku, dulu saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Kudekati pohon itu perlahan dan duduk di bawahnya, tak butuh waktu lama untukku sampai akhirnya terlelap dalam tidur nyenyak tanpa mimpi.
***
Aku terbangun hampir jam dua siang dan kembali masuk ke rumah, kuputuskan untuk mulai menyusun barang-barangku ke kamar yang berada di lantai satu karena lebih dekat dan ada kamar mandinya.
Baju-baju kususun di lemari, aksesoris warna-warniku yang banyak kususun di depan meja rias. Barang-barang yang di sana dan mengganggu kupindahkan ke kamar yang di lantai dua. Semuanya selesai setelah jam 5 lewat.
Tok tok...
Aku yang semula sedang berbaring karna lelah langsung berdiri “Sebentar!” kataku
“Dek dea?”
“Mang Aris? Ada apa?”
“Ini disuruh Bapak ngantarin motor,”
“Oh makasih, Mang. Mampir?”
“Enggak, Dek. Langsung pulang aja,” Dia menunjuk langit sore yang sudah jingga
“Oke, Mang.”
Mang Aris adalah tetangganya Paman, meski rumahnya rada jauh tapi masih tetap se-RT dan dia sering ngambil kangkung di payo-payo belakang rumah Paman. Dia suka tolong-tolong, mau bantu kalo di minta, dan juga warga paling rajin di RT.
Pintunya kututup kembali setelah Mang Aris benar-benar pergi.
Kutaruh kunci motor di laci lemari dekat pintu lalu bergegas mandi.
***
Lapar. Aku sangat lapar. Aku sangat lapar sampai bisa memakan Gubernur beserta wakilnya lalu mati dibunuh rakyat satu Provinsi karna membunuh pemimpinnya. Tidak! Aku tak mau mati begitu! Inginnya mati romance, aku dan seorang lelaki berpelukan menunggu jemputan ajal.
Jam menunjukkan pukul 21.37 WIB saat kuputuskan untuk melajukan motor mencari makan, pencarian berhenti di Minimarket depan toko boneka Pakde Paijo—tempatku akan bekerja—sekarang sudah tutup karna bukanya hanya dari pagi sampai sore.
Dengan santai kulangkahkan kaki memasuki Minimarket itu dan membeli satu cup mie instan, untung saja di teras Minimarket sudah tersedia dispenser jadi aku tak perlu pulang. Setelah mencampur air panas ke dalam cup mie, aku duduk di kursi dan meja yang disediakan dan menunggu tiga menit sampai mie-nya matang.
Tadi aku sempat berpikir kenapa harus susah-susah begini? Kenapa tak langsung beli makanan siap saji ataupun sekedar bakso dan sate? Tapi sekarang aku tinggal sendiri dan Bibi tak memberikanku banyak uang jadi harus berhemat dan aku juga belum kerja.
Motor dan mobil lalu lalalng di jalan, aku yang sendirian tetap saja makan dan meskipun terdengar seperti dilebihkan, aku tetap akan bilang jika mie cup instan yang baru selesai kumakan rasanya sangat enak.
Sebelum pulang kuputuskan untuk belanja beberapa sembako seperti telur, gula, garam dan semua jenis mie instan masing-masing satu. Ada satu mie yang sepertinya tak ikhlas untuk kubeli, dia sangat tinggi, akupun sampai berjinjit dan lompat-lompat.
Satu tangan lurus ke atas mengambil mie itu, lalu tersenyum.
“Biar kubantu”, katanya
“I-iya,” kupandangi nametage di dekat saku kirinya Devin batinku dalam hati.
“Kalo di sini bisa kok minta bantuan pramuniaga atau karyawan lain buat ngambil barang yang tinggi,” Dia menaruh mie ke keranjang belanjaanku,
“Iya,” dia pergi ketika aku mengangguk sopan.
Setelah salah seorang karyawan Minimarket yang lain mengangkat beras ke motorku, kupandangi punggung lelaki yang bernama Devin tadi lalu pulang.
Itu adalah minggu kedua di bulan Juni ketika aku yakin sudah menemui jodohku yang memiliki senyum manis dan sejuk seperti dikirim langsung dari surga. Devin.
***
13
Pakde Paijo sedang berkacak pinggang di depan toko bonekanya saat aku baru sampai, dengan sopan kakiku melangkah menghampirinya.
