Read More >>"> Memento Merapi (Bab 10: Drama Kehidupan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Memento Merapi
MENU 0
About Us  

Selasa, 23 April 2013.

.

“Nggak apa-apa, nih, Gita ditinggal lagi?” Angga bertanya sambil berjalan lambat-lambat.

“Menurutku, sih, tambah istirahat sehari lagi barangkali dia udah sembuh. Mending dia tinggal di rumah hari ini, terus besok bisa ikut,” sahut Reni di sisinya.

Si cowok gempal membalas di antara napas yang terengah, “Tapi, ‘kan, Mbak Mona nggak ikut. Kalian yakin masih inget jalannya?”

Pandu angkat bicara, “Lha, kamu pikir buat apa kita mau ke tempat Evan dulu kalau bukan untuk cari pemandu jalan, Ngga?”

“Oke, oke. Tapi, apa nggak apa-apa, pagi-pagi gini ke rumah mereka?”

We will know soon,” sahut Pandu sambil nyengir.

“Ndu ...,” keluh Angga.

“Makanya, kamu jangan ngeluh aja, Ngga. Yang punya ide ini, ‘kan, kamu sendiri!” tandas Reni.

“Berat banget rasanya bangun sepagi ini,” gumam Angga.

“Makanya! Badan, tuh, dikurusin! Bagus, dong, jalan-jalan begini terus. Pulang Solo nanti, kamu bisa turun lima kilogram,” Reni lanjut mencecar tiada henti. Agaknya absennya Gita membuat lidah cewek itu jadi makin tak terkendali.

“Huweeee,” rengek Angga.

“Eh, kok rumahnya kelihatan rame, ya?” Pandu berujar, berhenti melangkah di pertigaan menuju kediaman keluarga Djumali. Kedua kawannya juga ikut berhenti dengan ragu.

“Iya, ya. Apa lagi ada tamu?” gumam Reni. Beberapa pemuda dan pemudi tampak berdiri di ambang pintu rumah yang mereka tuju.

“Pagi-pagi gini?” timpal Angga. Diliriknya arloji, saat itu jam tujuh kurang seperempat. “Seriusan, kukira kita aja yang kebangetan datang pagi-pagi. Ternyata ada yang lebih pagi.”

“Hei! Angga!”

Yang dipanggil menoleh, juga Pandu dan Reni. Evan berada di sisi sebuah kebun yang menanjak, memeluk seberkas rumput yang tampaknya untuk pakan ternak.

“Ame mana e? Dia belum sembuh?” tanyanya dari jauh.

“Belum!” sahut Angga sambil mencorongkan tangan untuk mengeraskan suara. “Kami mau ke bendungan, Van, kamu tahu jalan?”

“Bendungan? Tentu sa tahu.” Dia berjalan mendekat dengan wajah riang. “Tapi sa masih banyak tugas dengan Bapak. Belum mandikan sapi, olah kompos, dan segala macam.”

Cara Evan menyampaikan hal itu betul-betul lucu, diiringi mimik muka yang geli-geli jijik dan pasrah. Pandu kira-kira bisa mengerti rasanya.

“Jadi nanti ... agak siang sa baru bisa. Bagaimana e?”

“Jam berapa kira-kira?” Reni bertanya. “Kalau masih lama, mungkin kami pulang ke Waluh dulu.”

“Jam sepuluh mungkin,” sahut Evan. “Kalian mau kenalan dulu dengan para relawan, e? Kemarin waktu di pos belum sempat, ‘kan. Mereka ada di depan rumah, tuh.”

“Relawan? Yang radio komunitas itu?” Pandu tampak tertarik, dan Evan mengangguk. “Ada perlu apa mereka bertamu ke rumah, Van?”

“Biasanya kalau ada laporan aktivitas gunung. Sa juga kurang tahu,” balas Evan. “Posko mereka ada di dekat sini, sebetulnya.”

“Ah, mungkin sambil nunggu Evan, kita bisa mampir ke posko itu dulu?” Pandu menyulut usul.

Angga menyambar, “Boleh. Daripada jalan balik ke Waluh lalu ke sini lagi. Bisa remuk badanku!”

Reni menyiram dengan celaan, “Sebetulnya lebih bagus bolak-balik, khusus Angga aja, biar kurus.”

