Loading...
Logo TinLit
Read Story - Memento Merapi
MENU
About Us  

Sabtu, 20 April 2013.

.

Lebih dekat lagi ke puncak Gunung Merapi, seorang pemuda sedang mengencangkan tali di pinggangnya lalu merayap turun dari tebing.

“Hati-hati, Han,” suara seseorang menggema memperingatkannya. “Ndak usah buru-buru.”

Seolah tak mendengarkan, pemuda itu menginjak bebatuan demi bebatuan di bawahnya dengan lincah. Ketika sudah tiba di jarak semeter dari tanah, ia melompat turun.

“Handi! Jangan gitu,” tegur seorang wanita muda.

“Lha, habisnya, kalian curang,” ujar pemuda bernama Handi itu seraya melepaskan peralatan hiking-nya dan memasukkannya ke daypack—tas untuk mendaki gunung yang kapasitasnya lebih kecil daripada carrier.

“Kami, ‘kan, turun duluan untuk ngasih kamu contoh,” ujar seorang wanita yang lain. Ia yang tadi berseru pada Handi untuk berhati-hati.

“Sudahlah. Cara dia mendaki aja sudah macam bukan rookie,” timpal seorang pemuda, membela Handi. Ia merangkul bahu Handi yang lebih pendek darinya. “Sebagai pemula, kamu cepat banget belajar!”

“Udah turun semua?” tanya seorang lagi wanita, yang sedang berjongkok agak jauh dari keempat orang itu. Ia tengah berkutat dengan sesuatu di tanah.

“Udah, Mbak Mona.” Handi yang bicara. “Dari sini, kita lewat jalan setapak ke desa, ‘kan?”

“Ya,” sahut wanita bernama Mona itu. Dia mengeluh pelan. “Lagi-lagi ada pendaki yang nggak bertanggung jawab terhadap alam.”

“Sisa api unggun lagi?” tanya wanita yang pertama. Ia membantu Mona menguruk sisa-sisa bara dan kayu itu dengan tanah. “Ada apa dengan petuah, ‘Pendaki sejati pulang meninggalkan alam seperti keadaannya semula’? Di atas tadi juga, banyak banget sampah bertumpuk.”

“Mendaki pagi-pagi menyenangkan, ya,” ujar Handi, mengabaikan keluh-kesah kedua perempuan itu. “Udara masih dingin tapi kita bisa nonton mentari terbit. Eh, tadi ada yang motret, nggak? Mas Tri?”

Tri, pemuda yang satu lagi, menggeleng. “SLR-ku ketinggalan di penginapan, semalam mindahin data habis dipakai lomba. Fatma? Kamu punya kamera digital, ‘kan?”

“Baterainya habis, belum sempat aku charge,” sahut Fatma. “Mbak Santi sama Mbak Mona juga kayaknya nggak motret pakai ponsel.”

“HP-ku kutinggal di bawah. Habis, di atas, ‘kan, nggak ada sinyal. Kupikir, buat apa bawa HP? Tapi Mona motret kok. Iya, ‘kan, Mon?” tanya Santika yang berjongkok di sebelah Mona. Yang ditanya bergumam mengiyakan.

“Tapi HP-ku keluaran lawas, kameranya nggak terlalu bagus,” ujar Mona.

“Paling nggak, kita nggak sia-sia mendaki pagi-pagi,” sahut Tri.

Mona dan Santika sudah selesai dengan urusan peninggalan-pendaki-gunung-yang-egois.

“Yuk, kita turun,” ujar Mona. “Kalau pada nggak capek, besok pagi kita naik lagi.”

“Dengan catatan: jangan lupa bawa kamera!” tambah Santika. “Tri juga payah, ah, bawa-bawa SLR tapi nggak pernah dipakai, terus buat apa?”

“Iya iya. Maaf, deh, Mbak,” sahut Tri.

