Loading...
Logo TinLit
Read Story - Memento Merapi
MENU
About Us  

Empat sekawan, tiga tahun persahabatan di SMA. Kalau mengenang momen-momen pertama interaksi mereka, semuanya konyol, sebenarnya. Namun, tak ada salahnya dibahas satu per satu, karena, siapa tahu ada yang mirip dengan kisahmu.

Mulai dari Reni Kejora Rahmawati. Cewek ini adalah lulusan terbaik di SMP negeri paling favorit di Solo, sering ikut olimpiade matematika lebih karena orang tuanya akademisi ambisius daripada karena benar-benar cinta pada ilmu itu, dan punya lingkar pertemanan yang itu-itu saja sejak SD karena dia sendiri tahu banyak orang mau berteman dengan murid cerdas hanya untuk pinjam catatannya atau nyontek pe-ernya. Reni sering datang semenit sebelum bel masuk sekolah biar pe-ernya nggak banyak diedarkan dan disalin orang, tapi waktu Masa Orientasi Siswa SMA dia jadi agak kelabakan karena harus datang jam enam pagi setelah malamnya menyiapkan banyak atribut.

Di upacara MOS hari itu, dia melakukan scanning secara cepat di antara lautan manusia; di hari pertama MOS, semua siswa akan mengenakan seragam asal SMP masing-masing dan Reni sudah bertekad untuk berteman dengan siswa dari luar SMP-nya. Lebih bagus lagi kalau ada yang sekelas.

Sayang, kelasnya dikhususkan untuk murid-murid dengan nilai rapor tertinggi sekotamadya dan alhasil sebagian besar temannya sama dengan waktu SMP. Nggak banyak yang tahu apa saja yang diperbuat mereka untuk menorehkan nilai-nilai sebagus itu dan Reni muak. Rahasia umum yang pahit, memang, lantas bagaimana negara ini mau maju kalau begitu terus?

Oh, rupanya ada satu anak dari SMP lain. Cowok itu berbadan tinggi besar dan suka nyengir kayak kuda, memamerkan deretan gigi putih dan binar gembira yang mencapai mata. Reni nggak tahu siapa dia, nggak pernah ketemu saat olimpiade maupun perlombaan level apa pun semasa SMP maupun SD, tapi cowok itu harusnya cukup berprestasi karena bisa masuk kelas ini dan hal itu bikin Reni penasaran. Kalau menilik seragamnya, cowok itu dari salah satu SMP swasta elit yang terkenal disiplin se-Solo. Reni ingat banget namanya: Pandu Raharjo, yang di hari pertama MOS waktu itu maju sebagai sukarelawan pertama untuk menceritakan tokoh idolanya—satu dari sekian banyak tugas untuk MOS.

Dan, Pandu bercerita tentang Sherlock Holmes. Seisi kelas menertawakannya karena sebetulnya yang dimaksud dari tugas itu adalah tokoh-tokoh dunia nyata seperti Albert Einstein, Stephen Hawking, atau Mahatma Gandhi; J. K. Rowling atau bahkan Sir Arthur Conan Doyle, pengarang novel detektif Sherlock Holmes, juga boleh. Idolanya seorang tokoh fiksi! Namun, karena Pandu penuh percaya diri dalam bertutur dan para guru menghargai sikap inisiatifnya, tugasnya diterima dengan sah. Pandu sendiri kayaknya nggak peduli apa pendapat orang tentang ceritanya, yang jelas cowok itu seolah mendeklarasikan diri: aku seorang Sherlockian!

Cerita detektif nggak begitu diminati remaja seusia mereka yang lebih banyak mengenal teenlit bertema romansa, tapi Reni, yang sejak kecil suka baca buku-buku detektif karya Agatha Christie, merasa senang punya kenalan yang satu minat, meski memutuskan untuk mencoba mengenalnya diam-diam dulu. Reni sudah merasa cukup dicap kutu buku pelajaran dan nggak mau banyak orang tahu akan dua kegemarannya yang unik.

