Tengah malam, 29 November 1948.
.
Inikah akhir dari segalanya?
Sosok di tengah kegelapan itu berjalan terseok-seok di antara pepohonan dengan napas berantakan. Sambil mencengkeram dadanya seolah mencegahnya meledak akibat aktivitas fisik beruntun yang terlampau berat, sesekali ia menoleh ke belakang.
Terdengar suara-suara, samar, namun kian mendekat.
Sebonggol dahan patah berada di tempat yang tak menguntungkan dan sosok itu nyaris terjungkal karenanya. Tak sampai terjatuh, tetapi seruan kaget telanjur lolos dari mulutnya.
“Di sana!” Sebuah suara berat dan kasar menggema tak jauh dari sosok itu.
Rentetan peluru dimuntahkan dari sebuah senapan, seiring debaran jantung yang semakin berlarian.
Sosok itu mengumpat pelan sambil meringkuk di balik pohon yang cukup besar. Dia kelelahan, kelaparan, juga kedinginan. Bajunya yang sempat basah karena nekat merambah rawa-rawa beberapa jam yang lalu telah kering. Namun, kekhawatiran akan terkena selesma adalah hal terakhir yang bisa dipikirkannya sekarang.
Akankah dia menyerah? Tidak.
Setelah tahun-tahun penuh perjuangan yang dilaluinya? Tidak!
Tahu-tahu, rasa sakit mendera perutnya demikian hebat hingga ia tak kuasa lagi menahan rintihan. Ia terduduk lemas, kepalanya tertunduk. Suara erangannya sendiri yang telah membongkar keberadaannya, membuat musuh-musuhnya berkerubung mengepung.
Berpucuk-pucuk laras senjata teracung di hadapannya dan sosok itu menyadari kebenaran yang mengerikan.
Tak ada lagi jalan untuk lari.
Inilah akhir dari segalanya.