“Tadi Mas Tri bilang kameranya habis dipakai lomba, ya? Yang kemarin di Monumen Pers itu bukan, sih?” celetuk Handi.

Tri menyahut, “Iya, yang itu. Sayang belum menang, nih. Event-nya gede banget, pesertanya sampai dua ratusan. Banyak yang dari luar kota.”

“Ya, ampun. Pantesan pas pengumumannya sampai bikin macet nggak keruan. Itu pas hari Rabu kemarin, ‘kan? Tanggal 17?” Mona menimpali.

Tri mengiyakan lagi dengan nada muram, barangkali masih kecewa tidak menang di lomba fotografi yang menghebohkan penduduk Kota Solo itu.

*

Kelima sekawan itu semuanya lulusan Universitas Sebelas Maret dari berbagai tingkat dan jurusan. Mereka dulunya anggota grup pecinta alam di universitas negeri yang dinamai sesuai tanggal didirikannya itu.

Handi Simanjuntak adalah yang paling muda dan paling junior dalam mendaki gunung; ia dari Fakultas MIPA dan baru di tahun ketiga masa kuliahnya bergabung dengan grup pecinta alam. Tri Sulistyo dan Fatma Atmaja sama-sama Fakultas Sastra, setahun lebih tua dari Handi. Mona Raharjo, sepupu Via dan Pandu, sarjana teknik jurusan arsitektur dan Santika Atmaja, kakak Fatma, adalah lulusan Fakultas MIPA. Keduanya menjadi pembimbing grup pecinta alam di kampus almamater mereka.

Pendakian Merapi adalah rencana pertama dalam tahun ini. Paruh tahun berikutnya mereka berencana mendaki Gunung Slamet, gunung tertinggi di Jawa Tengah. Karena sudah ada dua expert pendaki gunung—Mona dan Santika—mereka tidak memerlukan bantuan tim pemandu dari lereng Merapi.

Yah, Merapi bukan gunung yang pendakiannya membutuhkan waktu lebih dari sehari. Lerengnya dimukimi penduduk pada jarak yang cukup dekat dari puncaknya, orang bisa mulai mendaki dari situ di pagi hari dan tak sampai setengah hari dia sudah akan tiba di atas. Atau, kalau ingin menikmati matahari terbit, lebih baik menginap di area berkemah sekitar setengah jalan menuju puncak dan naik lagi sedikit menjelang fajar. Namun, hal-hal ini kadang luput dari perhatian para pendaki: ada nuansa mistis di Gunung Merapi, dan biasanya orang luar yang tanpa pemandu lokal tak tahu maupun peduli. Ada larangan tak tertulis untuk mendaki sampai ke puncak demi melihat kawah, tapi kadang masih ada pendaki yang nekat meneruskan ke situ. Ada pula larangan untuk keluar dari jalur yang disarankan; seorang turis pernah dikabarkan meninggal tertimpa batu saat mencoba jalur baru.

*

“Makan yang banyak, ya ....”

Nggih, Mbah ...,” sahut keempat remaja di sekeliling meja itu serempak.

Pria tua itu terkekeh. Ia tak memakai gigi palsu meski nyaris ompong, rambutnya sudah putih semua.

“Maaf kalau kami merepotkan, Mbah,” ujar Reni.

“Nggak repot, kok. Mbah malah seneng kalau ada anak-anak. Rumah Mbah jadi nggak sepi,” sahut sang Kakek.

Sebetulnya Pandu merasa keberatan Mbah Parjo, kakeknya Mas Gilang, menyebut mereka “anak-anak”—mereka semua sudah tujuh belas tahun; ia dan Angga bahkan sudah punya kumis!—namun kebetulan pandangannya terarah ke luar jendela dan ia melihat sesuatu yang membuatnya melupakan hal itu.

*

“Katanya kamu ke Merapi tanggal dua puluhan,” ujar Via.

“Ya ... hari ini, ‘kan, pas tanggal dua puluh, Vi?” sahut Mona seraya tertawa. Mereka berdua duduk di teras sebuah rumah yang menghadap ladang cabai.