Dia nggak tahu bahwa Pandu Raharjo memang menggunakan tokoh idola fiktifnya itu untuk mengundang teman baru yang satu minat juga. Untung-untungan, sebetulnya, karena Pandu nggak pernah membayangkan bakal masuk kelas unggulan di SMA dan sudah dengar isu santer tentang ambisiusnya calon teman-temannya ini. Baru di tahun terakhir SMP nilai-nilai Pandu meroket, karena satu dan lain hal, salah satunya juga karena dia pindah sekolah saat kelas dua. Guru-guru SMP-nya teramat disiplin tapi Pandu bersyukur karenanya; dia jadi bisa masuk SMA negeri favorit ini dan mungkin bisa punya teman penggemar cerita detektif—rencana pertama.

Rencana kedua, kalau yang pertama gagal, adalah mencari teman yang punya selera budaya Jepang. Yang itu dia temukan waktu SMA-nya menyelenggarakan festival budaya Jepang di bulan ketiga masuk sekolah.

Cowok berbadan gemuk pendek itu bernama Angga Nugraha, siswa kelas sebelah, dan dia semangat banget saat menuliskan namanya di daftar peserta lomba makan takoyaki—gorengan dari cumi-cumi—tapi bukan hanya itu yang bikin Pandu tertarik. Di hari bebas pelajaran itu, Angga membawa gamewatch berbentuk telur dan duduk sendirian di teras lapangan. Pandu kenal bentuk gamewatch yang satu itu, karena dia juga pernah main waktu SD.

Tamagotchi! Mainan hewan piaraan virtual yang konsepnya mirip anime Digimon yang beken di Indonesia awal 2000-an. Pandu nyengir sendiri karena ingat masa kecil yang indah, dan, sambil mengunyah nasi kepal onigiri yang dibelinya dari salah satu stand, diamatinya Angga yang asyik main sendiri di sisi lapangan.

Coba diingat-ingatnya asal SMP Angga dan Pandu merasa agak heran. Teman-teman yang satu SMP dengan Angga banyak jumlahnya, meski bukan yang paling banyak; apa Angga memang lebih suka menyendiri?

Simpati Pandu timbul karena dia sendiri juga begitu, tapi di sekolah baru ini dia memang sendirian. Teman-teman SMP-nya melanjutkan ke SMA swasta juga atau malah ke luar kota, dan dia belum dapat teman penggemar cerita detektif maupun penggila Jepang di SMA. Mungkin akan coba didekatinya Angga saat lomba makan takoyaki nanti dan dihabiskannya onigiri sambil melihat-lihat sekitar. Lapangan sekolah, yang biasanya digunakan untuk pelajaran olahraga, telah disulap menjadi arena festival dengan berbagai tenda terpal terhampar dan aroma-aroma sedap menguar di mana-mana. SMA negeri ini memang terkenal menyelenggarakan festival Jepang setiap tahun, dan itu salah satu alasan Pandu memilihnya. Beruntung nilai-nilainya memenuhi syarat.

Saat lomba makan takoyaki itu akan dimulai, Pandu melihat orang yang dikenalnya di seberang lapangan.

Ah, itu, ‘kan, si cewek jenius teman sekelasnya .... cewek itu sedang ngobrol dengan seorang cewek lain yang kelihatannya akan ikut lomba makan takoyaki. Pandu mendekati tiang tenda di mana tergantung sebuah clipboard berisi daftar nama peserta lomba itu dan menelusuri deretan siswa kelas sepuluh. Ditemukannya nama Angga Nugraha dan satu lagi nama cewek, Amelia Gita; sisanya semua kelas sebelas dan dua belas. Kayaknya Amelia Gita adalah yang sedang bicara dengan si cewek jenius teman sekelas Pandu—namanya Reni, dan, bukannya Pandu lupa namanya. Dia bahkan ingat nama lengkap Reni yang unik karena menurutnya, kalau seseorang punya nama bintang terselip dalam namanya, barangkali yang bersangkutan punya orang tua penggemar astronomi. Hanya saja, Pandu mendapati adanya aura menjaga jarak yang menguar dari cewek itu kalau mereka di lab komputer atau lab audio-visual; ngomong saja seperlunya dan Reni nggak pernah menatap matanya secara langsung. Mereka duduk sebelahan berdasarkan nomor presensi, karena nama Pandu berhuruf depan P dan Reni R, dan kebetulan nggak ada teman sekelas dengan huruf depan Q. Selama ini Pandu mengira bahwa semua itu karena Reni siswi teladan, selalu salat tepat waktu, dan sangat berpegang pada ajaran agama untuk nggak bersentuhan dengan yang bukan muhrim. Namun, Reni nggak pernah pakai jilbab ke sekolah. Hal itu yang bikin Pandu penasaran.

