Karena uangku yang pas-pasan hanya cukup untuk kabur dan tinggal di guest house murah selama tiga hari, akhirnya aku pulang ke rumah Bunda dengan menahan malu. Aku tahu kok. Usiaku enggak cocok lagi main kabur dari rumah, akan tetapi pada saat itu menjauh dari rumah dan menghindari Bunda dengan segala kenangan Mbak Ar... maksudku Mama terasa sangat benar (by the way, selama tiga hari itu aku berusaha menormalisasi panggilan baru Mbak Aruna menjadi Mama. Aneh banget tahu!). Mungkin aku memang butuh waktu untuk berpikir dan menenangkan diri. Padahal kenyataannya, hatiku belum siap menerima kenyataan kalau aku... kalau aku bukan anak Bunda.
Duh, dadaku rasanya pedih. Serasa ditusuk sembilu.
Sedih banget tauk! Selama di penginapan, kerjaanku hanya menangis, tidur, makan, menjadi detektif dadakan sambil mencari tahu keberadaan Mama dan Om-om yang mirip Rangga AADC itu tanpa hasil yang berarti. Ujung-ujungnya menangis lagi. Begitu siklus yang aku jalani selama tiga hari. Dan dengan gengsinya aku tolak telepon cemas Bunda. Aku abaikan pesan WhatsApp khawatir dari Bunda. Padahal... aku kangen Bunda... Huaaaa.
Sejujurnya, aku malu kembali ke rumah. Tapi kalau enggak pulang, aku enggak akan tahu kebenaran asal usulku. Kalau aku enggak pulang, aku juga enggak makan. Aku baru lulus kuliah, belum dapat kerja, malah sok-sokan kabur. Lamaranku ke sebuah toko roti artisan incaran sejak kuliah belum tentu diterima. Mau ditaruh di mana mukaku? Ah, sudah lah. Aku pulang dengan muka setebal kulit badak.
Baru saja membuka pagar rumah, Bunda lari tergopoh-gopoh merentangkan kedua tangannya dan menyambutku bak presiden yang datang mengunjungi rumah beliau.
“Nana...”
“Bundaaaaa...” teriakku dan berlari menyongsong Bunda. Beliau aku peluk erat. Aku terisak, tergugu seperti anak kecil di bahu Bunda. Seakan-akan aku akhirnya menemukan Bunda setelah hilang di pasar induk Kramat Jati.
Tubuh kami berguncang dan menangis sesegukan di halaman rumah. Tak peduli dengan mata tetangga yang berlalu lalang melihat pertunjukkan sinetron di siang bolong.
Aku merasakan Bunda mengusap punggungku, lalu mengelus rambut ikalku sambil sesekali mencium wajahku.
“Udah enakan hatinya?” tanyanya kemudian.
Aku makin nangis kejer di bahu Bunda. Ternyata Bunda membiarkan aku pergi agar aku bisa menenangkan diri. Bunda enggak marah aku kabur. Hatiku makin terenyuh, teremas pedih.
“Nggak apa-apa. Nangis aja sampai kamu lega. Wajar kok. Bunda... minta maaf ya, Nak?”
Bagaimana aku bisa marah sama Bunda? Aku sayang Bunda melebihi apa pun di dunia ini.
Lalu aku menggeleng pelan dan menatap mata sembab Bunda. “Nana enggak marah, Nda. Nana enggak mau marah sama Bunda yang udah membesarkan dan merawat Nana dengan limpahan kasih sayang. Nana bahkan nggak curiga sama Bunda karena Bunda membuat Nana berpikir, Bunda adalah ibu kandung Nana.”
“Terima kasih. Bunda sayaaaang sama Nana sampai kapan pun.”
Lalu kami saling berpelukan lagi. Lebih erat.
“Nana cuma... kesal sama diri sendiri yang sempat kesal sama Bunda. Maafin Nana, Nda.”
Bunda mengurai pelukan kami dan tersenyum bak malaikat. “Nggak apa-apa,” ucap Bunda sekali lagi. “Yuk masuk. Kita bakal ngobrol panjang lebar sambil makan yang manis-manis.”