Evan terkekeh. “Ide bagus. Jam sepuluh nanti sa susul ke posko, lalu kita jalan ke bendungan. Begitu?”

“Siap, Van. Eh, ngomong-ngomong,” Pandu merendahkan suara, “apa pacarnya Mbak Helen ada di antara para tamu itu?”

“Nggak ada. Kak Niko kerjanya jadi penerjemah di Pos Babadan, bukan di radio komunitas.”

“Hoo, jadi, namanya Mas Niko,” gumam Pandu sambil manggut-manggut.

Reni menukas, “Dasar kepo!”

“Ingin tahu itu naluri dasar manusia, sekaligus hak segala bangsa, Ren.”

“Udah, udah. Ayo kita susul para tamu itu,” Angga menengahi.

*

“Jurnalisme bencana?” Mata Pandu berbinar-binar.

“Iya. Belum pernah denger?” sahut pria muda awal tiga puluhan yang duduk di hadapannya. “Singkatnya, itu adalah bagaimana media memberitakan bencana.”

Pandu, bersama Reni dan Angga, diterima di ruang tamu posko relawan informasi Dukuh Semen. Posko itu merupakan bagian dari Jaringan Informasi Lingkar Merapi alias JALIN MERAPI, yang melebarkan informasi melalui beberapa radio komunitas di seluruh lereng Merapi yang diceritakan Helen sebelumnya.

“Jadi, Mas Gatot, JALIN MERAPI berfokus sama status gunung, Mas?” Pandu seperti mewawancara relawan bernama Gatot itu.

“Nggak cuma itu sebetulnya. Dinamika masyarakat juga diberitakan. Karena semuanya saling berhubungan kayak jaring—makanya dipilih nama yang mirip. Itu juga perlu biar kita bisa lihat kenyataannya. Ngomong-ngomong ... kalian kalau di rumah, lihat berita tentang bencana, kesannya gimana?”

Ketiga remaja itu berpandangan sejenak. Pertanyaan Gatot seperti menggiring ke sebuah jawaban yang menjurus. Pandu ragu-ragu. Reni mencoba menjawab, “Ng ... kadang terkesan dramatis, dibuat-buat gitu, Mas.”

“Nah, itu! Media dari kota suka bikin sensasi,” Gatot berujar sambil mendengus. Rupanya jawaban Reni seperti yang diharapkannya. “Meski nggak semuanya kayak begitu, sih. Tapi gini, informasi yang keluar dari daerah bencana dan sampai ke televisi kota, sebagian besar dibumbui. Iya, wawancara korban bencana kadang memang perlu. Data jumlah korban juga perlu diketahui. Tapi lebih penting lagi informasi untuk mereka yang jadi korban, ‘kan, misalnya di mana aja lokasi untuk mengungsi yang lebih aman, di mana pos-pos tanggap bencana, dan banyak lagi.”

Penuturan bernada kesal itu didengarkan oleh tiga remaja kota yang mengakui kebenarannya.

“Lain cerita kalau seperti di Merapi ini, ada pengumpul informasi dari kalangan warga sendiri. Turun-temurun hidup di sini, saling percaya udah membudaya. Nggak mungkin ada hoaks muncul di antara warga. Berita lokal, ya, disampaikan apa adanya. Berita dari luar Merapi, ya, diterusin tanpa ditambahi atau dikurangi.”

“Keren,” komentar Pandu di sela derasnya banjir kalimat Gatot yang seolah memuntahkan keluh kesah yang lama terpendam. Barangkali amat jarang ada anak-anak muda dari kota yang mau mendengarkan realita ini.

“Padahal, mereka yang jadi awak media perkotaan itu, sekolahnya tinggi-tinggi, iya ‘kan?” lanjut sang narasumber. “Kami di sini, cuma segelintir yang sarjana. Lainnya di bawah itu. Ya, meski, sekali lagi, aku nggak bilang semuanya mereka yang di kota itu sok dramatis tadi.”

“Mungkin pihak televisi kejar rating, Mas,” usul Reni. “Jadi, cara apa pun ditabrak aja biar banyak yang nonton.”

“Ya, itu. Bisa jadi kayak gitu.”

Telinga Pandu menegak ketika Mas Gatot melanjutkan,

“Pernah denger memento mori?”

Reni mengernyit dan Angga menggeleng, tapi Pandu mengangguk bersemangat.