Perlombaan makan takoyaki pun dimulai dengan Pandu yang mengamati Angga sambil sesekali mengawasi Reni, yang kayaknya mengamati Amelia Gita. Mau nggak mau, keingintahuan Pandu timbul lagi. Seingatnya Reni sendiri memang belum punya teman dekat di sekolah—di sekitarnya selalu banyak teman, tapi nggak satu pun didengarnya pernah mengajak Reni main ke rumah mereka atau sebaliknya. Bukankah kalau cewek-cewek berteman dekat, mereka bakal main ke rumah satu sama lain? Menurut Pandu, hal itu berlaku untuk semua cewek, baik yang pendiam maupun yang ceriwis; tapi, menurutnya lagi, Reni bukan keduanya. Awalnya Pandu mengira Reni itu tipikal putri Solo seperti di lagu-lagu lawas: lemah lembut, tutur katanya halus, dan kemayu, kalau menilik caranya bercakap dan gerak-geriknya. Semua image itu ambyar ketika di hari pertama kelas matematika Reni menguliti soal algoritme dari guru di papan tulis sampai sudut-sudut papan itu bergetar—saking menggebunya cewek itu menuliskan jawaban dengan spidol.

Di balik bulu mata lentik dan hidung bangir itu ada jiwa monster yang ambisius.

Reni biasanya diam dan menyimak kalau nggak ada yang perlu diutarakannya, tapi saat sesi tanya jawab dan diskusi kelompok apa pun dia hampir selalu jadi yang pertama bicara. Dengan para cowok dia berani berdebat, kalau itu soal pelajaran. Namun, terhadap Pandu, di lab komputer sekali pun, Reni hampir nggak pernah ngomong apa-apa. Kalau Pandu kebetulan ikut bicara dalam diskusi kelompok, Reni seolah menghindar menjawabnya.

Jadi, dalam benak Pandu yang memang rada-rada narsis, tersusun hipotesis: Reni mungkin sebetulnya ingin berteman dengan Pandu, tapi harga dirinya mencegahnya. Pandu tergelitik untuk mengetes apakah Reni juga sedang memerhatikan dirinya di tepi lapangan perlombaan atau nggak. Pandu pura-pura menguap sambil melihat ke arah lain. Dari sudut matanya bisa dilihatnya Reni ikut menguap dan segera menutupinya dengan tangan, tapi kesimpulannya sudah jelas: Reni diam-diam juga memerhatikannya. Pandu tak tahan untuk nggak nyengir dan kembali mengamati perlombaan di mana Angga dan Amelia Gita turut serta.

Baik Angga maupun cewek itu rupanya sama-sama unggul dan berhasil lolos ke tahap final, mengalahkan para kakak kelas. Tepat saat babak final hampir dimulai, Pandu iseng menyemangati Angga dalam bahasa Jepang.

“Angga pasti bisa! Lakukan yang terbaik!”

Angga Nugraha menoleh keheranan mendengar ada yang menyemangati dirinya. Dia sendiri sebetulnya tak terlalu paham karena nggak suka belajar bahasa asing, tapi dia senang dan jadi bersemangat. Diangkatnya jempol ke arah cowok bongsor yang menurutnya juga anak kelas sepuluh itu, yang berdiri di luar garis perlombaan.

Angga sesungguhnya ikut lomba ini hanya karena supaya bisa makan gratis sepuasnya dan dia nggak membayangkan bakal jadi tontonan orang sebegini banyak karena lolos ke final. Dia deg-degan, rasa gugup melandanya. Orang-orang pasti sedang membicarakannya. Lihat, itu si Gendut kelas X-E yang nggak pernah ngomong. Daripada jadi pusat perhatian, dia mending bergelung di balik kain sarungnya di dalam kamar sambil main Angry Bird di playstation miliknya. Lagian ini hari bebas pelajaran, kalau dia mau bolos dan main game seharian di rumah pun nggak ada yang melarang dan nggak akan ada warga sekolah yang sadar dia nggak di sana.