“Dea! Kau ini terlambat!” katanya
“Iya, Pakde,”
“Oke, kali ini Pakde maafkan karna sedang buru-buru, ini kunci toko,” kuambil kunci dengan dua tangan, dia berjalan ke motornya yang terparkir di sebelah motorku.
“Dea, semangat kerjanya!” teriak Pakde sambil mengepal tangan ala orang sedang menyemangati,
“Siap.” aku hormat ala patriot ke atasannya.
Pakde Paijo melaju dengan cepat melawan udara segar pagi hari dengan knalpot berasap penyebar polusi, si Vespa kesayangannya.
Aku tak berniat terlambat sama sekali, kucoba tidur beberapa kali semalam tapi sulit. Terkadang manusia hanya bisa mencoba, yang menentukan semuanya tetap Tuhan dan atas ketentuan Tuhan... Aku kesiangan! Tapi ada bagusnya, saat ini si Devin sedang membersihkan parkiran Minimarket yang penuh dengan bungkus cup mie instan. Dia terlihat seperti calon suami yang baik, rapih dan pembersih, kurasa kami cocok.
Sangking terpesonanya dengan Devin, aku yang semula berdiri sekarang sedang dalam posisi jongkok menggigit jari kelingking sebelah kanan. Dia yang tadinya sibuk dengan gerakan sapu-serok-sapu-serok tiba-tiba diam mematung menatapku dari seberang. Aku langsung berdiri dan dia tersenyum lalu masuk ke Minimarket. Akupun juga langsung bergerak mendekati pintu toko boneka Pakde Paijo.
Kerja di toko boneka tidaklah sulit, selain melayani pembeli aku hanya membalikkan tanda tutup jadi buka di pintu, membersihkan kaca, menyapu dan mengepel setiap paginya. Setelah semua kegiatan bersih-bersih selesai, aku hanya akan duduk di belakang meja kasir menunggu pembeli.
Sudah hampir siang saat seorang lelaki akhirnya melewati pintu, dia menggunakan baju kaos berwarna biru dan topi hitam polos. Aku tak melihat fasih wajahnya karena dia sedang menunduk seperti akan membuka sepatu. Baguslah dia sadar aku baru bersih-bersih.
“Mau cari apa, Kak ?” tanyaku. Dia mendongak, wajahnya tampan dengan kulit putih yang merata keseluruh tubuh,
“Bunga,”
Aku yang awalnya tersenyum jadi sedikit cemberut, kuharap manusia macam dialah yang dibunuh pendekar 212 sebelum aku lahir,
“Maaf, Kak. Di sini toko boneka ada papannya ‘kan di luar?”
“Oh iya, aku beli itu,” dia menunjuk kearah sebelah kanan tapi masih menatapku,
“Boneka monyet?” tanyaku, dia mengangguk.
“Dibungkus ?”
“Enggak,”
“50.000 ya, Kak.” dia menyodorkan uang pas dan mengambil boneka monyet yang kupegang lalu pergi setelah menatapku dalam.
Kadang memang ada hal yang begitu di dunia ini, seseorang yang memiliki kelebihan fisik rupawan tapi ternyata rada aneh.
Selain dia, ada beberapa lelaki lagi yang membeli boneka hari ini, tapi yang cukup berkesan adalah pelajar SMP yang datang setelah si aneh.
“Kak, boneka yang disukai cewek pendiam yang mana ya?” tanyanya beberapa waktu lalu,
“Cewek pendiam? Maksud kau apa? Tak ngerti aku!” kukatakan saja begitu. Dia terkekeh malu-malu,
“Eh kau lagi naksir cewek ya? Siapa namanya?” sambungku curiga,
“Gu-gusti, Kak.”
“Oke, namanya Gusti. Saran aja ya, Kakak ‘kan cewek nih” kubaikan kerah jaketku “cewek tuh ndak suka di kotak-kotakin gitu, yang pemarah, yang pemalu, yang pendiam. Ah tak suka dia!”
“Hehe iya, Kak. Kira-kira yang Gusti suka apa ya?”
“Kira-kira yang Gusti suka apa ya?” aku mengulang kata-katanya lagi perlahan dengan nada menyindir, dia terkekeh.