“Nggak gitu. Dulu Santika bilang, sekitar tanggal dua lima,” sanggah Via. “Perubahan rencana?”

“Bisa dibilang gitu,” jawab Mona seraya mengucir kembali rambutnya yang panjang melebihi bahu. “Kami tadi naik dari Boyolali, lalu turunnya ke sini. Denger-denger, ada satu jalur pendakian dari Magelang sini juga, tapi ditutup sejak erupsi tahun 2010 itu. Temennya Santi yang bilang, sih.”

Semasa kuliah, Santika, Via, dan Gilang sama-sama aktif dalam senat mahasiswa. Jadi mereka sering berkumpul bersama. Tambahan lagi, Santika juga satu grup pecinta alam dengan sepupu Via itu.

“Kamu baru dateng pagi ini?” tanya Mona.

Via mengangguk. “Lebih tepatnya, siang ini kami sampai di sini. Pandu juga ikut, malah berombongan sama temen-temennya. Mereka tinggalnya di rumah sebelah. He! Panjang umur, itu orangnya.”

“Hai!” seru Mona seraya melambaikan tangan pada remaja bertubuh bongsor yang berjalan ke arahnya itu. “Ini beneran Pandu?” bisiknya kaget.

“Hai, Mbak Mona,” sapa Pandu dengan cengiran khasnya.

“Kamu, kok, tinggi banget sekarang?” Mona sampai harus mendongak untuk menatap sepupunya itu, padahal teras rumah tempatnya duduk sudah cukup tinggi. “Kita terakhir ketemu, tuh ... Lebaran tahun kapan, ya? Bukan tahun lalu, apa tahun lalunya lagi?”

“Bukan, bukan tiga tahun terakhir, yang jelas,” sahut Via sambil berpikir-pikir, pandangannya mengawasi Pandu. “Waktu itu ....”

“Ng, waktu itu aku kelas dua SMP, Mbak,” ujar Pandu.

“Cowok itu kecepatan pertumbuhannya mengerikan, ya,” canda Mona pada Via, yang ikut tertawa. “Gimana ujiannya kemarin, Ndu?” tanya Mona lagi.

Pandu nyengir salah tingkah. “Yaa ... begitulah, Mbak,” jawabnya menghindar.

“Hayoo, kamu belajar atau main? Hahaha,” goda Mona.

Pandu hanya cengar-cengir. Sebetulnya dia merasa cukup bisa mengerjakan, tak seperti beberapa teman yang mengeluhkan bejibunnya jumlah variasi paket soal UN tahun ini—dua puluh paket! Empat kali lipat lebih banyak dari tahun sebelumnya! Menurut Pandu sendiri, sih, kalau memang belajar dengan benar, maka perkara jumlah paket soal harusnya nggak jadi masalah, ‘kan? Namun, Pandu diam saja, tak mau dibilang sombong. Lagipula, selain kemampuan akademik, itu berhubungan dengan tingkat kejujuran masing-masing. Pandu, yang sekali lagi suka mengutip dari buku filsafat ayahnya, ingat ada pepatah memento mori: ingatlah akan kematian. Saat mati nanti, gimana dong kalau dia ditanya malaikat: pernah nyontek, nggak, waktu ujian? Pandu, sih, maunya nabung amal saja, bukan nabung dosa.

Mona melanjutkan, “Kata Via, kamu bawa pasukan ke sini?”

“Hehe, iya, Mbak. Mereka maksa ikut. Katanya, mau lihat rumahnya almarhum Mbah Maridjan. Mau uji nyali, tapi ternyata nggak jadi,” sahut Pandu.

“Hoo, mau ke situ. Itu, ‘kan, daerah Sleman. Sebetulnya dekat, lho. Kenapa nggak jadi?”

“Eh. Maksudku, kami jadi pergi ke sana, Mbak. Sudah tadi pagi.”