Namun, itu semua tinggal angan, karena Angga sudah telanjur memilih untuk ikut lomba. Kalau bukan karena cowok kelas sepuluh yang iseng menyemangatinya barusan, Angga barangkali sudah ngacir pulang dan membiarkan lawannya auto menang.

“Gita pasti bisa! Jangan mau kalah! Lakukan yang terbaik!”

Rupanya seorang siswi kelas sepuluh juga balas mendukung Amelia Gita, lawannya dalam lomba ini. Mendengarnya, Angga jadi makin bersemangat.

Cowok yang menyemangati Angga berkata lagi dalam bahasa Jepang, tanpa tahu bahwa dirinya menyulut api pertempuran sendiri dengan teman sekelasnya sekaligus teman semejanya di lab komputer,

“Ayo, cewek biasanya takut makan banyak!”

Rupanya dibalas Reni dengan bahasa yang sama,

“Jangan takut, Gita! Makan banyak cuma sekali nggak akan bikin gendut!”

Pandu kaget karena ternyata Reni juga bisa berbahasa Jepang. Apa Reni juga suka hal-hal berbau Jepang atau dia hanya kebetulan mempelajari bahasa itu? Lebih kaget lagi karena inilah pertama kalinya Reni membalasnya secara terbuka. Sinar mata penuh ambisi dari wajah yang ayu itu kini menyorot ke arahnya!

Bohong kalau Pandu bilang dirinya tidak tersepona, eh, terpesona. Cepat menguasai diri, dia menyusul,

“Cowok, tuh, daya tampung perutnya besar!”

Reni membalas, masih dalam bahasa Jepang, tampaknya tak peduli dirinya dan Pandu jadi tontonan orang, “Buktiin kalau cewek nggak kalah dari cowok!”

Sebetulnya nggak ada yang paham isi perdebatan mereka berdua yang malah mengadakan speech competition dalam bahasa Jepang sendiri. Pemenangnya jelas nggak ada, karena tak ada yang menjuri. Sementara itu, babak final lomba makan takoyaki-nya sudah dimulai dan Angga sudah hampir menang saat dia malah tersedak saking terburu-buru sampai batuk semenit penuh. Pandu dan beberapa teman lain menolong Angga menyelamatkan pernapasannya dengan tepukan-tepukan di punggung.

Di perlombaan itu, akhirnya Gita keluar sebagai pemenang dan dia berterima kasih pada Reni atas ucapan penyemangatnya. Dia merasa senang didekati teman cewek yang sama-sama suka Sailor Moon. Hanya gara-gara casing ponsel pintar yang dibawanya bergambar tokoh anime satu itu, mereka lalu ngobrol banyak. Gita nggak punya teman satu SMP di sini, karena, meski orang Jawa asli, dia tumbuh besar di luar Pulau Jawa dan nyaris nggak bisa berbahasa Jawa. Gita langsung tahu Reni anak kelas unggulan, tapi sikap bersahabat Reni yang nggak malu-malu mengakui hobinya akan budaya Jepang membuat Gita juga terbuka. Jarang dia bisa ketemu sesama penggemar jejepangan, apalagi sama-sama suka Sailor Moon!

Setelah lega, Angga dengan fair mengakui kemenangan Gita, dan jadilah mereka berempat berteman. Sejak saat itu pula, Reni secara terbuka bersaing dengan Pandu dalam hal apa saja, namun mereka bisa tetap rukun selama membicarakan manga dan anime. Soal cerita detektif yang jadi hobi sampingan keduanya selain jejepangan, itu malah membuat persaingan Pandu dan Reni makin tajam. Kombinasi detektif dan anime menjadi kunci ketika mereka ditanya apa manga favorit masing-masing: Pandu menjawab Dan Detective School alias DDS dan Reni menjawab Detective Conan. Mereka sering adu analisis tentang kejadian sehari-hari di sekolah, misalnya, kasus ibu kantin yang suatu ketika kehilangan kain lampin untuk memegang panci panas dan ditemukan di dekat parit gara-gara digondol kucing yang tertarik dengan baunya yang amis, atau terungkapnya misteri bunyi-bunyi aneh dari atap gedung olahraga yang ternyata ditimbulkan oleh burung tekukur yang bersarang di sana. Kalau Reni yang menemukan jawabannya duluan, dia bisa memberi penjelasan dengan tenang dan rendah hati; sementara kalau Pandu, dia menyampaikannya dengan tingkah kemlinthi alias nyebelin, seolah dirinya paling tahu. Pandu memang susah menahan diri untuk tidak pamer kemampuannya, mengadaptasi dengan persis tingkah sang detektif kondang di dunia fiksi, Sherlock Holmes. Sementara itu, Reni sangat menjaga image-nya di hadapan orang dewasa; tapi, kalau di depan teman-temannya (terutama Pandu), maka perkataan pedasnya sulit dikontrol.