“Ingatlah akan kematian,” jawab Pandu. “Memento artinya ‘mengingat’, kata perintah; bisa juga kata benda yang artinya ‘kenang-kenangan’. Mori artinya ‘kematian’.”

“Betul. Wah, kamu tahu istilah dalam bahasa Latin, ya. Baca di mana?”

“Bukunya Seneca,” sahut Pandu dengan nada bangga, “filsuf aliran stoik.”

Reni memandangi Pandu seolah dia mendadak punya tanduk di kepala. Pandu baca buku filsafat??!

“Wah wah, tingkat tinggi bacaannya,” Gatot tertawa. “Intinya, sih: kita harus ingat bahwa suatu saat kita akan mati. Entah kapan, entah dengan cara apa. Bisa aja karena erupsi Merapi. Bisa aja kena bom Bali. Jadi, sebelum kita mati, kita mau berbuat apa dalam hidup?”

Pandu mengangguk dengan mata berbinar. Dalam pikirannya dia kembali mengingat, waktu yang paling megah dari sesosok bunga adalah sesaat sebelum dia gugur ke tanah, seperti yang pernah diucapkan Masato (karenanya Pandu membayangkan bunga sakura) dan seperti yang pernah dibacanya dalam buku Seneca. Jadi, sebelum gugur, jadilah versi yang terbaik di hidupmu! Reni juga mengangguk-angguk, meresapi betapa dalam makna idiom berbahasa Latin itu dan hubungannya dengan pembicaraan ini. Angga pun sibuk dengan pikirannya sendiri, yakni bisa saja dia mati karena keracunan makanan kalau sering jajan sembarangan.

Mulai dari situ, Gatot banyak bercerita tentang erupsi tahun 2010; ada media yang ngawur dalam pemberitaannya soal sejauh mana abu telah turun di Yogyakarta, ada juga yang betul-betul teliti menyebutkan posko-posko darurat di sekitar titik rawan. Selanjutnya, ia bertutur ke persoalan teknis.

Di tiap dukuh, biasanya ada posko informasi seperti di Semen. Di sini, anggotanya adalah empat orang sukarelawan termasuk Gatot, sementara di tempat-tempat lain ada yang merupakan bagian dari radio komunitas itu sendiri. Di seluruh lereng Merapi, terdapat tiga radio komunitas: di Selo, Boyolali; di Klaten; dan terakhir di Magelang. Tiap akhir pekan, semua informasi akan direkap dan dibawa ke radio komunitas daerahnya, kecuali di saat-saat siaga bencana, yang menjadi laporan harian. Para relawan ini semuanya berusia di bawah empat puluh tahun; ada yang bekerja di sekolah atau puskesmas setempat, ada juga yang petani atau peternak.

Waktu bergulir dan ternyata tiga jam itu habis juga dengan kisah seorang relawan informasi diselingi beberapa kue pukis dan teh manis hangat. Di penghujung ceramahnya, Gatot berkata,

“Hidup itu ibarat pentas drama; Tuhan sutradaranya, dan kita ini aktor-aktrisnya. Nggak perlu, lah, menciptakan drama sendiri dengan menjual cerita mengharu-biru tentang sengsara orang lain.”

Meski sedari tadi membicarakan jeleknya media perkotaan mendramatisir berita, Gatot sendiri membiarkan kalimat penutupnya terdengar dramatis dengan sengaja diam sambil menatap pendengarnya satu per satu.

“Mantap,” komentar Angga yang sedari tadi tak bersuara; entah karena terlalu bingung mau berkomentar apa atau karena penganannya kurang.

“Diskusi kita berfaedah sekali, Mas. Makasih banyak,” seloroh Pandu dengan tulus.

“Kami jadi dapat banyak ilmu,” imbuh Reni.

Selagi Gatot sibuk menandaskan isi gelas tehnya—sejak tadi ia bicara terus hampir tanpa minum!—Evan rupanya telah datang.

“Terima kasih, Mas. Kami pamit dulu.”

“Sama-sama. Kapan-kapan mampir lagi boleh, lho.”

Dengan sedikit lagi basa-basi demi kesopanan, para remaja itu pun keluar dari posko.

“Ramai bincangnya e?” tanya Evan ketika mereka sudah agak jauh.

“Mas Gatot banyak cerita,” sahut Pandu.