“Yang itu, Kak.” mataku mengarah pada boneka yang dia tunjuk, Patrick, sebuah tokoh kartun yang ada di film Spongebob Squarepants.
“ITU YANG GUSTI SUKA” lanjutnya
“Oh yang itu,” godaku kembali membuatnya terkekeh.
“Dulu pas kelas satu, ada teman di kelas yang jualan pembungkus pena trus Gusti pesan yang bentuknya Patrick sampai sekarang enggak siap-siap padahal kami sudah mau kelas tiga” dia menelan ludah tanda kecewa “aku tanya sama teman yang jual tapi diam-diam katanya bahan buat pembungkus pena bentuk Patrick udah habis,”
“Oh gitu,”
“Enggak lama ini, si Penjual bilang ke Gusti kalo pesanannya dibatalin aja, trus Gusti kecewa banget,” curhatnya membuatku refleks menepuk kepala si Bocah yang sedang jatuh cinta itu.
Akhirnya dia pergi setelah membeli satu boneka Patrick berukuran besar dengan uang receh yang membuatku merasa diuji kemampuan hitung-hitungan.
Setelah jam lima sore aku menutup toko. Pakde Paijo bilang, selama aku yang jaga toko, kunci biar aku saja yang pegang supaya lebih gampang karena dia juga punya pekerjaan sebagai guru yang membuatnya tak bisa mengontrol dan menungguku setiap pagi.
Aku membeli peniti di Minimarket depan sebelum pulang tak tahu untuk apa, mungkin sebagai alasan untuk melihat Devin dari dekat.
***
20
Seminggu berlalu...
Lelaki tampan yang membeli boneka monyet—si aneh—selalu datang ke toko sejak aku mulai bekerja di sini. Seperti pertama kali, dia akan menatap dari ambang pintu toko menunjuk kesegala arah sambil menatapku dan satu hal yang membuatku tambah yakin jika dia itu aneh adalah boneka yang dia tunjuk selalu boneka binatang! Lebah, Semut dan yang terakhir Gajah.
Mungkin, dia ingin membuat kebun binatang boneka. Atau dia adalah playboy yang tak kreatif karena membelikan pacar-pacarnya boneka yang sejenis dan mungkin juga tahun ini memang tahun hewan baginya. Aku tak peduli!
Banyak lelaki tampan yang ke toko setiap harinya meski tak sesering si aneh, kurasa itu wajar dan akupun senang-senang saja mengingat dari setiap pembelian boneka aku akan diberi royalti 1% dari harga normal.
Sejak aku mulai bekerja di toko boneka, Biasanya sehabis kerja aku akan mampir ke Minimarket, membeli sesuatu yang jadi alasan untuk melihat Devin, dari pembalut sampai cucuk gigi. Tapi entah mengapa, hari ini aku begitu rindu dengan Devin padahal baru tengah hari.
Kuputuskan untuk membalik tanda buka di pintu jadi tutup sementara waktu dan kuharap Pakde Paijo tak tahu akan hal ini.
Langkahku begitu cepat meski seperti menari-nari, tak kupedulikan motor-motor yang lalu lalang di jalan tetap saja menyeberang dengan centil. Kubuka pintu minimarket dengan kuat, kasir yang bertugas sepertinya terkejut dan menatap sinis. Kuperbaiki pita kuning besar berbentuk bunga mawar di rambut bagian kiriku dan menarik napas tenang.
Kuputari seisi Minimarket dan behenti di deretan sabun yang belakangan dengan deretan aksesoris tempat Devin berdiri. Dan di dekatnya ada seorang perempuan berambut panjang ikal yang dari nametag di saku kirinya kuketahui bernama Nisa.
“Nis, kau jarang pakai aksesoris?” tanya Devin,
“Aku enggak suka, Vin.” Devin yang sedang memegang gelang warna-warni menyusun gelang itu ke bagian atas rak,
“Aku juga enggak suka, Nis. Cewek yang hobi pakai aksesoris warna-warni,”
“Kenapa, Vin?”
“Terkesan kayak anak-anak aja,”
Aku terdiam sejenak lalu bergegas keluar dari Minimarket setelah membeli permen karet di deretan kasir.
***
Malam hari sehabis makan,
Kutarik drum sampah ke halaman belakang agak jauh dari pohon Mahoni, kupenuhi drum itu dengan semua aksesoris milikku. Membasahi semua dengan minyak tanah dan membuang api kedalamnya.