Setelah penjurusan di awal kelas sebelas, Pandu dan Reni sekarang penghuni kelas IPA, sementara Angga kelas XII-S1 dan Gita XII-Bahasa. Mereka bisa tetap lengket seperti ini karena hal pertama yang mempersatukan mereka, yang dikenal dengan istilah otaku, penggila segala hal berbau Jepang: cosplay[1], dorama alias serial drama, dan terutama komik manga dan film kartun animasi anime. Mereka berempat menamakan diri geng AGRIPA, yang sebetulnya terdiri atas akronim huruf-huruf dalam nama panggilan masing-masing. Agrippa sendiri adalah judul sebuah manga sejarah tentang kerajaan Romawi zaman Sebelum Masehi yang pernah dibaca oleh Pandu. Setiap ada festival budaya Jepang yang diadakan di Solo, mereka berempat pasti datang. Bahkan ketika diadakannya di Yogyakarta, mereka rela naik kereta api ke Kota Pelajar lantaran ada bintang tamu seorang cosplayer ternama dari Jepang. Di saat kebanyakan remaja Indonesia dilanda demam Korean Pop alias K-Pop, keempat sohib ini tetap survive dengan aliran jejepangan mereka. Di sekolah mereka sendiri, tidak banyak penggemar budaya Jepang meski festival itu menjadi program tahunan; kebanyakan hanya senang karena yang namanya festival selalu penuh makanan. Pengunjung dari luar sekolahlah yang banyak memakai atribut anime seperti kaos atau jaket bergambar tokoh favorit.

Di antara kehebohan teman-teman sekelas meributkan drama Korea yang tayang di internet, geng AGRIPA menikmati hobi mereka sendiri diam-diam.

Gita, yang punya perangkat gawai paling lengkap di rumahnya, punya hobi download. Apa pun tentang anime, mulai dari scan komiknya, lagu soundtrack-nya, video anime-nya. Teman-temannya tinggal copy. Enak, ‘kan?

Nggak juga sebetulnya, karena Gita pasang tarif: satu file sama dengan traktir bakso semangkuk. Dulunya, sih, Gita nggak pelit begitu. Namun, sejak Angga nonton Fairy Tail di salah satu stasiun televisi swasta dan anime itu nggak pernah ditayangkan lagi, dia selalu minta videonya ke Gita. Padahal Gita yang sudah capek-capek download, yang bayar internetnya juga dia, eh, Angga dengan enaknya minta-minta.

Sebetulnya, bukan itu yang bikin Gita sebal. Namun, suatu kali, Angga, yang sudah diberitahu kalau episode yang terbaru bahkan belum dirilis di Jepang sana, masih juga mendesak Gita.

Waktu itu mereka hampir naik ke kelas sebelas. Gita nggak mau bicara dengan Angga selama berminggu-minggu gara-gara hal itu. Reni, yang akhirnya bisa tahu penyebab Gita ngambek, memberitahu Angga supaya minta maaf. Sejak itu mereka bertiga milih mengunduh anime sendiri, nggak minta ke Gita kalau nggak amat sangat terpaksa. Dan, sampai sekarang, hubungan Gita-Angga masih agak dingin. Reni dan Pandu jadi penengah di antara mereka, tapi kalau keduanya sama-sama kalap dalam berlomba analisis, Angga dan Gita otomatis jadi pelerai.

