Bunda benar-benar menungguiku layaknya Chef Kepala di dapur yang mengawasi anak magang membaca resep agar tidak berbuat kesalahan sepele. Beliau memperhatikan satu persatu semua bahan yang aku persiapkan di atas meja.
Daripada salah—karena kalau salah, biasanya Bunda tak akan segan mengkritik pekerjaanku habis-habisan—maka aku baca sekali lagi resep klasik ini dengan teliti.
Unsalted butter 100 gram. Ok. Masih dingin, baru keluar dari lemasi es. Aku lelehkan.
Telur 110 gram. Sudah aku timbang. Jadi kira-kira dari dua butir telur ukuran sedang, begitu kata Bunda.
Oke lanjutkan membaca resep.
Madu 20 gram. Siiip.
Tepung protein rendah 110 gram. Kata Bunda biar kuenya lembut. Noted !
Perasaan jus lemon asli 15 gram. Segeerrrr. Aseeem. Air liurku langsung ngences.
Kulit lemon. Nanti aku parut dan campur sama gula. Haruuuum.
Tepung gula 75 gram.
Terakhir kacang almond untuk dekorasi.
Resep klasik ini dihadiahkan Bunda untukku karena aku doyan makan ini dari kecil. Pertama kali lidahku menyentuh kue ini waktu ulang tahunku yang ke lima. Dan sejak saat itu aku jatuh cinta pada lemon cake buatan Bunda. Ledakan rasa manis, asam, dan harum butter yang seimbang menyeruak di lidah dan aku ingin makan lagi, lagi, dan lagi. Gara-gara lemon cake inilah aku mulai tertarik menyaksikan dan merekam bagaimana Bunda mempersiapkan kue lezat itu dari nol hingga di panggang.
Sepertinya, aku mulai memercayai kekuatan genetik dari Mama: lemon cake, dan bakat patiseri.
Kini, disaksikan mata jeli Bunda, aku tengah mereplika kue lemon favorit sepanjang masa Mama dan aku. Semoga dengan kue ini, aku mempunyai kesempatan untuk berdekatan dengan Mama. Bagaimana bisa? Nanti kalian akan tahu jawabannya.
“Jangan sampai bagian putihnya terparut, Na.”
“Baik, Nda.” Aku parut hati-hati kulit lemon ini. Setiap bagian kuningnya sangat berharga. Jadi, jangan sampai ada yang terbuang. Lalu aku campurkan ke dalam gula supaya aroma lemonnya tersimpan di antara butiran gula itu.
Ketika aku mengocok campuran gula, madu, dan telur di atas panci berisi air panas, Bunda semakin memperhatikan kerjaku.
“Na, cek terus suhu telurnya. Periksa berkala supaya suhunya jangan sampai lewat empat puluh derajat.”
“Baik, Nda,” kataku patuh.
Campuran telur, madu, dan gula tadi aku kocok hingga mengembang, berubah warna menjadi pucat, dan bila di tetes membentuk pola zig zag, tapi pola tadi segera menghilang di atas permukaan adonan. Istilahnya kental berjejak. Ini konsistensi yang aku inginkan. Kemudian, aku masukkan tepung sambil diayak.
“Na, ingat, jangan aduk sembarangan. Harus di aduk lipat ya.”
“Iya, Nda.” Aku praktekkan apa yang telah Bunda dan sekolah tata boga ajarkan padaku saat menempuh tiga tahun pendidikan di sana.
Butter yang aku lelehkan tadi segera di homogenkan alias di campur dengan adonan tepung dan telur tadi.
Selesai. Adonan dimasukkan ke loyang yang sudah diolesi butter, dan dimasukkan ke dalam oven yang sudah dipanaskan terlebih dahulu.
Setengah jam kemudian, kueku jadi. Permukaan kue yang datar dilumuri dengan tepung gula yang dicampur dengan air perasan lemon. Terakhir, dihias dengan taburan cincangan kacang almond, kesukaan seseorang yang berada di Bukittinggi sana.
Memangnya aku mau memberikan kue fresh from the oven ini untuk Mama? Enggak. Aku hanya latihan, sekaligus menyempurnakan skill membuat kue lemon untuk ujian masuk The Lemon Tea Bakery lusa nanti.
Bingung?
Sini aku jelaskan. Berkat info loker Bang Ghani, aku memutuskan memasukkan lamaran di toko kue Mama. Modal nekad sih sebenarnya. Tapi.... AKU BERHASIL. YESSS. Bunda malah seneng banget dan mendukung keputusanku.