Sedih sekali malam ini, semua aksesoris yang kukumpulkan dari SD hangus terbakar. Semua jadi debu dari bando, jepit, gelang bahkan ikat rambut. Yang tersisa hanya satu anting titik hitam kecil di telingaku.
‘Tak apa! Ini demi, Devin.’ batinku
***
21
Paginya, si aneh datang seperti biasa, hanya kali ini dia benar-benar mematung di pintu,
“Mau beli apa, Kak ?” kataku ramah
“Kau tak pakai aksesoris lagi?”
“Enggak, ngerasa kekanak-kanakkan aja”
“Manis, kelihatan lebih natural,” katanya.
Aku mendehem keras dan memalingkan wajah, ternyata pemikiranku tentangnya benar! Dia playboy! Baru kenal denganku beberapa minggu saja sudah berani gombal.
“Jadi mau beli apa?” cetusku keras,
“Itu” dia menunjuk ke arah rak boneka sebelah kiri, kupasati benar-benar arah tangannya
“Paus Orca?”
“Iya,”
Dia selalu jawab iya padahal selalu hanya menatapku bukannya barang yang ingin dia beli, kuhampiri si Paus Orca dengan malas dan ternyata letaknya sangat tinggi dan tak sampai meski aku sudah berjinjit. Kupalingkan wajah ke arahnya, memberi kode dan dia mengerti.
“Biar kuambil sendiri saja,” mengambil Paus Orca yang tepat di atasku “berapa?”
“100.000,”
Dia menyodorkan uang pas, berjalan ke pintu menatapku dalam dari sana lalu pergi.
***
Jam 11.04 WIB,
Ini adalah waktu di mana toko sedang sepi-sepinya, biasanya aku akan duduk manis di belakang meja kasir menatap ke arah pintu kaca toko. Memerhatikan Minimarket tempat Devin bekerja.
Dan seandainya ada hal yang membuat Devin berada di luar Minimarket, entah itu mengangkat barang pembeli ataupun dia harus bersih-bersih parkiran, aku akan langsung keluar menjadi sok sibuk di teras toko.
Tapi hari ini beda, kulihat ada seorang bocah SMP yang berdiri di seberang toko boneka, baju beserta rambut dan wajahnya sangat kusut. Sepertinya ini siswa Paman yang dulu suka cari masalah, kupasati betul-betul raut mukanya yang sedikit demi sedikit terlihat makin jelas karena dia berjalan lurus dan akhirnya masuk ke toko.
Bocah yang dulu beli boneka Patrick dan suka dengan Gusti!
Dia berdiri persis di depanku, wajahnya merah dan dia menangis sesenggukan, aku yang tak tahu apa-apa hanya diam memerhatikan, tak lama dia mengambil posisi duduk di depan meja kasir. Otomatis kami sedang berhadapan sekarang.
“Kau ini kenapa datang-datang nangis ?” kataku, dia diam.
“Diam dulu kau tuh! Cerita,” dia makin menangis bahkan sampai berteriak menjambak rambutnya sendiri
“Tenang, Iblis!” teriakku memukul kepala bagian kirinya
“Gu-sti kak” katanya terbata “dia sudah punya pacar” lanjutnya,
Aku diam tertegun, ternyata bocah ini sedang patah hati. Kubiarkan saja dia menangis karena terkadang menagis itu perlu untuk melegakan hati yang hancur. Di antara jeda yang panjang ini kuambil tisu dari laci dan memberikannya ke si Bocah, lama sekali akhirnya dia mulai bicara lagi.
“Minggu lalu, saat aku kasih dia boneka Patrick, dia sangat senang dan kami mulai jadi akrab,” katanya sedikit tersenyum seperti ada rasa manis di kata terakhir.
Aku diam,
“Lalu setelah sekian lama, akhirnya dia menerima pertemananku di Facebook, aku sangat senang sampai stalking dia terus,”
“Nah terus?”
“Semua tentang dia di Facebook lucu-lucu, sampai ada laki-laki yang nge-tag foto dengan posisi sok imut megang boneka Patrick dengan caption : Thanks Honey, happy anniv yang kedua ya... Aku sayang kamu mmmuuaacchhh, ”
Dia menyembunyikan wajahnya di antara lengan yang dipapah meja, aku tahu pasti dia sedang nangis lagi.