Geng AGRIPA sering belajar bersama—matematika, bahasa Inggris, dan bahasa Indonesia—mata pelajaran yang ada di semua jurusan. Sebuah rutinitas yang dilakukan tak hanya menjelang ujian, melainkan setiap minggu, karena sambil berkumpul itulah mereka bisa turut memuaskan hobi jejepangan. Gita juga bisa main piano di rumahnya dan sering memainkan lagu-lagu anime sebagai selingan belajar—kadang mereka tak perlu pergi ke Solo Square untuk bisa karaokean, iringan piano saja sudah cukup untuk nyanyi bareng. Karena itulah, dalam agenda belajar bareng, biasanya Gita yang jadi tuan rumah, tapi kadang-kadang mereka belajar di rumah Reni dan, pada kesempatan yang jarang sekali terjadi, di rumah Pandu.

Angga sudah bilang bahwa di kamarnya ada terlalu banyak barang sehingga nggak bakalan efektif kalau mereka minta belajar di rumahnya. Pandu dan Reni yang menebak-nebak berhasil membuat Angga bercerita apa saja barang-barang itu: berkotak-kotak CD playstation dan video game, bergulung-gulung poster dan mainan figurin tokoh-tokoh anime. Dari sini ketiga teman Angga jadi tahu bahwa si Gempal itu dulunya seorang hikikomori—orang yang lebih suka berkurung diri di rumah daripada beraktivitas di luar—namun, sejak menjadi bagian geng AGRIPA, kebiasaannya itu pelan-pelan meluntur. Namun, tetap saja, barang-barang koleksinya itu sangat sayang kalau dibuang, jadi semuanya masih menumpuk di kamarnya, hanya saja sekarang lebih rapi daripada dulu. Kadang-kadang, di hari libur, Angga masih kecanduan main game kalau Pandu nggak sering datang dan mengajaknya bersepeda. Bagi Angga, cara melepas stres dan menjadi bahagia pascaujian adalah melontarkan burung-burung gemuk yang marah dan membiarkan mereka menghantam babi-babi jelek di seberang pelontar, seperti yang dia mainkan di Angry Bird.

*

Di dalam bilik karaoke hari itu, hari berakhirnya Ujian Nasional SMA, suara Angga adalah yang paling keras waktu mereka berempat nyanyi We are the Champion yang dipopulerkan oleh grup lawas, Queen. Lagu yang satu itu adalah lagu wajib mereka kalau karaokean selepas ujian. Tentu saja dalam daftar di bawahnya sudah menanti sederet lagu berbahasa Jepang.

“Wiii ... ar de cempien, ma freennn ....” Angga menaikkan volume suara.

And we’ll keep on ... biting ... ‘till the end ....” Pandu membalas.

“Ndu, kamu ngapain barusan ngomong ‘biting’? Masih laper ya?” sambar Reni di mikrofon yang dipegangnya bersama Gita, tahu bahwa Pandu sengaja memelesetkan kata ‘fighting’ menjadi kata bermakna menggigit makanan itu, tapi suaranya kalah keras dengan getar pita suara Angga di corong mikrofon satunya. Kedua cowok itu tetap bernyanyi sekeras keduanya bisa, satu mic berdua, seakan dunia bakal kiamat kalau mereka berhenti.

We are the champion ... we are the champion! No time for loser ... ‘cause we are the champion ... of the world ...!

Jangan salahkan Pandu dan Angga. Mereka hanya dua makhluk bahagia yang baru saja kelar ujian.