“Terus apanya yang ‘nggak jadi’? Uji nyalinya? Salah sendiri ke sana pagi-pagi. Uji nyali itu, ‘kan, serunya kalau malam.”

“Nah, itu dia, Mbak. Rumahnya Mbah Maridjan sekarang sudah jadi objek wisata, ada petugas yang jaga, dan setelah jam enam sore ditutup untuk umum ....”

Berkata seperti itu pun, Pandu nggak tampak kecewa. Jelas, ‘kan, yang ingin uji nyali ke rumah itu bukan dirinya!

“Oh, gitu ... puk-puk,” gurau Mona sambil menepuk lengan Pandu seolah menghibur. Dia tahu Pandu pasti punya alasan lain untuk berlibur ke Merapi. Anak itu nggak pernah meminta sesuatu yang tak perlu. Itulah satu hal yang disukainya dari sepupunya yang lebih muda itu.

“Jadi, kamu ikut Mbak Via ke sini untuk ...?” tanyanya dengan nada menggantung.

“Ketemu Bapak sama Ibu,” jawab Pandu.

Mona mengerutkan dahi keheranan. Setahunya, baik Via maupun Pandu memanggil orang tua mereka dengan sebutan “Papa-Mama”, dan bukankah mereka tinggal serumah dengan orang tua?

Via segera menjelaskan, “Keluarganya Pandu waktu live in dulu, Mon.”

“Oh ... yang waktu kamu kelas tiga SMP itu ya?” gumam Mona.

“Iya, Mbak.”

Mona mengangguk-angguk. “Bagus, tuh. Kamu masih inget sama mereka.”

Via menimpali, “Pandu nggak mungkin lupa. Mereka baik banget, Mon. Waktu itu Pandu—”

“Ah, Mbak Via seneng banget cerita tentang itu,” potong Pandu, pura-pura kesal. “Aku ke dalem dulu ya, Mbak. Sebentar lagi mau jalan-jalan sama temen-temen.”

“Oke.”

“Ya, sana.”

*

“Tahu gini, ‘kan, tadi kita minta dianter aja,” keluh Gita. Untuk yang kesekian kalinya ia berhenti dan mengurut betisnya yang pegal. “Haaah, capek banget! Mana sendalku kemasukan pasir terus dari tadi! Emang rumahnya yang sebelah mana, sih?”

“Seingatku daerah sini,” sahut Pandu sambil mengayunkan tangan kirinya dengan asal. Tangan satunya membawa kresek berisi serabi khas Solo.

“Pulang aja, yuk,” ajak Angga. Remaja bertubuh gempal itu terengah-engah, wajahnya mandi keringat. “Besok pagi aja kita cari lagi.”

“Terus, sia-sia dong, aku beli serabi. ‘Kan, nggak awet sampai besok,” ujar Pandu.

“Habis, gimana lagi? Nanti malam kita makan sendiri aja, biar nggak mubazir,” sahut Angga sambil meregangkan tubuh sementara Gita berjongkok lalu melepas sebelah alas kakinya dan mengetuk-ngetuk agar pasirnya keluar.

“Kayaknya kamu nggak yakin kamu inget rumahnya, Ndu?” Reni berujar dengan tangan dilipat di depan dada.

“Yaa, ‘kan, udah tiga setengah tahun berlalu,” sahut Pandu membela diri. Ia menunjuk. “Seingetku di deket rumah ada taman kecil kayak gini.”

Saat itu, seorang wanita paruh baya keluar dari rumah terdekat. “Nggoleki apa, Dhek?”[1] serunya kepada keempat remaja itu. Mereka semua menoleh ke sumber suara.

Pandu menjawab dengan sopan, “Nuwun sewu, dalemipun Pak Suwardi pundi, Bu?”[2]

Oo, griyanipun Pak Wardi tho. Ingkang punika,” [3] sahut ibu itu sambil menunjuk rumah kedua dari ujung pertigaan. Posisinya agak serong ke arah berlawanan dari rumah sang ibu.