Evan membalas, “Kata Kak Helen, orang itu pernah main teater di kota. Caranya bercerita selalu menarik.”

“Main teater! Makanya dia menyinggung-nyinggung soal dramatisasi,” ujar Reni.

“Berarti, Mas Gatot bukan penduduk asli sini?” tanya Angga.

Sa kira asli dari sini. Memang tidak banyak, sih, yang seperti itu. Sekolah tinggi ke luar lereng gunung, lalu kembali ke gunung. Kak Helen dan pacarnya juga begitu.”

Pandu bersiul. “Apa mereka kenalan waktu kuliah?”

Evan meringis. “Coba tanya langsung ke orangnya. Sa mana tahu.”

“Kepo banget, sih,” desis Reni. Pandu hanya cengar-cengir.

“Sini, lewat sebelah sini,” ujar Evan, menggiring teman-temannya masuk ke salah satu perkebunan cabai. Jalan pintas, barangkali.

“He, bukannya itu Masato?” seloroh Angga ketika deretan cabai hampir habis dan mereka sudah dekat pematang sawah.

Ketiga kawannya menoleh dan mendapati Angga menunjuk ke bagian kebun cabai yang lebih menanjak. Memang ada Masato, sedang berjongkok di dekat perdu liar. Tas kameranya tercangklong di bagian punggung.

“Lagi ngapain dia?” gumam Reni menyuarakan isi pikiran semuanya. Sebelum ada dari mereka yang sempat memanggil, rupanya Masato sendiri melihat mereka dan menyapa.

“Selamat pagi!” serunya ramah. Dia berdiri dan menepuk-nepukkan tangan ke celana—celana batiknya yang dikagumi Gita itu! Memang cokelatnya sewarna tanah, sih, tapi Reni berjengit melihat kain bermotif itu dipakai untuk mengelap bekas tanah.

“Aku mau ambil gambar tanaman di bawah sini,” Masato menjelaskan. “Sudut yang paling tepat memang dari bawah.”

“Tapi nggak perlu tiarap juga, ‘kan?” balas Pandu sambil tertawa. “Bajumu kotor semua.”

“Ah, ini? Sejak pagi aku belum ganti baju. Tadi malam ke puncak juga pakai ini.”

Reni melongo. Orang Jepang itu menertawakan diri sendiri.

“Kami biasanya mandi sebelum tidur malam, biar bangun pagi rasanya segar. Tapi, karena semalam berkemah di luar, jadi belum sempat.”

“Kami nggak tahu kamu bisa mendaki, Masato-san,” Pandu berujar.

“Demi ini,” balas Masato sambil merogohi tas kameranya.

“Baiklah. Teruskanlah foto-foto. Kami hanya lewat,” kata Pandu menutup pembicaraan karena hari makin siang.

Bye-bye, hati-hati di jalan.”

Pandu membalas dengan acungan jempol sementara Angga dan Reni kasak-kusuk.

“Bajunya kotor banget.”

“Ternyata budaya mandi sebelum tidur malam dan nggak mandi pagi yang kayak di anime-anime itu betulan, ya?”

“Husy, udahlah. ‘Kan, baunya nggak sampai ke kita?” gurau Pandu.

“Totalitas sekali ya, foto tanaman sampai bajunya kena tanah begitu,” komentar Evan.

Pandu menimpali, “Kalau emang diperlukan, ya, gimana lagi? Tapi dia kelihatannya perlu ngeruk-ngeruk tanah juga, deh. Kalian lihat tangannya juga kotor banget, ‘kan?”

“Iya, kotor banget,” balas Reni.

“Siap-siap, setelah ini kita juga bakal berkotor-kotor dikit,” sahut Angga.

“Yang punya ide yang terjun ke lapangan duluan!” seru Pandu sambil main-main mendorong punggung sohibnya.