Sayang, aku harus mengucapkan selamat tinggal kepada The Leisure Treasure Bakery milik Chef Aresta Dian Sasongko. Padahal masuk ke sana dan di bimbing langsung oleh beliau adalah impianku. Hiks. Aku sedih. Kan, belum tentu aku diterima oleh Mama. Namun, aku tidak akan tahu kalau tidak mencoba, kan?
Apakah Mama menerima lamaranku karena tahu aku adalah anaknya? Tidak. Itu karena Mama ternyata melarang Bunda mengirim fotoku. Pssst, Mama bahkan enggak tahu namaku. Mungkin, kalau Mama tahu aku adalah anaknya, surat lamaranku akan berakhir di tong sampah bahkan sebelum amplopnya dibuka.
Terus kenapa lo masih mau ngejar mama lo, Oneng?
Entahlah. Aku enggak berharap mama akan mengenalku apalagi menyukaiku, karena aku tahu 99,99999 % Mama telah membenciku sejak lahir hingga sakarang. Aku hanya ingin bertemu langsung dengan Mama. Menatap wajah Mama, mendengar suaranya, dan mungkin sedikit menonton demonstrasi kelihaiannya sebagai chef pastri di dapur. Sebut aku naif atau bodoh saja sekalian karena rencana ini sangat tidak dewasa dan tidak masuk akal. Dan bisa saja Mama akan mengusirku bila aku ketahuan. Darah daging yang dibencinya menyusup ke tokonya!
But hey! Masih ada 0,00001 % lagi, kan?
Bunda menatap kue hasil buatanku dengan bangga. Beliau berulang kali memutar kue lemon dari berbagai sisi, lalu menjepret beberapa kali dengan ponselnya.
Daaaan, moment of truth. Rasa.
Satu potong mampir di mulut Bunda. Jantungku berdegup kencang, menunggu harap-harap cemas komentar Bunda setelah satu gigitan itu.
“Persiiis banget sama kue lemon yang Bunda buat. Nana akan menyukainya. Bunda yakin,” ucapnya pasti. Kobaran keyakinan di dalam mata Bunda menjelaskan semuanya, membuat aku ikut-ikutan yakin.
“Makasih Nda.” Sebuah pelukan erat aku labuhkan pada tubuh tua itu. Nyamannya. Namun, sebentar lagi aku akan berpisah dengan pelukan ini.
“Semoga dengan kue ini, dia bisa merasakan kehadiranmu, Na,” ucap Bunda dari balik bahuku, mengusap pelan punggungku.
“Aku harap begitu, Nda.”
“Bunda juga berharap dia segera sadar bahwa Nananya sudah besar dan tumbuh dengan baik.” Hatiku bergetar. Sebentar lagi aku akan bertemu dengannya.
“Aamiin.”
“Dan Bunda harap Nanaku membuka hatinya pada Nana yang sudah Bunda besarkan, didik, dan sayangi sepenuh hati ini.”
Tenggorokanku membengkak dengan desakan emosi yang luar biasa ini. Oh, Bunda. Aku semakin mengeratkan pelukanku.
“Dan ingat satu hal, anak muda!” Bunda menjauhkan diri, tapi beliau menahan tangannya di kedua bahuku. “Bunda selalu sayang kamu sampai kapan pun, walaupun kelak kita mungkin saja hidup berpisah. Bunda dengan hidup Bunda, kamu dengan hidup barumu bersamanya,” kata suara yang mulai bergetar.
“Bundaaa.” Aku mulai merengek dan terisak. “Nana sayang Bunda selamanya.”
Tidak pernah terbayangkan olehku, besok pagi aku akan berpisah dengan malaikat baik hati yang telah membesarkan gadis malang ini dengan kasih sayang tulusnya.
***
Selamat datang di Bukittinggi Kota Wisata. Tadaaaa.
Sejujurnya aku tak sempat ke mana-mana. Aku sampai di Bukittinggi kemarin sore, lalu langsung mencari penginapan yang telah aku pesan sebelumnya dari aplikasi, karena besoknya, which is hari ini, aku akan unjuk keahlian di dapur Mama.
Dan di sinilah aku. Duduk di kursi tunggu dengan dada berdebar menunggu giliran dipanggil ke dapurnya The Lemon Tea Bakery.
Mau mati rasanya.
Ehm, kata mati mungkin terlalu berlebihan. Baiklah akan aku ubah.
Mau pingsan rasanya.