“Lah. Yang itu, toh,” gumam Reni. “Tadi kita lewat-lewat aja.” Rumah yang dimaksud ada di sebelah kanan jalan dari arah kedatangan mereka. Tempat itu merupakan dusun yang berbeda dengan tempat tinggal keluarga Gilang di mana mereka menginap dan mereka tadi berangkat ke sini hanya mengandalkan ingatan Pandu—yang perlu dipertanyakan akurasinya—tapi tanggapan si ibu-ibu yang agaknya warga setempat itu menunjukkan bahwa setidaknya Pandu ada benarnya.

Matur nuwun nggih, Bu,”[4] ujar Pandu cepat. Ia sudah hampir beranjak, namun kalimat si ibu berikutnya membuat Pandu terkejut.

Pak Wardi ‘pun pindah, Dhek.”[5]

“Pindah?”

*

Rumah yang ditunjuk itu memang sedang kosong, tapi tampak dihuni, karena dari jendela tanpa kacanya dapat terlihat bagian dalam ruangan yang setengah penuh oleh perabot. Apalagi di atas sebuah meja kecil terdapat beberapa kaleng biskuit dan sebungkus roti yang sudah terbuka.

“Memang ini rumahnya,” gumam Pandu, pandangannya menerawang pada selasar rumah. “Ada yang tinggal di sini setelah keluarga Pak Wardi pindah.”

“Satu orang, kali?” kata Reni. “Mebelnya cuma dikit.” Diamatinya halaman rumah itu. “Orang ini juga nggak telaten dengan rumahnya. Lihat, tuh. Ilalangnya tumbuh subur.”

“Yah, bener,” sahut Pandu. Ia menghela napas, kali ini benar-benar tampak kecewa.

“Gagal total semua rencana liburan kita!” keluh Angga. “Rumah Mbah Maridjan ternyata bikin kecewa, dan sekarang nggak ada reuni kayak yang diharapkan.”

Menurut Bu Djumali, ibu yang menanggapi mereka tadi, keluarga Pak Wardi pindah ke Semarang saat Merapi meletus tahun 2010. Salah satu putra mereka yang sudah berkeluarga tinggal di sana. Bu Djumali tidak tahu persis di Semarang bagian mana rumah putra Pak Wardi itu, dan dahulu mereka belum memiliki telepon seluler seperti kebanyakan penduduk lereng Merapi sekarang.

Mendengarkan penuturan Bu Djumali, bahu Pandu merosot, wajahnya memurung. Dia benar-benar tidak bisa bertemu dengan keluarga itu lagi. Setelah pamit, keempat sekawan itu kembali ke jalan setapak. Pandu berjalan paling belakang dengan langkah gontai.

“Besok, kita naik gunung aja,” usul Reni, berusaha mengalihkan pikiran Pandu karena kasihan. Pemandangan cowok yang biasanya bersemangat itu lesu begini sangat tidak biasa. “Tadi sepupumu itu nawarin, ‘kan, Ndu?”

“Haah,” keluh Gita. “Jangan besok, please! Kakiku pegel banget!”

“Aku juga nggak mau kalau besok,” timpal Angga tanpa mengakui dirinya keberatan badan.

Reni yang gemas karena dua kawannya tidak mendukung niatnya melontarkan komentar pedas,

“Kalian ini ... sekali-kali olahraga, Git! Jangan duduk terus mainan HP! Kamu juga, Ngga, naik gunung, lah, biar kamu agak kurusan!”

Angga dan Gita, seolah melupakan perseteruan perkara anime yang sudah-sudah, mengeluh dengan kompak.

Tiba-tiba, ada suara yang berseru-seru dengan logat khas,

“Ame ... benar Ame, ya?”

Hampir serempak, keempatnya menoleh ke sumber suara saking lantangnya.