***
Kami duduk bersila di atas sofa panjang sambil menikmati lemon cake! Yaaay. Kue kesukaanku dari seluruh kue dan kukis buatan Bunda. Kue-kue Bunda lah yang membuatku terinspirasi untuk kuliah di jurusan tata boga dan kelak aku akan membuat toko kueku sendiri seperti Bunda dan toko kuenya, Wilma Bakery.
Kue lemon benar-benar pembunuh badmood yang menyerangku beberapa hari ini. Manis, asam, lalu diiringi dengan aroma butter dan parutan kulit lemon alias lemon zest sungguh memanjakan lidah dan penciumanku. Teh melati adalah teman si kue ini.
“Kamu tahu, waktu hamil kamu, Nanaku ngidam kue ini terus.”
“Oh ya?” Apa karena itu aku sangat menggilai kue ini sampai sekarang?
Bagaimanapun aku marah dengan situasi ini, aku masih ingin mendengar sisi positif dari sejarah kelahiranku. Tentang Mbak Aru... Duh salah lagi. Maksudku tentang Mama, tentang orang tua Mama, dan tentang... Sebastian Wirjawan.
“M-Hm.” Bunda mengangguk bangga. “Seminggu, Bunda bisa tiga kali bikin. Mesti setok lemon dan mentega dengan merek yang sama di kulkas. Setidaknya, kue buatan Bunda membuat dia sedikit bahagia,” cerita Bunda bangga. Bunda tersenyum, dan matanya ikut tersenyum mengenang cerita lama.
Aku berusaha mengimbangi emosi Bunda yang sedang sangat bahagia menceritakan Mama. Padahal hatiku sedang bergejolak. Ada penolakan, kecewa, marah, dan sedih bergumul menjadi satu. Rasanya ingin teriak saja.
Lapangkan hati, Alina!
“Apa Mama bahagia ketika mengandungku?” Aku teringat tulisan Mama yang jelas-jelas membenci eksistensiku di dunia. Tapi, aku tetap ingin tahu jawaban Bunda.
“Sebelum menjawabnya, Bunda ingin menegaskan satu hal. Saat Nana hamil, dia berusia tujuh belas tahun.”
Aku terkesiap dan membekap mulutku dengan tangan kanan. Tiba-tiba aku membenci Sebastian Wirjawan.
“Benar. Hamil di usia yang masih sangat muda, dengan emosi yang masih labil, jiwa yang belum matang, serta tidak ada dukungan dari orang-orang terkasih mampu membuat seseorang berpikir dan bertindak di luar nalar. Bunda tidak akan mentoleransi perbuatan Nana saat itu. Namun, Bunda adalah seseorang yang akan berada di sisi Nana dan mendukung apa pun yang Nana lakukan agar dia senantiasa dalam kewarasannya.”
Aku benci anak ini.
Aku ingin mati.
Seakan aku bisa mendengar jeritan hati Mama berteriak di telingaku. Namun tetap saja, Mama membenciku bahkan sebelum aku menikmati cahaya matahari.
Remasan lembut di tangan mengembalikan kesadaranku ke dunia nyata, dari kepedihan Mama dan kesedihan hatiku sendiri.
“Kamu... baik-baik aja, Nak?”
Aku memaksakan sulas senyum. Tapi mata prihatin Bunda tak kunjung pergi. Sebaiknya aku keluar dari perasaan mendung ini. “Lalu, apa yang terjadi dengan Mama?”
“Sekali waktu Bunda pernah menemukan sampah nanas di dapur. Tapi sepertinya, saat itu kamu berjuang mati-matian untuk bertahan di dalam perut Mamamu.”
“Astaga.” Suaraku setipis angin. Mama... berusaha menyingkirkan eksistensiku di dunia! Mataku mengabur dalam hitungan detik. Mendung telah berubah menjadi hujan.
Bunda menangkap bulir air mata yang akhirnya jatuh dengan nelangsa. Tangan tuanya menghapus jejak air di pipiku.
“Minum dulu.” Aku patuh dan minum teh melati yang sudah dingin.
“Bunda enggak akan menyalahkan Nana remaja. Tapi Bunda juga tidak membenarkan tindakannya. Mungkin, Bunda kurang memperhatikan mamamu waktu itu. Bunda sedang sibuk-sibuknya di toko,” ungkap Bunda menyesal.
“Om Widhi? Tante Mayang?” Di mana mereka saat hal itu terjadi? Geram! Aku enggak ikhlas menyebut mereka kakek dan nenekku!