Sungguh keterlaluan degup-degup jantungku berdisko. Padahal aku sudah berdoa pada Yang Maha Kuasa untuk diberi ketenangan ketika menginjakkan kaki di bangunan kecil ini. Mungkin grogi karena akan bertemu pemilik The Lemon Tea Bakery lebih dominan. Aku tidak memikirkan aku akan diterima atau tidak. Tapi aku memikirkan penjuriannya (Ceileeeh penjurian. Kayak mau ikut The Lemon Tea Got Talent aja, Na). Demi Tuhan! Mama akan melihatku langsung mengolah tepung, gula, dan bahan-bahan lainnya!
Okelah, anggap saja aku sedang mengikuti audisi pencarian bakat patissier Toko Roti The Lemon Tea Bakery. Entah peserta nomor berapa aku ini. Yang jelas, aku tinggal sendiri, dan waktu tungguku cukup untuk membuat satu loaf roti manis ukuran setengah kilo tepung dengan tangan. Ingat ya. Dengan tangan.
Bayangkan, mengadon roti dari nol hingga kalis elastis dan memiliki ciri-ciri window pane1, proofing2 dua kali, lalu panggang. Ya ampun, Na. Bilang aja kalau kamu sudah menunggu hampir tiga jam. Memang lama karena mesti menunggu peserta lain menjejalkan kemampuannya di dapur.
Sebelum ujian praktik langsung di dapurnya, Mama melakukan wawancara kecil-kecilan padaku. Tekanannya beda lagi, karena kami duduk saling berhadapan di kantor beliau.
Bayangkan, posisi kami sangat dekat. Aku bahkan bisa merekam dengan detail bagaimana rupa Mama. Tidak bisa dipungkiri, Mama sangat mirip Om Widhi. Aku masih belum bisa memanggilnya kakek, oke? Harap maklum, tapi terus terang, wajahku jauh dari kata mirip dengan Mama. Apa, aku lebih mirip si Om-Om Rangga itu?
Rambut Mama di kuncir tinggi (Pssst, rambut Mama lurus dan panjang sepunggung, mulai ada helai perak terselip di antara helaian coklat tembaganya). Sedangkan rambutku bergelombang. Sepertinya gen si Sebastian Wirjawan itu lebih kuat dalam diriku. Polesan makeup Mama natural, namun menimbulkan kesan kuat di saat yang sama. Wajah cantiknya sangat persis seperti foto terakhir Mama ketika berusia 17 tahun. Mama tuh mirip Tante Mariana Renata, yang justru semakin cantik dan sangat terkesan powerful di usianya yang sudah memasuki 38 tahun. Aku? Belum ada apa-apanya dibanding sosok di depanku.
Apakah aku mulai memuji Mamaku sendiri? Ya. Mama secara tidak langsung membuatku tunduk hanya dengan auranya. Mama memancarkan pesona wanita kuat nan elegan di balik coat putihnya yang hanya bisa diraih dengan kerja di dapur selama ratusan ribu jam dan menjunjung segudang pengalaman di pundaknya.
Jujur, Mama seperti sosok yang akan mengintimidasi kamu bila bertanding di ajang bergengsi sekelas master chef.
Eh ngomong-ngomong, apa Mama enggak kepikiran gitu, aku mirip siapa? Yeah, you wish, Alina.
Sebenarnya, aku jauh lebih grogi bila Mama menilai caraku menuang tepung, atau memecah telur, atau bahkan hal sederhana seperti memercikkan sejumput garam. Hal sederhana seperti itu yang membuatku rasanya ingin pingsan. Aku tidak berlebihan. Beneran.
Namun, aku juga enggak sabar dinilai oleh seseorang yang bahkan tidak pernah menginginkanku sejak roh ditiupkan ke ragaku, oleh seseorang yang aku baru tahu bahwa aku hadir ke dunia ini berkat rahimnya yang menampung dan melindungiku, lalu di balik kepayahannya, dia juga yang melahirkanku ke dunia dengan selamat.
Di tangan Mamalah nasibku dipertaruhkan, apakah aku akan menetap di kota kecil ini atau pulang ke Jakarta.
“Alina Camellia.” Namaku di sebut oleh seorang karyawan The Lemon Tea Bakery. Dentam jantungku kembali meradang. Baru nama saja sudah meluluhlantakkan pertahanan diriku. Kakiku melemas.
“Ya, Kak.” Dengan menyebut nama Tuhanku, aku masuk ke dalam dapur. Mama berdiri melirikku sebentar lalu kembali ke tablet-nya membaca sesuatu.
“Dari Jakarta, ya?”
“Iya, Bu.”
“Kenapa mau jauh-jauh datang ke Bukittinggi untuk bekerja di toko kue kecil ini?” todong Mama ketika aku memakai celemek yang di sediakan toko. Duh, alasanku satu-satunya ya bertemu Mama. Enggak ada alasan lain.