Seorang remaja laki-laki seusia mereka, berambut keriting dan berkulit hitam, berdiri beberapa meter di belakang mereka.

“Ame?” ulangnya, pandangan tertambat pada Gita.

“Evan?” celetuk yang merasa dipanggil, tak yakin.

Remaja asing itu mengangguk dengan semangat. Ekspresi Gita berubah dan ia berlari mendekat.

“... Ame?” bisik Angga terheran-heran, alisnya berkerut sambil bertukar pandang dengan Pandu yang tak kalah herannya. Ekspresi Reni juga tak jauh berbeda.

Gita dan cowok itu berpelukan sambil tertawa lepas. Keduanya saling menepuk punggung dengan girang.

“Tambah hitam aja, kamu,” gurau Gita.

“Kamu tambah gendut,” balas si remaja laki-laki.

“Dasar!” Gita mendorong lawan bicaranya sambil terkekeh. “Sekarang kamu sekolah di mana?”

Sa[6] masuk Seminari Mertoyudan Magelang, Me.”

“Wah, seminari? Cocok, cocok. Dulu, kamu, ‘kan, murid kesayangannya Romo Yohanes.”

“Hahaha, bisa jadi.”

Su bisa ngomong Jawa ko?”[7]

Sonde.”[8]

Keduanya tertawa lagi. Saat itu, Gita menyadari bahwa ketiga temannya berdiri canggung seperti patung di belakangnya.

“Ehm ... temen-temen, ini Evan, sahabatku waktu SD.” Gita memperkenalkan anak laki-laki itu. Evan tersenyum lebar, menampakkan deretan gigi rapi yang putih berseri.

“Van, ini teman-temanku di SMA,” lanjut Gita, menunjuk kawannya satu per satu, “Pandu, Angga, dan Reni.”

“Hai.”

“Halo.”

“Salam kenal.”

Sepertinya ada reuni dadakan yang tak diduga namun sama manisnya.

***

[1] Bahasa Jawa: Mencari apa, Dik?

[2] Bahasa Jawa Kromo: Maaf, rumahnya Pak Suwardi (ada di) mana, Bu? – yang disebutkan Pandu kurang lengkap.

[3] Bahasa Jawa Kromo: Oo, rumahnya Pak Wardi. Yang itu (rumahnya).

[4] Bahasa Jawa Kromo: Terima kasih ya, Bu.

[5] Bahasa Jawa Kromo: Pak Wardi (su-)dah pindah, Dik.

[6] Bahasa NTT khas Sumba: Saya.

[7] Bahasa NTT: Sudah bisa ngomong (bahasa) Jawa, kamu?