“Awalnya aku enggak percaya gitu aja, Kak. Sampai Gusti komen di foto itu juga : Iya sama-sama, kuharap kamu suka sama boneka Patricknya ya sayang i love you mmmuuaacchh,” mengambil tisu dan mengelap wajah lagi dan lagi
“Dia kasih boneka yang kuberi padanya ke cowok lain” tangisannya pecah lagi.
Aku mendehem pelan, mengusap bahunya perlahan. Baru pertama kali aku melihat lelaki menagis karena wanita dan ternyata separah ini. Dengan sadar ataupun tidak, tiba-tiba aku jadi benci dengan Gusti.
“Kok ada laki-laki senang dikasih boneka ya? Patrick pulak! ‘kan jadi terkesan idiot dan gila gitu atau jangan-jangan emang tuh lanang rada gesrek? Hahaha” kataku tertawa dibuat-buat
dia tersenyum sebentar lalu cemberut lagi,
“Gusti kasih dia Patrick karena menurutnya lelaki itu lucu dan setia,”
Dia menatap jari tangannya yang belang itu seperti ingin mengupas kukunya satu persatu.
“Sabar ya, masih banyak cewek lain di luar sana, kau masih muda. Gusti dak ada apa-apanya,” kataku, dia berdiri cepat menghentak meja
“Kakak ndak boleh ngomong gitu tentang Gusti!!”
“Iya- iya maaf,” aku menariknya untuk kembali duduk “jadi kau mau apa? Ngerusak hubungan orang?”
“Aku ndak bakal gitu, Kak, aku pusing mangkanya aku minggat,” aku berdiri tiba-tiba, dia terkejut,
“Kau ini! Capek-capek Mamak sama Bapak kau nyekolahin kau! Taunya kau minggat!! Mau jadi apa kau, hah?”
Suaraku yang membesar refleks ternyata terdengar sampai keluar, satu polisi datang ke toko. Polisi ini sedang beroperasi menangkap pelajar-pelajar yang minggat dan kebetulan sekali sedang berhenti di warnet sebelah.
Sambil diseret paksa Pak Polisi keluar, dia berteriak,
“AKU BAKALAN TETAP NUNGGU GUSTI, KAK!!”
Kuperhatikan dia fasih, sempat merasa bersalah dan kuikuti dia keluar toko. Mobil patroli Polisi sudah dipenuhi pelajar-pelajar minggat dan di sanalah dia dimasukkan, mobil mulai melaju dan dia yang disuruh duduk malah berdiri melihatku.
“INI PERJUANGAN!!!” katanya sambil mengepal tangan dan meninju ke udara, pernyataannya terdengar seperti orasi bagiku.
‘Ini perjuangan!’ ulangku dalam hati.
Aku juga harus berjuang demi cintaku ke Devin meski isi dompet semakin tipis tetap harus ke Minimarket melihat Devin.
***
Malamnya, aku baru saja selesai makan mie instant rasa kari saat telpon berdering. Dari 0823xxxxxxxx.
“Kau ini tak pernah di ajarin apa?! Kurang ajar!”
“Salam dulu kek langsung nyerocos aja,” kataku
“Oh iya, Assalamualaikum,” ulangnya lebih sopan.
“Wa’alaikum, kenapa ?”
“Kau kenapa pake ganti nomor segala? Lah ngerasa hebat kau? Untung aja kau kerjanya sama Paijo ya, begemana kalo kau kerja dengan Obama? Gimana aku mau cari nomor kau?”
Kupasati suaranya dan sadar jika yang menghubungiku sekarang adalah si Bibi (mamanya Lusi) dari kata begemana itu. Hanya Bibi yang punya dialek gitu.
“Kemarin kartuku ketumpahan air, Bi. Jadi mati. Nomor Bibi ndak hapal aku, jadi ndak nelpon,”
“Alasan saja kau, Dea! Bilang aja kau sombong mentang sudah kerja. Sok cantik kau!”
“Dea mah emang cantik, pintar, baik,” pamerku biar sekalian.
aku tertawa, Bibipun juga
“Sudah makan kau, Dea?”
“Sudahlah wanita karier ini, pagi makan rendang, siang makan soto, malamnya makan kari.”