“Karena, walaupun kata Ibu tokonya kecil, tapi sudah mempunyai nama di dunia kuliner dessert. Saya ingin jadi bagian dari The Lemon Tea Bakery,” jawabku sok mantap.
“Menu apa yang paling kamu suka di The Lemon Tea Bakery?” Eh, aku malah belum sempat coba.
Syukur, sembari menunggu panggilan untuk naik ke pesawat tujuan Padang, aku menyempatkan diri mencari tahu tentang The Lemon Tea Bakery lewat laman Instagram-nya.
“Dutch Boterkoek, Bu.”
Mati ajalah aku. Bukan Dutch Boterkoek dari The Lemon Tea Bakery yang pernah aku makan, tapi Dutch Boterkoek yang Bunda buatkan untukku.
“Deskripsikan rasa Dutch Boterkoek milik The Lemon Tea Bakery.” Astaga. Mati aku jilid dua.
“Meski kelihatan bantat, namun begitulah karakteristik Dutch Boterkoek. Teksturnya lembut. Harum butter dan vanila sangat mencolok. Hal itu disebabkan oleh resep yang menggunakan campuran mentega dan margarin yang cukup banyak. Sangat cocok untuk teman minum teh atau kopi.” Bagus, Nana. Kamu pinter ngeles. Mama mengangguk-angguk.
“Kamu pernah magang di Toko Wilma Bakery?”
“Iya, Bu.” Aku tidak bohong. Aku bahkan di gaji oleh Bunda.
“Bagaimana kabar Bu... Wilma?” tanya Mama sambil menggerak-gerakkan tangannya di tablet. Mama pasti kangen Bunda.
“Terakhir saya bertemu beliau, Alhamdulillah Bund... ehem, maksud saya Bu Wilma sehat walafiat, Bu.”
“Hm.” Mama mengangguk.
“Kenapa Ibu bisa tahu Bu Wilma?” korekku.
“Setiap orang yang bekerja di dunia pastri seperti saya wajib tahu Bu Wilma. Beliau salah satu panutan kami.” Mama pasti berkilah.
“Aah.” Aku mengangguk mafhum. Ya, benar juga, sih. Dan aku sangat bangga telah dididik langsung oleh legenda pastri seperti Bunda.
“Oke. Kamu mau buat lemon cake? Kenapa? Sambil bekerja ya, Alina.”
Seerrrrrrr.
Namaku disebut. Ada sensasi menggelitik di perutku. Ingin namaku sering disebut-sebut oleh Mama yang tak pernah mengharapkan kehadiranku.
Ya, ya, ya. Aku pasti sudah terlihat mengenaskan.
“Lemon cake mempunyai arti tersendiri bagi saya, Bu. Saya sangat menyukainya dan banyak kenangan manis di dalam setiap gigitannya. Saya ingin kue kesukaan saya menjadi tiket untuk masuk ke The Lemon Tea Bakery.”
Ya. Kenangan manis semanis madu dan pahit sepahit dark chocholate bersama Bunda yang membesarkanku bagai anak sendiri. Bunda yang tidak pernah merasa repot mengasuh dan mendidikku menjadi aku yang sekarang. Bunda yang sabar menghadapiku ketika jiwa pemberontakku saat remaja sedang panas-panasnya. Apa lagi ketika aku baru tahu bahwa Mama kandungku adalah sosok yang sedang melihatku bekerja dengan teliti. Oh Tuhan. Masa itu tak akan bisa aku lupakan.
Setelah mendengar jawabanku, Mama diam mengamati pekerjaanku. Atau... aku? Entahlah, sebab aku sungkan menatap mata tajamnya.
Mama sampai mendekati station kerjaku ketika aku memarut kulit lemon. Persis seperti Bunda yang tidak ingin parutannya sampai ke area putih kulit lemon. Bisa pahit kueku kalau tidak hati-hati.
Adonan kue dituang ke loyang ukuran tiga puluh cm dan dipanggang dengan oven selama tiga puluh menit yang sudah dipanaskan sebelumnya. Selama menunggu, Mama terus menanyaiku mengenai pengetahuan berbagai resep yang pernah aku buat, sampai aku pernah bekerja di mana saja, atau sampai kegiatanku mengisi waktu luang.
“Jadi kamu ngekos di sini?”
“Tidak Bu. Saya tinggal di guest house. Belum dapat rumah.”
“Tidak ada keluarga?”
“Tidak ada, Bu.”