Bunda menghela napas lelah. “Mas Widhi begitu membenci fakta anaknya sendiri melakukan hal tak terpuji dan merusak nama baik keluarga mereka. Mas Widhi saat itu sedang menjabat sebagai kepala cabang Bank B. Dia sangat memperhatikan reputasinya.”
“Dan gara-gara itu mereka membuang Mama?!” Dadaku kembang kempis bergemuruh tak terima. Dasar orang tua… Ahhh, simpan amarahmu, Alina! Bunda makin mengeratkan genggamannya.
“Bunda yakin mereka menyesal.”
Aku mencebik tak percaya. Tidak akan semudah itu meluluhkan sikap keras manusia yang sudah mengakar. Dan Oh. Ya. Semua jadi masuk akal mengapa mereka juga membenci aku, darah daging anak mereka yang membuat malu keluarga!
“Kenapa Bunda enggak pernah memberi tahu masalah sebesar ini? Ini kan menyangkut hidup Nana. Menyangkut garis keturunan Nana. Bahkan, kalau Nana menikah nanti...” Oh Tuhan. Betapa malu aku mengucapkannya. “...tidak akan ada ayah yang akan menyambut tangan calon menantunya saat ijab kabul. Setidaknya, calon menantu Bunda harus tahu bibit bebet bobot calon istrinya, kan? Mereka akan kabur ketika tahu Nana anak ha—,”
“Hush! Jangan pernah ucapkan kata-kata itu!” potong Bunda tegas. “Tidak seorang pun boleh menghina kamu. Tidak ada yang boleh menghakimi kamu. Di luar bagaimana cara kamu hadir ke dunia, kamu suci, kamu individu berharga. Dosa orang tua kamu tidak ada hubungannya dengan kamu. Nana anak Bunda. Dan Nanaku ini tidak pantas bersanding dengan orang yang tidak menghargai kamu sebagai manusia ciptaan Tuhan. Jadi, kalau orang itu meninggalkan kamu hanya karena kamu berbinti pada Mamamu, orang itu memang tidak pantas untukmu, Nak!”
Terus terang, hatiku sakit dengan kenyataan aku anak di luar nikah. Memang, hidupku damai walaupun aku dibesarkan tanpa ayah. Aku bahagia walau hanya dengan kasih sayang Bunda. Tapi, fakta bahwa tidak ada darah Bunda di tubuhku, tidak ada garis nasab Ayah Raharjo Budiman di pohon keluargaku membuat duniaku seperti diguncang gempa tektonik. Semua runtuh luluh lantak, hancur berkeping-keping.
Tiba-tiba Bunda memelukku. Lelah. Kepala ini aku sandarkan di pundak tua Bunda.
“Maafkan Bunda, Nak.” Suara Bunda bergetar lemah di pendengaranku. “Tapi Bunda memang sengaja menyimpan fakta ini sampai kamu benar-benar siap menerimanya.”
Segera aku urai pelukan nyaman ini. “Tapi kalau Nana enggak sengaja nyari anting yang jatuh ke kolong tempat tidur, Nana enggak akan tahu kalau di kolong tempat tidur ada barang-barang kepunyaan Mama.” Aku mendengkus kesal.
Bunda malah tertawa kecil. “Percaya atau tidak, Bunda memang akan memberi tahu kamu dalam waktu dekat. Bukan dengan cara begini.”
Cara begini maksud Bunda, kami tidak akan bertangis-tangisan? Aku tidak akan kabur dari rumah? Walaupun dengan cara baik-baik sekali pun, aku yakin aku tetap akan melakukan hal yang sama.
Tapi, toh semua telah terjadi. Bahuku turun seturun-turunnya.
“Kenapa kotak kenangan Mama ada di kamar Nana, Nda?”
“Karena kamar itu memang kamar mamamu dulunya.”
Oh Tuhan, takdir apa lagi ini? Jadi selama ini, aku begitu ‘dekat’ dengan Mama? Apa selama ini aku dipeluk oleh selimut tua Mama? Dadaku terasa nyeri.
“Sebentar. Kamu... udah punya pacar? Kok bicarain bibit bebet bobot?” Lho, kenapa mata Bunda berbinar begitu? Bulu kudukku merinding.
