Usai salat Isya, kembali para senior mengajak Nilam berbincang-bincang di dalam tenda. Suasana sudah semakin sunyi. Sesekali, terdengar desiran angin, gemerisik daun-daun yang beradu, dan suara hewan-hewan malam.
“Nilam, kamu masih ingat kedua orang tuamu?” tanya Kak Cindy.
Nilam berusaha memeras seluruh ingatan yang ada di dalam otaknya. Samar-samar, ia melihat dua sosok sepasang manusia dewasa di dalam foto. Walau tak terlalu jelas, Nilam mengangguk untuk melegakan perasaan semua orang.
“Oh, berarti kita harus mulai dari orang-orang terdekatnya dulu. Karena, itu yang paling mungkin mudah diingat Nilam,” cetus Kak Cindy pada yang lain. Yang lainnya pun mengangguk-angguk tanda setuju.
“Kamu memanggil mereka berdua apa? Papa Mama, Ayah Ibu, Bapak Emak, Dad Mom …?” ucap Kak Cindy lagi pelan-pelan.
Nilam memandangi Kak Cindy, kemudian berkata, “Ayah Bunda.”
“Nah!” seluruh penghuni tenda berseru gembira. Rupanya, diam-diam mereka ikut menyimak pembicaraan Nilam dan Kak Cindy sejak tadi.
“Jadi, harus dimulai dari yang kamu sayang, ya? Coba, kamu sayang enggak sama Kak Ical? Eh, kamu tahu enggak, Kak Ical itu siapa?” celetuk Kak Pay yang masih saja melawak di setiap kesempatan. Nilam menautkan kedua alis sambil menggeleng.
“Wah! Berarti kamu enggak sayang sama Ical nih, kalau enggak ingat!” seru Kak Pay.
“Apaan sih, Kak Pay? Harus gitu, sayang sama Ical?” sergah Kak Cindy sambil menahan senyum melihat ulah Kak Pay.
“Iya, dong! Sebagai ketua, dia patut disayang. Betul enggak, Nilam?” seloroh Kak Pay.
“Oh, Kak Ical itu ketua, ya?” Nilam balik bertanya sambil ragu-ragu.
“Aduh, Nilam! Kalau dalam kondisi normal, kamu sampai enggak kenal ketuamu itu bisa kena push up, lo! Berhubung ini kondisi istimewa, ya sudahlah," kata Kak Pay menakut-nakuti, "Eh, Satya! Panggil Ical dong, ke sini. Penting!”
“Apanya yang penting?” tanya Kak Cindy sambil berbisik pada Kak Pay.
“He! Siapa tahu, kalau lihat wajahnya, Nilam jadi ingat,” jelas Kak Pay memberikan alasan.
Kak Ical pun datang memasuki tenda. “Ada apa, Kak?” tanyanya tegas.
“Nah, ini Kak Ical! Kamu sayang enggak, Nilam, sama Kak Ical?” tanya Kak Pay dengan bersemangat.
Nilam menatap Kak Ical sungguh-sungguh. Kemudian, dia menggeleng sambil bergumam, “Aku enggak ingat.”
“Wah, Ical! Kamu enggak disayang sama Nilam, ternyata!” seru Kak Pay lagi. Semua yang mendengarnya jadi tergelak-gelak. Termasuk Kak Ical yang sedari tadi memasang ekspresi wajah sangat kaku.
“Ya, kali aja, dengan begini, kita jadi tahu siapa yang lagi ditaksir Nilam, kan? Ternyata, bukan kamu, Cal. Sudah, bertugas lagi sana!” usir Kak Pay. Kak Cindy memukuli bahu Kak Pay. Dia sudah tak sanggup menahan rasa gemas melihat aksi Kak Pay yang ‘bisa aja’ itu.
“Eh, Nilam, tapi ini benar-benar serius. Sangat serius. Kamu harus menjawab dengan jujur, ya. Kamu sudah punya pacar atau belum?” tanya Kak Pay dengan mata menatap tajam ke arah Nilam. Dia seolah tak mengizinkan Nilam menoleh ke mana-mana sedetik pun.
“Kak, biasa aja kali, tanyanya,” Kak Cindy menegur setengah berbisik.
“Eh? Ini penting! Apa kamu enggak kebayang, Nilam, betapa hancur perasaan pacarmu kalau kamu enggak ingat dia? Coba kamu pikir! Kalau misalnya ternyata Kak Ical itu pacarmu, dan kamu tadi bilang enggak ingat. Alangkah perih hatinya sekarang,” ucap Kak Pay sungguh-sungguh, seperti ingin menghipnotis Nilam dengan sepasang mata lebar dan jelinya.