“Kalau kamu tidak diterima, apa kamu balik ke Jakarta atau cari pekerjaan di Bukittinggi?”
“Saya akan balik ke Jakarta. Soalnya Bunda saya sendirian di sana.”
Ting.
Denting oven menginterupsi tanya jawab Mama, sekaligus menandakan kueku masak. Haruuuum. Tanpa disiram lemon glazing saja sudah bisa dipastikan rasanya bakalan enak. Sambil menunggu dingin, aku buat larutan air lemon campur gula pasir alias glazing yang nanti akan disiram di atas permukaan kue tadi.
Cantik nian, kueku.
Akhirnya selesai juga. Kueku terhidang apik dan cantik di atas tatakan kayu yang disediakan dapur The Lemon Tea Bakery.
Mama meneliti dengan saksama kueku dari berbagai sisi. Persis seperti yang dilakukan Bunda terakhir kali. Lalu Mama mengetikkan sesuatu pada tabletnya.
Kueku dipotong Mama. Yuhuuu!
Mama menusuk potongan kecil si kue lemon dengan garpu, mengendusnya, lalu memasukkannya ke mulut.
Sumpah. Tanganku sampai berkeringat karena saking groginya. Mama sedang mencicipi kue buatanku, dan resep andalan tante Mama sendiri.
Diam-diam, aku mengamati ekspresi Mama mengunyah dan merasa kueku. Tak cukup satu, sepotong lagi mampir ke mulut beliau. Matanya menerawang, namun beberapa detik kemudian Mama berubah sendu. Begitu sorotan mata Mama yang aku tangkap saat ini. Dan sepersekian detik berikutnya, mata Mama terpejam untuk beberapa saat. Apa kueku tidak enak sampai Mama tidak membuka matanya saat mencicipi kueku?
Berkali-kali aku kucek mata ini. Apa aku tidak salah lihat? Tidak. Mataku tidak salah. Ada setitik air mata teronggok di sudut mata Mama. Mama berbalik badan dan menunduk, seperti menyeka sesuatu dari matanya. Dan ketika kami kembali berhadapan, Mata Mama merah. Apa Mama menangis? Kenapa? Ada yang salah dengan audisiku hari ini?
“Kamu boleh pulang dan membereskan barang-barang yang dibawa. Silakan tunggu hasilnya besok via email.” Mama buru-buru meninggalkan dapur.
“Baik Bu. Tapi Bu Aruna...” Mama mengerem langkahnya di ambang pintu.
“Ya?”
“Sisa kue ini bagaimana?” Aku menunjuk kue lemon yang aku buat tadi.
“Silakan dibawa pulang.”
“Baik, Bu. Eh tapi, buat Ibu aja.”
“Untuk… saya?”
“Iya.”
“Terima kasih. Kamu boleh meninggalkannya di dapur.”
Ketika akan melangkah, lagi-lagi aku tahan Mama agar tidak keluar dari dapur. Aku masih ingin memandang Mama, mungkin untuk yang terakhir. Kali aja aku gagal. Hiks.
“Bu.” Ma...
“Ada apa?”
“Terima kasih karena telah memberikan kesempatan untuk mendemonstrasikan kemampuan saya membuat kue lemon yang sederhana ini.” Makasih Ma, aku sudah diberi kesempatan memandang Mama dan mendengar langsung suara Mama yang ternyata... sangat merdu.
“Ya. Tentu, karena ini bagian dari prosedur penerimaan karyawan The Lemon Tea Bakery. Dan Alina.”
“Ya, Bu?” Ya, Ma?
“Kamu harus ralat pernyataan kamu barusan.”
“Kenapa, Bu?” Kenapa, Ma?
“Tidak ada proses pembuatan kue yang sederhana. Skill, kerja keras, waktu, passion, hingga emosi tertuang dalam setiap prosesnya. Jadi,” Mama mengunci mataku. “Kue lemon tadi tidak sesederhana itu, karena saya melihat dan merasakan effort kamu, Alina.”
Dan setelah mengatakannya, aku ditinggal sendiri di dapur kosong ini dengan perasaan seperti permen nano-nano.[]
Bersambung
[1] Window Pane adalah tes yang dilakukan pada adonan roti yang telah dianggap kalis. Ambil sejumput adonan lalu regangkan. Bila adonan meregang elastis, transparan, dan tidak mudah robek, maka adonan rati sudah bisa dikatakan kalis elastis dan siap di fermentasi.
[2] Proofing adalah proses pengaktifan ragi dengan cara mengistirahatkan adonan agar mengembang lebih maksimal selama proses fermentasi berlangsung.