Dan kenapa pula pipiku memanas? Sial. Bunda ingetin aku sama dia. Heh! Jantung. Tolong biasa aja dong degup-degupnya.
“Itu... Hm, Nana nggak punya pacar, Nda.” Kenapa gagap, Alina?!
“Jangan bohong. Siapa dia?” Bang Ghani.
“Bukan siapa-siapa.” Oops! Aku salah bicara. Bunda menyipitkan matanya mencurigaiku. Crap! Aku memang enggak pernah bisa bohong sama Bunda.
“Maksud Bunda, usia kamu sudah pantas menikah, kok. Jadi siapa pria beruntung itu?”
Bundaaaa. Dia bahkan enggak tahu kalau aku suka dia. Dan dia... terlalu jauh untuk aku gapai. Mengsedih memang.
“Udah ah. Ngapain malah bicara tentang Nana?” Mama lebih penting. “Nda.”
Bunda menilik wajahku yang gundah. “Tanyakan semua yang ngeganjal hatimu, Nak.”
“Sebastian Wirjawan.” Wajah Bunda mengeras. “Dia... siapa?”
Walaupun kemungkinan besar aku sudah tahu jawabannya, tapi aku butuh validasi dari Bunda. Aku butuh kepastian.
“Dia papa biologismu.” Bunda tak segan menunjukkan wajah dingin dan kejam. “Hanya itu. Dan setelah merusak Nana, merusak masa depan Nana, dia pergi tanpa bisa dihubungi. Dasar manusia biad... Ah, bukan. Dia bukan manusia!”
“Bunda yakin dia papaku?”
“Ya. Nanaku hanya berhubungan dengan dia.” God...
“Sampai sekarang dia tidak bisa dihubungi?”
“Terakhir Bunda cari waktu kamu berusia dua tahun. Dia dan keluarganya pindah ke luar Jakarta. Sejak saat itu Bunda berhenti mencari.”
Andai saja aku bertemu dengan Om-om itu. Aku sudah menyiapkan kata sambutan paling menyakitkan yang bisa aku sembur untuk manusia bejat itu.
“Mama dan Bunda masih saling berkomunikasi?”
“Masih. Tapi tidak sering.” Jawaban Bunda membuat hatiku seperti diguyur air dingin. Lega. Entah kenapa aku menyukai fakta Mama... masih eksis di belahan bumi entah di mana.
“Apa... Mama menanyaiku?”
“Tidak.” Tidak?! “Tapi Bunda tahu, Nana sedang menjaga egonya yang setinggi langit sampai dia tidak ingin tahu tentang anaknya sendiri.” Bunda memutar bola matanya setengah kesal. “Tapi Bunda rutin memberi informasi tentang kamu.”
Apakah aku boleh menambah kadar kesalku pada Mama?
“Apa Mama ada di Jakarta?”
Bunda menggeleng.
“Lalu Mama di mana sekarang?”
“Dia di Bukittinggi.”
Aku mengernyit. Dari semua daerah di Indonesia, kenapa di...
“Bukittinggi? Kota kecil itu?! Apa kerabat kita ada di sana?”
“Setahu Bunda enggak ada.”
“Terus kenapa Mama memilih pergi ke sana?”
“Kenapa kamu enggak mencoba tanya ke Nana aja?”
Hah? Maksudnya gimana, sih?
“Gimana, Nda?”
“Tanya langsung sama orangnya. Itu pun kalau kamu mau.”
Apa Bunda sudah gila? Ya Tuhanku. Aku nggak bermaksud bilang Bundaku gila. Hanya pemikirannya saja. Oke?
“Buat apa aku tanya kalau dia sendiri enggak penasaran sama anaknya?” Sewot, aku. Aku bagai mengemis perhatian pada orang yang telah meninggalkanku. Itu.Tidak.Akan.Pernah.Terjadi. Titik! Period!
“Ya udah. Bunda juga nggak maksa.”
“Bunda aneh sih, soalnya.” Aku memanyunkan bibir tanda protes.
***
Mungkin Bunda enggak aneh.
Karena pernyataan Bunda bikin aku kepikiran seminggu ini. Kenapa tidak aku tanyakan saja langsung sama Mama?