“Sok-sok-an kau, Dea! Mano mungkin kau makan semua itu, masak aja enggak bisa, nak beli uang ndak ada, aku tau kau belum gajian ‘kan?”
“Nah jujur aku nih, aku sekarang makannya kayak gitulah tapi dalam bentuk mie instan haha..”
“Dasarlah kau nih, Dea!”
“Udah ya, Bi. Ndak boleh nelpon wanita karier malam-malam gini,” ingatku kembali pamer.
“Iya-iya, wanita karier, jangan begadang ya,”
“Sip,”
Kutekan tombol merah di layar hp setelah megucapkan salam, sebenarnya tadi aku berbohong tentang kartu yang kesiram air. Kartu lama kupatahin saat hari pertama meninggalkan rumah Paman. Bukan apa-apa, aku hanya tak ingin mereka(Paman dan Bibi) jadi manja dan kebiasaan menghubungiku terus menerus.
Setelah menonaktifkan handphone karena takut jika nanti Paman juga malah menelpon setelah tahu Bibi baru saja menelponku dan diangkat, kulangkahkan kaki ke ruang keluarga lantai dua dan memutar melodrama korea di sana.
***
22
Aku tak tahu semalam tidur jam berapa, tapi sepertinya setelah telponan dengan Bibi, aku sempat menonton empat atau lima episode melodrama korea dulu sebelum tidur. Intinya, pagi ini aku kesiangan lagi dan lagi, untung saja kunci aku yang pegang jadi Pakde Paijo tak tahu jika pekerjanya ini adalah orang yang bisa saja merugikan bisnisnya.
Dari jauh sekali saat masih di motor, aku bisa lihat ada seseorang yang menunggu di depan toko. Otomatis aku menambah kelajuan supaya segera sampai. Dan itu adalah Devin, dia tersenyum menungguku.
Ini seperti umpan balik yang benar-benar kuharapkan semenjak dulu, akhirnya Devin peka dan menghampiriku. Rasanya seperti mau pingsan tapi kutahan dulu, ini adalah hari yang baik untuk dilalui bukan dimimpikan tentunya.
“Mau lihat boneka,” katanya
“Oh iya, tunggu-tunggu”
Aku bergegas turun dari motor dan membuka pintu toko dengan tergesa-gesa. Lalu dia masuk dan aku mengintilinya dari belakang.
“Mau cari boneka yang mana?” tanyaku
“Yang imut dan manis ada?”
“Ada, ini,” kataku menunjuk wajah sendiri. Dia tertawa.
“Yang ini lucu,” katanya menunjuk boneka Teddy Bear coklat yang memegang hati merah bertulis I Love You.
“Iya, lucu,” kataku melihat wajah Devin,
“Kalo pesan ganti tulisan bisa?”
“Oh, bisa kok. Tapi harus nunggu dulu sekitar seminggu lebih,”
“Oh gitu, aku mau mesan yang ini,”
Devin menggoyang-goyang tangan boneka kearahku sebelum menaruhnya kembali ke tempat semula.
“Oke, tapi harus bayar uang muka dulu ya 30.000,”
“Oh iya,, ini,” menyodorkan uang pas pecahan 20 dan 10 masing-masing satu lalu memutar arah mau keluar,
“Eh-eh tunggu, tulisannya diganti apa?” dia tertawa seperti ada yang lucu dari pertanyaanku
“Kesayangan Annisa,”
Lalu buru-buru keluar seperti menari-nari girang, kutatapi punggungnya yang menjauh. Dia benar-benar keluar dari toko dan sekaligus dari hatiku.
Si aneh hari ini juga datang membeli boneka binatang labi-labi dengan tingkah anehnya yang biasa, tapi aku tak ingin membahas apa-apa selain hatiku saat ini yang sedang hancur, remuk dan sempoyongan.
Mungkin terdengar mudah sekali saat aku bilang dia keluar dari hatiku, tapi percayalah ini sakit sekali, sampai aku tak beranjak dari tempatku berdiri tadi dan masih dengan uang muka untuk pesanan boneka Devin yang semakin lecek di genggaman tangan kananku.
Bukan tak mau berjuang demi cinta, bagiku saat seseorang yang kupilih ternyata memilih orang lain maka semua cerita kami berakhir di sana. Meski nanti akan butuh waktu supaya benar-benar lupa tentangnya.
***