[8] Bahasa NTT: Tidak.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Between the Flowers
735      409     1     
Romance
Mentari memilih untuk berhenti dari pekerjaanya sebagai sekretaris saat seniornya, Jingga, begitu menekannya dalam setiap pekerjaan. Mentari menyukai bunga maka ia membuka toko bersama sepupunya, Indri. Dengan menjalani hal yang ia suka, hidup Mentari menjadi lebih berwarna. Namun, semua berubah seperti bunga layu saat Bintang datang. Pria yang membuka toko roti di sebelah toko Mentari sangat me...
Ada Cinta Dalam Sepotong Kue
6852      1998     1     
Inspirational
Ada begitu banyak hal yang seharusnya tidak terjadi kalau saja Nana tidak membuka kotak pandora sialan itu. Mungkin dia akan terus hidup bahagia berdua saja dengan Bundanya tercinta. Mungkin dia akan bekerja di toko roti impian bersama chef pastri idolanya. Dan mungkin, dia akan berakhir di pelaminan dengan pujaan yang diam-diam dia kagumi? Semua hanya mungkin! Masalahnya, semua sudah terlamba...
Kembang Sukmo
1821      697     4     
Horror
P.S: Buku 1 dari serial horror Kembang Sukmo. Edisi hardcover bisa Pre-Order di One Peach Bookstore via Shopee dan Tokopedia. Atau dm Instagram penulis @keefe_rd (++dapet gift pouch batik dan surat penulis). Tersedia juga di Google Play Books. Kunjungi blog penulis untuk informasi selengkapnya https://keeferd.wordpress.com/ Sinopsis: Teka-teki kelam dari masa lalu mulai menghantui Samara Nad...
Bee And Friends 2
3083      1048     0     
Fantasy
Kehidupan Bee masih saja seperti sebelumnya dan masih cupu seperti dulu. Melakukan aktivitas sehari-harinya dengan monoton yang membosankan namun hatinya masih dilanda berkabung. Dalam kesehariannya, masalah yang muncul, ketiga teman imajinasinya selalu menemani dan menghiburnya.
Nina and The Rivanos
10247      2479     12     
Romance
"Apa yang lebih indah dari cinta? Jawabannya cuma satu: persaudaraan." Di tahun kedua SMA-nya, Nina harus mencari kerja untuk membayar biaya sekolah. Ia sempat kesulitan. Tapi kemudian Raka -cowok yang menyukainya sejak masuk SMA- menyarankannya bekerja di Starlit, start-up yang bergerak di bidang penulisan. Mengikuti saran Raka, Nina pun melamar posisi sebagai penulis part-time. ...
U&I - Our World
389      274     1     
Short Story
Pertama. Bagi sebagian orang, kisah cinta itu indah, manis, dan memuaskan. Kedua. Bagi sebagian orang, kisah cinta itu menyakitkan, penuh dengan pengorbanan, serta hampa. Ketiga. Bagi sebagian orang, kisah cinta itu adalah suatu khayalan. Lalu. Apa kegunaan sang Penyihir dalam kisah cinta?
Because I Love You
1343      743     2     
Romance
The Ocean Cafe napak ramai seperti biasanya. Tempat itu selalu dijadikan tongkrongan oleh para muda mudi untuk melepas lelah atau bahkan untuk menghabiskan waktu bersama sang kekasih. Termasuk pasangan yang sudah duduk saling berhadapan selama lima belas menit disana, namun tak satupun membuka suara. Hingga kemudian seorang lelaki dari pasangan itu memulai pembicaraan sepuluh menit kemudian. "K...
Take It Or Leave It
6122      1985     2     
Romance
"Saya sadar...." Reyhan menarik napasnya sejenak, sungguh ia tidak menginginkan ini terjadi. "Untuk saat ini, saya memang belum bisa membuktikan keseriusan saya, Sya. Tapi, apa boleh saya meminta satu hal?" Reyhan diam, sengaja menggantungkan ucapannya, ia ingin mendengar suara gadis yang saat ini akhirnya bersedia bicara dengannya. Namun tak ada jawaban dari seberang sana, Aisyah sepertinya masi...
Cinta Pertama Bikin Dilema
5077      1407     3     
Romance
Bagaimana jadinya kalau cinta pertamamu adalah sahabatmu sendiri? Diperjuangkan atau ... diikhlaskan dengan kata "sahabatan" saja? Inilah yang dirasakan oleh Ravi. Ravi menyukai salah satu anggota K'DER yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMP. Sepulangnya Ravi dari Yogyakarta, dia harus dihadapkan dengan situasi yang tidak mendukung sama sekali. Termasuk kenyataan tentang ayahnya. "Jangan ...
KILLOVE
4530      1403     0     
Action
Karena hutang yang menumpuk dari mendiang ayahnya dan demi kehidupan ibu dan adik perempuannya, ia rela menjadi mainan dari seorang mafia gila. 2 tahun yang telah ia lewati bagai neraka baginya, satu-satunya harapan ia untuk terus hidup adalah keluarganya. Berpikir bahwa ibu dan adiknya selamat dan menjalani hidup dengan baik dan bahagia, hanya menemukan bahwa selama ini semua penderitaannya l...