Padahal aku sudah meyakinkan diri untuk enggak memikirkan saran Bunda. Namun, mau bagaimanapun, jauh di lubuk hati terdalam, aku... ingin bertemu Mama. Aku ingin bicara dari hati ke hati tentang diriku dari sudut pandang Mama. Kenapa Mama meninggalkanku? Kenapa Mama tidak sedikit pun tertarik bicara dengan anaknya? Oke, waktu itu mama masih remaja labil. Mama pasti sakit hati dengan kehadiranku yang mengacaukan hidupnya. Namun, sekarang bukannya Mama sudah jauh lebih dewasa? Seharusnya usianya yang hampir mendekati angka empat puluh telah mendewasakan pola pikirnya, kan? Apa aku terlalu menakutkan sehingga Mama tidak mau menghadapiku?
Bzzzzt. Bzzzzzzt.
Astaga! Kenapa Bang Ghani meneleponku? Dadaku sampai berdebar enggak keruan hanya karena telepon dia.
“Halo bang Ghani,” sapaku.
“Dek, Abang punya info lowongan kerja,” ucapnya tanpa ba bi bu. Mencelos hatiku. Aku ngarepin apa, sih? Mau denger dia bilang Ai lop Yu? Mungkin aku butuh yang manis-manis.
“Oh ya, Bang? Pas banget aku memang butuh kerja,” sahutku dibuat ceria.
“Emang lamaran di toko roti kepunyaan Chef Aresta Dian Sasongko belum ada kabar ya, Dek?”
“Belum, Bang Ghani. Aku terbuka untuk opsi lain, kok,” jujurku.
“Abang udah drop di WA ya tautannya. Karena kamu enggak baca, makanya Abang telepon.”
“Waaah. Makasih ya, Bang. Nanti aku cek.”
Cih, pake di telepon segala. Emang aku pacar kamu, Bang Ghani? Tapi aku seneng kok, Bang Ghani nelepon aku. Aku enggak hipokrit.
“Sama-sama. Enggak semua lokernya di Jakarta. Ada juga yang di luar pulau Jawa. Abang dapat info dari senior kita. Dari grup angkatan 2005.”
“Ooh. Oke.”
“Restoran tempat Abang kerja juga buka, mana tahu kamu berminat kerja di sana. Jadi kita bisa sering ketemu.”
“Oh ya?” kataku sok antusias. Aku juga sok tertawa kecil. Terus, kalau aku kerja di sana, Abang mau apa? Bukannya Abang suka sama temenku, ya?
“Iya. Terus, kata senior kita, ada juga sih yang nyari di Bukittinggi. Tapi kamu pasti nggak mau. Soalnya jauh dan—,”
“Bukittinggi?!” Aku terpaksa memotong ucapan Bang Ghani. Habisnya, gara-gara kata Bukittinggi, pikiranku kembali lagi ke Mama.
”Iya. Kamu... berminat? Hanya toko kecil, Na. Tapi nama pemiliknya sudah malang melintang di dunia dessert. Nama tokonya The Lemon Tea Bakery. ”
“Emang, siapa pemiliknya, Bang Ghani?”
“Yang punya itu temen senior kita. Nama beliau Chef Aruna Cempaka.”
“Aku mau!” kataku terlampau semangat. Aku bisa mendengar Bang Ghani terkesiap. Aku ngomong apa sih? Terlambat untuk menggigit lidah, Alina. Nama Mama membuat otakku macet.
“Apa?! Kamu mau kerja di sana, Na? Yakin?”
“Yakin. Aku enggak pernah seyakin ini dalam hidupku. Terima kasih banyak, Bang Ghani.”
“Hm, ya, sama-sama Nana.”
Klik.
Darah memang lebih kental daripada air. Segala hal tentang Mama membuat adrenalinku terpacu. Walaupun Mama sengaja menjauhkan diri dariku, dari eksistensiku, tapi aku yang akan membuat jarak kami semakin dekat.
Tunggu aku di The Lemon Tea Bakery, Ma. Oh Crap! Tentu kalau lamaranku diterima Mama.
Sedetik kemudian, sebuah notif surat elektronik membuat kepalaku serasa mau meledak. Lamaranku diterima oleh toko roti bergengsi kepunyaan Chef Aresta Dian Sasongko!
Oh Crap jilid dua![]
Bersambung