“Oi!”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
My Doctor My Soulmate
78      69     1     
Romance
Fazillah Humaira seorang perawat yang bekerja disalah satu rumah sakit di kawasan Jakarta Selatan. Fazillah atau akrab disapa Zilla merupakan seorang anak dari Kyai di Pondok Pesantren yang ada di Purwakarta. Zilla bertugas diruang operasi dan mengharuskan dirinya bertemu oleh salah satu dokter tampan yang ia kagumi. Sayangnya dokter tersebut sudah memiliki calon. Berhasilkan Fazillah menaklukkan...
Mr.Cool I Love You
107      92     0     
Romance
Andita harus terjebak bersama lelaki dingin yang sangat cuek. Sumpah serapah untuk tidak mencintai Andrean telah berbalik merubah dirinya. Andita harus mencintai lelaki bernama Andrean dan terjebak dalam cinta persahabatan. Namun, Andita harus tersiksa dengan Andrean karena lelaki dingin tersebut berbeda dari lelaki kebanyakan. Akankah Andita bisa menaklukan hati Andrean?
Roger
1866      776     2     
Romance
Tentang Primadona Sial yang selalu berurusan sama Prince Charming Menyebalkan. Gue udah cantik dari lahir. Hal paling sial yang pernah gue alami adalah bertemu seorang Navin. Namun siapa sangka bertemu Navin ternyata sebuah keberuntungan. "Kita sedang dalam perjalanan" Akan ada rumor-rumor aneh yang beredar di seluruh penjuru sekolah. Kesetiaan mereka diuji. . . . 'Gu...
Bifurkasi Rasa
96      83     0     
Romance
Bifurkasi Rasa Tentang rasa yang terbagi dua Tentang luka yang pilu Tentang senyum penyembuh Dan Tentang rasa sesal yang tak akan pernah bisa mengembalikan waktu seperti sedia kala Aku tahu, menyesal tak akan pernah mengubah waktu. Namun biarlah rasa sesal ini tetap ada, agar aku bisa merasakan kehadiranmu yang telah pergi. --Nara "Kalau suatu saat ada yang bisa mencintai kamu sedal...
(Un)Dead
628      343     0     
Fan Fiction
"Wanita itu tidak mati biarpun ususnya terburai dan pria tadi一yang tubuhnya dilalap api一juga seperti itu," tukas Taehyung. Jungkook mengangguk setuju. "Mereka seperti tidak mereka sakit. Dan anehnya lagi, kenapa mereka mencoba menyerang kita?" "Oh ya ampun," kata Taehyung, seperti baru menyadari sesuatu. "Kalau dugaanku benar, maka kita sedang dalam bahaya besar." "...
Cinta untuk Yasmine
1882      854     17     
Romance
Yasmine sama sekali tidak menyangka kehidupannya akan jungkir balik dalam waktu setengah jam. Ia yang seharusnya menjadi saksi pernikahan sang kakak justru berakhir menjadi mempelai perempuan. Itu semua terjadi karena Elea memilih untuk kabur di hari bahagianya bersama Adam. Impian membangun rumah tangga penuh cinta pun harus kandas. Laki-laki yang seharusnya menjadi kakak ipar, kini telah sah...
Anderpati Tresna
2458      956     3     
Fantasy
Aku dan kamu apakah benar sudah ditakdirkan sedari dulu?
CHERRY & BAKERY (PART 1)
3908      1020     2     
Romance
Vella Amerta—pindah ke Jakarta sebagai siswi SMA 45. Tanpa ia duga kehidupannya menjadi rumit sejak awal semester di tahun keduanya. Setiap hari dia harus bertemu dengan Yoshinaga Febriyan alias Aga. Tidak disangka, cowok cuek yang juga saingan abadinya sejak jaman SMP itu justru menjadi tetangga barunya. Kehidupan Vella semakin kompleks saat Indra mengajaknya untuk mengikuti les membuat cu...
6 Pintu Untuk Pulang
613      345     2     
Short Story
Dikejar oleh zombie-zombie, rasanya tentu saja menegangkan. Apalagi harus memecahkan maksud dari dua huruf yang tertulis di telapak tangan dengan clue yang diberikan oleh pacarku. Jika berhasil, akan muncul pintu agar terlepas dari kejaran zombie-zombie itu. Dan, ada 6 pintu yang harus kulewati. Tunggu dulu, ini bukan cerita fantasi. Lalu, bagaimana bisa aku masuk ke dalam komik tentang zombie...
Bee And Friends 2
2396      909     0     
Fantasy
Kehidupan Bee masih saja seperti sebelumnya dan masih cupu seperti dulu. Melakukan aktivitas sehari-harinya dengan monoton yang membosankan namun hatinya masih dilanda berkabung. Dalam kesehariannya, masalah yang muncul, ketiga teman imajinasinya selalu menemani dan menghiburnya.