Nilam jadi ikut memikirkan ucapan Kak Pay. Benar juga, ya. Kasihan sekali kalau sampai aku punya pacar tapi tak mengingatnya. Nilam jadi terpekur sendiri membayangkan kemungkinan itu jika benar-benar terjadi.
“Nah! Makanya, kamu harus mengingatnya dan jawab pertanyaanku. Kamu sudah punya pacar atau belum?” kata Kak Pay lagi dengan nada bicara lebih santai. Nilam berusaha keras mencari wajah yang dapat menimbulkan rasa spesial dari seluruh isi memorinya. Namun, akhirnya Nilam hanya bisa menggeleng.
“Bener nih, enggak punya pacar? Nanti aku cek lo, ya. Sabtu malam Minggu ini, aku bakal ke rumahmu. Kalau sampai ada cowok yang datang apel, aku apain kamu, hayo?” ancam Kak Pay sambil bercanda.
“Kak, enggak usah modus, deh. Mau dibantai sesepuh apa?” celetuk Kak Cindy sambil menyikut Kak Pay.
“Eh? Itu modus, ya?” cetus Kak Pay berpikir ulang, “Ya, udah deh. Aku enggak jadi ke rumahmu malam Minggu ini. Tapi, kamu harus sadar, kamu akan menyakiti hati cowokmu kalau sampai enggak ingat dia,” tutur Kak Pay dengan usilnya.
Malam semakin kelam, suara-suara kegiatan diklat yang tadinya masih terdengar dari kejauhan, kini terasa sayup. Semua orang di dalam tenda mulai bersiap-siap merebahkan diri. Usai mencontohkan cara menggosok-gosokkan telapak tangan agar tak kedinginan, Kak Pay menunjukkan kantung tidur yang bisa dipinjam Nilam untuk beristirahat.
Tak mudah tidur dalam suasana dingin seperti ini. Pikiran Nilam masih saja disibukkan dengan kata-kata Kak Pay tadi. Pacar? Apakah aku memilikinya? Mengapa aku tak mengingatnya? Akankah aku menyakitinya nanti, jika aku benar-benar telah melupakannya?
Walau hanya bergurau, ucapan Kak Pay itu cukup liat menyelinap ke seluk-tekuk otak Nilam. Dia ingin sekali berusaha keras mengingat semua. Namun, semakin mencoba, semakin pening kepalanya. Nilam pun akhirnya tertidur karena kelelahan mengorek kenangan.
***
Nilam masih harus menghabiskan sehari semalam lagi di gunung itu, menunggu hingga acara diklat usai. Selama itu, dia benar-benar dikondisikan untuk tetap santai, nyaman, dan cukup istirahat. Harapannya, fisik yang segar dapat membantu Nilam memeroleh kembali ingatannya dengan cepat.
Hingga tibalah saat seluruh rangkaian diklat berakhir. Semua peserta dan senior menuju ke gedung SMU mereka menggunakan truk ABRI. Dari sana, satu per satu berpamitan pulang. Ada yang dijemput, banyak pula yang pulang sendiri.
“Nilam, kamu dijemput enggak?” tanya Kak Pay.
Nilam berpikir sebentar, kemudian menjawab, “Enggak tahu.”
“Kamu ingat enggak, dengan gedung sekolah ini?” tanya Kak Pay sambil jari telunjuknya berkeliling mengarah ke dinding dan atap yang melingkupi mereka.
Nilam mengikuti tarian telunjuk Kak Pay, lalu menyahut, “Sepertinya.”
“Oh, ya? Kamu tahu, gedung ini adalah peninggalan zaman Belanda …,” ujar Kak Pay terus bercerita tentang gedung sekolah mereka yang megah itu. Tampaknya, Kak Pay ingin Nilam tidak tegang memikirkan bagaimana jika bertemu keluarga nanti.
Sepertinya, Nilam memang tidak dijemput. Usai para senior melakukan rapat penutupan, Nilam pun diantar pulang menggunakan mobil Kak Pay, didampingi oleh beberapa senior yang lain. Semua berusaha tetap tenang, walaupun dalam hati masing-masing masih berharap-harap cemas.
Kau tak pernah tahu
betapa berharganya sebuah kenangan
Hingga kau merasakan kelu
dari hilangnya setiap butir ingatan
Terputusnya jangkar masa lalu
Saat kau harus terus berlayar ke depan
Semoga menang ya, ceritanya unik, dan aku suka diksinya
Comment on chapter Amnesia