***

[1] Cosplay adalah singkatan untuk costume playing, istilah yang populer dalam budaya Jepang di mana orang-orang mengenakan kostum sesuai tokoh animasi favorit atau karakter ciptaan sendiri (original character). Bintang cosplayer biasanya memiliki akun media sosial yang berisi foto-foto cosplay mereka.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
I'm not the main character afterall!
1361      709     0     
Fantasy
Setelah terlahir kembali ke kota Feurst, Anna sama sekali tidak memiliki ingatan kehidupannya yang lama. Dia selama ini hanya didampingi Yinni, asisten dewa. Setelah Yinni berkata Anna bukanlah tokoh utama dalam cerita novel "Fanatizing you", Anna mencoba bersenang-senang dengan hidupnya tanpa memikirkan masalah apa-apa. Masalah muncul ketika kedua tokoh utama sering sekali terlibat dengan diri...
Samudra di Antara Kita
34155      5567     136     
Romance
Dayton mengajar di Foothill College, California, karena setelah dipecat dengan tidak hormat dari pekerjaannya, tidak ada lagi perusahaan di Wall Street yang mau menerimanya walaupun ia bergelar S3 bidang ekonomi dari universitas ternama. Anna kuliah di Foothill College karena tentu ia tidak bisa kuliah di universitas yang sama dengan Ivan, kekasihnya yang sudah bukan kekasihnya lagi karena pri...
Under The Same Moon
388      257     4     
Short Story
Menunggumu adalah pekerjaan yang sudah bertahun-tahun kulakukan. Tanpa kepastian. Ketika suatu hari kepastian itu justru datang dari orang lain, kau tahu itu adalah keputusan paling berat untukku.
House with No Mirror
472      354     0     
Fantasy
Rumah baru keluarga Spiegelman ternyata menyimpan harta karun. Anak kembar mereka, Margo dan Magdalena terlibat dalam petualangan panjang bersama William Jacobs untuk menemukan lebih banyak harta karun. Berhasilkah mereka menguak misteri Cornwall yang selama ini tersembunyi?
Puncak Mahiya
599      436     4     
Short Story
Hanya cerita fiktif, mohon maaf apabila ada kesamaan nama tempat dan tokoh. Cerita bermula ketika tria dan rai mengikuti acara perkemahan dari sekolahnya, tria sangat suka ketika melihat matahari terbit dan terbenam dari puncak gunung tetapi semua itu terhalang ketika ada sebuah mitos.
Teman Berakhir (Pacar) Musuhan
752      460     0     
Romance
Bencana! Ini benar-benar bencana sebagaimana invasi alien ke bumi. Selvi, ya Selvi, sepupu Meka yang centil dan sok imut itu akan tinggal di rumahnya? OH NO! Nyebelin banget sih! Mendengar berita itu Albi sobat kecil Meka malah senyum-senyum senang. Kacau nih! Pokoknya Selvi tidak boleh tinggal lama di rumahnya. Berbagai upaya buat mengusir Selvi pun dilakukan. Kira-kira sukses nggak ya, usa...
My Dangerious Darling
4659      1765     3     
Mystery
Vicky, mahasiswa jurusan Tata Rias yang cantik hingga sering dirumorkan sebagai lelaki gay bertemu dengan Reval, cowok sadis dan misterius yang tengah membantai korbannya! Hal itu membuat Vicky ingin kabur daripada jadi sasaran selanjutnya. Sialnya, Ariel, temannya saat OSPEK malah memperkenalkannya pada cowok itu dan membuat grup chat "Jomblo Mania" dengan mereka bertiga sebagai anggotanya. Vick...
Potongan kertas
920      478     3     
Fan Fiction
"Apa sih perasaan ha?!" "Banyak lah. Perasaan terhadap diri sendiri, terhadap orang tua, terhadap orang, termasuk terhadap lo Nayya." Sejak saat itu, Dhala tidak pernah dan tidak ingin membuka hati untuk siapapun. Katanya sih, susah muve on, hha, memang, gegayaan sekali dia seperti anak muda. Memang anak muda, lebih tepatnya remaja yang terus dikejar untuk dewasa, tanpa adanya perhatian or...
Interaksi
519      360     0     
Romance
Ada manusia yang benar benar tidak hidup di bumi, sebagian dari mereka menciptakan dunia mereka sendiri. Seperti halnya Bulan dan Yolanda. Bulan, yang terlalu terobsesi dengan buku novel dan Yolanda yang terlalu fanatik pada Korea. Dua duanya saling sibuk hingga berteman panjang. Saat mereka mencapai umur 18 dan memutuskan untuk kuliah di kampus yang sama, perasaan takut melanda. Dan berencana u...
SOLITUDE
1712      677     2     
Mystery
Lelaki tampan, atau gentleman? Cecilia tidak pernah menyangka keduanya menyimpan rahasia dibalik koma lima tahunnya. Siapa yang harus Cecilia percaya?